Bab 3

1613 Kata
Seusai menyantap sarapan gratisnya, Tiara menoleh pada pria yang terlihat sibuk dengan ponsel. Gadis itu berdehem beberapa kali agar Raka menjeda kesibukannya. "Udah selesai, Yang?" Tiara memutar kedua bola matanya, malas. "Mending pergi aja deh kamu, aku mau mandi." "Mandi, mandi aja..." jawab Raka enteng. Tiara menahan emosi yang siap meledak sebentar lagi. Bagaimana mungkin dia mandi sementara ada seorang pria yang bukan siapa-siapanya berada disini? Sama saja bunuh diri. "Aku tungguin di luar. Nggak usah mikir macem-macem ya, Mbak." Raka menoleh sambil tersenyum manis. Ia lalu beranjak bangun dari duduknya. "Aku antar kamu ke kampus." "Nggak usah repot-repot, aku bisa naik ojek." tolak Tiara tanpa berpikir ulang. Raka yang sudah melangkahkan kaki itu kembali berhenti dan berbalik. Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celana, Ia tatap gadis tembem yang juga sudah berdiri itu. "Aku nanti malem butuh kamu, ya anggap aja ini imbalannya karena aku tadi malam udah nolongin kamu." "Ogah!" tolak Tiara mentah-mentah. "Kamu pikir kamu siapa bisa nyuruh aku seenaknya sendiri? Oke, aku terima kasih sama kamu karena tadi malem udah nolongin aku. Tapi tolong, please, jangan recokin aku lagi. Aku lagi banyak pikiran mau sidang skripsi." lanjutnya memohon sambil dua tangannya terkatup. "Ini, aku ganti sarapan aku." Tiara menyerahkan uang dua puluh ribuan dari kantong celana selututnya, yang tadi akan ia gunakan untuk berbelanja di tukang sayur keliling. Sebelah alis tebal Raka menukik naik. "Udah ceramahnya?" Tiara mengembuskan napasnya lelah. Pria ini benar-benar bisa memancing emosinya. "Aku jelasin sekali lagi ya, Sayang." Raka melangkah satu kali hingga tubuh tingginya tepat berada di depan Tiara. Pria itu menangkup kedua pipi tembem Tiara dengan kedua telapak tangannya hingga netra mereka berdua bertatapan. "Aku ini orang yang kamu gebukin di rumah sakit gara-gara salah paham. Aku masih nyimpen hasil visum dan itu bisa aku gunain buat bikin laporan di kantor polisi. Terus aku juga yang udah nolongin kamu tadi malem walaupun 75% aku juga salah. Terus ...." "Udah, udah, udah." Tiara menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menghempaskan kedua tangan Raka dari pipinya. "Oke, aku akan turutin semua mau kamu sampai kamu puas. Sana, keluar!" ujar Tiara sembari mendorong tubuh menjulang Raka dari dalam kontrakannya. Untuk saat ini, tidak ada yang lebih baik daripada menuruti ucapan yang keluar dari mulut pedas pria itu. Bisa-bisa ia telat sampai di kampus nanti. BLAM!!! "Galak amat." gumam Raka setelah hidung mancungnya hampir tertabrak pintu jika saja langkahnya tak segera mundur. ××× "Nih." Raka menyodorkan helm berwarna biru muda kepada Tiara, tanpa menoleh sedikitpun. Tiara menerima helm tersebut dengan ragu-ragu. Tatapannya beralih pada motor Vix**n hitam dan juga Raka yang tengah memakai helm berwarna serupa. Sejenak ia berpikir sebelum berucap. "Aku panggil ojek aja." sambil meletakkan helm di jok motor. "Apa bedanya ....?" dodol, tanya Raka setengah gemas dengan satu kata lanjutan di dalam batin. "Aku nggak bisa naik motor sport." cicit Tiara pelan, tapi masih bisa di dengar dengan jelas oleh Raka. "Apa? Ha? Hahahaha ...." tawa Raka menguar setelah memahami maksud kalimat Tiara yang menurutnya sangat lucu. Tiara menatap Raka dengan kesal. "Ketawa aja terus sampai besok." ucapnya lalu berbalik hendak pergi. "Ya kamu juga lucu amat." ujar Raka dan dengan sigap menahan lengan Tiara sehingga gadis itu tak bisa menjauh. Dan mau tak mau kembali berhadapan dengan Raka. "Iya, lucu banget. Karena kamu belum pernah ngerasain jatuh dari motor kayak begini." ujar Tiara sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Raka yang kuat. Dia tidak berbohong, dulu saat di kampung, dia pernah jatuh dari motor sport saat dibonceng oleh sepupunya. Kaki kanannya tertimpa motor pas di bagian knalpot dan hingga saat inipun masih meninggalkan bekas. Entah kenapa kaki kanannya seperti nyeri ketika melihat motor sport di hadapannya. Tiara seperti trauma jika harus naik motor sport sampai-sampai kala ia order ojek online, dia akan memilih pengendara dengan motor bebek atau matic biasa. "Aku jamin kamu nggak akan jatuh." tutur Raka lembut seraya memakaikan helm kepada Tiara. Pria itu sampai harus sedikit menunduk saat mengunci pengait helm. "Pegangan perut aku ya, Sayang." lanjut Raka dan merapika helaian anak rambut Tiara yang berterbangan ditiup angin. Menyelipkannya di sisi dalam helm. Pipi Tiara kembali bersemu merah. Entah mengapa hatinya merasa hangat setelah menerima perhatian dari Raka Gadis itu buru-buru menurunkan kaca helm supaya Raka tak menyadari perubahan sikapnya. Raka memutar kontak motor lalu menstaternya. Di balik kaca helm yang hitam pekat, senyumnya tersungging di bibir ketika pundaknya dijadikan tumpuan saat Tiara akan naik ke motor. Pria itu lalu meraih kedua tangan Tiara yang masih berada di pundaknya saat dirasa gadis itu sudah duduk, membawanya turun hingga sampai di perutnya yang rata. Tiara mencengkeram baju Raka di bagian pinggang antara ragu, sungkan, risih dan entah apa yang tidak bisa ia ungkapkan. Ragu dan sungkan karena pria ini adalah Raka. Risih karena jarak fisiknya yang menurutnya terlalu dekat, dia tidak pernah berpegangan saat naik motor, kecuali dengan sang ayah dan kakak lelakinya. Lalu rasa yang tidak biasa tengah menjalari hatinya yang ungkapannya tidak bisa ia jelaskan. "Pegangannya yang kenceng biar nggak jatuh." Raka berkata sambil kembali menarik kedua tangan Tiara, kali ini benar-benar melingkari perutnya. Raka menginjak kopling dan menarik gasnya perlahan karena mereka kini masih berada di dalam pemukiman warga yang padat penduduk. Setelah sampai di jalan besar, agak ia naikkan kecepatan kendaraan roda dua itu. Senyumnya merekah ketika pegangan tangan di perutnya semakin erat. Tak tahu saja Raka jika di belakang, Tiara sedang memejamkan mata dan menahan gemetar. ××× Motor hitam itu melanju kencang membelah jalanan ibukota. Setelah memaksa mengantar Tiara ke kampusnya, pria itu langsung kembali ke kantor. Senyumnya yang bahagia tak lekas menyurut ketika dirinya lagi dan lagi, selalu teringat pada Tiara. Raka bahkan sangat suka saat Tiara berteriak marah padanya. Gadis itu sungguh sudah mengubah dunianya dalam waktu yang singkat. "Bro." panggil Raka dari balik pintu. Ia membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Dean mendongak kala indera pendengarannya di interupsi oleh sebuah suara yang sangat familiar. Tangan kanannya spontan menangkap benda kecil yang dilemparkan atasannya tersebut. "Makasih, ya." ucap Raka dengan senyum sumringah. "Lo dari mana, sih? Nggak biasanya pakai motor Gue." tanya Dean penasaran. Pasalnya, baru kali ini Raka meminjam motornya karena yang dia tahu, Raka lebih suka naik mobil. "Apel pagi." Dean bergidik melihat senyum Raka yang berbeda dari biasanya. "Kayak aparat aja Lo pakai apel pagi segala." cibirnya. "Udah sono pergi, Gue mau kerja." usirnya lalu kembali fokus pada komputer lipat di hadapannya. Raka bersedekap. "Lo nggak takut Gue pecat udah ngusir Bos." "Nggak." jawab Dean sambil menjulurkan lidah tanpa menoleh pada Raka. "Nanti Gue telat ngasih desain, Gue juga yang Lo marahin." "Hahaha ...." tawa Raka pecah. Entahlah, hari ini dia seperti orang gila yang suka tertawa. "Betul, betul, betul." lanjutnya lalu menutup pintu ruang kerja Dean. BLAM! "Dih, stress." umpat Dean sekenanya. ×××× Tepat pukul tujuh, Raka sudah sampai di depan pintu rumah kontrakan Tiara. Seperti ucapannya pagi tadi, dia membutuhkan jasa Tiara malam ini. Sudut bibir pria itu melengkung ketika mata minimalisnya menangkap sosok Tiara yang membukakan pintu dengan bibir cemberut. Raka jadi ingin melumatnya sekarang juga. "Udah siap, Sayang?" "Hmm." sahut Tiara sekenanya lalu meraih jaket dan tas selempang kecil di atas meja tepat di samping pintu. Sambil membuntuti Raka dari belakang, Tiara melihat pria itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Setelan jas hitam mengkilap membalut tubuhnya yang tinggi tegap. Seperti biasa, Raka selalu terlihat tampan, eh. Sedangkan Tiara, dia hanya memakai celana jeans panjang, kaos lengan pendek dan membawa jaket di lengannya serta tas selempang kecil yang di dalamnya hanya berisi dompet dan handphone. "Kita ke salon dulu." ucap Raka saat ia membukakan pintu mobil untuk Tiara. "Ngapain ke salon?" tanya Tiara bersikap bodoh. "Ke salon atau ke kantor polisi?" Tiara menghentakkan kaki kanannya sebal sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil hatchback yang sudah terbuka untuknya. × Kali ini Raka melajukan kendaraannya cukup cepat. Jarum jam di pergelangan tangannya sudah menunjuk pukul tujuh lebih lima belas menit. Dia harus cepat karena biasanya perempuan harus membutuhkan waktu sangat lama jika berada di salon. Raka menghentikan mobilnya di depan sebuah salon kecantikan, yang Tiara tahu itu bukanlah salon biasa. Salon dimana para orang kaya sering merawat diri yang pastinya menghabiskan banyak rupiah. Tiara pernah melihat nama salon itu di beberapa vlog artis ternama. "Turun." Perintah Raka singkat saat ia membukakan pintu untuk Tiara. Nada suaranya sebenarnya tidak ketus, tapi karena ekspresi wajah Raka yang kali ini tidak ada manis-manisnya saja yang membuat suasana menjadi mencekam. Raka membukakan pintu masuk saat mereka sampai di depan salon. Seperti biasa, selalu mempersilahkan Tiara terlebih dulu. "Tolong permakin dia sebentar." ucap pria itu ketika seorang wanita cantik yang mempunyai mata sipit seperti Raka, yang diperkirakan Tiara berusia lebih dari kepala tiga itu tersenyum menyambut mereka. Bukan, menyambut Raka tepatnya. "Dipermak? emangnya baju sobek?" sahut wanita itu lalu tersenyum manis pada Tiara sebelum mengulurkan sebelah tangannya. "Eliana." "Tiara." Sambut Tiara sambil tersenyum kikuk. "Tumben Ka, kamu ke sini bawa cewek." "Nemu di jalan tadi." jawab Raka enteng lalu melenggang ke sisi salon yang lain. Dalam hati Tiara terus mengumpat. Mungkin jika dia tidak sedang berada dibawah ancaman, dia pasti sudah mencakar muka putih Raka itu seperti kucing yang memiliki kuku tajam. Memangnya dia ini barang hilang sampai-sampai Raka bilang menemukannya di jalan. Wanita bernama Eliana itu tersenyum lagi pada Tiara. "Nggak usah di dengerin, ayo ikut saya." ajaknya ramah. Langkah kaki Tiara mengikuti Eliana. Sambil berjalan gadis itu mencuri pandang pada sekelilingnya. Tiara dibuat takjub dengan desain interior salon kecantikan itu yang luar biasa mewah. Pantas saja salon ini terkenal karena biayanya yang sangat mahal. "Ayo duduk." Eliana menarik sebuah kursi berkaki roda, mempersilahkan Tiara untuk duduk disana. "Rileks aja. Kamu cantik kok. Ini nanti paling cuma sebentar." Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN