Kiara hanya terpaku pada wajah Danish di depannya yang jaraknya sangat dekat dengannya, ujung hidung mereka bahkan nyaris bersentuhan dengan napas hangat Danish yang berhembus di depan wajahnya.
"Kau tak apa?" Tanya Danish dengan nada lembut meski lemparan telur dan tepung itu sudah berhenti, digantikan wajah kaget semua siswa sekolah yang semula melakukan hal kurang ajar ini. Tak menyangka bahwasanya Danish si berandalan mau menolong Kiara yang bahkan hanya murid culun.
Kiara sedikit tertegun sebelum kesadaran kembali merasukinya, ia mengangguk pelan, masih menatap Danish yang kini tersenyum lembut untuk menyodorkan lengannya dan membantu Kiara berdiri. Kiara menggapai tangan Danish yang berwarna putih pucat untuk ia genggam menggunakan jemari mungilnya yang lucu.
"Aku tak apa, Kak Danish." Kiara bergumam saat tau bahwa Danish hendak berbalik dan meledakkan amarahnya pada semua manusia yang kini diam tak berkutik. Tak berani bersuara disaat si berandalan Danish sudah turun tangan. Tapi, Kiara tak bisa menghentikan Danish sebab sekarang pria itu benar-benar berteriak marah tanpa jeda.
"KALIAN PIKIR KALIAN BISA MEMBULLY ORANG SEENAKNYA HA? APA KALIAN SUDAH BOSAN HIDUP? JIKA AKU MENDAPATI KALIAN MEMBULLY KIARA SEKALI LAGI, MAKA AKU AKAN MEMATAHKAN TULANG KALIAN MENJADI BAGIAN-BAGIAN TERKECIL!!"
Kiara bersumpah bahwa Danish hanya menarik satu napas dan berucap panjang seperti itu layaknya kereta api, suara nya yang berat menggelegar penuh peringatan, membuat merinding sekaligus rasa dominan yang terlalu kuat.
Semua murid yang semula mengangkat dagu mereka tinggi-tinggi dengan pandangan mata licik dan gerak tubuh yang tak dapat Kiara deteksi, kini malah menunduk layaknya seorang pecundang, tak bergerak meski tidak ada yang menahan. Hanya karena Danish Haidar yang meledak amarahnya, semuanya bisa berubah dalam sekejap. Membuat Kiara salut, diam-diam tersenyum dalam hati, tebakkannya benar, Danish akan melindunginya mati-matian sebab pria itu sudah terjebak dalam perangkap yang ia buat.
Hanya keheningan yang menjawab sebelum Danish kembali menghadap pada Kiara dan menarik pelan lengan si mungil untuk mengikuti langkahnya. Kiara hanya diam, membawa kedua kakinya untuk berjajaran dengan Danish meski sekarang ia lewat di tengah-tengah semua murid yang masih melemparkan tatapan tak suka nya. Mungkin setelah ini Kiara akan tambah dibenci karena bukan hanya Aditya yang dekat dengannya, tapi Danish juga selalu berada dalam radius di sekitarnya.
Ah, lagipula Kiara tak terlalu peduli. Jika ada Danish, maka ia akan selalu aman. Itu persepsinya.
.
.
"Kau tak apa? Aku lihat dari tadi sepertinya kau sedang ada masalah, sayang?" Adrian tersentak disela lamunannya tentang Kiara –adiknya- yang sangat ia sayangi dan selalu ia jaga, namun nyatanya sekarang Kiara benar-benar dalam bahaya sebab Danish berada di dekatnya, dan Adrian yakin ini bukan pertanda baik, apapun alasannya.
"Ah, tak ada. Aku hanya memikirkan-" Adrian menampilkan senyum lembutnya pada gadis mungil di samping tubuh yang masih setia menyesap teh hangatnya, mematainya dengan kedua mata berbentuk bulan sabit yang berkilau, "-aku memikirkan tentang pernikahan kita." Lanjut Adrian lagi, ikut mengambil cangkirnya yang berisi kopi hangat dan meminumnya beberapa teguk, kemudian melirik jalanan di dekat cafe melalui jendela transparan, hari ini cuaca sedikit mendung dan tak begitu banyak orang di sekitar.
"Ah, kau tak perlu pusing memikirkannya. Saat kita di Bandung nanti kita akan membahasnya lagi." Serena, wanita itu tersenyum manis, menangkup telapak tangan Adrian dan mengusapnya lembut, menghantarkan sedikit rasa nyaman meski Adrian yakin tak ada yang bisa mengalahkan lembutnya usapan tangan Kiara yang ia rindukan.
Adrian masih tersenyum meski sekarang otaknya mulai bekerja, ia memikirkan bagaimana jika Kiara segera keluar dari sekolah itu dan Danish akan benar-benar hilang dari kamus hidup adiknya.
.
.
Langkah itu terhenti saat sepasang kaki lain berhenti di depan mereka, menghambat jalan yang membuat Kiara sedikit tertarik untuk mendongak, mendapati wajah tegas dan datar yang kini melipat tangan di depan d**a dengan gaya pongah menyebalkan.
"Apa mau mu, Aditya Naufal?" Itu suara Danish, Kiara hanya diam, memperhatikan Danish di depannya yang bagian punggungnya kotor karena lemparan telur dan tepung tadi. Tapi tanpa sadar ia sedikit tertarik untuk melirik Aditya yang melemparkan Danish tatapan tajam, namun sekejap kemudian akan beralih menatapnya untuk memberikan pandangan intimidasi yang penuh aura kelam.
Aditya mendekat dua langkah, berhenti tepat di depan Danish yang menampakkan perbedaan tiggi badan keduanya yang tidak terlalu mencolok, hanya Kiara yang terlihat paling mungil, semakin bersembunyi di balik punggung Danish dan merapatkan tubuhnya, sedikit takut dengan Aditya yang seakan-akan siap meledak kapan pun.
"Aku mau Kiara!" Aditya berdesis samar tapi Kiara masih mendengarnya dengan jelas, membawa matanya untuk melebar dari volume yang seharusnya, ia menatap Aditya di balik bahu Danish namun tangan besar Aditya lebih cepat menarik ujung bajunya hingga pada akhirnya Kiara harus berpindah posisi tepat di hadapan si pria.
"Ya! apa-apaan kau ini!" Danish meledak, tentu saja. Ia adalah orang yang ditakuti di sekolah ini dan hanya Aditya yang mampu membuatnya merasa seperti semut kecil.
"Aku tak ada urusan denganmu. Aku pergi." Ujar Aditya tanpa rasa bersalah seakan-akan ia tak pernah mengambil apapun namun nyatanya sekarang tangannya malah menyeret Kiara menjauh walaupun si mungil sudah memberontak sedari tadi. Danish berniat mengejar dan menghabisi si Aditya itu hingga tulangnya benar-benar remuk tak berbentuk, tapi satu tepukkan di bahu membuatnya mengurungkan niat, berbalik badan dan mendapati wajah rupawan yang terlihat elegan dan tenang. Mampu membuat alis Danish menukik tajam, rasanya Danish kenal dengan orang ini.
"Ingin berkerjasama denganku?" Penawaran datang tanpa terduga, semakin membuat Danish bingung disela kerutan dahinya yang menjadi berkali-kali lipat.
"Apa?" Danish tidak lemot, tapi sumpah ucapan gadis itu terlalu mendadak dan.. sebenarnya apa-apaan ini?!
"Kau ingin Kiara kan?-" Orang itu menampilkan senyumnya yang tipis tak kentara, nyaris menyeringai, tepat di hadapan Danish yang masih belum bisa mencerna semuanya dengan baik. Saat dipikir-pikir, Danish ingat siapa gadis ini.
"-Dan aku ingin Aditya. Jadi, mungkin kita bisa bekerja sama dengan baik. Aku.. Jasmine Pratiwi."
Ah, Danish ingat. Ini Jasmine, salah satu sahabat Kiara di sini.
Atau mungkin sekarang... bukan lagi.
.
.
"HEY! sakit bodoh!!" Kiara meringis untuk melihat pergelangan tangannya yang memerah akibat tarikkan yang terlalu kuat. Ia mengusap bagian itu dengan lembut berharap sakitnya akan hilang, lalu kepalanya mendongak, berniat memarahi Aditya tapi tubuhnya langsung mundur menabrak dinding saat kedua pandangan mereka bertemu.
Kiara sudah biasa dengan Aditya yang selalu menatapnya rendah atau Aditya yang selalu berekspresi jengkel dan menyebalkan. Dan Kiara juga tak heran jika Aditya hanya memasang wajah datar, namun sekarang nyatanya aura Aditya benar-benar berbeda, seperti ada yang terbakar di sana. Hal itu seakan-akan membuat Kiara mampu melihat asap hitam yang mengepul di belakang punggung Aditya. s**l, ini pertanda buruk.
"Aditya, kau terlihat aneh." Kiara berusaha bersikap biasa dan santai, tapi Aditya tak terpengaruh sedikitpun, tatapannya masih terlihat begitu menakutkan dengan langkah yang ia coba untuk semakin mengikis jarak diantara mereka.
"Ini semua karenamu!" Aditya sudah berada tepat di depannya dengan jarak yang sangat-sangat dekat hingga Kiara yakin jika ia maju sedikit saja maka wajahnya akan menabrak d**a bidang itu.
Kiara sedikit tergagap, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang nyatanya tak berhasil sama sekali.
"A-aku? kenapa?" Kiara tak fokus melihat ke arah mana pun. Mau nya dia bersikap seperti di asrama, menggoda Aditya hingga membuat pria itu marah namun nyatanya pipinya memerah –pengecualian untuk kemarahan Aditya yang diakibatkan oleh depresinya. Kiara mau nya suasana canggung dan menakutkan ini menghilang, tapi Aditya seakan-akan membuat pagar pembatas di sekeliling mereka hingga Kiara tak bisa kabur kemanapun.
"Aku sudah bilang padamu untuk berhenti dekat dengan Danish, tapi kau selalu membantahku!" Aditya tak mengerti dengan perasaannya. Ia hanya tak suka dan merasakan panas di hati ketika Kiara berdua dengan si b******k Danish itu. Membuat Aditya muak sampai-sampai rasanya ingin memukuli Danish hingga pingsan.
Kiara sedikit berjengit tepat saat kedua lengan kokoh Aditya yang menempel di dinding memenjarakan kepalanya, ia menengadah di balik kacamata dan rambut kepang dua nya yang sedikit berantakkan serta tepi wajahnya yang sedikit kotor akibat telur dan tepung. Menatap Aditya sedikit gentar dengan kedua onyx berbinar cantik.
"Kenapa aku harus menurutimu?" Kiara bertanya saat kedua belah bibirnya terbuka, ia memberikan Aditya beribu tatapan yang tak dapat dimengerti, kedua telapak tangan diam-diam terkepal tanpa sebab, semua gerak tubuh refleks terjadi tanpa bisa Kiara perintahkan.
Ada rasa aneh yang menyusup. Ini seperti dirinya yang dikekang meski nyatanya tak ada hubungan yang terikat. Kiara rasa ia sedang dipermainkan, disaat Aditya bersikap seolah-olah tak peduli padanya, dalam sekejap mampu berubah, membuat Kiara bingung. Sebenarnya bagi Aditya dirinya ini siapa?
Apa... hanya mainan seperti yang Aditya katakan saat Kiara menginjakkan kaki di sekolah ini untuk pertama kali?
Atau… hanya sebuah obat yang Aditya butuhkan saat penyakitnya mencuat ke permukaan?
Aditya mati kutu. Tak bisa menjawab apa-apa meski ia sudah yakin bahwa ia mempunyai banyak alasan, tapi lidahnya kelu tak bisa bergerak ketika menangkap ada seberkas binar sedih yang terpantul di balik onyx berbinar tersebut. Aditya mundur perlahan, menggeram sebentar –Aditya berusaha untuk mengendalikan emosinya yang mulai memuncak, berusaha menata perasaannya untuk bisa bersikap layaknya tak terjadi apa-apa dengan dalih bahwa ia disini hanya untuk menolong Kiara dari si berandalan –Danish- itu.
Meski.. hatinya terus menjerit sedari tadi, bahwa... bukan, bukan hanya itu alasannya.
Ada suatu perasaan yang masih tersimpan rapat dan belum Aditya sadari.
"Bersihkan wajahmu dan ganti baju mu. Aku akan mengambilkan baju gantimu di loker." Aditya menjauh setelah mengusap wajahnya, ia berbalik, berniat meninggalkan Kiara untuk sementara sebelum tangan Kiara menahan lengannya.
"Apa?" Aditya menghadap si mungil, bertanya datar dalam wajah tanpa emosi. Menatap Kiara yang kini menggigit bibirnya dengan kedua onyx yang berair. Kiara terlihat lemah dan itu membuat Aditya sedikit terperanjat.
"Berhenti mempedulikanku, Aditya." Suaranya nyaris bergetar seperti ada yang merayap di pita tenggorokkannya. Kiara semakin menggenggam erat lengan kokoh itu disela debaran jantung yang menggila dan sesuatu yang bimbang semakin membuatnya goyah.
"Kita hanyalah orang asing yang kebetulan terjebak di kamar asrama yang sama dengan perjanjian konyol dan godaan-godaan lainnya. Kita hanya main-main, ingat? Aku memang berniat membuatmu untuk mencintaiku, tapi... kita... kita.." Kiara tak tau harus melanjutkan seperti apa lagi. Pikirannya buntu, ia tidak bisa menyanggah lagi meski selama ini ia berusaha bersikap layaknya ia tak pernah tertarik pada Aditya.
Namun nyatanya sekarang semuanya goyah sebab Aditya yang selalu terlihat cemburu saat dirinya bersama Danish, saat Aditya memperhatikannya dalam detail yang tak seharusnya ia lakukan,
Aditya membuat Kiara tak bisa mengelak lagi.
"Kiara, kau benar-benar terlihat kacau." Suara Aditya terdengar penuh khawatir, membuat Kiara nyaris menangis sebab Aditya kembali memberinya perhatian itu.
"Aditya, aku bilang berhenti mempedulikanku. Aku-"
"Kau ini sebenarnya kenapa? Memangnya apa yang akan kau lakukan jika aku tidak mau berhenti?!" Nyatanya Aditya juga tersulut emosi, ia menekan punggung Kiara hingga menempel pada dinding, memberikan tatapan dominan yang begitu kuat disela ringisan Kiara akibat rasa sakit yang menjalar di punggungnya.
Tapi, ketika Kiara mendongak dan mendapati tatapan Aditya yang selalu membuatnya gila akibat dirinya yang menjadi terlalu sensitive, membuatnya tanpa sadar sedikit berjinjit, menangkup rahang tegas itu dalam genggaman jemari mungilnya.
"Tadi saat di asrama kau bilang kita harus menjaga jarak, namun nyatanya kau yang mendekat padaku dan memberikan perhatian-perhatian kecil yang selalu membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya ada dipikiranmu-" Kiara mendekatkan wajah mereka, menatap Aditya hingga membuat si tampan semakin terjebak dalam binar mata indah itu, "Dan.. Jika kau tidak mau berhenti untuk melakukan itu, maka... kau harus melanjutkannya hingga selesai. Dan itu berarti... kau mencintaiku, Aditya."
Aditya tertegun pada kalimat itu dan satu kecupan yang mendarat lembut di atas bibir tipisnya.
Shit, Kiara menciumnya.
.
.
Ada sepasang mata yang melihat di balik dinding koridor dengan deraian liquid bening di pipinya, ia menggeram dan bersandar di tembok putih itu. Menarik napas dalam-dalam sebelum tatapannya berubah mengerikan.
"Kiara Azellia, kau benar-benar tidak selamat kali ini. Lihat, permainan seperti apa yang akan aku siapkan untukmu."
-TBC-