Bab 2 Connie Sudiro

1365 Kata
“Siapa yang mengizinkanmu mendekapku, dasar preman busuk!” Connie berteriak dan menampar keras pipiku. Dalam sekejap, rasa perih dan panas menjalar di wajahku. Dari lubuk hati paling dalam, aku sangat marah pada wanita tak tahu diuntung ini. Aku sudah berbaik hati menolongnya, tapi yang kudapat darinya hanyalah pukulan. Bukan hanya sekali, tapi dua kali sudah aku dipukulinya dalam waktu kurang dari satu jam. Aku merasa kesal karena tamparannya dan tanpa sadar menarik sebelah tanganku untuk menutupi bagian wajahku yang terasa panas. Kali ini, Connie yang tidak lagi kudekap berakhir dengan jatuh tersungkur ke atas pasir. Dia berteriak kesakitan. “Kenapa kau malah melepaskanku?” Connie mencoba duduk sembari bibirnya tak berhenti untuk mengeluarkan suara rintihan. Dia terlihat sangat menyedihkan. Dia menatapku penuh emosi dengan kedua matanya yang mulai mengeluarkan air mata. Aku kehilangan semua kata-kataku, sungguh tak tahu harus bagaimana menghadapi wanita yang banyak mau ini. Aku sudah melapangkan hatiku untuk membantu tapi justru tak dihargai. Memangnya salah jika aku menolongnya? Pantas saja netizen di internet mengatakan kalau segala sesuatu memiliki akal, tetapi tidak untuk para wanita. Kupikir Connie adalah wanita yang tidak memiliki akal karena dia sungguh tidak logis! Aku lekas kembali menuju api unggun untuk beristirahat. Connie melirikku, dan ketika dia melihat bahwa aku tidak berniat sedikitpun untuk membantunya, dia langsung merajuk sambil berjalan secara tertatih-tatih. Untungnya, jarak dari tempatnya saat ini ke api unggun sudah tidak terlalu jauh, jadi dia bisa berjalan sendiri tanpa bantuanku. Berkat perlindungan dari batu-batu besar yang menaungi, kami tidak terkena terpaan angin dan hujan untuk sementara waktu. Akan tetapi, karena ruang di bawah batu besar ini terbatas, dia harus duduk di dekatku agar tidak basah terkena air hujan. Melihat dirinya yang enggan dan terlihat jijik padaku, aku merasa sangat kesal. Apa yang diinginkan oleh wanita ini sebenarnya? Bukankah dia hanya perlu duduk di sampingku? Tenang saja, aku tidak akan memangsanya. Tapi dia malah bersikap seolah-olah akan ternodai jika duduk di sampingku! Ini benar-benar menjengkelkan. Meskipun aku sedikit miskin, tapi tinggi badanku 1,8 meter dan wajahku pun cukup tampan. Seharusnya tidak perlu bertingkah laku sampai seperti ini. Selain itu, di sini adalah pulau terpencil. Bisa bertahan hidup atau tidak saja masih jadi pertanyaan, sebaiknya tinggalkan sikap angkuh itu ketika masih di pulau terpencil ini. Walaupun perasaanku sedang tidak senang, tapi sensasi duduk berdekatan dengan sang Dewi Judes bernama Connie Sudiro ini benar-benar menyenangkan. Bagaimana tidak, wanita ini sebenarnya sangat cantik, memiliki postur tubuh yang bagus, dan kulit menawan. Aku hanya bisa berandai-andai betapa beruntungnya aku jika suatu saat bisa memperistri wanita berparas cantik sepertinya. Namun, pemikiran itu dengan cepat kulenyapkan. Wanita ini selalu memandang rendah diriku, lantas bagaimana mungkin aku memiliki pemikiran yang lain padanya? Aku masih sedikit marah dan enggan mengobrol dengannya. Connie juga berpikir bahwa aku yang menyentuhnya barusan itu tidak sopan, dia terus mengabaikanku. Suasana hening untuk sementara waktu. Namun, aku masih mencuri pandang beberapa kali terhadap Connie karena wajah cantiknya semakin cantik berkat cahaya api. Ini momen yang sangat menyenangkan. Dalam kondisi normal, jangankan jatuh cinta padaku, dia bahkan tidak pernah peduli padaku. Lantas bagaimana bisa kami duduk bersandar bersama di depan api unggun seperti ini? “Kinan, aku ingin bertanya padamu. Apa hanya kita berdua yang selamat dari insiden kapal karam ini?” Pada akhirnya, Connie tidak tahan dan mulai mengajakku bicara. “Aku juga tidak tahu. Aku hanya ingat ketika kapal terbalik, ombaknya sangat-sangat mengerikan. Pada saat itu, mataku penuh air dan aku tidak bisa melihat apa-apa. Saat aku terbangun, aku sudah berada di pulau terpencil ini.” “Apa yang harus aku lakukan? Apakah semuanya tewas? Mengapa ini bisa terjadi?” Ketika Connie mendengar ucapanku, dia mendadak panik dan wajahnya langsung pucat. Ekspresinya yang ingin menangis sungguh menyedihkan. Aku merasa sedikit miris dan kasihan. Connie Sudiro, presiden cantik kami yang biasanya sangat tangguh ketika berada di perusahaan, kini terlihat seperti sosok yang sungguh berbeda. Jika biasanya dia selalu memerintahkan kami untuk melakukan sesuatu, tetapi justru sekarang dia bingung dan bertanya kepadaku tentang apa yang harus dilakukan. Seketika dalam benakku, aku merasa bahwa aku bisa sedikit berguna dalam kondisi sekarang ini. Aku memikirkannya sejenak, kemudian berkata secara lembut, “Jangan takut, kita berada di kapal besar, jika sesuatu terjadi di laut, itu pasti akan menjadi kabar sensasional. Pasti ada banyak tim SAR yang sedang menuju lokasi kita sekarang. Kita akan segera diselamatkan!” Untuk menghibur Connie, aku tidak memberitahunya tentang keraguanku. Pada saat itu, kapal kami berlayar dari Teluk Kirana dan kecelakaan terjadi sebelum kami berlayar terlalu jauh. Seharusnya tempat kami sekarang adalah sebuah daerah beriklim tropis, tetapi ada hal yang janggal di sini. Pada saat aku mencari ranting pohon sebelumnya, beberapa tanaman yang kulihat tumbuh di pulau ini adalah tanaman yang tumbuh di area beriklim dingin! Perlu diketahui bahwa tanaman di setiap wilayah yang berbeda geografisnya akan sangat berbeda. Hutan tepi laut di sini ditumbuhi sekelompok tanaman runjung atau dikenal dengan nama konifera, yang mana itu sangat aneh. Suhu di sini juga relatif dingin, itu membuat firasatku menjadi buruk. Hanya saja, meskipun aku merasa bingung, aku tidak memikirkan sebabnya lebih lanjut. Connie sendiri sudah merasa jauh lebih baik setelah mendengar perkataanku tadi. Dia berhenti menangis, tetapi dengan cepat menyentuh perut bagian bawahnya yang rata dan terlihat halus itu. Tak lama dia pun berkata dengan segan, “Aku sangat lapar, Kinan. Apa kau punya sesuatu untuk dimakan?” Mendengar perkataannya, aku juga mendadak merasa lapar. Ketika aku terbangun di pantai, aku sibuk menyelamatkan nyawa orang lain dan menyalakan api unggun. Aku melakukan banyak pekerjaan, jadi aku tidak memikirkan ini sebelumnya. Sekarang, ketika aku menyadarinya, aku langsung merasa lapar. Sayang sekali aku tidak punya apa pun untuk dimakan. Aku menarik napas dalam-dalam dan menyadari masalah terbesar bagi kami untuk bertahan hidup di pulau terpencil ini. Makanan! Untungnya, dulu aku suka berpergian dan berkemah di pegunungan serta ladang. Ketika aku masih sangat muda, aku belajar mendaki gunung dan ilmu bertahan hidup di alam. Setelah memikirkannya sebentar, aku berkata pada Connie, “Jangan khawatir, aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Aku juga sangat lapar, tetapi sekarang masih hujan. Kita baru bisa keluar mencari makanan ketika hujan sudah berhenti.” Saat ini air hujan masih berbondong-bondong turun, kalau kita terkena penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti gonorea di pulau terpencil tanpa pertolongan medis, itu akan jauh lebih buruk dibanding kelaparan. Namun, ucapanku kali ini tidak membuat Connie senang. Dia menatapku dengan kecewa. Dia tidak mempercayaiku sama sekali. Bukankah dia kelaparan? Ini adalah pulau terpencil. Memangnya makanan akan muncul begitu saja jika kau bilang sedang kelaparan? “Jangan bicara omong kosong, kita mungkin akan mati kelaparan sebelum tim penyelamat datang,” Connie berkata dengan kecewa, dia memegangi perutnya dan membuka bibirnya yang pecah-pecah. Dia mengangkat kepalanya untuk meminum air hujan, berharap itu bisa menghilangkan sedikit rasa laparnya. Aku tidak meresponnya, aku hanya menutup mata untuk menyimpan energi lebih banyak. Aku akan menunggu hingga hujan berhenti, karena ketika kami tidak punya energi untuk mencari makanan, itulah akhir dari hidup kami. Melihat langit yang semakin gelap, aku juga merasa sedikit cemas. Apakah kami akan menghabiskan malam pertama dengan menahan kelaparan? Namun, keberuntungan kami tampaknya masih bagus. Ketika hari hampir gelap, hujan gerimis yang turun akhirnya berhenti! Aku yang terkejut melihat itu segera keluar dari bawah batu besar dan bergegas menuju pantai. Ada banyak kehidupan di tepi laut, aku mungkin bisa menemukan sesuatu untuk dimakan. Melihat aku pergi, Connie menjadi cemas dan berteriak di belakangku, “Tunggu aku, aku takut di sini sendirian!” Setelah mendengar itu, aku bergumam, bukankah kau sangat membenciku? Kau hanya duduk di sebelahku dan menatapku dengan jijik. Kalau begitu, jangan pernah mengikutiku! Meskipun aku memiliki pemikiran seperti itu, aku masih dengan sabar menunggunya. Namun, saat ini, aku tiba-tiba melihat sebuah koper hitam mengambang di kejauhan. Sebuah koper terdampar di pantai? Aku terkejut dan takut koper itu akan hanyut dibawa pergi oleh ombak lagi, jadi aku bergegas lari ke pantai dalam dua langkah, aku menghentakkan kaki dan melompat turun dengan tiba- tiba. Setelah melompat ke laut, air laut yang dingin langsung menenggelamkanku. Aku berjuang untuk berenang ke depan dan segera meraih koper itu. Koper ini agak berat, tapi justru bobotnya ini membuatku bahagia seketika. Tampaknya ada banyak benda berguna di dalamnya! Ketika berenang menuju tepi, aku yang cukup familiar dengan air laut berpikir untuk mengerjai Connie.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN