Sepi Itu Kian Menggigit

1520 Kata
“Halo, adik sepupu!” Suara ceria itu membuat Qisya menghentikan bacaannya. Pintu kamar terbuka pelan, dan muncullah Irfan Huzair dengan parcel buah besar di tangan, buket bunga segar, dan beberapa kotak nasi Padang yang hampir jatuh dari pelukannya. “Akhirnya datang juga,” gumam Qisya datar, tak beranjak dari sisi ranjang Emran. “Jangan marah dong,” ucap Irfan, meletakkan semua bawaannya di atas meja. “Aku nggak marah. Cuma… kau baru muncul setelah—” “Tiga hari,” potong Irfan cepat. “Aku tahu. Maaf, ya. Lagi benar-benar chaos di kantor.” “Gimana Emran? Udah ada tanda-tanda?” Qisya hanya menggeleng. “Yang sabar ya, Sya. Aku yakin, Emran pasti sadar. Dia kuat, kok.” “Terima kasih, Mas.” “Oh ya! Katanya kau belum makan. Jadi kubawakan makanan favorit kita pas masih remaja—nasi Padang!” Qisya menghela napas. “Aku nggak lapar.” “Kalau gitu, temani aku makan aja.” “Kau makan sendiri aja.” “Lagi sibuk?” Qisya diam sejenak, lalu menjawab lirih, “Enggak. Cuma… males aja.” Irfan tertawa pelan. “Yuk, sesuap aja. Nggak harus habis.” Qisya memperhatikan Irfan membuka dua kotak makan. Beberapa lagi masih tertumpuk rapi di meja. “Kenapa bawa sebanyak itu?” “Kupikir kau ditemani banyak orang di sini.” “Ini ICU, Mas. Mana boleh serombongan masuk.” Irfan angkat bahu. “Ya udah, kasih aja ke siapa pun yang masuk pintu itu,” ujarnya santai sambil menyodorkan satu kotak nasi padang ke Qisya. Biasanya, Qisya bisa langsung senang melihat makanan itu. Tapi sekarang, selera makannya menguap entah ke mana. Di depannya, Irfan sudah menyendok nasi dan melahap rendang seperti belum makan tiga hari. “Terakhir aku lihat kau pergi bareng polisi yang selidiki kecelakaan Mas Emran,” kata Qisya, masih menatap nasi yang tak disentuh. Irfan mengangguk. “Iya. Tapi belum ada hasil.” “Maksudnya?” “Nggak ada yang mencurigakan. Semua orang di kantor suka sama Emran. Dia gampang akrab, baik ke semua orang. Nggak ada yang punya dendam.” Qisya mengangguk pelan. “Syukurlah… Aku nggak bisa bayangin kalau ternyata ada yang benci diam-diam dan sengaja mencelakainya.” Irfan menghentikan makannya. Ia minum sedikit, lalu menatap Qisya serius. “Kalau kecelakaan itu beneran disengaja… aku yang bakal cari orangnya, dan kupastikan dia kehilangan dunia ini.” Qisya membelalak. “Astaga! Seganas itu?” Irfan nyengir. “Yah, nggak seganas itu juga, sih. Tapi serius, aku bakal lakukan apa pun buat bantu.” Ia kembali menyodorkan sendok berisi nasi ke arah Qisya. “Yuk makan dikit. Kau butuh tenaga buat jagain dia. Siapa tahu saat kau lelah, justru itu momen dia sadar.” Qisya masih diam, tapi pandangannya melembut. Ia tahu Irfan benar. Tapi hatinya masih terlalu sesak untuk memikirkan makanan. "Kau ingat Zidan, kan?" Qisya mengerutkan kening, heran. “Pertanyaan apa itu? Tentu saja aku ingat anakku sendiri.” “Nah, itu alasan kau harus makan,” kata Irfan. “Supaya tetap sehat dan bertenaga. Kalau kau lemas, siapa yang akan gendong Zidan?” Perkataan Irfan memang ada benarnya. Dia tidak bisa terus-terusan larut dalam kesedihan. Tidak boleh membiarkan dirinya hancur. Dia masih punya Zidan—anak yang membutuhkan perhatiannya. Kalau dia tumbang, siapa yang akan menjaga Zidan? Tapi kenyataannya, Qisya memang tidak sanggup makan. Rasa pedih itu terlalu besar, menenggelamkan nafsu makannya. Sejak di rumah sakit, orang tuanya sudah berkali-kali membawakan makanan. Tapi tetap saja, semua itu tak sanggup melewati tenggorokannya. Bagaimana bisa dia menikmati makanan, sementara suaminya terbaring tak berdaya, berjuang antara hidup dan mati? * "Kau kelaparan atau kerasukan?" tanya Qisya sambil melongo melihat Irfan membuka kotak nasi kedua. Yang pertama sudah habis bersama rendang daging. Sekarang, kotak kedua penuh ayam goreng dan ikan bakar. Siapa sebenarnya yang tergila-gila makanan Padang di antara mereka? “Entahlah. Aku lapar banget. Rasanya tadi nyaris ku makan bungkusnya sekalian.” Qisya menggeleng pelan. “Berapa lama kau nggak makan?” “Satu minggu. Atau lebih.” Qisya cuma bisa menghela napas. Dia mengenal Irfan Huzair seumur hidupnya—kakak sepupu sekaligus sahabat masa kecil. Rumah mereka dulu berdampingan, dan sekolah pun sama. Mereka selalu bareng ke mana-mana. Sampai akhirnya orang tua Irfan pindah tugas ke luar kota, dan mereka harus berpisah. Tapi ada satu hal yang tak pernah dia lupakan: Irfan benci makan. Saat jam makan tiba, Irfan biasanya malah pergi. Atau pura-pura sibuk. Paman dan bibi mereka sampai stres sendiri menghadapi anak yang doyan ngemil tapi ogah makan nasi itu. Irfan bisa bertahan dengan kue, camilan asin, atau air putih sebaskom. Segitu saja. Segala upaya sudah dilakukan. Ke dokter spesialis, ahli gizi, bahkan terapis. Semua bilang: selama nutrisi terpenuhi, Irfan baik-baik saja. Nggak usah dipaksa makan nasi kalau cuma bikin drama tiap jam makan. Solusinya: variasikan camilan bernutrisi, biar tetap bertenaga. Dan sekarang? Dua kotak nasi Padang ludes tanpa sisa. “Tak heran,” gumam Qisya. Di balik gumamnya, ada rasa lega. Manusia memang harus makan, apa pun kebiasaannya. Setelah kenyang dan bahagia, barulah Irfan membuka mulut, “Gimana kondisi Emran?” Qisya mendengus. “Huh. Sepupu durhaka. Harus kenyang dulu baru tanya kabar.” “Belum ada perubahan,” lanjutnya, sambil mengembuskan napas panjang. “Luka-lukanya?” “Sudah sembuh.” Qisya mengangguk pelan. Iya, semua luka dan memar di tubuh Emran sudah lenyap. Tapi pria itu belum juga membuka mata. Satu bulan sudah berlalu sejak kecelakaan itu—dan Emran masih saja tertidur dalam ‘tidur panjang’ yang menyayat hati. Setiap hari selama satu bulan ini, Qisya menunggu. Berharap. Ada begitu banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Emran: tentang Zidan yang mulai kehilangan ayahnya, tentang rumah yang terasa kosong, tentang rindu yang semakin menyesakkan. Karena harus terus menemani Emran, Qisya terpaksa meminta bantuan Rani untuk menjaga Zidan. Setiap dua atau tiga hari, dia pulang sebentar. Bermain dengan Zidan, memandikannya, menyuapinya. Lalu kembali lagi ke rumah sakit. Begitu terus. Dia rindu suara Emran. Rindu tawa dan leluconnya. Rindu disayang, dimanja. Dan setiap hari, rasa sepi itu kian menggigit. Saat membersihkan tubuh suaminya, Qisya sering menangis diam-diam. Rasanya masih sulit percaya: pria sekuat dan segagah itu, kini terbaring tak berdaya. Rasanya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tapi dia tak boleh putus asa. Qisya sudah melakukan semua saran dokter—mengajak Emran bicara, membacakan novel, memperdengarkan lagu, bahkan berita gosip yang biasa mereka bahas bersama. Dia juga tak pernah berhenti berdoa, memohon kepada Sang Maha Penyembuh. Dokter bilang, kondisi Emran stabil. Asupan nutrisi, obat-obatan, semuanya tercukupi lewat selang dan infus yang terpasang. Tapi soal kapan Emran akan sadar? Tak ada yang tahu. Bisa cepat, bisa sangat lama. Yang bisa dilakukan Qisya hanyalah satu: tetap menunggu. Tetap berharap. Dan terus mencintai. "Bagaimana dengan mata suamimu?" "Tampaknya hanya itu yang belum pulih. Aku cuma bisa berharap—mata itu baik-baik saja. Aku berdoa, saat Mas Emran bangun nanti, dia masih bisa melihat dunia ini seperti dulu." "Aamiin. Aku juga berharap yang sama," Irfan menepuk punggung tangan Qisya. "Dan aku yakin, suamimu pasti akan siuman, Sya." "Makasih dukungannya, Mas," ucap Qisya dengan senyum tipis. "Tapi... bagaimana dengan penyelidikan polisi? Sudah sebulan, tapi mereka cuma datang dua kali dan itu pun tanpa hasil yang jelas." Irfan menarik napas panjang, wajahnya tegang. "Iptu Haris memang sempat datang ke kafe beberapa kali, tanya ini-itu. Tapi sampai sekarang, belum ada titik terang. Terakhir kali dia datang, dia malah bawa info yang agak... mengejutkan." "Info apa?" "Katanya, kecelakaan itu cuma kecelakaan biasa. Nggak ada unsur kesengajaan. CCTV di sekitar lokasi nggak ada, dan saksi-saksi yang tadinya bilang ada truk yang mendesak Emran... sekarang malah ngaku nggak lihat apa-apa." "Mereka bilang nggak ada truk saat kejadian?" Qisya menggeram, suaranya naik satu oktaf. Irfan mengangguk. "Benar. Aneh, kan? Kesaksian kok bisa berubah-ubah gitu." "Pasti ada sesuatu. Jelas-jelas ada yang nyakitin Mas Emran!" "Iptu Haris juga curiga begitu. Bisa jadi, para saksi diancam supaya bungkam." Qisya menghentakkan kakinya, matanya menyala penuh kemarahan. "Kalau polisi nggak bisa temukan pelakunya, aku sendiri yang bakal cari!" "Kau bikin aku takut, Sya," gumam Irfan. Tapi dia tahu, Qisya bukan tipe yang cuma bicara. Dia wartawan lapangan. Terlatih. Nekat. Dan berani. "Harus ada yang bergerak, Mas. Ini sudah terlalu lama." "Biar polisi yang urus—" "Mereka nggak melakukan apa-apa." "Kalau begitu, biar aku saja. Aku punya anak buah. Kita bisa gerak cepat." Ucapan Irfan membuat d**a Qisya sedikit lebih ringan. Dia tahu, kakak sepupunya itu bukan orang biasa. Jika Irfan turun tangan, maka seseorang pasti akan terungkap. "Gimana kerjaanmu? Kamu cuti?" Qisya mengangguk. "Bukan aku yang minta, tapi bosku sendiri yang nyuruh. Katanya aku harus fokus jagain Mas Emran dulu." "Dan itu keputusan yang tepat. Kalau pun kamu kerja, pikiranmu pasti nggak akan di tempat." Qisya menunduk. Lalu lirih, "Mas ... gimana kalau..." "Gimana kalau apa?" Irfan menyipitkan mata, menangkap kegelisahan di wajah Qisya. Dia menarik napas panjang, lalu mengembuskan kuat. "Gimana kalau Mas Emran nggak bangun-bangun?" Irfan terdiam. Sunyi merayap masuk di antara mereka. "Kau takut dia selamanya seperti ini?" Qisya tak menjawab, tapi wajahnya sudah bicara lebih dulu. Irfan menggeser duduknya. Suaranya pelan, hampir berbisik. "Mungkin ini cuma perasaanku. Mungkin juga aku ngelindur. Tapi tadi... aku lihat jari Emran bergerak. Bahkan... kelopak matanya juga."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN