Rendezvous

1185 Kata
- Pertemuan - Tahun ajaran baru, selalu identik dengan murid baru di setiap sekolah. Dan sensasi tahun ajaran baru juga dirasakan oleh SMA Bangsa, dimana banyak murid baru yang berkeliaran di lingkungan sekolah, dimana kakak kelas atau adik kelas saling tebar pesona mencari perhatian, juga dimana pelajaran sekolah yang biasanya tidak produktif di awal masuk sekolah. Dan itu menyebabkan murid-murid merasa senang setelah bosan liburan panjang, namun tidak sedikit juga murid yang mengeluh karena libur yang dirasa begitu singkat. Padahal libur yang diberikan sekolah sudah lebih dari cukup untuk mengistirahatkan murid yang belajar. Namun, semua sensasi itu tidak cocok untuk murid kelas XI C. Semua yang terasa hancur ketika Ibu Atni-guru bahasa indonesia mereka-datang ke kelas, dan mengumumkan sebuah ulangan mendadak. Semua murid berteriak tidak terima. Mereka baru kembali masuk sekolah, tapi guru itu malah datang dan menghancurkan semua ekspetasi mereka. Memang sudah menjadi rahasia umum lagi jika Ibu Atni terkenal dengan kedisipinannya. Menjejeli murid dengan segala materi, jauh lebih menyeramkan dari guru matematika sekalipun. Suasa kelas mendadak senyap, murid-murid segera munutup mulut rapat saat Ibu Atni berdiri di depan kelas dan bersedekap d**a. Jauh di dalam hati, mereka mengumpat sekuat tenaga. Jadi, apakah kalian siap? ” tanyanya santai, namun penuh wibawa. Maaf, Bu. Seseorang mengangkat tangan. Ibu Atni mengaguk memberi ijin. “Iya, Dio ada apa?” Cowok yang bernama Dio itu tampak gugup. Sekilas menatap wajah teman di lapangan kesal. “Maaf, Bu sebelumnya. Kita kan baru masuk sekolah lagi nih, dan lagi pula kita kan belum belajar materinya. Masa iya kita bisa ulangan tanpa menguasai materi Bu? ” Ibu Atni mengaguk mengerti. “Sedikit pemberitahuan untuk kalian. Pertemuan kita kali ini bukan untuk ulangan pelajaran kalian sekarang di kelas sebelas tapi untuk sedikit mereview materi kelas sepuluh. ” Cowok di depan Dio — Dewa mengangkat tangan, wajah tengilnya terlihat. He tidak kapok setelah mengangkat tangan Dio dengan usil tadi tanpa rasa. “Bu, kan kelas sepuluh udah kelewat. Gak baik Bu kalo yang udah berlalu di bawa-bawa ke masa depan. Bisa menyebabkan kehancuran bagi umat kelas sebelas C. Pamali Bu mendingan jangan. ” Wajah Dewa dibuat semeyakinkan mungkin, membuat Alden — teman sebangkunya mendengus. Seperti de javu, kejadian seperti ini juga pernah terjadi pada semester dua lalu saat Bu Atni datang untuk mereview pelajaran semester satu. Alden malas mendengarkan, karena Bu Atni hanya akan merespon— “Jadi kamu sudah merasa pintar Dewa? Jika benar, coba kamu review kelas sepuluh di depan kelas. Jika kamu bisa maka Ibu akan membatalkan ulangannya. Karena Ibu yakin jika kamu bisa pasti yang lain juga pasti bisa. ” —Seperti ini. Bosan, Alden memilih tidak memperhatikan. Dewa menggaruk lehernya yang tidak gatal. Tengsin. “Ibu bisa aja. Saya jadi malu, saya cuma becanda Bu. ” Kilahnya. Bu Atni berdehem, memang bukan perkara baru lagi kalau Dewa, Dio, dan juga Alden adalah biang kerok. Meskipun Alden tidak separah mereka berdua. “Mohon perhatiaan semuanya. Ibu hanya ingin sedikit menasehati juga mengingatkan kalian. Ibu mohon tolong jangan membawa kebiasaan kalian ke sekolah, baik kebiasaan kalian saat kelas sepuluh atau kebiasaan kalian saat libur panjang kemarin. Kalian sudah kelas sebelas dan sudah sepatutnya kalian meninggalkan kebiasan-kebiasan buruk kalian, bawa yang baik hilangkan yang buruknya. Kalian sekarang sama-sama berada di lingkup tingkatan yang berbeda dari yang sebelumnya, sudah semestinya kalian mampu membimbing diri kalian sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Berikan contoh yang baik untuk adik kelas baru kalian. Dan ibu ibu kalian untuk kelas sebelas ini, dapat lebih serius belajar dan kalian jangan banyak mengeluh. Mengerti? ” “Baik Bu.” Teriak murid XI C kompak. Bu Atni berjalan mendekati meja guru, lalu mengambil selembar kertas yang di duga soal untuk ulangan mendadak ini. “Baiklah sesuai dengan kontrak belajar ibu dengan semester sebelum-sebelumnya. Ulangan kali ini akan sama pula teknisnya, yaitu dilarang menyontek atau bekerja sama. Jika ketahuan di antara kalian ada yang menyontek atau bekerja sama maka nilai kalian untuk seluruh murid di kelas ini Ibu beri nilai nol. Kalian mengerti?” teriak Bu Atni lantang. “Baik Bu.” Teriak murid XI C kembali dengan kompak. “Baiklah, siapkan alat tulis kalian. Ibu akan segera mengatur mejanya.” Nah, selain kekejaman Bu Atni yang tak segan memberikan nilai nol jika ada yang menyontek atau bekerja sama. Ini juga salah-satu kekejaman Bu Atni yang membuat murid-murid kesal setengah mati. Bu Atni akan mengacak muridnya agar tidak semeja dengan teman karibnya ketika ulangan. s****n sekali. Dewa dengan malas mempersiapkan alat tulisnya, sedangkan Alden sudah siap sedari tadi hanya tinggal menunggu Bu Atni menunjuknya ke meja mana. “Pisah kita Den ?!” bukan seperti pertanyaan tapi pernyataan. Dewa mecabikan bibirnya kesal, mengambil pensil dari dalam tasnya. Baguslah. Dewa melotot. “Lo gak ada solidaritasnya sama majikan.” Melirik sekilas ke arah Dewa, Alden berdecih. “Cih, majikan? Di rumah aja lo pembantunya. ” Dio di belakang langsung terbahak, membuat Dewa memotong muka sebal dengan tangan di atas d**a. Njirr, hati gue. Katanya. “Jijik gue liat ekspresi lo, kutu kupret!” Alden melipat tangan didada, menatap nyolot pada Dewa yang memandangnya lekat dengan ekspresi kesakitan yang dibuat-buat. “Gue cincang lo!” Dewa mendesis, lalu menyentakan lengan Dio di pundaknya. “Sebelum lo cincang gue, lo duluan yang gue gorok.” Ancam Dewa, dengan gerakan menggorok leher. Dio tetawa semakin heboh, “Si kanjeng Dewa ngamuk. Aduh, tuan muda Alden. Lihat, sekarang tuan muda membuat Kanjeng Dewa marah! ” “Bodo amat!” “Alden. Kamu pindah ke sana! ” Seruan di depan kelas membuat mereka tersentak, Alden segera berdiri. Berjalan menuju meja yang ditunjukan oleh Bu Atni. Berjalan ke atas meja paling belakang, barisan paling kanan. Cewek di kelas terkesima bukan hanya karena wajah tampan milik Alden yang membuat mereka menjerit kuat-kuat dalam hati, tapi juga bagaimana cara Alden berjalan melewati deretan meja dengan satu tangan tenggelam di saku. Apalagi wajah dinginnya terus terpatri di wajahnya. Alden Raveno, seperti namanya, cowok itu memiliki wajah yang tampan. Memesona dengan mata tajam, rahang tegas, hidung mancung, dan juga lesung pipit yang dapat membuat organisasi berdecak iri. Badannya tinggi dengan otot tubuh proporsional. Rambutnya yang hitam jatuh di atas kulitnya yang pucat, terlihat begitu kontras. “Lho kenapa Bu?” Langkah Alden terhenti, saat suara Dewa masuk gendang telinganya. Cowok itu menoleh, dan mendapati Bu Atni yang tengah menatapnya juga bergantian Dewa dan Dio. “Ibu gak habis pikir, kenapa kalian bisa sekelas lagi. Seharusnya kalian tidak masuk, jika terus dibiarkan bersama kalian hanya akan jadi biang kerok saja. ” “Takdir Bu.” Sahut Dio lalu ber tos ria dengan Dewa yang tertawa-tawa. “Seharusnya kalian, Dewa dan Dio berada di kelas paling ujung saja.” Sistem di SMA Bangsa memang mengurutkan kelas berdasarkan tingkat kecerdasan siswa, dimana murid-murid pintar ditempatkan di kelas pertama sedangkan yang paling rendah ditempatkan di kelas paling ujung sesuai tingkatan masing-masing. Dan Dewa juga Dio termasuk beruntung karena masuk XI C, yang notabenenya muridnya rata-rata berotak lumayan. “Lho Bu? Kok Cuma kita, Alden juga dong. Dan lagian kita gak bodoh-bodoh amat, kelas ujung terlalu keramat Bu ah. ” Bela Dewa cekikikan, Bu Atni di depan hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau Alden beda, dia pintar. Dan lagian yang nempatin kelas ujung bukan murid yang bodoh tapi malas tolong digaris bawahi ya! Dan soal nilai sebenarnya tidak mempengaruhi asal nilai kita sikap baik. ” “Buuu !!! Kita anak baikk !!! ” “Sudah sudah.” - Pertemuan -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN