Hal terakhir yang ingin dilihat oleh Aulia Sistine adalah Setyo Rajawali.
Setyo Rajawali adalah nemesisnya semasa SMA dulu. Sudah tidak terhitung berapa kali mereka bertengkar dan berdebat setiap harinya. Hanya bermula dari perbedaan opini mengenai acara bazar sekolah waktu itu—di mana setiap kelas wajib membuka stan dan menjual barang-barang yang sudah tidak terpakai atau makanan dan minuman—Aulia dan Setyo resmi menjadi musuh bebuyutan. Padahal keduanya berada dalam kelas yang sama. Bagi teman-teman sekelas mereka, sudah bukan hal yang baru jika melihat Aulia dan Setyo berdebat atau bertengkar.
Setelah tujuh tahun tidak bertemu dan tidak pernah mendengar kabar mengenai cowok menyebalkan itu, kini Aulia mengutuk takdirnya sendiri karena harus bertemu lagi dengan sang nemesis. Bagi Aulia, tujuh tahun yang lalu, di saat pengumuman kelulusan berlangsung dan dirinya dinyatakan lulus, cewek itu mendesah lega dan mengucapkan syukur kepada Tuhan karena bisa berpisah dengan Setyo. Untungnya, cowok itu memilih untuk kuliah di luar kota—ditilik dari salah satu teman sekelas mereka.
“Kok muka lo bete?” tanya Setyo. Cowok itu menyilangkan tangannya di depan d**a dan melirik Aulia yang nampak cemberut. Tak lama, Setyo melihat Aulia kembali duduk di kursinya. Di mata Setyo, Aulia masih sama seperti yang terakhir kali cowok itu lihat tujuh tahun yang lalu saat pengumuman kelulusan.
“Hal terakhir yang mau gue lakuin adalah bertemu dengan lo, Setyo. Lo adalah manusia terakhir yang ingin gue temui di muka bumi ini. Mendengar pernyataan gue barusan, harusnya lo bisa menyadari kalau gue sangat membenci lo dan pertemuan kita saat ini setelah tujuh tahun lamanya kita nggak ketemu. For God’s sake, ini kutukan untuk gue namanya.” Aulia melirik ke arah orang di samping Setyo dan tersenyum tipis. Dia, Satria Mandala, teman sekelasnya sekaligus sahabat terdekat Setyo, balas tersenyum sambil mengangkat sebelah tangan untuk menyapa dan berkata ‘halo’ tanpa suara.
“Itu ucapan terima kasih yang gue dapat dari lo setelah gue membantu lo, Aul?”
“Don’t call me that, you jerk. Lo dan gue nggak sedekat itu sampai-sampai lo mengira lo bisa memanggil nama kecil gue, Set.”
Alis Setyo terangkat satu. “Terus, gue harus manggil lo apa? Nama lo Aulia, kan?”
“Then call me that.”
“Kepanjangan. Mulut gue capek kalau harus manggil lo dengan nama itu. So, just Aul.”
Dasar cowok minta digampar!
Setyo menarik kursi di hadapan Aulia dan duduk tanpa meminta izin terlebih dahulu. Bagi Setyo, ini tempat umum. Dia bebas duduk di mana pun dia mau, terlebih orang yang saat ini duduk di hadapannya adalah orang yang dia kenal, walau yang bersangkutan sangat ingin menendangnya ke luar. Tapi, Setyo juga yakin Aulia tidak akan mencari ribut dengannya atau memancing perhatian dari para pengunjung yang lain.
Tidak setelah apa yang baru saja cewek itu dapatkan.
“Jadi, sekarang lo alih profesi menjadi seorang pelakor? Gue nggak menyangka cewek baik di seantero sekolah dulu ternyata menjadi seorang pelakor sekarang.” Setyo berkata dengan nada datar.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Aulia berdecak jengkel. Cewek itu menendang tulang kering Setyo dari bawah meja hingga Setyo menunduk untuk mendesis dan meringis karena rasa sakit pada tulang keringnya tersebut. Di samping Setyo, Satria hanya bisa tertawa dan menggeleng. Tertarik dengan pertengkaran Setyo dan Aulia yang baru dia lihat lagi setelah tujuh tahun berlalu.
“Udah nggak butuh mulutnya, ya? Minta dijahit itu mulut?” tanya Aulia dengan nada sarkas dan jengkel luar biasa. Setelah tujuh tahun berlalu, cowok sialan di hadapannya ini tidak pernah berubah. Selalu berhasil membuatnya darah tinggi.
“Then explain. Kenapa cewek tadi marah-marah sama lo dan lo hanya diam?” Setyo menunjuk Aulia. “Itu hanya memberikan kesan kepada gue, kepada semua orang, kalau lo merebut cowoknya. Omong-omong, cowok itu hanya diam, loh. Dia menatap lo dengan tatapan meminta maaf, tapi nggak bersuara sama sekali.”
Aulia mendengus. “Gue hanya malas cari ribut. Terserah cewek itu mau berpikiran apa tentang gue, gue nggak peduli. Dia terlalu jealous sama gue karena gue sangat dekat dengan cowoknya. Well, gue dan cowok itu sudah bersahabat sejak zaman kuliah. Kurang lebih sejak semester tiga. Wait, why did i tell you about this story?”
Setyo menyeringai. “Karena lo berutang budi sama gue?”
“Keep dreaming.” Aulia mengibaskan sebelah tangan.
“Well, for me, it means that the perfect girl from my high school turn into the bad girl.”
“Screw you, Set. I don’t need your opinion, jerk.”
Setyo tertawa hambar dan mendengus keras. “Some mouth you have there.”
“Thank you.”
“Anytime.”
Satria ikut tertawa bahkan sampai memukul meja di hadapannya. “Gue nggak tau kalau kalian berdua sanggup melontarkan kata-kata sarkas seperti ini.”
Kening Aulia mengerut. “Sat, lo kan saksi hidup betapa gue dan cowok sialan di samping lo itu selalu bertengkar dulu. Masa dengar kami saling melempar kata-kata nyelekit seperti ini lo langsung takjub?”
“Hmm... mungkin karena gue baru ngeliat lagi untuk yang pertama kali setelah tujuh tahun nggak ketemu?” Satria menjentikkan jari. “Karena ini reuni setelah sekian lama kita nggak pernah ngasih kabar, gimana kalau kita bertiga menghabiskan waktu seharian ini untuk makan atau nonton?” Cowok itu melirik piring berisi nasi goreng yang hanya tersentuh sedikit dan gelas berisi es teh manis. “Lo udah makan?”
“Tadinya lagi makan, tapi mendadak nafsu makan gue hilang setelah kejadian tadi dan ketemu sama setan di depan gue ini.” Aulia menarik napas panjang dan memakai tas selempangnya. Cewek itu lantas berdiri. “Sori, Sat. Gue mau pulang aja.”
“Kenapa?” tanya Setyo dengan nada tegas. “Karena ada gue, jadi lo menolak ajakan Satria untuk ngumpul? Kalau gue nggak ada, lo pasti mengiyakan ajakan Satria, kan?”
Aulia melirik jengkel Setyo. “Tolong jangan pasang nada suara dan wajah seolah-olah lo cemburu sama Satria dan gue, Set. Disgusting, you know? Gue udah nggak mood di sini. Gue mau pulang, mandi, tidur. Puas?”
Setyo tidak membalas ucapan Aulia. Tadinya, dia hanya ingin mengobrol dan menghabiskan waktu bersama sahabat dekatnya sejak zaman SMA, Satria. Tunggu, jangan berpikir yang macam-macam terlebih dahulu. Dia masih normal dan masih menyukai cewek, kok. Hanya saja, Setyo merasa senang bisa kembali ke Jakarta karena pekerjaannya dipindahkan ke kota kelahirannya ini. Semenjak memutuskan untuk kuliah di luar kota, Setyo tidak pernah sekali pun menginjakkan kakinya lagi di Jakarta bahkan hanya untuk sekedar liburan. Ketika teman-teman SMA-nya mengadakan acara buka puasa bersama atau reuni pun, Setyo tidak pernah hadir. Itulah kenapa dia langsung mengajak Satria untuk bertemu.
Tidak disangka, tadi dia melihat Aulia. Nemesisnya semasa SMA itu sedang berhadapan dengan sepasang kekasih dan sepertinya sedang berada dalam masalah. Terbukti dari cewek di depan Aulia tadi yang mengeluarkan kata-kata penuh amarah dan emosi bahkan sampai menunjuk-nunjuk wajah Aulia segala. Sialnya, meski sudah diperlakukan seperti itu, Setyo melihat Aulia tetap diam di tempatnya, bersedekap dan menatap malas ke arah cewek tersebut.
Tanpa pikir panjang, Setyo langsung menghampiri Aulia dan merangkul pinggangnya. Aulia nampak kaget luar biasa, Setyo bisa melihatnya. Terbukti dari gestur tubuh cewek itu yang berubah kaku dan wajah serta tatapan mata yang menyiratkan keterkejutan. Mata cokelat terang bulat Aulia semakin membulat, membuat Setyo nyaris tertawa karena wajah cewek itu berubah menjadi lucu sekali.
“Sori, apa kalian punya urusan sama cewek gue?” tanya Setyo kala itu. Bisa dia lihat wajah dan tatapan cowok di hadapannya terlihat kaget, begitu juga dengan cewek di samping cowok tersebut.
Aulia hanya mengerjap dan ingin melepaskan diri dari rangkulan Setyo, tapi cowok itu tidak mengizinkan. Setyo justru semakin menarik tubuh Aulia mendekat ke arahnya dan mengeratkan rangkulannya pada pinggang Aulia.
“Lo cowoknya?” tanya cewek di hadapan Setyo dan Aulia. Perhatian Setyo kini kembali mengarah pada cewek tersebut.
“Ya.” Setyo mengangguk. “Ada masalah?”
“Kalau begitu, tolong nasihatin cewek lo ini supaya jangan mendekati cowok gue lagi. Sebentar lagi, gue dan cowok gue akan bertunangan, jadi tolong jangan coba-coba merebut perhatian cowok gue.”
Setyo mengangkat satu alis dan menatap Aulia yang tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Cewek itu masih sama seperti dulu. Apa pun yang Aulia pikirkan dan rasakan pasti akan tergambar jelas di kedua mata dan wajahnya.
“Kamu mau merebut cowok itu dari pacarnya?”
Aulia sebenarnya risih mendengar kata ‘aku-kamu’ yang keluar dari mulut Setyo. Tapi, cewek itu merasa dia harus mengikuti permainan Setyo. “Masa kamu percaya sama ucapannya?”
Setyo tersenyum lembut sekali, membuat Aulia mengerutkan kening. Tatapan mata Setyo pun terlihat teduh, menenangkan seperti angin sore yang berhembus sepoi-sepoi. “Jelas... nggak. Aku percaya sepenuhnya sama kamu, kok.”
“Bagus.”
Setyo kembali menatap sepasang kekasih di hadapannya. “Cewek gue bilang, dia nggak berusaha untuk merebut pacar lo. Jadi, yang salah di sini adalah lo.”
“Apa?!”
Setyo menyeringai misterius. “Kecemburuan adalah salah satu hal yang menggambarkan ketidakpercayaan diri. Berarti, lo nggak percaya diri dengan hubungan lo bersama pacar lo itu. Kalau lo percaya diri dan percaya sama hubungan kalian, lo pasti nggak akan merasakan kecemburuan seperti ini.”
Cewek itu hanya diam dan menatap tajam ke arah Setyo juga Aulia. Tanpa basa-basi, dia mengajak pacarnya—sahabat Aulia sejak zaman kuliah itu—pergi dari hadapan keduanya.
“Aul.”
Panggilan bernada tegas itu membuat Aulia yang sudah mencapai pintu keluar terpaksa menghentikan langkahnya. Masih dengan tatapan dan wajah bete yang sama, cewek itu menoleh untuk menatap Setyo yang baru saja memanggilnya. Kemudian, Setyo mendekatinya dan sudah berdiri di hadapannya.
“Apa?” tanya Aulia malas.
“Lo benar hanya bersahabat dengan cowok tadi?”
Kedua bola mata Aulia berputar jengkel. “Sekarang lo mau ikut menuduh gue juga, seperti yang dilakuin sama Eri?”
“Eri?”
“Cewek tadi.” Aulia mendengus. “Namanya Eri. Dua bulan lagi, dia akan bertunangan dengan sahabat gue, Irgi.”
“Gue bukannya menuduh. Gue hanya memastikan.” Setyo menjelaskan. “Gue akan sangat bersyukur kalau lo memang mau merebut cowok bernama Irgi tadi, loh.”
Kening Aulia mengerut.
“Karena dengan begitu, gue bisa merusak reputasi lo sebagai cewek terbaik sepanjang sejarah SMA Hanamasa.”
Dengan senang hati, Aulia kembali menendang tulang kering Setyo sampai cowok itu mengaduh dan mengumpat keras, kemudian menunduk untuk mengusap tulang keringnya. Cowok itu mendongak, menatap galak Aulia yang dibalas dengan tatapan datar oleh cewek berambut sebahu itu.
“Just go and rot in hell, you jerk!”
Dari tempatnya, Satria terbahak seraya memukul meja berulang kali.
###
“Lo ketemu Setyo?”
Aulia mengangguk malas dan mengambil lagi keripik singkong balado yang berada di atas meja. Cewek itu mengangkat sebelah tangan untuk menyapa Bagus dan Daffa yang baru saja datang ke rumah Dida. Saat ini, Aulia sedang melakukan inspeksi mendadak ke rumah sahabat terdekatnya itu. Yang dimaksud inspeksi di sini adalah mendatangi Dida dan berkeluh kesah mengenai apa pun.
“Gue harus mandi tujuh kembang sepulang dari sini kayaknya, Da,” sahut Aulia bete. “Karena berurusan dengan si kunyuk Setyo nggak pernah membawa manfaat atau keberuntungan bagi gue sejak dulu.”
“Setyo?” Bagus mengambil kue kering cokelat berbentuk bulat di samping keripik singkong balado.
“Nemesisnya Aulia semasa SMA,” jawab Selvi sambil terkekeh geli. Cewek itu sahabat terdekat Aulia yang lain dan juga pacar dari Bagus. Sementara Daffa adalah pacar dari Dida. Di dalam lingkup persahabatan antara Aulia, Selvi dan Dida, memang hanya Aulia yang masih single.
“Dan dia bantuin lo dari amukan Eri yang nggak sengaja ketemu sama lo di mall tadi?” tanya Daffa. Keempat orang itu memang sudah tahu mengenai masalah Aulia dengan cewek bernama Eri alias calon tunangan dari sahabat Aulia semasa kuliah dulu, Irgi.
“Iya,” dengus Aulia. Cewek itu meminum es jeruknya dengan satu kali tegukan. “Dan kalian semua tau apa yang Setyo bilang tadi sebelum gue pergi?”
Keempat orang di hadapan Aulia saling tatap dan beralih menatap Aulia dengan tatapan ingin tahu.
“Dia bilang, dia berharap gue benar-benar merebut Irgi dari Eri karena dengan begitu, dia bisa merusak reputasi gue.”
“Kok songong?” celetuk Dida. “Perlu kita labrak?”
“Gue bisa mengatasi Setyo sendiri, Da.” Aulia mengibaskan sebelah tangan. “Tapi, terima kasih buat tawarannya. Nanti kalau situasi mulai nggak terkontrol, gue minta tolong bodyguard kalian berdua buat bikin Setyo babak belur, ya?”
Bagus dan Daffa tertawa dan mengacungkan jempolnya. Meski kedua sahabatnya sudah memiliki pacar, Aulia bersyukur karena dia masih diperhatikan oleh mereka semua. Keempatnya tidak cuek padanya dan selalu mengajaknya setiap kali mereka ingin jalan-jalan. Meski begitu, ada kalanya Aulia merasa tidak enak hati karena harus ikut dengan keempatnya terus-terusan.
Ah, mungkin gue sebaiknya cepat cari pacar. Tapi, gimana bisa gue cari pacar kalau gue aja masih terus ingat sama dia?
“Lo nggak ada niat cari pacar gitu, Aul?”
Pertanyaan Selvi yang tiba-tiba dan sama dengan pikirannya barusan membuat Aulia mengerjap. Cewek itu tersenyum dan kembali melahap keripik singkong balado kesukaannya itu.
“Niat ada. Tapi, belum ada yang cocok dan pas menurut gue.”
“Alasannya memang itu atau karena lo... belum bisa move on dari Elios?”
Aulia diam. Cewek itu menatap datar keripik singkong balado yang berada di atas meja. Seharusnya move on adalah perkara gampang bagi Aulia karena dia memang tidak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Elios. Dia dan Elios hanya berteman biasa, itu saja. Elios pun sudah memiliki pacar. Tapi, ada kalanya Elios bersikap lebih dari sekedar teman kepada Aulia dan hal itu membuat perasaan Aulia tidak menentu.
Lalu, tahu-tahu saja, Aulia mulai menyukai Elios. Setelah lulus kuliah, Aulia dan Elios tidak pernah bertemu dan berkomunikasi lagi. Semua tentang Elios seolah hilang begitu saja. Bahkan teman-teman Elios pun tidak ada yang tahu di mana keberadaan cowok itu. Apa dia sudah bekerja atau mungkin sudah menikah dengan pacarnya semasa kuliah tersebut dan sudah memiliki anak.
Mengingat Elios lagi membuat d**a Aulia sesak dan dia ingin sekali menangis. Akhirnya, cewek itu mendesah keras dan bersandar pada sandaran sofa.
“Nggak tau. Gue sendiri bingung sama perasaan gue ini.”
Selvi, Dida, Bagus dan Daffa kembali saling tatap. Keempatnya tersenyum tipis ke arah Aulia dan cewek itu kini sudah dikelilingi oleh kedua sahabatnya. Kemudian, Bagus menjentikkan jari dan tersenyum lebar. Berharap informasinya ini akan membuat keadaan yang sempat canggung menjadi normal kembali.
“Da, sori kalau gue lupa kasih tau,” katanya semangat. “Gue tadi ditelepon sama sohib gue semasa kuliah. Dia mau ajak ketemuan karena katanya dia mau ngenalin gue sama temannya. Cuma, karena gue udah bikin janji duluan untuk nongkrong sama kalian semua, gue nyuruh dia untuk ke sini. Nggak apa-apa, kan? Siapa tau, sohib gue itu bisa bikin Aulia semangat.”
Aulia melirik Bagus dengan lirikan malas. “Lo mau comblangin gue sama sohib lo maksudnya?”
“Exactly!”
“Thanks, but i’m not interested.”
“Oh, ayolah. Kenalan aja dulu. Dia orangnya baik, kok. Pekerjaannya juga bagus dan ganteng juga. Lo pasti bisa ngelupain Elios dalam waktu dekat. Nah, itu ada suara motor. Dia pasti udah sampai. Sebentar, biar gue tengok ke depan.”
Sepeninggal Bagus, Aulia memusatkan perhatiannya pada ponsel dan membuka akun sosial medianya. Selvi dan Dida sudah mengobrol mengenai acara liburan mereka berlima yang akan diadakan minggu depan, sedangkan Daffa asyik menyantap kue keju yang dibuat Dida tadi pagi.
Suara-suara orang mengobrol mulai terdengar. Perhatian Selvi, Dida dan Daffa teralihkan, kemudian Selvi dan Dida tersentak. Kedua cewek itu meringis aneh dan menoleh untuk menatap Aulia yang masih fokus pada ponsel di tangannya.
“Aul, sori. Gue sama sekali nggak tau kejadiannya bakalan begini, loh.”
Permintaan maaf Bagus membuat kening Aulia mengerut. Baru saja dia akan bertanya apa maksud kalimat Bagus, cewek itu mengerjap dan mendesah keras.
“Yo! Takdir yang kejam, bukan? Senang bertemu dengan nemesis gue lagi di sini.”
Setyo Rajawali berdiri di tengah ruangan, tersenyum menyebalkan ke arah Aulia sambil mengangkat sebelah tangannya ke udara.
“Gue benar-benar dikutuk,” gerutu Aulia.
###
“Gue nggak tau kalau lo kenal dengan sahabatnya Satria.”
Aulia melirik sekilas dan kembali fokus pada ponsel di tangannya. Cewek itu sedang membalas pesan singkat dari kakaknya—Petra.
“Gue juga baru tau kalau Bagus bersahabat dengan Satria. Seandainya gue tau dari awal kalau Satria adalah sahabat Bagus dan akan datang ke rumah ini bersama lo, mungkin gue akan pulang sebelum lo dan Satria datang.”
Setyo menyeringai. “Heh, segitu bencinya lo sama gue, Aul?”
“Sangat.” Aulia mengangguk tegas. “Sejak SMA. Kebencian gue nggak pernah berkurang barang satu persen pun, Setyo Rajawali.”
Setyo mendesah panjang dan bersandar di sofa. Teman-teman mereka yang lain sedang sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Karena Aulia sedang tidak mood untuk melakukan apa pun, cewek itu meminta maaf dan meminta kepada yang lainnya supaya diizinkan untuk tidak ikut membantu di dapur. Sialnya, Setyo justru memutuskan untuk duduk di samping Aulia dan malah membuka percakapan.
Apa cowok ini nggak tau kalau gue sangat malas berkomunikasi dengan dia?!
“Apa lo tau pepatah yang mengatakan kalau sekat di antara benci dan cinta itu teramat tipis, Aulia Sistine?” tanya Setyo dengan nada menerawang. Cowok itu melirik Aulia sekilas. Seperti yang bisa Setyo duga, Aulia sama sekali tidak menaruh perhatian kepadanya. Aulia sibuk dengan ponselnya sendiri. “Kalau lo terlalu benci sama gue, lo akan berakhir mencintai gue, loh.”
“Kalau itu terjadi, gue akan bunuh diri. Jadi, lo tenang aja, Set. Gue nggak akan jatuh cinta sama lo dan lo juga nggak akan jatuh cinta sama gue, bukan? Seandainya gue mulai merasakan hal-hal yang mengarah kepada cinta terhadap lo, gue akan langsung mencabut nyawa gue sendiri.”
Selanjutnya, Aulia terkesiap ketika pergelangan tangannya ditarik paksa dan tahu-tahu tubuhnya sudah membentur tubuh Setyo yang berada tepat di sampingnya. Mata cowok itu menajam, menyusup masuk ke dalam dunia Aulia. Aulia sendiri hanya bisa membulatkan mata cokelat terangnya dan menelan ludah. Heran dengan sikap Setyo saat ini.
“A—apa yang lo lakuin sekarang?” tanya Aulia. Detik berikutnya, cewek itu mengumpat dalam hati saat menyadari suaranya terbata ketika berbicara barusan.
“Lo boleh membenci gue, tapi gue nggak akan pernah membiarkan lo untuk bunuh diri hanya karena gue, Aulia Sistine.”
Lagi, Aulia menelan ludah. “Itu hanya perumpamaan. Maksud gue, gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo.”
Setyo mengendurkan cengkraman tangannya pada pergelangan tangan Aulia tapi tidak benar-benar melepaskan. Cowok itu tetap memberikan tatapan tajam dan tegasnya pada Aulia, kemudian mulai membiarkan Aulia menjauh darinya. Atmosfer yang tercipta mulai terasa canggung. Dan Aulia langsung memanjatkan doa penuh rasa syukur di dalam hati ketika ponselnya berdering.
“Halo?” sapa Aulia dengan suara yang diusahakan terdengar senormal mungkin. Dia melirik Setyo sekilas dan cowok itu nampak diam sambil memerhatikan acara televisi.
“Halo, Aul? Mau pulang jam berapa dari rumah Dida?” tanya Petra Ryonaldi, kakak kedua Aulia. “Mau dijemput sama Kak Putra, nggak?”
Aulia nampak berpikir. Putra Ryonaldo adalah kakak pertamanya sekaligus kakak kembar dari Petra Ryonaldi. Keduanya berusia tiga puluh tahun sekarang dan masih single. Alasannya sih karena masih ingin menikmati masa muda dan sedang berada di puncak karir sebagai seorang model iklan.
“Kak Putranya sibuk apa nggak?” tanya Aulia. Matanya otomatis melirik ke arah Setyo ketika dia merasa ada gerakan di sampingnya. Meski terlihat seperti sedang menonton televisi, tapi Aulia yakin Setyo sedang mencuri dengar pembicaraannya. “Kalau Kak Putra sibuk, aku pulang sendiri juga nggak apa-apa, kok.”
“Kak Putra lagi uring-uringan karena kamu nggak ada di rumah seharian ini. Dia bilang, dia udah kosongin semua jadwal pemotretan selama tiga hari demi main sama kamu di rumah, loh.”
Aulia langsung tertawa hambar dan mendengus. Kedua kakaknya itu memang terlalu protektif dan posesif kepadanya. Bahkan, banyak yang berkata kalau Putra dan Petra mengidap sindrom sister complex.
“Aku juga sama kayak Kak Putra, Aul. Pokoknya, besok kamu harus di rumah main sama kita seharian. Masa aku berdua sama Kak Putra doang di rumah? Nggak asyik kalau kamu nggak ada.”
“Iya, demi kalian, deh.” Aulia tertawa juga pada akhirnya. Tawa lepas, tawa yang terlihat cantik. Dan Setyo melihatnya. Cowok itu mengembangkan senyumannya meski terlihat tipis dan samar. “Kalau gitu, aku pulang habis makan malam. Kak Putra sendiri yang bakal jemput aku?”
“Of course... not! Aku juga bakalan ikut. Oke, deh. See you later my cute little sister. I love you. I miss you so much!”
“Love you too. Bye, Kak Petra.”
Selesai berbicara dengan Petra, Aulia menoleh. Dia menoleh karena merasa diperhatikan oleh Setyo. Benar saja, cowok itu sedang bersedekap sambil menghadapkan tubuhnya ke arah Aulia.
“Apa?” tanya Aulia datar.
“Siapa tadi?”
“Urusannya sama lo apa?”
Setyo mengedikan bahu. Dia tidak terlalu tahu silsilah keluarga Aulia karena cewek itu jarang membicarakan tentang keluarganya. Teman-teman cewek itu semasa sekolah dulu pun sangat penasaran dengan keluarga Aulia. Apakah cewek itu memiliki kakak atau adik. Setiap pembagian raport pun, Aulia selalu mengambilnya sendiri.
“Hanya sedang menebak-nebak, apakah yang menelepon tadi dan orang yang lo sebut Kak Putra adalah cowok-cowok simpanan lo, selain cowok bernama Irgi tadi.”
Sialan!
“Like i said before, just go and rot in hell, Setyo!” Aulia bangkit dan melempar bantal sofa ke muka Setyo. Ketika cewek itu pergi, Satria baru saja kembali dari dapur bersama dengan Bagus. Keduanya menatap Aulia yang menggerutu dan mendumel tidak jelas sambil berjalan ke dapur dan Setyo yang mendengus sambil melempar bantal sofa ke samping.
“Lo berdua berantem lagi, Set?” tanya Satria takjub.
“Gue nanya baik-baik, siapa orang yang nelepon dia dan orang bernama Putra yang dia panggil kakak tadi, tapi dia malah marah dan kabur. Rese emang itu cewek!”
“Putra?” ulang Satria sambil menaruh piring berisi pasta ke atas meja. “Ah, Kak Putra maksudnya?”
Kening Setyo mengerut. “Lo kenal?”
Satria mengangguk. “Kakaknya Aulia. Putra Ryonaldo dan Petra Ryonaldi. Kembar. Usia tiga puluh tahun. Model terkenal. Gue pernah ketemu dan kenalan pas SMA dulu.”
“Di saat nggak ada satu orang pun teman sekolah kita yang tau soal silsilah keluarga Aulia? Dan lo mengetahuinya? Hebat banget.” Setyo tersenyum sinis.
“Nggak sengaja,” sahut Satria santai dan balas tersenyum. “Lagian, Selvi dan Dida juga tau soal kakaknya Aulia yang kembar itu, kok. Jadi, bukan hanya gue, melainkan kita bertiga. Aulia nggak mau cerita karena waktu itu kedua kakaknya juga udah jadi model. Dia malas jadi pusat perhatian.”
“Hmm, gitu?” Setyo menatap tegas Satria, tapi yang ditatap hanya mengangguk dan tersenyum santai. Hanya Bagus yang bisa membaca situasi dan menarik napas panjang sambil memijat pelipisnya.
Satria, lo terlalu cuek dan nggak peka dengan sekitar. Siap-siap lo jadi korban pembunuhan Setyo.