Matahari sudah mulai meninggi. Terasa dari pancarannya yang menghangat menerpa kulit. Gadis itu, Tiara, masih bergelung dengan selimut tebal berwarna putih. Tidurnya kali ini sangat nyaman dan nyenyak. Kasurnya empuk, selimutnya hangat. Wangi ruangannya juga sangat menenangkan. Dan tiba-tiba Tiara terhenyak, merasa aneh dengan perubahan ini.
Detak jantung Tiara mendadak berpacu ketika kedua matanya terbuka dan menyadari bahwa ini benar-benar bukan kamarnya sendiri. Plafon kamar Tiara hanya terbuat dari triplek, sementara ini, Tiara bahkan tidak tahu langit-langit kamar ini terbuat dari apa. Semuanya terlihat sangat mewah dengan lampu minimalis yang menggantung di tengah-tengah ruangan. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Ya Allah, aku ada di mana? tanyannya dalam hati ketar-ketir.
Lalu seperti ada yang mengingatkan, Tiara sontak mengangkat selimutnya, melihat kondisi tubuhnya sendiri. Alhamdulillah, dalam hati bersyukur saat keadaanya masih sama seperti tadi malam. Tidak ada satupun pakaiannya yang terlepas.
Tiara ingat kejadian tadi malam, dia memang sengaja memejamkan kedua matanya untuk sekedar meredam emosi karena ulah Raka. Pun saat Raka menanyainya tentang makanan, dia masih dengar. Niatnya, dia tetap akan berpura-pura tidur sampai depan rumahnya nanti. Biarlah perutnya semakin nyaring, asal dia bisa segera lepas dari pria itu. Begitu pikirnya saat itu.
Menyibak selimut tebal yang menghangatkan kakinya, Tiara lalu melangkah menuju tirai tinggi kiri tempat tidur. Astagfirullah, hatinya kembali membatin ketika melihat gedung tinggi di seberangnya.
"Aku di mana ini?" tanyanya menggumam kepada diri sendiri sambil memegang dadanya yang kembali berdetak cepat.
Tiara lantas berlari menuju pintu saat kedua telinganya mendengar bunyi-bunyi aneh dari luar sana.
Gadis itu tak menghiraukan telapak kakinya yang telanjang. Keluar dari kamar, dia mendapati seorang pria yang tengah berolahraga di atas treadmill. Tirai jendela di depan benda itu, yang sama tingginya dengan di kamar tadi, dibuka lebar-lebar seolah memang mempersilakan cahaya matahari untuk masuk. Raka, pria itu berlari dengan keringat yang sudah mulai membasahi kaos.
"Kenapa nggak nganterin aku pulang?" tanya Tiara ketika dia sudah berdiri di dekat alat fitness tersebut.
Raka menoleh ke samping kanannya, bisa ia lihat wajah Tiara yang kembali ditekuk. Ia lalu menyudahi olahraga paginya setelah menekan tombol di layar monitor treadmill. "Selamat pagi, Sayangku." ucapnya seraya meraih handuk putih di lengan sofa, yang berada di belakang treadmill tadi. Berbalik menatap Tiara sambil tersenyum manis.
"Kenapa nggak nganterin aku pulang dan malah bawa aku ke sini?" Tiara mengulang pertanyaanya kembali.
"Gimana tidurnya, nyenyak?" Raka malah mengalihkan pembicaraan dengan bertanya perihal lain, sambil mengusap keringatnya di wajah dan leher.
"Aku mau pulang." ujar Tiara lalu mulai melangkah menuju pintu yang ia yakini adalah pintu keluar dari tempat ini.
Raka malah berjalan santai ke sisi kiri treadmill, menuju sebuah dapur kecil yang di d******i warna hitam dan abu-abu. "Cuci muka dulu, Sayang. Iler kamu tuh sampai ke dagu."
Langkah Tiara langsung berhenti. Tanpa sadar ia termakan ucapan Raka. Kedua tangannya lantas mengusap dagu dan seluruh wajahnya. Sekian detik mematung di depan pintu, ia lalu berlari kembali masuk ke dalam kamar.
×
"Aku kalau tidur nggak ngiler ya, asal kamu tahu." cecar Tiara setelah beberapa menit berada di dalam kamar. Seusai ia selesai mencuci muka. Ia menghampiri Raka yang tengah mengunyah buah apel di meja makan.
"Kalau mau pulang, mandi dulu terus ganti baju. Kalau penampilan kamu kayak gini, kamu bakalan dikira habis lari dari Om-om."
Lagi-lagi Tiara termakan omongan Raka. Ia menunduk mengamati penampilannya sendiri. Tak memakai alas kaki, gaun pesta selutut dan juga jas hitam yang masih menempel di lengan. Dan jangan lupakan tatanan rambutnya yang sudah berantakan. Tiara membenarkan ucapan Raka dalam hati. "Terus kenapa kamu tadi malam nggak nganterin aku pulang dan malah bawa aku ke sini?" ulang Tiara ke dua kali. Dadanya mendadak kempas-kempis.
"Kamu tidur, Nyonya." jawab Raka sekenanya, lalu menarik lengan Tiara dan mendudukkan paksa gadis itu di kursi meja makan. "Sarapan dulu, habis itu mandi. Nanti aku anterin pulang."
Tiara melihat Raka yang mulai memindahkan mangkok bubur ayam ke hadapannya. Bubur nasi dan kuahnya dipisah, mungkin mengantisipasi karena Tiara yang tak kunjung bangun. Bayangkan saja, seorang perempuan baru bangun saat jarum pendek jam sudah menunjuk angka delapan. Dia bahkan tidak sholat subuh.
"Makan yang banyak biar cacingnya nggak nyanyi." lanjut Raka lalu melangkah menjauh dari meja makan. "Di kamar tadi ada baju ganti, kamu pakai aja. Aku mau mandi dulu." ucapnya lagi sebelum menghilang di balik pintu kamar di samping kamar yang Tiara tempati.
Setelah kepergian Raka, Tiara menunduk melihat mangkok bubur itu. Bau sedap menjalari hidungnya dan perutnya juga langsung berbunyi seolah sedang berkomplot. Kepalanya juga sudah agak pening karena ia merasa sangat kelaparan. Gadis itu lalu meraih sendok makan yang sudah disiapkan. Ia menyendok kuahnya terlebih dulu dan menyeruputnya sedikit.
Cuuussss.
Kuah kaldu itu meluncur di tenggorokannya. Rasanya sangat nikmat melebihi apapun. Tiara belum pernah makan bubur ayam seenak ini. Kemudian gadis itu menyuap lagi dan lagi hingga seluruh isi di mangkok bulat itu tandas tak bersisa.
×
Setelah cukup lama memilih dan memilah, akhirnya Tiara memakai dress putih dengan corak bunga-bunga kecil warna pink. Bukan tanpa alasan, hanya dress itu yang model kerah dan berlengan sebatas siku. Sementara tujuh baju yang lain adalah baju tanpa lengan dengan model tali spagethi yang jika dipakai pasti akan memamerkan d**a. Sebelum mandi tadi, Tiara sudah menggeledah kamar ini. Berharap menemukan paper bag tempat ia menyimpan bajunya sendiri yang tadi malam. Tapi nihil, Tiara tak juga mendapatinya. Mungkin benda itu masih ada di mobil.
Tok.tok.tok.
Tiara mendengar pintu diketuk lalu dengan cepat ia membereskan pakaiannya semalam. Memasukkannya kedalam paper bag yang ia temukan di dalam lemari, di bawah gantungan baju-baju tadi. "Sebentar." ucapnya saat pintu kembali diketuk dengan tidak sabaran.
Ceklek.
"Cantik." puji Raka dengan senyum manis seperti biasa, sampai matanya semakin menyipit. Pria itu tidak bisa mengalihkan pandangannya begitu saja dari gadis di depannya.
Tiara melengos melewati Raka yang sudah rapi dengan setelan kerjanya. Langkahnya cepat menuju pintu keluar. Ia ambil sendal jepitnya dari rak di samping pintu.
Gadis itu menunggu Raka keluar, karena ia tidak tahu harus jalan kemana. Dia bersedekap lalu menyandarkan punggungnya di tembok dekat pintu untuk mengusir bosan.
Klik.
Tiara mendengar pintu dibuka, bukan pintu di sampingnya, tapi pintu di ujung lorong sana. Gadis itu sedikit menunduk, bukan tidak sopan karena tak menyapa, tapi Tiara tidak kenal dengan mereka.
Tepat saat terlihat sepasang kaki yang memakai high heels tujuh senti itu hampir melewati posisinya, Tiara tanpa sadar mendongak karena merasa dirinya diamati. Dan benar saja, perempuan yang sepertinya masih muda itu menatap aneh padanya. Ujung bibirnya sedikit menukik naik dengan sorot mata yang seolah meremehkan. Berjalan berlenggak-lenggok macam model catwalk dengan sebuah tas branded di lengan.
"Ayo." ajak Raka yang membuat Tiara tersentak karena tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
Sampai di dalam lift, mereka berdua masuk setelah wanita karir tadi sudah terlebih dulu masuk. Tiara mengikuti Raka yang memilih tempat di sisi belakang karena wanita itu sudah berdiri di dekat tombol lift. Lagi-lagi, Tiara bisa melihat senyum miring itu dari pantulan pintu lift. Beginilah yang ia tidak suka jika sedang berada di lingkungan orang kaya, diremehkan. Kembali Tiara dibuat tersentak oleh ulah Raka yang tiba-tiba menarik pinggangnya. Tiara mendongak ke samping dan dia melihat Raka yang menenggakkan dagu dengan kedua mata lurus menatap pantulannya di pintu. Benar, seharusnya dia bersikap tenang seperti Raka yang tidak mudah terintimidasi hanya karena sebuah tatapan remeh. Eh, tapi kan Raka juga orang kaya. Berbeda dengannya yang hanya orang kampung.
×
"Dia mungkin heran, kok ada cewek cantik tapi sendalnya jepit." ucap Raka sesaat setelah mereka berdua masuk ke mobil sambil tersenyum kecil. Entah menghibur atau mengejek.
"Kirimin alamatmu." tutur Tiara tak merespon ucapan Raka sebelumnya.
Raka memanasi mesin mobilnya sebentar. "Mau main ke rumahku?" tanyanya.
Tiara mendengus, bisa-bisanya, memang dia kira Tiara ini perempuan macam apa hingga berani main kerumah laki-laki. "Nanti setelah dicuci, bajunya aku paketin."
"Paketin ke mana?" Raka menoleh sekilas sebelum melajukan kendaraan roda empatnya tersebut.
"Ya ke kamu lah." serobot Tiara, tangannya kembali bersedekap.
"Apapun yang udah kamu pakai itu berarti udah jadi punya kamu." jawab Raka berbarengan dengan mobilnya yang sudah keluar dari lahan parkir basement.
"Aku nggak mau pakai baju bekas cewek kamu!"
CKITT!
Mobil di rem mendadak, beruntung tak ada kendaraan lain di belakangnya. "Kamu cemburu?" Senyum miring Raka tersungging dan Tiara sangat tidak suka melihat itu. Perpaduan senyum miring Raka dan raut wajahnya yang tengil benar-benar membuatnya ingin memeras wajah itu seperti memeras cucian baju.
Apa hubungannya Bambang, batin Tiara kesal.
Bersambung.
Terima kasih untuk semua yang sudah membaca Mengikat Mutiara. Pastikan sudah tap love agar otomatis masuk ke pustaka.
❤️❤️❤️