“Kita berangkat!” Irfan berseru sambil mendorong pintu mobil. Tapi langkahnya terhenti. Ia berbalik cepat, membuat Badri tersentak. Tatapan Irfan sedingin es. “Kau lihat kakinya?” Badri mengikuti arah yang ditunjuk. Pandangannya jatuh pada kaki Marlo yang dibalut perban asal-asalan, darahnya merembes deras. Ia menelan ludah. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. “Kalau kau coba-coba menipuku,” Irfan mendekat, suaranya tajam, hampir berbisik namun beracun. “Kau bakal bernasib sama. Kalian kan memang satu tim. Yang satu luka, yang lain ikut merasakan. Termasuk mati. Kalau hari ini aku gak nemuin Melia, kalian berdua akan masuk liang lahat bareng.” Ancaman itu bukan omong kosong. Badri langsung pucat pasi. “Tapi… tapi tunggu, Bang. Perempuan itu… dia mungkin… dia…” “Kau mau ngomong

