Ellina menatap papan tulis lalu beralih pada sosok guru yang baru saja mengajar. Alvian dan Aaric bahkan terlihat acuh meski sang guru masih di dalam kelas. Sejak istirahat pertama tadi, Alvian dan Aaric duduk tak jauh dari Ellina. Pandangan murid di dalam kelas kian berubah pada Ellina. Pasalnya dua Pangeran tampan itu terkenal cuek namun memiliki kepandaian diatas rata-rata dan selalu duduk di bangku depan kini berpindah duduk di belakang dan tak jauh dari murid baru.
Ellina mendesah lalu menundukkan kepalanya saat pandangannya bertemu dengan guru tersebut. Sebuah senyum yang terukir di bibir guru tersebut membuat beberapa siswa mengidolakan sang guru. Livian Agler, atau Pak Livian, begitulah para murid memanggilnya.
"Ellina Aracelia Azzuri," panggil Livian cukup keras.
Ellina sontak langsung berdiri dari duduknya. "Ya, Pak."
"Karena kamu anak baru, saya butuh beberapa nilai dari sekolah lamamu. Atau begini saja, katakan pada Kakakmu untuk menyerahkan lapor sekolah lamamu yang masih tertinggal."
Ellina mengangguk. "Akan Ellina sampaikan, Pak."
Livian tersenyum dan menatap semua muridnya. "Baiklah, jam pelajaran selesai. Sampai bertemu di pelajaran selanjutnya."
"Yahhhh," suara desahan kecewa dari beberapa anak perempuan terdengar jelas.
Sedangkan Alvian dan Aaric langsung menutup buku di mejanya dan berteriak senang.
"Kita pulang...!" teriak Alvian keras.
"Kau saja yang pulang!" sambung Aaric.
Alvian menoleh. "Hei, kau sudah berjanji padaku untuk menemani pemotretanku hari ini."
"Aku tak berjanji. Kau sendiri yang memaksaku tanpa menunggu persetujuan dariku," Aaric begitu tak peduli pada wajah Alvian yang menahan kesal.
"Pulang yuk," Lexsi sudah menenteng tasnya dan menghampiri Ellina.
Valerie dan Ariela ikut datang.
"Jam terakhir kosong, karena masih sore, bagaimana jika berkumpul dirumahku?" Ariela menawarkan rumahnya sambil tersenyum lembut.
Lexsi langsung menyambut hangat ajakan Ariela. "Ide bagus,"
Valerie langsung mengangguk setuju. "Aku akan beli buah untuk acara perkumpulan kita yang pertama kali,"
Ariela langsung menarik tangan Ellina yang diam berpikir ragu. "Sudah, katakan saja iya. Aku akan tetap menculikmu dan memaksamu datang ke rumahku meski kau menolak berkali-kali."
Ellina hanya pasrah mengikuti langkah Ariela. Aaric dan Alvian yang mendengarkan percakapan mereka kini saling pandang. Alvian tersenyum dan langsung bangun dari duduknya.
"Hei, kalian." Alvian menunjuk Lexsi dan Valerie bergantian. Membuat Ariela dan Ellina ikut berhenti dan menatap Alvian.
"Hmm," jawab Lexsi dengan menaikkan satu alisnya.
Alvian tersenyum lebar. "Bolehkah kami bergabung?"
"Apa?" tanya Ariela tak percaya.
"Lupakan jika tak boleh," jawab Aaric cuek.
"Ah, tentu saja boleh. Pintu rumahku terbuka lebar untuk kalian," Ariela menjawab antusias dengan menepukkan kedua tangannya. Bagus, ini akan jadi berita besar disekolah. Para Pangeran tampan ini mengunjungi rumahku.
Alvian dan Aaric tersenyum lalu ikut berjalan di belakang mereka. Mereka turun dari lantai atas sekolah dan menuju tempat parkir. Ariela dan Valerie sudah mengendarai mobil mereka masing-masing. Ellina baru saja hendak masuk kedalam mobil Ariela, namun gagal saat tangan Aaric menarik tangan Ellina.
"Aku tak mau sendirian. Dan karena aku hanya mengenalmu diantara mereka, aku ingin kau menemaniku." Aaric yang datang kesekolah membawa motor menyerahkan sebuah helm pada Ellina.
Ellina menerima helm dari tangan Aaric dengan bingung. "Ta-tapi, mereka menungguku, Aaric."
"Sudahlah, kita kan juga akan pergi kerumahnya. Duduk saja di belakang," Aaric sudah mendorong tubuh Ellina hingga Ellina nangkring di motor Aaric.
Alvian yang datang dengan mobil mewahnya membunyikan klakson mobil berulang-ulang. "s****n kau! Aku kalah satu langkah darimu,"
Aaric yang mendengar dan melihat wajah Alvian dari kaca jendela hanya menjulurkan lidahnya. "Mengalah saja padaku, kau punya segudang fans yang menyukaimu," batin Aaric dalam hati.
Ariela yang melihat itu hanya tersenyum getir. Namun senyum itu kembali hadir saat mengingat dua Pangeran tampan itu akan mengunjungi rumahnya. Tak apa, itu sudah merupakan kemajuan besar. Aku hanya butuh sedikit pendekatan agar lebih akrab mengenal mereka.
Lexsi yang sudah naik di mobil Valerie melambaikan tangannya. "Jangan lupa permintaanku, Ellina...!" teriak Lexsi karena mobil Valerie telah mulai melaju.
Valerie mengikuti mobil Ariela dan Alvian. Untuk sesaat Valerie mengerutkan alisnya. Sedikit heran karena tenyata mobil Alvian selalu kearah yang benar. "Dari mana Alvian tahu rumah Ariela?" pikir Valerie dalam hati.
Aaric menjalankan motornya mengikuti mobil Valerie yang ada di depannya. Melirik Ellina sesaat dari kaca spionnya. "Aku tak akan bertanggung jawab jika kau tiba-tiba saja jatuh, Ellina. Pegangan erat-erat jika kau tak ingin jatuh,"
Aaric menambah kecepatan motornya hingga membuat Ellina menggenggam erat tali tas di kedua sisi pundaknya. Ia sama sekali tak ingin menyentuh Aaric ataupun berpegangan pada tubuh Aaric. Aaric tersenyum melihat itu semua. Bagaimana tidak? Saat para gadis rela mengantri untuk duduk bersamanya, menjadi kekasihnya, atau pun lebih, Ellina yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan itu semua malah seakan tak tertarik sama sekali.
"Menarik. Gadis yang benar-benar menarik." pikir Aaric dalam hati.
Lima belas menit kemudian motor Aaric berhenti disebuah minimarket. Ellina turun dengan cepat lalu melihat keadaan sekitarnya. Tak ada mobil Valerie, atau pun Ariela disini. Ellina menatap Aaric yang baru saja melepas helmnya.
"Ada sesuatu yang harus kucari. Kau ingin masuk atau tunggu disini?" Aaric menatap Ellina yang terlihat bingung dengan melepaskan helm di kepalanya. Aaric membantu melepaskan helmnya dan tertawa kecil. "... kau belum pernah naik motor sebelumnya?"
Ellina menggeleng. "Terakhir kali saat umurku tujuh tahun. Terimakasih,"
Aaric mengangguk. "Mau ikut kedalam?" tawar Aaric lagi dengan mata mengarah ke minimarket.
Ellina lagi-lagi menggeleng. "Aku tunggu disini saja."
"Baiklah. Jangan takut, aku tak akan lama," ucap Aaric sebelum melangkah meninggalkan Ellina.
Ellina bersandar di motor Aaric dan menatap sekitarnya. Merasakan udara yang menyapa lembut kulitnya. Perlahan suara-suara mulai terdengar tajam meski jaraknya sangat jauh. Ellina menatap kesamping, menatap jauh pada beberapa kumpulan orang yang tengah bertengkar. Perlahan semua suara-suara kian menajam di telinga Ellina. Bahkan Ellina tahu bahwa langkah Aaric mulai keluar dari minimarket. Untuk pertama kalinya, kekuatan pendengaran Ellina dari darah vampire mulai keluar kepermukaan. Meski Ellina belum menyadari itu semua, dengan pelan tapi pasti semua keadaan dalam tubuh Ellina akan mulai berubah.
"Hei,"
Ellina berjengkit kaget saat tangan Aaric menepuk pelan pundaknya.
"Apa yang kau lihat?" Aaric mengikuti arah pandang Ellina.
"Sudah? Ayo pergi, mereka menunggu kita," Ellina mengalihkan pembicaraan karena merasa tak yakin pada pendengarannya.
Aaric mengangguk dan memakaikan helm di kepala Ellina. Lalu setelah dirinya memakai helm dan memastikan bahwa Ellina telah duduk di belakangnya, Aaric mulai melajukan motornya. Meninggalkan minimarket dan terus berjalan lurus. Sepuluh menit kemudian motor Aaric berhenti, Aaric menatap bingung sekelilingnya karena mulai mencari jejak Alvian.
"Kenapa?" tanya Ellina ingin tahu.
"Kita tersesat,"
Seketika wajah Ellina memucat. Ellina turun dan mulai bingung. Pandangannya ikut menelusuri daerah sekitar. Sedangkan Aaric memfokuskan indra penciumannya. Jiwa serigalanya timbul dan mulai mencari tahu keberadaan Alvian.
"Kita hanya salah arah. Naiklah, kita akan sampai sebentar lagi."
"Ba-bagaimana kau tahu?" tanya Ellina penasaran.
"Karena memang tahu," jawab Aaric cepat.
Motor Aaric mulai berputar dan kembali kearah yang menurutnya benar. Hingga sepuluh menit kemudian Aaric dapat melihat mobil Alvian dan Valerie yang terparkir dirumah besar nan mewah. Aaric ikut memakirkan motornya dan langsung disambut oleh Alvian, Valerie, Lexsi dan Ariela.
"Kenapa kalian lama sekali?" tanya Alvian ingin tahu.
"Ellina, kau baik-baik saja?" Lexsi maju dan menyentuh tangan Ellina karena merasa khawatir. Ellina mengangguk untuk menjawab bahwa ia baik-baik saja.
"Kami tersesat," jawab Aaric dingin.
Mata Alvian membulat tak percaya lalu menatap tubuh Ellina dari atas hingga bawah. "Ellina, kau baik-baik saja? Apa temanku yang bodoh dan b******k ini melakukan sesuatu padamu? Katakan padaku, maka aku akan menghajarnya untukmu."
Pletakk! Aaric langsung memukul kepala Alvian. "Teman bodoh dan b******k kau bilang? Lihatlah siapa yang bicara ini? Aku tak akan membantumu jika para media dan wartawan datang mencarimu kesekolah,"
Alvian langsung menoleh pada Aaric. "Hei, ayolah kawan. Siapa lagi yang akan membantuku?"
Ellina, Lexsi, Valerie dan Ariela tersenyum melihat wajah Alvian yang menggemaskan. Sedangkan Aaric seakan tak peduli pada rengekan permintamaafan Alvian. Semua mulai masuk kerumah Ariela. Tertawa dan bercanda bersama. Hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat.
***
Dilain tempat, Kenzie menatap taman bunga yang tengah bermekaran di depan rumahnya. Melihat daun-daun berguguran dengan pelan. Kenzie melangkah menyusuri taman dan duduk disalah bangku taman. Menengadahkan wajahnya dan terpejam pelan. Merasakan bunga-bunga yang berguguran menerpa wajahnya. Angin berhembus pelan membuat semua suasana kian menyejukkan. Kenzie menghirup dalam udara tersebut dan merasakannya. Detik berikutnya mata Kenzie terbuka cepat. Jantungnya berpacu cepat, dengan refleks Kenzie berdiri dari duduknya.
"Queen," ucap Kenzie pelan.
Kenzie dengan cepat menatap sekitarnya. Merasakan udara yang berhembus jauh. Udara yang membawa aroma tubuh Ellina. Kenzie menatap nanar karena tak dapat menemukan Ellina di sekitarnya, dengan pelan Kenzie memegang dadanya.
"Rasa dan aromamu masih sama. Tunggu aku, Queen. Aku akan mencarimu hingga aku menemukanmu."
Ernest dan Lykaios yang sedang berdiri di teras dengan santai mulai berdiri saat melihat pergerakan Kenzie yang tiba-tiba. Ernest membelalakan kedua matanya karena untuk sesaat merasakan energi kehidupan dari Ellina. Perlahan satu titik air mata Ernest menetes pelan.
"Yang Mulia Ratu telah ada didunia ini."
Lykaios menatap tak mengerti perkataan Ernest. Namun saat melihat ada air mata yang jatuh di sudut mata Ernest, Lykaios menepuk pelan bahu Ernest.
"Semua akan baik-baik saja kan?"
Ernest mengangguk. "Pergilah bersama Yang Mulia Lord. Aku perlu memastikan sesuatu."
Usai mengatakan itu semua, Ernest berlari dengan cepat menuju hutan belakang rumahnya. Terus berlari jauh dan semakin dalam menuju hutan kelam yang lama tak terjamah. Ernest berhenti dan menatap hutan rimbun di depannya. Tangan Ernest terulur pelan untuk memastikan sesuatu. Lima menit, sepuluh menit dan dua puluh menit kemudian. Sebuah sinar terang hadir membentuk sebuah portal tipis. Ernest tersenyum tipis dan memasukkan satu tangannya. Menyentuh cahaya tersebut dan lagi-lagi air matanya menetes pelan.
"Portal pembatas antara dunia manusia dan iblis baru saja terbuka."
Senyum Ernest kian lebar saat mengingat wajah Alvian, Aaric, dan Ellina. "Itu artinya mereka telah dibangkitkan kembali. Ratu, Alvian, dan Aaric, aku akan mencari mereka,"
Tak! Suara langkah kaki yang mematahkan beberapa ranting kayu membuat Ernest menoleh tajam. Perlahan Ernest menundukkan kepalanya saat melihat sosok yang baru saja datang.
"Yang Mulia," ucap Ernest pelan. Ernest mundur memberikan Kenzie ruang untuk melihat semuanya.
Kenzie maju dan menatap sinar di depannya. Tangannya terulur menyentuh portal tersebut. Perlahan kekuatan api hitam Kenzie terhubung dengan portal tersebut. "Aku, Kenzie Alexis Reegan sang Penguasa Kegelapan, membuka portal pembatas ini dengan sempurna. Terbukalah,"
Kilatan cahaya dan petir ringan dari kekuatan Kenzie mulai membuka portal tersebut. Perlahan cahaya itu hilang dan digantikan dengan portal tipis yang begitu kasat mata. Kenzie melangkah dan mulai memasuki portal tersebut, diikuti oleh Ernest dan Lykaios. Mereka disambut dengan lahan kosong yang penuh dengan udara panas. Perlahan ingatan Kenzie mulai berputar kebelakang, lalu dua sayap putih Kenzie hadir dan dengan mudahnya Kenzie terbang meninggalkan Ernest dan Lykaios.
Ernest menatap Kenzie yang terbang tinggi. Tak mencoba mengikuti Kenzie atau pun pergi dari posisinya. Saat ini Ernest begitu tahu apa yang Kenzie pikirkan. Namun saat Lykaios menepuk bahu Ernest dengan salah satu sayapnya, senyum Ernest pun melebar.
"Bukankah kita harus mencari keluarga kita yang hilang? Apa lagi yang kau tunggu?" Lykaios tersenyum lalu terbang mengikuti Kenzie.
Ernest ikut menghadirkan dua sayap hitam kecokelatan miliknya, mengikuti Lykaios dan Kenzie yang terbang lebih dulu. "Benar, aku hanya perlu menyatukan keluargaku."
Ernest turun saat melihat Kenzie dan Lykaios saling diam mematung menatap pemandangan di depan matanya. Pemandangan yang masih sama. Lahan hitam yang kosong dengan tumbuhan yang mengering. Lalu puing-puing Hyroniemus yang bahkan juga masih pada posisinya. Kenzie tersenyum getir dengan semuanya.
"Disini, aku mulai kehilangan Ratuku, kepercayaan klanku dan semua keluarga kecilku,"
"Yang Mulia," ucap Ernest dan Lykaios bersamaan.
Kenzie mengangguk mengerti. "Aku hanya sedih karena tak dapat melindungi semuanya, Avram."
"Kami akan mencari Yang Mulia Ratu dan menyatukan keluarga kecil kita, Yang Mulia." Ernest maju dan menundukkan kepalanya.
Kenzie tersenyum melihat keyakinan Ernest. "Benar. Dan aku tak akan membiarkan waktu berputar pada waktu yang sama. Aku tak akan membiarkan Ratuku mengalami semua hal yang menyakitkan untuknya. Aku lah yang akan bertanggung jawab atas semua pilihannya!"
"Yang Mulia," Lykaios merasa keberatan dengan pilihan Kenzie karena belum dapat mengingat semuanya.
"Lykaios, aku mengerti pikiranmu. Tapi ketahuilah, saat ini pilihanku adalah yang paling benar. Karena aku juga tak akan membiarkanmu mati untuk kedua kalinya."
Kenzie melangkah memasuki puing-puing kerajaan Hyroniemus yang masih tetap sama. Mencari sesuatu hingga ia percaya bahwa tak ada yang dapat ia temukan disini. Kenzie menatap Ernest dan Lykaios bergantian.
"Avram, aku ingin kau mengurus semua dokumen didunia manusia. Entah kenapa aku merasa Ratuku ada disana bersamaku."
"Dimengerti, Yang Mulia." Ernest menjawab patuh perintah Kenzie.
"Dan kau Lykaios. Aku ingin kau membangun kerajaan Hyroniemus beserta taman dan semua perlengkapannya. Tak usah kawatir, kau tak akan mengerjakannya sendirian."
"Dimengerti, Yang Mulia." jawab Lykaios patuh pada perintah Kenzie.
Kenzie mengulurkan tangannya dengan menggoreskan kukunya di urat nadinya. Perlahan darah Kenzie mulai jatuh bercucuran. Lalu Kenzie mengeluarkan sedikit kekuatannya dan mengarahkan pada darahnya yang ada diatas tanah. Saat mata Kenzie berubah merah, langit langsung gelap dengan petir yang saling bersahutan.
"Aku, Kenzie Alexis Reegan sang penguasa Kegelapan. Menginginkan kehidupan bagi para iblis yang aku bangkitkan dari darahku. Hiduplah dan patuh pada perintahku, pada pemilik darah dan nyawa mereka!"
Perlahan darah Kenzie bergelembung dan bergerak seakan hidup. Terangkat keatas dan bersatu dengan kegelapan langit dan semua petir yang saling bersahutan. Saat Kenzie menggenggam erat tangannya dan melepaskan kekuatan terbesarnya, darah-darah Kenzie saling terpisah dan mulai turun. Bersatu dengan api yang baru saja Kenzie ciptakan dan terbentuklah para iblis baru. Para iblis yang akan menjadi klan anggota Hyroniemus.
Kenzie tersenyum melihat iblis yang terus terbentuk dan semakin banyak. Dengan satu gerakan kompak, mereka bersujud di depan Kenzie.
"Hormat kami, Yang Mulia Raja Besar Reegan. Kami menunggu perintah dari Yang Mulia Raja Besar," ucap mereka secara bersamaan.
Senyum Kenzie semakin melebar. "Bangunlah kerajaan Hyroniemus dengan agung. Seperti namanya, Hyroniemus yang berarti Penguasa tertinggi dan termulia. Bangun dengan megah karena Hyroniemus merupakan kerajaan pemegang semua klan."
"Dilaksanakan Yang Mulia." jawab mereka kompak.
Kenzie bernapas lega dengan harapan tinggi yang ia miliki. "Saat aku menemukanmu, Queen. Aku akan membawamu pulang dan kita akan hidup bahagia disini, bersama keluarga kecil kita."
===================================