Lusia menaruh laptopnya di atas meja sekre. Sekarang kedua bola matanya terarah pada laki-laki dengan kaos berkerah warna abu-abu. Arjun yang merasa sedang diperhatikan langsung melirik ke arah Lusia dengan menaikkan sebelah alisnya. Sejak pulang dari acara BEM terakhir, Lusia memang marah dengan Arjun. Apalagi saat Arjun bilang jika hatinya sudah dimiliki oleh Rindi. Meski aslinya perempuan yang sering menempel padanya itu tidak tahu sama sekali soal perasaannya.
Beberapa detik kemudian Lusia mengalihkan pandangannya. Ia dan Arjun memang terkenal di kalangan anak psikologi atau anak BEM karena memang digadang-gadang sebagai pasangan yang cocok dari segi apapun. Arjun yang ganteng dengan Lusia yang cantik, mereka juga sama-sama aktif dalam organisasi jadi menambah nilai plus untuk mereka.
Sayangnya Arjun tidak pernah membuka hati untuk siapapun karena dia sangat mencintai teman SMA-nya itu. Meskipun ada yang bilang jika Rindi tidak cocok dengannya. Menurutnya mereka bilang seperti itu pada Arjun hanya karena sikap dan watak Rindi yang memang terlihat acuh dan sombong. Tapi, semua hanya tampilan luar saja, Rindi tidak seburuk yang mereka katakan.
"LPJ kenapa kamu bikin sendiri? Aku kan sekretarismu, masa iya ketua bikin LPJ sendirian. Apa kata anak-anak coba? Bisa-bisa kita dikira lagi marahan," ketus Lusia pada Arjun yang fokus bermain game di ponselnya. Dia hanya melirik Lusia sebentar dan fokus kembali pada game-nya.
"Emang kan," tiba-tiba Arjun menyaut apa yang Lusia katakan baru saja. Memang benar jika mereka sedang marahan. Meski aslinya hanya Lusia saja yang kesal dengan sikap Arjun pada dirinya. Bukankah Arjun selalu baik dengan semua perempuan. Meski perlakuannya dengan seorang Rindi benar-benar beda seratus delapan puluh derajat dengan orang lain.
Lusia mendengus saat laki-laki itu menjawab dengan seenaknya. Padahal bukankah benar jika dia marah pada Arjun karena hal sepele yang membuatnya tidak bisa makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak karena patah hati. Sedangkan Arjun tetap biasa-biasa saja bahkan saat mereka berada di dalam ruangan yang sama dan tanpa bicara sama sekali. Arjun sudah biasa!
"Kamu kenapa sih jadi cuek sama aku? Emangnya aku salah gitu, kalau suka sama kamu?" tandas Lusia yang membuat Arjun harus meletakkan ponselnya dan segera melihat ke arah Lusia dengan jelas. Bukannya sudah jelas jika Arjun tidak menyalahkan siapapun. Kenapa masih bertanya?
Arjun menautkan jemarinya dan menatap tajam kedua bola mata Lusia, "nggak salah! Caramu aja yang salah, Sia. Udahlah, kenapa di bahas terus sih? Aku enggak mau bahas kaya gini di sini. Sia, kamu bisa dapat laki-laki yang jauh lebih baik dari aku. Kamu itu cantik, dan banyak cowok yang ngantri buat jadi pacarmu. Kamu jelas tau itu," ucap Arjun kembali dengan intonasi yang menekan.
Lusia jelas tahu jika banyak laki-laki yang suka padanya karena itu bukanlah hal yang baru bagi perempuan yang cantik. Setiap ada dirinya, pasti laki-laki akan segera mendekat hanya untuk sekedar menggodanya atau mencari perhatiannya. Tetapi berbeda dengan Arjun yang tak pernah sebentar saja tertarik padanya. Karena semua fokus laki-laki itu hanya pada seorang perempuan biasa dan manja seperti Rindi.
Klek. Dirga masuk ke dalam ruang sekre, pandangannya jatuh pada kedua manusia di dalam sana yang saling berhadapan namun diam. Keduanya bahkan sibuk dengan agenda masing-masing. Sesekali Arjun mengetik di laptop milik Lusia sedangkan Lusia menulis di buku tebal yang merupakan notulen rapat milik anak-anak BEM.
"Hay bang," sapa keduanya dengan kompak namun tidak mengalihkan pandangan dari pekerjaan masing-masing.
"Oh hay," jawab Dirga dengan kikuk karena merasakan aura tidak menyenangkan di dalam ruangan ini. Mungkin dia masuk dalam timing yang tidak tepat. Ah, haruskah dia keluar lagi? Tapi apakah tidak aneh jika dia yang baru masuk tiba-tiba keluar hanya karena merasakan aura permusuhan diantara kedua manusia di depan sana.
Perlahan Dirga duduk di kursi yang agak jauh dari keduanya. Ya, mencari aman jika ada yang bermusuhan itu lebih baik. Dari awal keduanya memang sudah dianggap memiliki hubungan khusus, apalagi jika orang yang baru melihat mereka berjalan bersama. Pasti sudah menganggap jika keduanya adalah pasangan yang cocok. Tapi nyatanya ada perempuan lain di dalam hati Arjun. Sedang Lusia sendiri sangat berharap pada Arjun.
Lusia tiba-tiba beranjak dengan menutup laptop miliknya dan keluar dari ruangan sekre buru-buru. Sedangkan Arjun hanya menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Matanya seakan berat karena terlalu lama menatap layar laptop sejak tadi. Apalagi dia juga harus ada tatapan mata karena Lusia sejak tadi mengajaknya untuk berdebat.
Ah, memang hari ini mood-nya memang berantakan karena hal lain yang diluar organisasi. Ini juga bukan masalah Rindi, tapi karena dia lelah kemarin. Pada akhirnya Arjun memang ikut tes masuk bintara POLRI kembali dan lolos masih tahap kedua. Ah, rasanya senang meski dia harus merasakan lelah pada seluruh anggota badan ditambah tugas yang menggunung akibat terbengkalai karena dia sibuk mempersiapkan diri untuk tes kemarin.
Dirga menaruh kopi yang baru saja dia buat di depan Arjun dengan pelan, "minum lah! Biar bisa mikir plus nggak ngantuk. Jangan dipaksa bikin laporan kalau badanmu lagi nggak fit. Semuanya malah berantakan dan bikin musuhmu semakin berkembang," ucap Dirga yang membuat Arjun hanya melirik tanpa menjawab. Memang sih dia terlihat sensi hari ini. Sudah bangun kesiangan, datangnya ke kampus telat, harus laporan sana-sini, presentasi dadakan padahal belum belajar. Ah, masih banyak kesialannya hari ini. Ditambah lagi Lusia yang selalu mengatakan hal-hal semacam perasaan yang semakin menggugah emosinya.
Arjun mengangkat cangkir berisi kopi yang sudah Dirga buatkan dan meminumnya sampai tandas. Sedangkan Dirga hanya bisa menggelengkan kepala bingung. Dia sangatlah hapal dengan adik tingkatnya itu. Meski Arjun seperti terlihat baik-baik saja tapi pasti ada masalah yang memang tidak memberi tahu siapapun.
"Kenapa Jun? Mikirin Rindi lagi atau gimana? Atau malah mikir soal tes polisimu itu?" Dirga kembali membuka pembicaraan dengan Arjun yang nampaknya sedang malas-malasan. Wajahnya juga tidak seceria biasanya. Arjun terlihat mendung sejak tadi, ditambahkan dengan mood yang berantakan. Membuat dia sedikit sensi dengan orang-orang sekitarnya.
Arjun memejamkan kedua bola matanya sejenak, "enggak ada yang perlu dipikirin sih bang. Aku baik-baik aja, enggak usah khawatir. Cuma mood aja yang jelek, bawaannya males mau ngapa-ngapain dan sensi sama beberapa temen juga. Padahal mereka nggak salah sih, cuma akunya aja yang nggak tau ini kenapa." ucapnya sambil mengacak rambutnya kasar.
Arjun yang terkenal ramah dan menyenangkan, pagi ini cukup terlihat menyebalkan dengan wajah yang menekuk sempurna. Di tambah dengan aura yang tidak baik, membuat beberapa orang mengurungkan niatnya untuk menyapa Arjun sejak tadi.
"Pasti masalah sama Lusia juga, makanya kamu jadi nggak betah di kampus kan? Udahlah, kalau masalah Lusia nggak perlu deh kamu urusin. Kamu kan paham kalau dia suka banget ke kamu. Apalagi dia bela-belain ikut BEM cuma bisa dekat sama kamu. Eh tahunya kamu udah ada yang lainnya," ucap Dirga yang sedikit tertawa jika mengingat cinta segitiga antara Lusia—Arjun—Rindi.
Arjun mengangguk, "hm ya gitu lah. Lusia susah di kasih tahu, tetep aja keukeh sama pendapat dia. Udah tahu kalau aku nggak mau dan bukan tipikal orang yang gampang dipaksa," ucap Arjun dengan wajah kesalnya.
Dirga tertawa dengan jawaban Arjun yang benar-benar ceplas-ceplos dan apa adanya. Memang sih, dia tahu banget bagaimana Lusia pada Arjun sejak awal. Dia memang sudah terlihat suka dengan Arjun karena mungkin saja seorang Arjun yang keren dan ganteng bisa menjadi laki-laki yang cocok untuk Lusia.
"Terus kenapa kamu nggak sama Lusia dan ninggalin Rindi? Apa alasannya?" tandas Dirga sambil melipat kedua tangannya di atas meja. Kedua bola matanya sibuk mengarah kepada Arjun yang terdiam sambil berpikir.
Arjun memutar bola matanya malas. Dirga selalu mencari satu kelemahannya di setiap pertanyaannya yang kadang-kadang sulit untuk dia jawab.
"Karena nggak ada alasan untuk ninggalin Rindi," jawabnya kali ini dengan singkat. Baginya itu sudah final, bersama dengan Rindi tanpa memikirkan orang lain di dalam hatinya. Karena sepenuhnya Arjun sudah mulai percaya pada Rindi untuk menjadi penjaga hatinya.
###
Rindi kembali duduk di salah satu kursi taman kampusnya dan menatap Arjun yang sibuk makan-makanan fast food yang dia pesan secara online itu. Sejak awal Rindi juga bingung kenapa Arjun menyuruhnya datang ke kampus laki-laki itu. Dan ternyata hanya untuk diajak makan berdua di bawah teduhnya pohon anggur yang menaungi mereka.
Arjun yang sekarang hampir menghabiskan burger besarnya hanya menatap Rindi yang masih belum menyentuh makanannya dengan menu ayam dan nasi. Ah, Arjun hapal apa saja yang Rindi suka atau tidak. Apalagi jika sudah menyangkut makanan, dia sudah cukup hapal diluar kepala. Apa saja yang menjadi pantangan makanan karena ada beberapa makanan yang membuat alergi perempuan itu.
"Nggak di makan?" tanyanya yang masih mengunyah burger dengan ukuran besar itu. Sedang Rindi hanya tersenyum sambil memegang minuman teh yang memang menjadi kegemaran Rindi itu. Sedikit banyak kedua manusia itu sudah menjelaskan perasaan satu sama lain, namun untuk Rindi sendiri. Jika Arjun belum mengklarifikasi kepada dirinya, maka Rindi tidak akan bilang jika Arjun juga suka padanya.
"Malah ketawa! Kamu tahu nggak sih, kalau ketawamu itu bikin hatiku rasanya adem. Bisa kan kalau setiap hari kamu itu ketawa kaya gini, nggak cuma ngambek sama aku." ucap Arjun yang menaruh makanannya dan memilih menatap Rindi sekilas.
Rindi mencubit pipi Arjun dengan gemas, "besok waktu liburan semester, kita jalan-jalan yuk kemana gitu. Atau mau ke Solo naik kereta," ucap Rindi yang antusias dengan acara liburan semester yang biasanya memang berkisar dua sampai tiga bulan. Lumayan untuk sedikit mendinginkan pikiran yang panas setelah ujian yang menguras waktu dan tenaga.
Arjun berpikir sejenak lalu mengangguk dengan cepat mengiyakan ajakan dari Rindi yang menurutnya tidak bisa dia sia-siakan begitu saja karena sangat langka.
"Ya udah di makan," Rindi hanya mengangguk dan memakan ayam yang sudah tersedia di depannya hasil pemberian Arjun siang ini. Setidaknya meski hanya duduk terdiam seperti ini, Arjun merasa lega jika gadisnya itu dalam keadaan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dirinya khawatirkan karena Rindi tidak apa-apa.
Sesekali keduanya menceritakan kelucuan saat mereka di kampus masing-masing dan salah suatu mata kuliah. Atau kadang saling bertukar pikiran soal program studi masing-masing yang cukup menyenangkan. Dan kadangkala gerakan mata mereka memang sudah menjelaskan rasa apa yang sedang melanda keduanya.
Beberapa orang yang lewat juga saling berbisik soal siapa Rindi yang berani berdekatan dengan Arjun. Si populer memang tidak akan dengan mudah menjalani hidupnya, yang jelas akan ada banyak sorotan soal hubungan keduanya. Entah dalam konteks positif atau negatif.
Sedangkan yang Arjun suka dari Rindi adalah, dia tidak pernah berhenti membuatnya tertawa walaupun dengan hanya sekedar bercerita. Tapi jangan tanya saat mood perempuan itu jelek, bisa menangis atau marah-marah. Tapi jika mood-nya dalam kondisi baik dan tidak ada yang membuatnya kesal, Rindi sudah menjelma bagaikan pelawak. Dia mempunyai humor yang tinggi tapi dengan orang-orang tertentu saja.
"Ar, bagi kentangnya dong. Aku pengen soalnya, ayamku udah habis tapi saosku masih," ucap Rindi memelas sambil menatap kentang goreng milik Arjun yang masih penuh.
Arjun dengan wajah sinisnya langsung mengambil kentang gorengnya dan memeluknya, "ih nggak mau. Ini kesukaan aku tahu," goda Arjun dengan wajah yang menyebalkan bagi Rindi. Rasanya ingin dia cubit saat itu juga.
"Ya udah kamu pelit," ucap Rindi yang menyandarkan kepalanya di bahu Arjun sambil sibuk dengan game buah-buahan di dalam ponselnya. Sedangkan Arjun akhirnya menyuapi Rindi dengan potongan kentang yang memang menjadi favorit kedua manusia itu.
Dan keseharian keduanya sudah menjadi hal biasa untuk Lusia. Lagi-lagi dia hanya bisa menjadi penonton dari balik jendela ruangan sekre dengan wajah kesal. Namun, dia juga tidak bisa melakukan apapun karena Arjun sudah memiliki pilihannya sendiri. Pilihan untuk tetap bersama Rindi apapun alasannya.
"Baru kali ini deh kita akur, Ar. Biasanya kamu suka marah-marah kalau aku ngapain gitu. Padahal kan aku udah ngelakuin hal bener," Rindi mencoba mengingat-ingat apa saja yang sudah Arjun katakan padanya. Sejak awal Arjun memang selalu memarahi dirinya karena hal-hal kecil. Bukan apa-apa, hanya saja Arjun memang tidak mau jika Rindi salah jalan.
"Hm, kamu kan cerobohnya nggak ketulungan. Mau enggak dibilangin juga tetap aja aku jadi khawatir," Arjun menatap Rindi dengan ekspresi kagetnya. Dia kelepasan untuk bilang khawatir di depan Rindi.
Membuat keduanya kembali terdiam karena perasaan aneh yang melanda keduanya. Arjun hanya bisa memakan kentangnya dan Rindi yang hanya diam bersandar pada bahu kokoh Arjun.
"Aku seneng kamu khawatir sama aku," ucapnya dengan senyuman yang ditanggapi Arjun dengan melirik Rindi saja. Dan biarkan untuk sesaat saja, Arjun bisa menghabiskan waktunya dengan Rindi sebelum masa di mana mereka berpisah datang.