Sebenarnya

1026 Kata
Sefrin menahan napasnya. Entah mengapa namun tangan yang sedari tadi terus mengangkatnya ini mampu membuatnya terus menegang berkepanjangan. Sebisa mungkin Sefrin mengontrol wajahnya, namun hawa panas di pipinya membuatnya takut ketahuan. Sefrin memang paling benci pelajaran olahraga, dan tadi saat ada sebuah bola meluncur mengenai kepalanya, dengan koneksi yang teramat cepat otak Sefrin langsung terhubung. Dan menciptakan ide konyol seperti ini. pura-pura pingsan. Tidak mungkinkah Sefrin sia-siakan saat ada kesempatan emas seperti tadi? Namun, yang membuat Sefrin kesal bukan kepayang, bukan tak lain adalah karena pelaku insiden bola tadi, yaitu Alden. Jika tahu cowok itu yang menendang bolanya mana mungkin Sefrin akan pura-pura pingsan begini. Jujur saja Sefrin tidak sudi harus berada dalam gendongan cowok itu. Lima menit pertama Sefrin masih baik-baik saja, namun kemudian Sefrin semakin gelisah saat hembusan napas hangat kembali mengenai wajahnya. Sefrin semakin menegang, merasakan hembusan napas itu semakin dekat. Sefrin menelan ludah, lalu sedikit membuka mata untuk mengintip. "Aaaa..." Refleks Sefrin berteriak, saat menemukan wajah Alden begitu dekat dengannnya. Hanya berkisar lima senti jarak yang ada. Sefrin memegang bahu Alden erat saat dirinya akan jatuh dari gendongan cowok itu. Masih dilorong dan UKS masih sedikit jauh. Tatapan mata mereka bertemu, Sefrin terengah. Cengkramannya semakin kuat, Alden menatap Sefrin datar. "Dasar cowok setan! Lo mau cium gue, hah?!" Detik berikutnya tubuh Sefrin sudah berada di lantai dengan mengenaskan, pekikan Sefrin terdengar. Punggung juga bokongnya sakit sekali. Alih-alih meminta maaf Alden malah berbalik, tanpa peduli pada cewek dibelakangnya yang merasa terhina. Harga dirinya terasa terinjak-injak kembali oleh perlakuan cowok itu. Sefrin melotot, dua kali cowok itu memperlakukannya dengan begitu buruk. "DASAR KAPARAT. DIEM-DIEM LO PASTI NGINCER GUE KAN? DASAR COWOK m***m, DOYANNYA SAMA d**a DAN s**********n DOANG. b******k!" Alden memejamkan matanya, memijat dahinya yang tiba-tiba terasa pening. Mengapa Sefrin sangat frontal dalam berbicara? Ah, mungkin mulutnya harus diajari diam dulu. Biar tahu rasa. ***** "Pokoknya kita gak mau tahu. Kita pengen ikut kalian balapan liar. Janji deh kita Cuma nonton doang." Janji Dio sungguh-sungguh. Dewa disampingnya mengaguk-ngaguk setuju. Pelajaran telah berakhir, waktunya pulang. Seperti biasa disetiap ada kesempatan pasti Septian selalu datang berkumpul bersama mereka. Dan sekarang mereka tengah berjalan pulang, dengan paksaan Dio juga Dewa yang sama-sama kekeh ingin ikut menonton mereka balapan liar. Alden menggeleng tegas. "Gak boleh. Kalian gak tahu apa-apa, jangan ikut terjerumus kalo kalian masih pengen jadi temen gue." Ancam Alden. Dewa berseru ingin protes, namun Septian mencegahnya. "Udah dengerin aja kata Alden. Kan kalian tetep makan traktirannya." Dewa mengacak rambutnya. "Den lama-lama lo kayak bunda gue aja." Tunjuknya. "Serah." Sahut Alden malas menanggapi Dewa. "Yaudah kalo kalian tetep gak ngijinin kita ikut, seenggaknya kenalin kita sama temen baru kalian itu." Ujar Dio. Teman baru yang dimaksud oleh Dio adalah Rafa juga Aldo, Dio hanya sering mendengar nama itu keluar dari mulut kedua sahabatnya hingga membuatnya penasaran. Memang sebenarnya Alden juga Septian benar-benar membentengi dunia itu dari mereka. Mereka takut Dewa juga Dio terjerumus, mental mereka masih lemah dan mudah terbawa arus. Septian mengaguk setuju. "Iya sekalian traktir dari lo. Ya kan?" tanya Septian pada Alden. Alden mendelikan bahu. "Gue gak bisa." Jawabnya. Dewa berhenti berjalan dan menatap Alden tajam. "Tuh kan-" "Bawa aja nih dompet gue, jajan sepuasnya tapi jangan banyak-banyak." Potong Alden cepat dan melemparkan dompetnya pada Dewa, namun Septian yang berhasil menangkapnya. "Kenapa gak bisa?" Septian bertanya bingung. "Ada urusan." Sahut Alden acuh. Mereka baru memasuki halaman parkir. "So sibuk banget lo." Ledek Dewa. Alden terkekeh. "Udah lah jangan protes udah gue kasih dompet gue juga." "Yuadah yuk cabut." Ajak Septian menaiki motornya, diikuti oleh Dio yang sedari tadi tidak banyak mengeluh. Mereka berdua mulai menyalakan motornya. Tapi Dewa masih bertahan di posisinya dan masih menatap Alden. Alden mendelik kesal . mendorong bahu sahabatnya itu. "Sana lo pergi." Usir Alden. Dewa mencibir namun kemudian menaiki motornya dan mulai mengikuti Septian juga Dio yang telah pergi terlebih dahulu. Alden menatap kepergian mereka. Hari ini banyak urusan yang harus diselesaikannya, tapi sebelum mengurus masalah itu semua. Ada satu urusan yang harus Alden selesaikan terlebih dahulu. ***** "Kiri. Eh, kanan Sep." Dewa berseru heboh. "Tuh kan gue bilang apa, game over deh ah." Game yang sedari tadi dimainkan oleh Septian kalah setelah menabrak pohon yang tiba-tiba tumbang di depan mobilnya. Tapi, menurut Septian gamenya kalah bukan karena itu, tapi karena Dewa yang sedari tadi terus saja menggangu konsentrasinya. "Ah setan diem lo!" Geram Septian. "Dari tadi lo ganggu konsentrasi gue aja." Dewa tertawa kencang sehingga menarik perhatian orang-orang yang berada di cafe tersebut, tempat dimana dirinya, Septian, dan juga Dio berkumpul untuk bertemu teman lain dari Alden juga Septian. Memang bener sedari tadi Dewa banyak berisik karena ingin merusak konsentrasi Septian yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. "Alah salah sendiri. Lo yang ngajak kita kesini, tapi lo malah sibuk pacaran sama ponsel. Emang lo kira kita manekin? Mana gak dikasih makan lagi. Muka gue yang ganteng ini dikemanain coba." Dewa mengerang prustasi seolah-olah dirinya yang menjadi korban, padahal Septian juga Dio pun sama-sama menjadi korban. Karena harus menunggu lama kedatangan tamu mereka. "Sialan." Septian mematikan ponselnya dan memasukannya kedalam saku jaket. "Ngapa lo cengar-cengir?" Dio yang sedang meminum minumannya bertanya pada Dewa. Dewa menghentikan cengirannya ketika kepergok oleh Dio. "Enggak papa. Cuma aneh aja Septian nurut sama gue, apa makin lama karisma gue makin kuat kali ya?" "Najis gila." Septian berseru jijik. Dio meminum minumannya hingga tandas. "Sep, cepat pesen makanan. Perut gue udah keroncongan, masa iya dari tadi gue cuma minum air aja." Protes Dio. Dari setengah jam yang lalu, mereka bertiga sudah berada di sini. Tapi tamu yang ditunggu belum sampai juga, sehingga Septian bertega ria tidak memesankan makanan untuk Dewa juga Dio yang dari tadi terus protes karena kelaparan. Mereka harus menunggu. "Mending lo air beneran. Nah gue? Air ludah." Celetukan Dewa membuat Dio tersembur tawanya. Septian menggeleng-gelengkan kepala, namun pokusnya terpecah saat tamu yang ditunggu datang tepat di depan pintu Cafe. "Udah-udah tuh mereka datang." Tunjuk Septian. Mereka berdua serentak menatap ke arah yang ditunjukan Septian. Dan saat kedua tamu itu datang dan duduk di meja mereka. Dewa juga Dio sama-sama mendesis tidak suka. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN