CHAPTER 8 (Serena?!)

3744 Kata
"Serena?! Kenapa kau menyebut nama Kak Serena?!" Dan Kiara tersentak saat mendengar suara cukup keras dari belakang tubuhnya. Ia berbalik, mendapati Aditya dengan rambut basahnya yang menatap penuh penasaran dan kedua mata nya yang melebar. Kiara tergagap, dengan cepat kembali meletakkan ponsel di telinganya untuk sekedar mengatakan pada kakaknya bahwa dia ada urusan hingga sesi obrolan mereka harus ditunda dulu. "Aditya, kau sudah selesai mandi? kebetulan aku juga ingin memakai kamar mandi." Kiara tersenyum kikuk, tak bisa menghindar dari aura Aditya yang begitu pekat, membuatnya tanpa sadar memilin ujung kaosnya sambil melangkah menuju kamar mandi, hendak melewati Aditya, namun pemuda itu lebih dulu menahan pergelangan tangannya. "Jangan mengalihkan pembicaraan, katakan siapa itu Serena yang kau kenal?" Aditya berucap datar, tak tampak emosi apa yang ia pendam hingga Kiara tak mau berspekulasi sendiri. Tiba-tiba membuat si mungil jengah, sikap Aditya yang selalu penuh misteri, tidak sama seperti yang pemuda katakan waktu itu jika ia akan memperlakukan Kiara dengan lembut –menurut aturan permainan mereka-. Ah, tunggu, kenapa Kiara jadi berharap Aditya memperlakukannya dengan lembut sih?! "I-itu calon istri kakakku." Kiara menjawab jujur, karena memang itu yang hanya ia ketahui perihal Serena yang menjadi sumber aura kelam yang Aditya bawa sedari tadi. Kiara jadi teringat kembali, ia seperti tidak asing dengan nama itu. "Memangnya kau kenal dengan seseorang yang bernama Serena?" Tanya Kiara setelah tak ada tanggapan dari si lawan bicara. Aditya meliriknya, lalu perlahan mulai melepaskan cengkraman tangannya di pergelangan tangan Kiara. Ia menghela napas, wajahnya bertambah muram dan ada kesedihan yang mampir di sana. Sedikit membuat Kiara tertegun, ia baru pertama kali melihat ekspresi Aditya yang serapuh itu. "Adit-“ "Mungkin.. bukan Kak Serena. Pasti bukan, nama Serena kan banyak di Indonesia." Aditya bergumam, tatapannya begitu sayu menatap lantai di bawahnya, kedua tangan pemuda itu saling terkepal erat. Membuat Kiara bingung akan apa yang terjadi sebenarnya. "Aditya, kau bisa cerita apapun padaku." Kiara tersentuh pada sosok Aditya yang kini membuatnya ikut merasa sedih. Tanpa sadar Kiara sudah meletakkan tangannya di bahu Aditya, mengusapnya lembut untuk sekedar menenangkan. Kiara kira mungkin Aditya akan mengucapkan terimakasih dan bercerita sedikit tentang kehidupannya, atau Aditya hanya akan menggeleng lemah. Namun semua ekspektasi Kiara begitu jauh, sebab realita nya sekarang Aditya menatapnya tajam, mendorong kasar bahu Kiara hingga si mungil sedikit meringis sakit, bahkan pemuda itu menggeram marah yang membuat Kiara bergidik "Jangan pernah berpura-pura baik padaku. Semua orang sama saja, mereka hanya akan berbuat baik di depanku, tapi mereka akan menusukku dari belakang. Aku benci!" Aditya berteriak seperti kesetanan, mengurung Kiara dengan kedua lengannya yang berada di samping kepala si manis, membuat Kiara terpejam takut saat Aditya mengucapkan kalimat itu dengan lantang. "A-Aditya." Kiara mendengar deru napas Aditya yang begitu memburu, Kiara takut dengan Aditya yang seperti ini, membuat si mungil sedikit meringkuk dalam tegaknya, hanya menatap pada kedua kakinya yang sedikit bergetar. Ah, Kiara benci keadaan ini. “Ahh sakit!!” Kiara otomatis menjerit saat rambutnya ditarik paksa dengan kuat, rasa perih menjalar di kulit kepala hingga menimbulkan rasa panas yang membuat Kiara hampir mengeluarkan air mata dari pelupuk. Ia tergagap dengan tangan mungilnya yang menggenggam pergelangan tangan Aditya, berharap pemuda itu mau melepaskan jambakkan di rambutnya, namun nyatanya Aditya menyeringai dengan kekehan mengerikan dari sela bibir. “Jangan pernah ikut campur urusanku, perempuan menjijikan! Aku benci kau! Aku benci semua perempuan pengkhianat di dunia ini! Aku benci mereka!” Aditya berteriak tepat di depan wajah Kiara yang mendongak penuh rasa sakit, gadis itu bahkan sudah memohon ampun pada Aditya yang tidak ditanggapi sedikitpun. Si pemuda terkekeh kecil dengan tatapan tajamnya yang menusuk Kiara hingga ke relung. “Ah, andaikan aku bisa membuat ‘dia’ kesakitan seperti ini, pasti akan menyenangkan !-“ Aditya tertawa keras, menatap Kiara seakan hal itu adalah pemandangan terlucu yang pernah ada di dunia. “-Dasar wanita lemah!” Dan Aditya menghempaskan kepala Kiara yang membuat bunyi ‘brak’ kuat dengan dinding, lalu ia pergi begitu saja menuju kamarnya, mengurung diri dengan bantingan pintu kuat-kuat yang bahkan membuat jendela bergetar. Kiara merosot jatuh saat kakinya terasa lemas sekali. Tubuh bergetar dengan kepala yang ia tenggelamkan diantara lutut. Kiara berusaha untuk tetap tegar. Ia berada di sini untuk tujuan utama yang tak boleh sampai terlupakan. Kiara tidak boleh menyerah. . . Hanya kamar mandi yang menjadi tempat pelampiasannya selama ini, air mata sudah mengalir dari hazel nya yang biasanya selalu menampakkan raut tajam penuh intimidasi, namun sekarang kedua mata itu terlihat begitu rapuh, ia menjambak rambutnya kuat sekali sebelum dengan gelap mata mengambil satu pisau yang ia letakkan di atas lemari kecil di wastafel, ujungnya mengkilap bercahaya saat tertimpa lampu kamar mandi yang terang –menunjukkan bahwa benda itu tajam nya bukan main. Si pria menyeringai lebar sekali, menyeka air matanya dan beralih untuk melihat setiap sisi pisau itu seperti memandnag sebuah karya seni yang berharga. Ada kekehan yang keluar dari belah bibir tipis sebelum ia membuka lengan baju panjangnya –mendapati begitu banyak bekas luka yang sudah mongering sedangkan lengan sebelah nya lagi terdapat luka baru yang diperban. Ia memejamkan mata, mulai menggoreskan ujungnya di atas lengan nya, menikmati setiap sensasi yang ada –namun kali ini ia sedikit kelewatan, rasa sakitnya lebih parah dari apa yang ia kira ketika terbayang bahwa mungkin saja mantan kekasihnya benar-benar menikah dengan orang lain –dan itu adalah hal yang terakhir yang ia inginkan untuk terjadi di hidupnya. Ia menangis deras tepat saat tusukkan pisau semakin dalam –terasa seperti akan menembus hingga ke tulang, darah merembes tanpa mau berhenti, lebih banyak daripada yang pernah terjadi. Lantai kamar mandi sudah penuh dengan cairan merah pekat yang tergenang, pria itu merasa efeknya semakin dahsyat saat ia hanya bisa melihat semua benda mulai tampak berbayang, tubuhnya terasa ringan seperti kapas yang terbang terbawa angin. Lalu setelah itu hanya kegelapan yang menutupi matanya hingga ia tidak sadarkan diri dengan posisi terlentang di dalam kamar mandi. . . Kiara diam-diam meringis ketika Pricelia dan Jasmine yang selalu menempel padanya, bahkan saat Kiara ke toilet pun mereka memutuskan untuk menunggu Kiara di luar pintu. Membuat Kiara menjadi gatal untuk bertanya. "Kenapa kalian selalu mengikutiku?" Kiara mencoba menahan suaranya yang terdengar jengah, saat ini ia berada di perpustakaan, tempat paling anti bagi Jasmine dan Pricelia untuk dikunjungi. Tapi, lihatlah, sekarang dua gadis itu malah berada di samping kanan dan kirinya sambil membaca sebuah buku. Ah, Kiara yakin bahwa buku-buku itu hanya sebagai properti agar Kiara tak mempunyai alasan untuk mengusir mereka. "Kami sedang membaca, Kiara. Cerita ini seru." Ungkap Jasmine, pura-pura konsen membaca meski Kiara tau jika yang Jasmine ambil adalah buku sains. Dimana letak seru nya? Dasar si Jasmine! "Jangan bohong, aku tau kalian tidak benar-benar membaca." Kiara melipat tangan di d**a, memandang jengkel pada dua makhluk yang sekarang menunjukkan cengiran sok imutnya. "Ah, ketahuan ya." Pricelia bergumam, meletakkan kembali buku yang semula ia pegang di rak, begitu pun dengan Jasmine. Sedangkan Kiara hanya merotasikan malas bola matanya. "Jadi kenapa kalian selalu menempeliku?" Kiara memfokuskan pandangan pada Jasmine dan Pricelia yang saling menyikut, memberi kode bahwa siapa yang harus menjelaskan terlebih dahulu. Pricelia tampak menyerah, ia memberikan Jasmine sikut terakhir hingga si gadis berkulit tan hampir saja terjatuh mengenaskan. "Kami hanya ingin melindungimu, Kiara. Kau itu kemarin kan dibully habis-habisan sampai-sampai wajahmu lebam begitu." Pricelia berucap nyaris berteriak sebab sekarang beberapa orang di perpustakaan menatap mereka merasa terganggu, dan si penjaga perpustakaan yang berkepala botak itu memberikan tatapan laser yang membuat ketiga orang tersebut menjadi bergidik. "Ya, betul sekali." Jasmine menimpali setelah mereka membungkuk sebagai permintaan maaf pada orang-orang di perpustakaan. Kiara menghembuskan napas dan memijit keningnya sambil memperbaiki letak kacamatanya, "Aku bisa melindungi diriku sendiri." Kiara berucap yakin. Nadanya tegas tanpa keraguan. Tapi Pricelia dan Jasmine tampak tak percaya dengan hal itu. "Kami tidak akan menempelimu seperti ini, tapi kau harus mau mengikuti satu permintaan kami." Jasmine tiba-tiba bersuara. Kiara kembali mengarahkan pandangan pada gadis itu dengan tatapan bingung dan Pricelia yang hanya mengerjapkan matanya tak mengerti. "Apa?" Tanya Kiara tak yakin. Jasmine, gadis itu terlalu penuh dengan ide gila dan tak masuk akal. Ia pernah bertanya pada Kiara tentang kenapa ayam harus berkokok, dan kenapa kucing harus mengeong, apa mereka tak ada suara lain yang bisa dikeluarkan? Seumur Kiara hidup di dunia ini, ia baru pertama kali bertemu dengan orang seabsurd Jasmine. Dan Kiara sedikit tak yakin dengan permintaan gadis itu. "Ubahlah penampilanmu." . . Sial. Kiara merutuk disela langkahnya menuju taman belakang sekolah setelah berhasil melarikan diri dari Pricelia dan Jasmine yang terus menempelinya. Dan Kiara nyaris bersujud syukur sebab bisa menjauh dari Jasmine yang memberikan permintaan gila. 'Ubahlah penampilanmu', s****n, Kiara masuk ke sekolah ini dengan tampilan nerd agar tak ada yang tertarik padanya dan mengejar-ngejarnya seperti di Bandung dulu. Kiara juga bertujuan agar ia tidak terlalu mencolok di sini, ambisi Kiara datang ke Jakarta yang paling utama adalah membuat seorang Danish Haidar hancur. BRUKK Kiara meringis saat tubuhnya terdorong ke belakang dan berakhir jatuh ke atas lantai yang keras, ia nyaris saja mengumpat sebelum mendongak untuk melihat Danish di depannya. Pria itu sekejap memasang wajah kaget sebelum membuat ekspresi merasa bersalah dan menggapai tangan Kiara untuk membantunya berdiri. Kiara mengumpat dalam benaknya, baru saja ia berpikiran tentang menghancurkan Danish. Eh, orangnya malah ada di dekatnya sekarang. "Maaf, apa kau terluka?" Suara berat itu membuat Kiara tersadar untuk sekedar menatap pada Danish yang kini mengusap pinggang rampingnya, raut bersalah masih kentara di wajahnya. "Ah tidak apa-apa, K-kak Danish." Kiara menggeser tangan Danish hingga terlepas dari pinggangnya dan memasang senyum kikuk yang terlihat polos. Danish manggut-manggut, "Sekali lagi maaf Kiara, tadi aku terburu-buru." Kiara mengangguk lucu hingga pipinya bergoyang menggemaskan, senyum nya terpampang polos di atas bibir peachnya yang menggiurkan. Tanpa sadar membuat Danish memekik dalam hati. Ah, setelah kakaknya... adiknya boleh juga. . . Kiara melirik bangku di sampingnya, hari ini Aditya tidak masuk sekolah seperti biasa –awalnya Kiara pikir pemuda itu akan telat tapi nyatanya tidak ada sosok penuh d******i dengan aura intimidasi itu yang masuk melewati pintu kelas. Aditya tidak ada hari ini untuk menyuruhnya membeli minuman di kantin atau mengatakan Kiara ‘bodoh’ setiap satu kali dalam semenit. Dan ini semua terasa aneh.  Kiara menghela napas tepat saat bel pulang berbunyi, ia segera membereskan buku-bukunya dengan gesit sebelum melangkah keluar kelas nyaris seperti berlari –mengatakan pada Jasmine dan Pricelia yang ingin mengajak Kiara ke kantin untuk makan siang terlebih dahulu bahwa ia tidak bisa ikut kali ini. Entah kenapa Kiara mencemaskan Aditya. Ia hanya takut bahwa Aditya sedang sakit di asrama. Derap sepatunya bergema di koridor, berlari cepat sekali hingga tiba di depan pintu kamar asrama, langsung membukanya disela napas yang tersengal sebelum ia membuka tas nya dan meletakkan asal di atas sofa. Kiara menyeka keringat di dahi, merajut langkah menuju kamar Aditya sebelum dahinya mengerinyit saat ia hanya mendapati kamar yang kosong –tidak ada tanda-tanda Aditya di dalam ruangan ini. “Aditya?”Kiara memanggil disela langkahnya yang menuju dapur dan tetap kekosongan yang ia dapatkan sebelum kakinya segera menuju kamar mandi, menggenggam gagangnya dan membukanya dengan cepat. Hal pertama yang membuat Kiara melebarkan mata dengan tangan yang menutupi mulutnya akibat rasa kaget berlebih adalah saat ia menemukan sosok Aditya yang terlentang di kamar mandi dengan wajah pucat dan darah dimana-mana. “JADITYA!” Kiara berteriak histeris. . . Pratama tak pernah berhenti tersenyum sejak ia masuk ke dalam kantin dan bergabung dengan Pricelia dan Jasmine yang uring-uringan sebab mereka kehilangan jejak Kiara yang memutuskan untuk menghindar dari mereka –mereka berdua tidak tau saja bahwa sebenarnya Kiara pulang terlebih dahulu ke asrama karena ia mengkhawatirkan Aditya. "Wajah kalian kenapa tertekuk seperti itu?" Pratama bertanya, tapi sebelah tangannya tetap aktif menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dan bibir tebalnya itu tak pernah berhenti mengukir senyum yang begitu lebar. Membuat Jasmine mengangkat alisnya bingung dan Pricelia yang mengerutkan pelipis saat melihat ekspresi yang Pratama tunjukkan. "Harusnya kami yang bertanya. Kenapa kau terlihat senang sekali, Kak?" Jasmine bertanya santai diikuti oleh mulutnya yang kembali mengunyah makanan. Sedangkan Pricelia mengangguk membenarkan pertanyaan Jasmine sembari sebelah tangan menuangkan air putih ke dalam gelas dan meminumnya. Senyum Pratama semakin lebar, ia tampak begitu bersemangat dan melepaskan sendoknya begitu saja hingga menimbulkan dentingan yang cukup menarik perhatian beberapa orang. "Ini karena.. aku akan bertemu dengan Kak Adrian." BURRSSTT Fix, Pricelia dan Jasmine dengan serentak menyemburkan apa yang ada di dalam mulut mereka ke wajah Pratama. Mereka kaget, bung. Kaget maksimal. . . Kiara menggenggam kedua tangannya penuh kegugupan saat ia melihat seorang dokter berjas putih dnegan stetoskop itu memeriksa keadaan Aditya, luka nya sudah diperban dan kini Aditya masih memejamkan mata dengan tenang –nyatanya semakin membuat Kiara cemas, apalagi ketika dokter berumur itu mengerinyitkan dahinya seperti menemukan suatu hal yang aneh. “Bagaimana, dok?” Kiara mendekat, ia menggigit bibirnya cemas saat sang dokter sedikit tersentak untuk beralih menghadapnya dengan gelengan lemah. “Apa pasien memiliki penyakit mental?” Tanya dokter itu dengan suaranya yang serak. Kiara tidak pernah tau banyak tentang kehidupan Aditya jadi ia hanya bisa menggeleng sebagai pertanda tidak tau. “Saya tidak tau, dok. Memangnya Aditya kenapa?” Perasaan Kiara semakin tidak enak saat dokter itu menghela napas berat. Seperti ia sangat susah untuk sekedar menyusun kata-kata yang tepat agar Kiara mengerti akan suatu hal yang mungkin adalah pertanda buruk. “Pasien atas nama Aditya Naufal mengidap penyakit mental, ia memiliki tingkat depresi yang mengkhawatirkan hingga akhirnya pasien melakukan self harm untuk mengatasi depresi dan rasa sakitnya. Aditya pengidap penyakit psikis yang bernama self injury. Dan itu sangat berbahaya bagi dirinya dan bagi…orang di dekatnya. Terkadang ia tidak bisa mengontrol emosinya, cepat marah dan  bisa saja ia menyakiti orang di dekatnya. Saya berani mengatakan hal ini, karena luka yang ada di lengannya adalah luka yang disengaja dan-” dokter itu mengambil satu botol obat yang ada di nakas. “-Dan ini adalah obat yang biasa digunakan oleh orang-orang depresi, lagipula saat kita berada di kamar mandi tadi untuk mengangkat tubuh Aditya ke dalam kamar –saya melihat ada satu botol lain yang berisi obat yang telah dibuang oleh pasien di tempat sampah.” Kiara hanya termangu mendengar penjelasan dokter tersebut, ia tidak tau bahwa Aditya mempunyai penyakit seperti itu. Membuat Kiara perlahan mengerti mengapa Aditya menjambak rambutnya dan berprilaku kasar kepadanya tanpa sadar. Aditya pengidap depresi dan itu terdengar mengerikan. “Saya sarankan agar pasien dibawa ke pskiater. Dan saya mohon agar anda bisa menghibur Aditya untuk mengurangi rasa depresinya dan membujuk Aditya untuk meminum obat, tapi jika ia kambuh dan mulai menyakiti anda dan dirinya sendiri, maka anda harus menjauh darinya untuk meminta pertolongan, tapi jika penyakitnya parah sekali, saya harap anda membawa Aditya ke rumah sakit jiwa untuk direhabilitasi.” Kiara sontak menggeleng keras, ia menatap dokter itu dengan yakin, “Saya tidak akan membawa Aditya ke rumah sakit jiwa. Saya yang akan menjaga dan menemaninya dan… saya akan pastikan Aditya untuk sembuh.” Ujarnya penuh percaya diri yang membuat dokter itu tertegun untuk sementara, namun kemudian ia tersenyum tipis dan mengusap pundak Kiara. “Saya senang karena anda adalah kekasih yang baik untuk Aditya.” Dan perkataan dokter itu membuat Kiara mematung sepersekian sekon dengan rona merah samar di pipinya. Sudah 1 jam terlewati dan akhirnya Aditya mampu membuka matanya kembali dengan susah payah, ia memegangi kepalanya yang sedikit terasa sakit sebelum atensi nya jatuh pada sebelah lengan yang terperban –kali ini dengan perban yang lebih tebal dari biasa, lalu ia mengalihkan pandangan ke depan untuk menemukan Kiara yang tertidur di tepi ranjang –hanya kepalanya saja yang bertumpu di sprai putih itu dengan mata terpejam damai. Membuat Aditya melunak tanpa sadar, tangannya tergerak untuk mengelus pipi Kiara yang putih, mendambanya sepersekian sekon sebelum tersadar dan sontak menjauhkan jemari yang semula hinggap di atas kulit seputih porselen. “Kiara.” Aditya memanggil dalam nada yang rendah dan ia cukup terkagum karena nyatanya Kiara langsung terbangun meskipun satu tangan mengusap kedua onyx nya yang tampak menyipit. Ia membersihkan pandangan sebelum kedua matanya melebar saat mendapati Aditya yang sudah sadar. “Aditya!” Si manis hampir melompat kegirangan, namun ia kembali mengontrol ekspresinya saat Aditya memandangnya dengan alis terangkat sebelah. s**l, harusnya dia kan yang sekarang memandang Aditya seperti itu. “Kau tidak pernah cerita kalau kau punya penyakit mental-“ Kiara menjeda, menarik napas dalam, “-Dan aku sekarang tau kenapa selama ini kau memakai baju lengan panjang.” Lanjutnya dengan tatapan menusuk yang ia lemparkan pada Aditya yang hanya mendengus sebab sebentar lalu Kiara terlihat senang sekali saat melihatnya sadar dan sekarang wajah itu tampak merengut menggemaskan. “Bukan urusanmu.” Aditya hendak berdiri meski kakinya susah sekali untuk tegak dengan benar, tapi Kiara lebih dulu mengambil sebelah lengannya yang tidak terluka dan mengalungkannya di pundak si mungil, membuat Aditya memandangnya terkesiap. “Aku ini kekasihmu –yah walaupun hanya dalam game bodoh yang kau buat, jadi aku tidak berharap wajah merona atau malu-malu mu Aditya. Jadi ingin kemana kau sekarang? Kamar mandi? Ok, akan aku antar.” Kiara mulai merajut langkah mereka berdua dengan susah payah, ia tidak menatap Aditya yang kini masih tampak blank, hanya patuh menuruti langkah Kiara yang semakin dekat ke arah pintu kamar mandi. Sial, kenapa Aditya jadi mati kutu saat ini tepat ketika Kiara mengatakan ‘kekasihmu’… itu membuat jantungnya sedikit berdebar lebih cepat entah kenapa. . . . . . Target pertama Kiara adalah menjerat Danish agar jatuh ke dalam pelukkannya dan pesonanya. Membuat Danish bertekuk lutut sambil menangis darah nantinya pada Kiara. Membayangkannya saja mampu membuat mood Kiara jadi meningkat drastis tepat saat ia kini berdiri di depan pintu kamar asramanya dengan Danish di depannya. "Ah, jadi bagaimana? Ingin jalan-jalan denganku nanti sore?" Danish tersenyum manis, menggenggam sebelah tangan Kiara dan menatap gadis mungil itu dengan penuh ketertarikkan. Kiara tersenyum malu, ia mengangguk lucu seraya menggoyangkan tangannya yang berada di genggaman Danish. Tanpa tau jika Danish tersenyum penuh arti. Membuat Kiara jatuh ke dalam pelukkannya dan pesonanya, adalah target pertamanya untuk saat ini. Ah, mereka benar-benar.. munafik ya. "Tidak bisa!" Tapi tiba-tiba satu tarikkan posesif melingkar di pinggang Kiara hingga si mungil berpindah posisi pada pelukkan si pemuda jangkung yang datang tiba-tiba tersebut. Kiara melirik untuk mendapati Aditya yang menatap tajam pada Danish. "Hey, apa maksudmu hah? Memangnya kau siapa nya Kiara sampai bisa mengatur seperti itu?!" Danish berkata penuh emosi, selama ini tidak ada yang berani melawannya dan mengacaukannya, yeah kecuali si Aditya Naufal menyebalkan ini. Aditya tersenyum, semakin mengeratkan pelukkannya pada pinggang Kiara, lalu menurunkan kepala untuk mencapai telinga Kiara dan berbisik lembut di sana dengan suara beratnya yang membuat Kiara meremang, apalagi kini napas Aditya berhembus tepat di lehernya, ah tidak, pria itu juga menumpukan kepalanya di bahu Kiara. "Katakan padanya jika kau ada janji denganku sore nanti untuk pergi keluar." Yeah, itu adalah kalimat yang Aditya bisikkan. Kiara bimbang dan menggigit bibir bawahnya gugup dalam keadaan berpikir yang sangat memusingkan. Dia jadi teringat tentang Aditya yang mengerikan saat marah, pemuda itu terlihat seperti seornag psikopat saat sedang dirundung emosi –dan Kiara hanya takut Aditya menyakiti dirinya lagi. Dan Kiara pikir ia tidak ingin melihatnya kembali. Sialan sekali, kenapa Kiara bisa terjebak pada posisi ini. "Cepatlah, Kiara." Dan Aditya semakin memeluk erat pinggangnya. Ah, Kiara benar-benar tak ingin membuat masalah dengan pria jangkung itu, jadi untuk kehilangan kesempatan dalam membuat Danish jatuh dalam perangkapnya mungkin bisa diundur dulu. "Maaf Kak, aku ada janji dengan Aditya sore ini." Kiara berujar dengan nada tak enak hati. Danish mengumpat diam-diam, tapi ia tetap memasang senyum manis nya pada Kiara. "Ya sudah, kita bisa pergi kapan-kapan. Kalau begitu aku ke kelas dulu ya." Danish mendekat, mengangkat sebelah tangan untuk mengusap rambut Kiara yang dikepang dua dengan lembut sebelum melemparkan tatapan tak suka pada Aditya yang kini tersenyum sinis menatapnya. Kemudian Danish benar-benar pergi menjauh, meninggalkan Kiara dan Aditya berdua, dengan segera Aditya melepaskan pelukkan mereka. "Kenapa kau melarangku untuk pergi dengan Kak Danish?." Kiara memberanikan diri bertanya, mendongak menatap Aditya yang beberapa centi lebih tinggi. Aditya menghadap sepenuhnya pada Kiara dengan kedua tangan yang berada di saku celana, "Karena.. kita masih berada di alur permainan. Kau..dan aku. Tidak ada ceritanya antara kau.. dan si b******k Danish itu." . . . . . Aditya mengusap wajah kusutnya setelah keluar dari ruang guru untuk membantu salah satu gurunya dalam mengkoreksi beberapa lembar ujian murid di kelasnya. Sebagai murid teladan, tentu Aditya begitu bisa diandalkan. Sekarang Aditya sudah berada di luar gerbang sekolah, tinggal berjalan sebentar untuk tiba di asrama, tapi kedua kakinya malah melangkah semakin jauh di trotoar jalan, tak mempedulikan bising kendaraan yang memekakkan telinga. Aditya hanya terus berjalan kemana langkah kaki membawanya. Postur yang tinggi dan tegap, wajah tampan mempesona dan gaya angkuh bak aktor terkenal. Mampu menarik beberapa perhatian perempuan yang berpapasan dengannya. Sekedar menatap sosoknya lama atau saling berbisik dengan temannya untuk mengucapkan kelebihan fisik Aditya yang menakjubkan dengan tubuh atletis di usia nya yang baru saja menginjak 18 tahun. Aditya tak mempedulikan hal itu, ia memandang malas ke seluruh penjuru tempat yang ia lewati sebelum pandangannya terhenti pada satu sosok yang tampak mengantri di kedai yang menyediakan kopi hangat. Langkah Aditya terhenti begitu saja, pandangannya menyipit pada sosok cantik yang memakai dress selutut yang jatuh indah di tubuh mungilnya. Jantung Aditya tiba-tiba berdetak tak karuan saat tau bahwa sosok itu adalah orang yang sangat Aditya rindukan. Itu... Serena Nathania. "Kak Serena.” Aditya bergumam dengan suaranya yang bergetar. Euphoria bahagia meledak-ledak di dalam perutnya, mengirimkan aliran listrik yang membuat ia sedikit berjengit disela langkah kakinya yang semakin dipercepat saat si wanita menerima kopi pesanannya dan beralih berjalan ke arah taksi yang terparkir. Tapi sebelum sosok itu benar-benar masuk ke dalam taksi, Aditya dengan segera menahan lengannya, membuat kopi yang sedang dipegang si wanita sedikit beriak. "Kak." Aditya berucap, menarik atensi si wanita untuk memandangnya. Wajah cantik itu terlihat terkejut, namun tak beberapa lama senyum manis muncul di bibir merah nya. "Hai, Aditya." Ia menyapa Aditya seperti tak terjadi apa-apa diantara mereka dulunya. Nadanya terlalu ringan dan santai, padahal Aditya butuh keberanian untuk kembali menyebut nama dan menyapa wanita itu. "Kak, aku merindukanmu." Aditya mengukir senyum lirih, matanya berkaca-kaca sebab rasa bahagia yang berlebih. Tapi sebelum ia bisa membawa sosok itu dalam pelukkannya, seorang pria tampan keluar dari dalam taksi. Menghampiri mereka dengan gaya penuh wibawa nya. Membuat Aditya terdiam dan mencoba menepis pikiran buruk yang mulai menghinggapi pikirannya saat tangan si pria memeluk pinggang Serena dan menatap Aditya penuh penasaran. "Ah, Aditya, kenalkan-" Serena memandang pria di sampingnya dengan senyuman cerah, lalu ia beralih menatap Aditya yang masih terdiam dengan tangan yang perlahan terkepal. "-Dia Adrian Adinata. Calon suamiku. Kami baru saja datang dari Bandung." -TBC-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN