Ketika Arjun hanya bisa memilih untuk tetap bersama dengan Rindi, maka Rindi akan selalu menjadi satu-satunya orang yang berhak bertahan di dalam hati seorang Arjun. Meskipun jarak yang akan memisahkan, meski waktu yang tidak akan saling merelakan. Namun, perasaan yang mulanya hanya sebesar biji kacang, sudah berkembang bagai pohon yang rindang. Beberapa saat mereka bersama, hanya dalam lingkup dua semester sudah cukup membuat kedua manusia itu merasakan damainya perasaan cinta. Ketika liburan baru saja dimulai dan ketika harapan sedang mereka bangun, apakah akan baik-baik saja?
Diibaratkan dengan pelajaran matematika yang penuh dengan strategi pemecahan, psikologi maka akan banyak mengarah kepada perasaan. Ketika hati itu seperti ilmu matematika yang selalu bersifat jelas dan mutlak, maka tidak akan ada sebuah keretakan dan kebimbangan untuk menentukan. Jika hati seperti psikologi yang selalu memahami jiwa manusia, maka tidak ada kata tidak pernah memahami dengan rasa dan tidak peka dengan jawaban soal perasaan.
Nama keduanya memang dalam deretan nama tokoh pewayangan yang begitu melegenda dengan banyaknya keutamaan yang mereka miliki. Seperti Arjuna yang pintar melesatkan panah sedang Srikandi adalah gadis yang sangatlah pemberani. Ketika hati mereka tidak bisa memilih untuk berhenti kepada siapa dan akhirnya mereka jatuh pada hati yang sama. Hati yang kosong bertemu dengan hati yang sepi.
"Kenapa kamu milih masuk jurusan psikologi daripada yang lainnya?" tanya Rindi yang duduk disamping Arjun sambil menatap gulungan ombak yang tidak tenang. Apalagi malam seakan-akan datang sebentar lagi setelah senja berakhir tenggelam dengan sempurna. Warna langit oranye menjadi gradasi warna yang maha sempurna untuk sekedar melepas penat.
Arjun melirik ke arah Rindi yang nampak menikmati suasana pantai di sore ini, "karena laki-laki harus belajar peka. Makanya masuk psikologi, gitu!" jawab Arjun yang membuat Rindi mendengus sebal. Bukankah pertanyaannya itu cukup serius untuk ditanyakan kepada Arjun. Lagipula Rindi juga sangat ingin tahu mengapa laki-laki yang cukup dikenalnya sebagai orang yang mencintai olahraga malah memilih psikologi sebagai bidang yang akan digelutinya.
Sesekali Arjun tertawa karena melihat ekspresi kesal dari Rindi yang menurutnya cukup sangat menggemaskan. Perempuan itu diam sambil terus memandang wajah teduh Arjun yang masih berada di dekatnya. Setidaknya ada banyak waktu yang bisa mereka jelajahi bersama. Tidak terkecuali di masa liburan yang memang sudah mereka setting untuk berjalan bersama-sama.
"Kenapa kamu mau berteman sama aku? Sedangkan banyak orang yang menjauh dan pergi dari hidupku begitu aja," ucap Rindi sambil menggenggam cup minumannya yang tinggal setengah sambil memandangi pantai. Mungkin hari ini tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Bersama dengan Arjun dia bisa menikmati sore yang bewarna oranye dan harum pasir pantai yang dibasahi oleh ombak.
Arjun menghela napas panjang, dia kesal jika Rindi menanyakan hal tidak penting semacam itu kepadanya. Semenjak mereka dekat dan perlahan hatinya ini takluk, Arjun sudah tidak punya alasan selain untuk memberikan kenyamanan bagi dirinya. Tidak ada alasan lain selain membuat hatinya yang kedinginan perlahan menghangat karena menatap Rindi meski sebentar.
Namun sayangnya, Arjun belum bisa mengatakan alasan utama dari perasaannya yang memang terbuka untuk Rindi. Dia masih banyak pertimbangan soal apa yang akan terjadi kedepannya. Apakah Rindi juga menyukainya seperti Arjun yang berharap lebih pada Rindi. Semua seakan menjadi teka-teki yang sulit bagi Rindi, bahkan ketika Arjun hanya mengarahkan kedua bola matanya dengan sedikit senyum yang menghias wajah gantengnya itu.
"Kenapa aku harus jawab? Kamu juga kenapa betah berjam-jam duduk sama aku? Padahal kita cuma diem? Ayo kenapa," tanya Arjun dengan senyuman yang menggoda. Membuat Rindi di sana hanya bisa menatap langit yang perlahan menghitam. Rindi punya banyak jawaban untuk menjawab satu pertanyaan yang Arjun berikan padanya. Ketika perasaannya sudah memilih, dia hanya tahu satu hal. Tidak ada satupun alasan untuk tidak bersama dengan Arjun.
Rindi kembali fokus pada langit dan tersenyum, "karena kamu hadir disaat semua orang tidak menginginkan kehadiranku. Aku tahu, aku mungkin menyebalkan dan sangat membosankan. Aku juga paham jika aku biasa, tidak cantik dan tidak punya bakat istimewa seperti perempuan yang lainnya. Tapi, kamu tiba-tiba datang hanya untuk sekedar memberi semangat. Ar, kamu satu-satunya orang yang tidak pernah malu berdekatan denganku," jawab Rindi jujur dengan kedua bola matanya yang berkaca-kaca. Suaranya semakin hilang karena entah mengapa, suasana kali ini menjadi jauh lebih mellow.
"Kamu tahu, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Kehilangan hanya sekedar tanda jika akan ada sebuah kehadiran. Karena, tanpa kehilangan, kamu tidak akan menghargai kehadiran. Rin, misalkan suatu saat nanti aku menghilang, bukan berarti aku ingin menjaga jarak. Tapi semua itu adalah proses," ucapan Arjun itu membuat Rindi semakin mengerutkan keningnya.
"Kamu nggak akan pergi kan? Setidaknya sampai aku siap dulu, Ar. Aku mana bisa bertahan di sini tanpa kamu? Aku biasanya minta apa-apa sama kamu," kini Rindi merengek karena tidak mau ditinggalkan. Padahal Arjun baru memisalkan kemungkinan yang memang akan terjadi.
Arjun mengelus puncak kepala Rindi sayang, "hm, mungkin!" jawabnya asal dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat. Kadang Arjun bagaikan bongkahan es yang membeku pada suhu nol derajat Celsius. Namun kadang Arjun juga bisa bersikap seperti air yang mendidih dengan suhu seratus derajat Celsius. Karena Arjun, memiliki dua cara untuk sekedar memperlakukan Rindi dengan segala yang dia miliki.
Keduanya beranjak dengan langkah yang beriringan karena senja sudah terlewati bersama. Hanya ada rasa senang dan juga terukirnya kenangan yang tidak akan terhapus sampai kapan pun karena senja tidak akan pernah hilang. Senja hanya bersembunyi sementara dan kemudian untuk hari berikutnya datang dengan membawa senyuman yang sama.
Dan sekali lagi, senja kembali menjadi saksi perjalanan kisah dua manusia dengan perasaan yang sama namun saling diam dengan rasa. Mereka selalu berpikir, jika cinta dalam diam akan terungkap dengan indah. Jika tidak terungkap sekalipun, hubungan tidak akan retak dan masih sama. Senja berhasil mengabadikan momen indah antara Arjun dan Rindi yang selalu percaya, jika takdir tidak akan pernah salah memberikan garisnya.
Ketika waktu mereka sudah sampai, maka penantian selama apapun, akan berakhir juga. Ini tidak mudah, tapi penantian itu adalah sebuah kenikmatan di kala kerinduan dan sebuah ketidakpastian. Karena, tidak semua yang terburu-buru itu akan indah dan menjadi hal yang akan bertahan. Mungkin tidak perlu terburu-buru dan semua akan lebih sempurna tanpa jeda. Seperti kisah cinta yang akan membawa sampai maut yang memisahkan.
###
"Kamu udah bilang suka sama perempuan yang kamu taksir itu, Jun?" tanya Lusia dengan wajah datar diiringi dengan lirikan matanya. Keduanya memang sedang duduk bersama di salah satu rumah makan yang ada di sekitar jalan palagan tentara pelajar. Mereka memang sengaja bertemu untuk sekedar bicara. Entahlah, Lusia hanya ingin bicara sebentar dengan laki-laki itu.
Arjun menghela napasnya kasar dengan senyuman tipisnya, "aku belum bilang apa-apa sama dia. Lagian, kenapa sih kalian semua terlalu menekanku untuk bilang sama Rindi. Bagaimana pun aku punya pertimbangan sendiri soal kenapa aku mengulur waktuku. Sia, aku nggak tahu apa yang aku lakukan benar apa salah, tapi kamu harusnya paham jika aku bukan orang yang pandai dalam cinta. Tapi, aku sungguh-sungguh mencintainya," ucapnya pelan namun jelas di dengarkan oleh Lusia.
Walaupun dia suka pada Arjun, tapi dia tetap peduli dengan perasaan orang lain. Lusia masih ingin bersahabat dengan Arjun karena mereka memang selalu bersama, meski dalam keadaan apapun. Lusia paham, jika dia tidak bisa memiliki hati Arjun, maka dia masih bisa bersahabat dengan laki-laki itu. Bagaimana juga, Arjun adalah temannya sejak awal mereka masuk psikologi.
Lusia menyeruput minumannya dan kembali fokus pada teman laki-lakinya itu, "hm, awalnya aku pikir dia menyebalkan. Tapi, setelah aku pikir-pikir, aku tidak suka padanya karena kamu lebih condong padanya. Jun, aku tahu bagaimana kamu sangat jatuh cinta padanya. Tapi, apa tidak papa jika dia menganggap kamu hanya sekedar teman? Apa kamu tidak berpikir untuk mengikat dirinya?" tanya Lusia kembali dan hanya disambut gelengan kepala dari Arjun.
"Aku nggak berniat mengekang kebebasannya. Rindi memang menyebalkan, tapi dia cukup lucu kalau kamu sudah kenal dia. Sayangnya, dia tidak pernah mau membuka pertemanan dengan orang baru jika dia tidak mau. Ya, banyak kenangan buruk di masa lalu tentunya. Dia pernah menjadi korban bully teman-temannya dan pernah menjadi orang yang merasakan sendirian karena beberapa temannya menjauh. Sisi gelapnya memang ada, tapi aku tidak mau bilang itu hal yang aku benci karena cinta tidak akan memandang kekurangan," jawab Arjun diujung pernyataannya.
Arjun membayangkan wajah Rindi dengan senyuman manis dan juga candaannya. Kadang, Rindi suka sekali bercanda, tapi pada suatu masa, perempuan itu sering menangis walau dalam diam. Semua itu Arjun ketahui meski Rindi tidak pernah bilang dan luka yang tersimpan itu tak pernah terbuka. Rindi memang selalu bertingkah tidak butuh pada siapapun, namun jiwanya nyatanya kosong dan dia sangat butuh teman.
Kebungkaman keduanya usai setelah dua piring bakmi godhog-rebus tersedia di atas meja. Keduanya hanya bisa terdiam dan perlahan menyantap makanan masing-masing. Arjun yang fokus dengan makanannya dan Lusia yang juga fokus pada makanannya.
"Kenapa kamu jadi berubah pikiran soal perasaanmu? Maaf karena mempersulit," ucap Arjun disela-sela acara makan mereka. Sedangkan matanya terus saja memfokuskan diri pada manik mata Lusia yang teduh. Namun, sedetik kemudian Lusia tertawa dengan cepat.
Lusia melipat tangannya di atas meja dengan senyuman manis dan menggoda, "apa kamu jadi menyesal karena perempuan secantik ini, tidak jadi menyukai dirimu?" tanyanya dengan alis yang sengaja dia naik-turunkan untuk menggoda Arjun dengan lincahnya.
Arjun mendengus kesal melihat wajah Lusia yang sudah kembali menyebalkan seperti biasanya. Ah, sahabatnya yang dulu sudah kembali lagi. Padahal dia juga merasa was-was jika Lusia akan membencinya dan pertemanan mereka akan berakhir begitu saja seperti film-film yang sering masnya tonton misalnya.
"Hm, cantik," hanya itu tanggapan yang keluar dari bibir Arjun dengan mudahnya. Sejak awal Arjun memang dikenal sebagai laki-laki yang dingin dan tidak pernah bisa membuat lelucon dengan bau-bau cinta, karena bagi laki-laki itu, cinta dan perasaan adalah hal yang sakral.
Keduanya kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing sambil memakan makanan mereka. Setidaknya semua juga baik-baik saja setelah Lusia mau jujur dengan hatinya. Walaupun menyakitkan, tapi dia rela melepaskan Arjun karena Lusia juga sadar dengan posisinya. Dia terlalu terobsesi dengan Arjun karena banyak orang yang bilang jika mereka cocok dan mereka bisa menjadi pasangan yang akan membuat orang lain iri.
Lusia juga menganggap jika laki-laki yang dekat dengannya akan sangat mudah dia dapatkan. Karena selama ini selalu begitu, Lusia tinggal menunjuk dan memberikan aksi sedikit, maka laki-laki yang menjadi incaran darinya, langsung bertekuk lutut. Tidak perlu lama-lama, hanya butuh waktu sebentar saja dan semua akan menjadi miliknya.
Tapi, ketika dia jatuh cinta pada Arjun. Semua harapan dan juga keinginannya runtuh begitu saja karena laki-laki itu tidak pernah memberikannya waktu untuk menyentuh hatinya. Arjun tidak pernah membiarkan orang lain masuk jika sudah ada yang tinggal di hatinya.
Arjun menyilangkan sendok dan garpunya, tanda jika dia sudah selesai dengan makanannya. Kini dia hanya menatap ke arah Lusia yang menghabiskan sisa bakmi yang masih ada.
"Alasanku belum bicara padanya itu, karena aku daftar polisi lagi, Sia. Kupikir, aku juga harus membuktikan sebelum aku bicara padanya. Walaupun dia tidak peduli dengan itu, tapi aku sangat peduli dengan semuanya. Asal kamu tahu, Rindi itu suka dengan abdi negara. Entah apa yang dia suka, tapi yang jelas dia selalu berhenti untuk sekedar menatap mereka. Jangan pikir dia hanya suka pada yang muda. Dia juga melihat mereka yang sudah tua. Rindi itu unik, semua yang dia suka pun unik. Kadang apa yang dia suka juga tidak benar-benar punya alasan," ucap Arjun dengan membayangkan wajah Rindi.
Lusia menganggukkan kepalanya dengan cepat, "seperti kamu yang mencintai juga tanpa alasan? Jika ada alasannya pun, itu karena dia berbeda dengan perempuan yang lainnya. Jun, banyak perempuan-perempuan yang mengejarmu, tapi dia tidak kan? Malah kamu yang seakan-akan mengejar dia. Rasanya pasti menyenangkan menjadi dia yang kamu cinta," jawab Lusia dengan wajah berseri.
Arjun tersenyum kecut, "tidak juga! Dicintai orang seperti aku juga perlu kesabaran dan juga penantian yang lama. Karena aku tidak semudah itu bilang cinta dan melupakan rasaku begitu saja. Setidaknya, jika aku berani singgah, maka aku akan menetap."
Lusia terdiam dengan kedua bola matanya yang terfokus kepada perempuan dengan jaket hitam di depannya. Bibirnya terkunci sedang Arjun yang menyadari perubahan wajah Lusia langsung menoleh ke belakang dan melihat jika ada perempuan yang sedang mereka bicarakan berdiri cukup jauh dari mereka.
Perempuan itu terdiam dengan wajah datarnya. Lalu berjalan pergi dengan senyuman yang telah memudar.
"Kenapa aku cemburu?"