Kiara pingsan dipelukkan seseorang yang kini menyeringai jahat saat menatap Kiara yang terkulai tak berdaya.
.
.
Adrian mengetukkan jari nya ke permukaan meja cafe yang datar, sesekali melirik pada Pratama dan Pricelia yang duduk di depannya, sebenarnya ia sedikit tak enak hati ketika menatap Pratama sebab Adrian merasa ia benar-benar telah menyakiti hati pemuda itu dengan menolak pernyataan cintanya tempo hari, tapi mau bagaimana lagi, Pratama dan Pricelia adalah sahabatnya sejak kecil, orang yang sangat Adrian percayai dalam hidupnya setelah Kiara.
"Adikmu benar-benar akan datang kan, Kak?" Itu Pricelia yang memulai pembicaraan saat sadar bahwa Pratama dan Adrian masih terlihat canggung. Adrian sedikit meliriknya, mengangguk cepat pertanda bahwa Kiara tak mungkin tidak datang disaat gadis itu sudah berjanji tadi pagi padanya.
Sebenarnya ia sengaja mengajak Pratama dan Pricelia ke cafe ini untuk memperkenalkan mereka pada adiknya, dulu saat mereka bertiga dan masih bermain bersama, Pratama dan Pricelia tak sempat melihat Kiara sebab gadis itu lebih dulu di bawa ibu nya ke Yogyakarta tepat ketika orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Namun pada akhirnya Kiara kembali lagi ke Bandung setelah belasan tahun, dimana saat ibu nya meninggal dunia, mau tak mau Kiara harus tinggal bersama Adrian dan ayahnya, dan saat itulah Pratama dan Pricelia pergi ke Jakarta hingga tak sempat bertemu dengan Kiara. Lagipula Adrian ingin meminta pertolongan pada dua sahabatnya itu untuk menjaga Kiara saat di Jakarta dan membicarakan perihal kepindahan sekolah gadis mungil itu sebab Adrian pikir Kiara tak akan aman jika berada di sekolahnya yang sekarang, dimana ada si b******n Danish di sana.
"Iya, mungkin Kiara ada sedikit hambatan di jalan." Adrian meyakinkan dengan raut cemasnya yang tak dapat tertutupi. Tapi, kata-kata nya barusan membuat Pratama dan Pricelia meliriknya secara bersamaan.
"Siapa nama adikmu?" Pratama akhirnya buka suara setelah sebelumnya ia hanya diam bagai patung penghias. Adrian menatapnya dengan jantung berdegup, suara itu terlalu dalam dan terlalu dingin.
"Kiara Azellia." Seolah terhipnotis, akhirnya Adrian menjawab juga. Pricelia yang terlihat jelas bahwa ia sangat kaget dengan apa yang barusan ia dengar.
"Kiara Azellia? dimana dia sekolah, Kak?" Pricelia mencoba memastikan, Adrian sedikit berkerut bingung , namun pada akhirnya belah bibirnya terbuka juga.
"SMA Tuna Bangsa."
Kedua mata Pricelia melebar, kali ini dugaannya semakin kuat, "Apa adikmu itu seseorang berpakaian culun dengan wajah manis yang menggemaskan?" Tanya nya lagi, kali ini semakin membuat Adrian kebingungan, heran sebab darimana Pricelia tau tentang ciri-ciri adiknya. Walaupun Kiara adalah seorang berandalan di Bandung sana, tapi Kiara sudah bercerita banyak hal pada Adrian tentang penampilannya selama di Jakarta, ia mengatakan bahwa penampilannya berubah menjadi nerd agar dirinya tak terlalu mencolok.
"Kau tau sesuatu tentang adikku?" Adrian seolah menuntut sebuah jawaban. Pricelia dan Pratama saling melirik sebelum mereka mengangguk bersamaan.
"Iya, Kak. Dan Kiara adalah target bully di sekolah." Pricelia menambahkan kembali. Mendengar hal itu Adrian lantas terbelalak dengan gemeretukkan giginya yang terdengar samar. Ia paling tak suka jika adiknya ditindas. Dibully? Hell, apa Kiara terlalu mendalami perannya hingga ikhlas saja dibully?
Wajah Adrian memerah, Pricelia dan Pratama tau bahwa Adrian dirundung emosi sekarang meski bibirnya tak berucap hal itu. Adrian segera mengambil ponselnya dari saku celana, membuka layar dan langsung mendial nomor Kiara dengan cekatan. Ia butuh penjelasan Kiara tentang semua nya.
Ia menunggu, beberapa detik tak ada yang mengangkat, hampir membuat Adrian memutuskan sambungan telponnya dan segera ke asrama Kiara sebelum pada akhirnya orang disebrang sana mengangkat line yang tersambung.
"Kiara, kau dimana? Cepat ke Cafe, aku-"
'Kak Adrian.'
Adrian terperanjat, bibirnya terbuka tak percaya dengan lidahnya yang kelu secara tiba-tiba. Yang menjawab telepon itu bukan Kiara. Suara barusan terdengar sangat berat, mengerikan, penuh intimidasi dan begitu licik.
"D-Danish?" Adrian hampir saja kehilangan pita suaranya untuk sekedar berucap. Terdengar kekehan culas di sebrang sana, semakin membuat perasaan Adrian tak enak.
'Merindukan adikmu, heh? Tenang saja, dia aman... bersamaku'
Danish berkata begitu santai seolah dia mengucapkan tentang curahan hatinya, namun nyatanya ucapannya barusan nyaris membuat Adrian berteriak marah jika saja ia tak ingat dimana dirinya sekarang. Adrian hanya bisa mengepalkan tangannya meski kedua matanya memerah nyaris berkaca-kaca.
"Danish, jangan pernah sakiti adikku. Jika kau berani melakukannya, maka aku akan-."
'Akan apa heh? Kau masih berani mengancam disaat nyawa adikmu berada ditanganku sekarang, sayang?'
Terdengar tawa kembali, Adrian tak bisa menebak dimana keberadaan mereka disaat ia hanya bisa mendengar deru mesin mobil dari sebrang sana.
"Danish, aku mohon jangan sakiti Kiara. Dia tidak tau apa-apa tentang kita, dia hanyalah adikku yang polos." Adrian benar-benar menangis sekarang, Pricelia dan Pratama yang duduk di depannya berusaha menenangkan pemuda itu dengan menepuk bahu nya, meski raut cemas juga tampak di wajah mereka berdua.
'Tidak tau apa-apa? Hah terseramu lah, tapi yang terpenting aku masih muak denganmu yang memutuskanku tiba-tiba saat itu. Apa kau tak tau jika aku masih butuh uangmu yang bertumpuk-tumpuk itu, sayang?'
Adrian menggeram, belah bibirnya terbuka dengan bergetar untuk menjawab pertanyaan dari Danish, "b******n, kau selama ini hanya perlu uang ku untuk membiayai pacar-pacarmu yang lain di luar sana. Wajar saja jika aku memutuskanmu, s****n!!!" Adrian hampir saja berteriak jika Pratama tak membawa tubuhnya untuk ia dekap dengan wajahnya yang tenggelam di d**a bidang itu. Sedikit membuat Adrian bisa menguasai emosinya.
'Tapi aku Danish Haidar, semua orang memujaku dan menginginkanku, tak sepantasnya aku diputuskan olehmu, gay menjijikkan!! Oh ya, jika kau melapor pada polisi tentang masalah ini, maka adik manismu tak akan selamat. Ingat itu!'
Lalu sambungan terputus, meninggalkan Adrian dengan isakkannya yang menyayat hati, teredam di baju Pratama yang mulai basah oleh air matanya. Adrian menangis, ini semua karena dirinya hingga Kiara bisa berada dalam bahaya sekarang.
.
.
Seorang gadis manis duduk terikat di sebuah kursi dengan kain penutup mata di kepalanya. Satu orang pria berkulit pucat berdiri di depannya, melipat tangan di atas d**a, mematai gadis manis yang masih tertunduk belum sadar. Ia hanya memperhatikan betapa lemah dan tak berdaya nya kondisi gadis tersebut. Membuatnya teringat tentang kenapa dia bisa melakukan hal k**i seperti ini. Kiara Azellia, iya nama gadis manis itu adalah Kiara dan orang yang masih mematainya itu adalah Danish. Saat dulu dimana Danish masih berhubungan dengan Adrian, ia pernah tak sengaja melihat Kiara ketika sedang berkunjung ke rumah mereka. Yang Danish tau Kiara adalah gadis dengan tampilan bad girl, persis seperti berandalan dengan wajah jutek dan tak bersahabat. Walaupun Kiara tiba-tiba masuk ke sekolah nya di SMA Tuna Bangsa dengan penampilan culun, kacamta bulat, lalu seragam sekolah yang dipakai terlalu rapi, hal itu tak elak membuat Danish lupa bahwa gadis tersebut adalah Kiara. Adik mantan kekasihnya. Dan Danish tak bodoh untuk menyia-nyiakan kesempatan ini, awalnya ia hanya ingin mempermainkan perasaan Kiara dan setelah itu mencampakkannya, tapi ketika Jasmine memberinya penawaran yang terdengar lebih berefek menyakitkan, membuat Danish tak bisa munafik untuk menerimanya dengan sepenuh hati. Lantas semuanya berakhir di sini, di ruangan minim cahaya yang sedikit pengap. Hanya ada dirinya dan Kiara. Berdua. Mmebuat Danish bisa melakukan hal apapun pada gadis manis itu hingga tanpa sadar ia m******t bibir bawahnya. Kiara terlalu menggoda dan Danish tak akan dengan mudah melepaskan gadis manis itu.
Danish mendekat, mengikis jarak yang ada, berlutut tepat di hadapan Kiara yang tampak masih belum sadar, mematai Kiara dengan pandangan berkabut tepat saat sebelah tangannya terangkat naik untuk mengelus sisi wajah yang terasa lembut bagai kapas. Danish memekik kagum dalam hati, Kiara lebih lembut daripada Adrian, Kiara lebih mempesona daripada kakaknya itu, dan Kiara terlihat lebih menarik untuk dihancurkan.
Danish semakin mendekat, menenggelamkan kepalanya diceruk leher yang lebih mungil, menghirup aroma vanilla yang terasa manis, membuat Danish semakin memeperlebar seringainya saat ia mengecup leher jenjang itu. Lalu wajah Danish berpindah tepat di depan wajah Kiara tanpa melepaskan kain yang masih menutupi mata si manis, Danish mendekatkan labiumnya tepat di depan bibir Kiara yang merah dan terlihat lembut, satu kecupan Danish berikan, disusul beberapa kecupan lain meski tanpa balasan berarti sebelum Danish mengulum bibir itu dengan lembut, menikmati bagaimana labium Kiara terasa menggodanya. Danish jadi lupa diri, terlalu larut dalam ciuman panasnya hingga entah saliva siapa terjatuh di dagu si gadis. Kiara masih belum sadar dan hal itu membuat Danish semakin mudah untuk mengendalikan permainan bibirnya.
Tapi tak beberapa lama terdengar erangan pelan disusul geliatan tubuh yang sedikit memberontak. Danish tersentak, refleks menjauhkan wajahnya dan melepaskan kulumannya dari bibir penuh itu meski ia tak rela. Kiara akhirnya sadar dengan kondisi sedikit terengah-engah dan saliva yang masih berceceran di dagu nya.
"A-aku dimana? Gelap. Ini gelap sekali." Terdengar suara pelan yang keluar dari bibir yang semula Danish kuasai. Si pemuda berkulit pucat segera bangkit dan memperhatikan gerakkan Kiara yang terlihat takut dan cemas. Persis seperti seekor mangsa yang ketakutan ketika melihat predator. Menarik.
Danish tak menjawab, perlahan kembali mendekat untuk mengelus pipi putih yang terasa basah sebab sekarang tubuh mungil itu gemetar ketakutan dengan air mata yang merembes keluar dari kain penutup matanya. Danish menjulurkan lidahnya, m******t pelan pipi itu dengan lembut.
"S-siapa?" Kiara makin bergetar, hendak menjauh, tapi tangan dan kakinya terikat dengan kuat, lagipula Kiara tak bisa melihat apapun, kecuali gelap yang membuatnya takut setengah mati.
"L-lepaskan aku!" Kiara hanya merasakan pandangan penuh intimidasi di seluruh tubuhnya, orang yang menyekapnya tak menjawab yang membuat Kiara berpikir apakah ini salah satu bully untuknya dari teman sekolahnya? Hell, kalau benar, ini sudah keterlaluan namanya!
"J-jawab aku!!!" Kiara berteriak, napasnya terengah-engah, ia berusaha mengangkat kepalanya meski ia ketakutan, setidaknya Kiara ingin menunjukkan bahwa ia tak akan gentar hanya karena hal ini.
Kiara berjengit ketika merasakan kecupan di lehernya, kemudian disusul deru napas hangat di telinganya, berbisik dengan nada tajam penuh intimidasi dan suara rendah yang membuat Kiara bergidik, "Aku akan menghancurkanmu dulu sebelum aku melepasmu. Bagaimana kalau kita bersenang-senang dulu, Kiara Azellia?"
Kiara terbelalak kaget dibalik penutup mata nya yang basah. Suara ini...
"K-kak Danish?!"
.
.
Aditya melirik jam di kamar asrama, ini sudah lima jam sejak Kiara pergi dan Aditya merasa cemas entah kenapa meski Kiara sudah izin padanya untuk pergi menemui kakaknya. Aditya berusaha berpikiran positif, bersandar di kepala ranjang dan menghembuskan napas banyak kali, mencoba memainkan ponselnya, membuka sosial media dan bermain game, tapi bayangan Kiara tetap datang menghantui pikirannya. Seperti ada suatu hal yang terus membuatnya teringat gadis manis itu.
Aditya menyerah pada ego nya setelah sekian lama diam-diam berdebat dengan pikirannya, ia berdiri dari duduknya, meraih ponsel dan mencari kontak seseorang di sana. Aditya menekan tombol hijau di layar dengan tak sabaran sebelum meletakkan ponsel tersebut di telinganya.
‘Halo, Aditya.'
"Kak Serena, aku hanya ingin minta tolong padamu untuk mengirimkan nomor calon suami mu. Kak Adrian." Aditya berucap dengan tergesa. Untunglah saat ia bertemu dengan Serena dan Adrian untuk pertama kalinya di Jakarta waktu itu, ia masih sempat meminta nomor Serena. Dan pada akirnya Aditya bisa mengunakan nomor itu disaat genting seperti ini.
'Untuk apa, Dit? Ngomong-ngomong nada suaramu terdengar begtiu cemas. Apa ada masalah?'
Aditya memejamkan mata sebentar, lalu menarik napas dalam-dalam, "Ya, ini masalah yang cukup besar, Kak." Padahal Aditya belum tau dimana letak 'masalah' nya, namun firasatnya terus berkata bahwa Kiara dalam keadaan yang tak baik-baik saja.
'Oh oke, aku akan mengirimkan nomornya lewat pesan.'
.
.
Aditya terus mengumpat sebanyak yang ia bisa dalam gerak tubuhnya yang dengan cepat mengambil jaket denimnya dan memasang sepatu terburu-buru, bahkan Aditya hampir lupa mengunci kamar asramanya. Ini semua karena saat ia menelpon Adrian, yang mengangkat malah seseorang yang bernama 'Pratama', mengatakan bahwa Adrian sedang tak sadarkan diri setelah menerima foto Kiara yang tampak menyedihkan dari seseorang bernama Danish dan Pratama juga mengatakan kalau Kiara diculik oleh pria berkulit pucat itu.
Benar kan dugaan Aditya, Danish memang tak pantas untuk Kiara, pria itu sangat licik dan hal tersebut tampak sangat jelas di wajahnya. Tapi Kiara terlalu keras kepala yang membuat Aditya semakin emosi saja.
Yanga ada dalam pikiran Aditya untuk saat ini adalah menyelamatkan Kiara dan melindungi gadis mungil itu dengan seluruh kemampuannya.
Aditya akan mencoba menebus kesalahannya selama ini pada Kiara.
Dan.. Aditya tak akan menyakiti Kiara lagi.
.
.
"Kau sudah menculiknya kan Danish?" Pertanyaan dengan nada licik itu keluar dari belah bibir tebal gadis yang kini bersandar di salah satu koridor asrama yang sepi. Seringai licik terpampang di sana saat seseorang yang menjadi teman mengobrol via ponsel nya itu menjawab sesuai keinginannya.
"Bagus, jadi dimana kau sekarang?"
'...'
"Oh, baiklah. Aku akan segera ke sana. Ingat, jangan sampai Kiara lepas!"
Gadis berkulit tan itu segera mematikan ponselnya dan bergegas pergi dari sana, tanpa sadar bahwa ada seseorang yang mendengar pembicaraannya dibalik dinding yang memisahkan mereka.
"Sudah kuduga, kau juga dalang dibalik ini semua, Jasmine Pratiwi."
-TBC-