Tiga hari setelahnya. Shifa datang ke klinik tempat Aditya mengecek kesehatan. Ia menemui dokter bersama suami untuk melihat dan mempertanyakan hasil laboratorium yang dilakukan suaminya beberapa hari lalu.
Keduanya duduk di depan meja berhadapan dengan seorang pria berjas putih dengan kacamata bergagang hitam. Kedua tangan Shifa disandarkannya pada meja sembari fokus pada dokter yang sedang membaca beberapa lembar kertas di tangannya.
“Bagaimana, Dok?” tanya Shifa tak sabar.
Dokter itu meluruskan punggung, memajukan tubuh lebih dekat pada meja.
“Begini, Pak, Bu. Sesuai hasil laboratorium dan beberapa cek kesehatan lainnya menunjukkan jika suami Anda terkena pneumonia atau radang paru. Tetapi, kami juga menemukan gejala lain yakni TBC. Penyakit ini memang mirip dan biasanya tidak bersamaan seperti ini. Tapi ini kenyataannya.”
Dokter tersebut memberikan lembaran kertas hasil lab bersama dengan foto rontgen d**a Aditya.
Sepasang suami istri itu saling lirik dan menatap kertas-kertas itu.
Shifa menarik napas panjang ketika menerima sodoran kertas-kertas itu. Ia memang tak mengerti dengan bahasa dan istilah-istilah kedokteran yang dibacanya.
Akan tetapi, ketika menemukan banyak tulisan ‘positif’ pada kolom-kolom baris, ia paham jika itu adalah pertanda jika semua itu nyata.
“Jadi, apa suami saya perlu opname?”
Shifa melirik Aditya yang sibuk menstabilkan napas.
Sang dokter menggeleng dengan senyuman.
“Akan saya jelaskan tentang beberapa obat yang perlu dikonsumsi untuk kesembuhannya.”
“Obat jalan, Dok?” tanya Shifa.
“Ya, tentu saja. Kuncinya hanya satu, rutin.”
“Berapa lama?” Aditya mulai angkat bicara dengan suara seraknya. Menatap sang dokter.
“6-12 bulan hingga virusnya benar-benar mati untuk TBC-nya.”
Shifa mengangguk patah-patah mendapati kenyataan itu. Sedangkan Aditya hanya bisa pasrah dan mendengarkan penjelasan tenaga medis tersebut dengan saksama.
“Obat ini sedikit keras. Mungkin di awal konsumsi akan banyak keluhan dan rasa tidak nyaman. Efek pada setiap orang pun berbeda-beda. Tergantung kondisi tubuh dan tingkat keparahan penyakit. Jadi, jangan menyerah apa pun yang terjadi. Sebab, banyak pasien mengeluh ketika berada di posisi ini. Bahkan ada pula yang menyerah dan tak meneruskan. Terus saja konsumsi agar segera pulih.”
Penjelasan dari dokter hanya mampu membuat d**a Shifa terasa sesak. Ia membayangkan beberapa bulan ke depan. Bagaimana dirinya harus hidup dan berjuang untuk keluarganya.
Tak mungkin ia menuntut Aditya bekerja jika dalam kondisi seperti itu. Tentu ia juga tak akan sanggup memaksanya mengingat kondisi suaminya yang begitu lemah.
“Setiap pagi setelah bangun tidur. Konsumsi satu butir dua jam sebelum makan. Tidak boleh ada makanan apa pun yang masuk ke dalam perut sebelum Anda meminum obat ini agar kinerjanya lebih efektif. Paham?”
Keduanya mangut-mangut. Mendengarkan dengan saksama. Meski tentu saja pikiran Shifa semakin kacau. Kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan ‘Bisakah?’
Ia melirik suami dan dokter yang masih berbicara untuk menjelaskan secara lebih detail. Meski sudah paham, Shifa merasa semua omongan yang dikatakan dokter itu hanya masuk melalui telinga. Sementara hati dan otaknya serasa kosong.
Keduanya pun berpamit pulang setelah sang dokter selesai dengan penjelasannya.
Tepat di tempat parkir klinik, Aditya memasukkan kunci motor untuk distarter. Namun, tubuhnya hampir terhuyung ke kanan, jika saja Shifa tak bergegas menopang. Perempuan berhijab itu berdecap.
“Jangan maksa, Mas. Biarkan aku yang menyetir.”
Aditya menggeleng. Melepaskan pegangan Shifa dan kembali menegakkan tubuh lalu menyuruh Shifa untuk duduk di jok belakang.
“Aku masih kuat, jangan meremehkanku.”
Shifa mengembungkan pipi kesal. Masih berdiri di sampingnya berharap lelakinya itu berubah pikiran. Bahkan di saat seperti ini, Aditya masih saja keras kepala.
“Kau tak kan kehilangan marwahmu sebagai seorang lelaki meski aku yang berada di balik kemudi. Ini bukan tentang merendahkan posisimu, Mas. Tapi demi keselamatan kita.”
“Jangan banyak bicara. Cepat naik!”
Bola mata Shifa memutar ke atas. Dua belas tahun bersamanya, nyatanya tak bisa mengubah perangai sang suami yang selalu teguh dengan idealismenya itu. Terpaksa ia menuruti perintah suaminya sebagai bakti, meski dengan perasaan dongkol.
Motor pun melaju perlahan. Shifa hanya bisa berdoa dan terus berjaga jika sampai terjatuh. Kendaraan yang ditumpanginya itu mulai bergetar seiring tubuh Aditya. Meski demikian, pria yang duduk di depannya itu tetap acuh. Tak ingin direndahkan.
Hingga ketika berada di sebuah belokan, motor tiba-tiba oleng. Sepertinya tangan Aditya terlalu kaku untuk membelokkan setir motor. Keduanya terempas ke kiri jalan. Tepat pada rerumputan bahu jalan. Beruntung tak terlalu keras.
“Astaga ...!” Shifa memekik saat kakinya tertindih motor. Sedangkan Aditya jatuh agak jauh darinya, terpental ke depan.
Sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di belakang keduanya. Beberapa kendaraan lain pun turut berhenti untuk menolong keduanya. Jalanan menjadi tersendat dan sedikit macet pada bagian kiri.
“Adit, Shifa!” panggil seorang lelaki yang bergegas mendekat dari arah belakang.
Bersama beberapa orang lainnya, pria itu menarik dan mengangkat motor yang menindih tubuh Shifa. Lantas, membantunya berdiri dan menepi. Sementara Aditya ditolong oleh orang-orang lainnya.
“Dandy?” Shifa menyebut nama pria penolong yang mengangguk dan membantunya meluruskan kaki.
“Bagaimana bisa?” Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul dari mulut Dandy, membuat Shifa mengatupkan bibir rapat. Mengembuskan napas.
“Kau harusnya paham dengan sifat Aditya.”
Shifa menjawab dengan sedikit menggerutu, ketika melihat lelakinya dituntun pria lainnya mendekat padanya. Berharap suaminya itu tak mendengar.
Dandy melirik Aditya yang kini didudukkan orang-orang di samping Shifa. Pria itu tampak kacau. Wajah dan tubuhnya pucat seperti mayat dengan napas kembang kempis.
“Sudah kubilang, kan?” Perkataan Shifa membuat Aditya meliriknya tajam. Merasa dilecehkan.
“Bilang apa? Ini hanya kesalahan kecil saja.” Nadanya sedikit meninggi, tetapi terlihat ditahan ketika melihat banyak manusia mengerumuni.
“Sudah, sudah. Apa ada luka serius? Tolong periksa diri kalian. Jika ada, akan kuantar kalian ke klinik.” Dandy menengahi keduanya dengan kepala dingin, tak ingin membuat keduanya semakin panas dan saling menyalahkan.
Orang-orang lainnya mengiakan anjuran Dandy, semua melihat tubuh dua orang yang mereka lingkari itu, memastikan tak ada hal serius yang berarti.
Sepasang suami istri itu memeriksa tubuhnya masing-masing. Sepertinya tak ada luka berarti. Hanya sedikit memar dan lecet di beberapa bagian saja. Keduanya lalu menggeleng pada Dandy.
Semua orang berucap syukur, perlahan berpamit dan pergi dari kerumunan. Kembali dengan aktivitasnya masing-masing.
Shifa menatap Dandy yang kini tersenyum dan berkata, “Syukurlah.”
Keduanya saling berpandang dengan mengumbar senyum. Di situlah awal benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya.
Sedangkan Aditya sibuk mengernyit, menahan sesak pada d**a dengan mengusap bagian tempat jantungnya berada. Ia tak pernah tahu jika sang istri dan kawannya itu saling memberi sinyal.