19 - Masa depan

1966 Kata
Winda sibuk mengolah adonan di dapur. Hobby itu seolah mendapat kesempatan di dunia kuliner. Sudah ada beberapa pesanan yang harus dipenuhi. Lumayan untuk uang jajan. Ternyata apa yang ia lakukan selama ini tidak hanya sekedar kesenangan tapi juga bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Menu paling best seller adalah donat yang terbuat dari pumpkin. “Pesanan sebanyak ini bisa kak? Kita cuma berdua.”protes Anin yang semakin kesal dengan banyaknya adonan. Mereka masih harus melakukan packaging. Sedangkan orderan itu harus sudah siap besok pagi. “Hmm, iya juga sih. Mama pulangnya malam. Gimana ya,,,,,,,”balas Winda seraya berpikir. “Ah,,, minta tolong Tama aja. Dia di rumah kan?” “Iya sih, tapi….” “Udah sana panggil sana. Bilang gue yang nyuruh.” Tama memang pilihan yang paling tepat untuk diajak kerjasama. Selain diberi gelar Si Ganteng Maut, ia juga pantas mendapat gelar Si Anak Baik. Begitulah kenyataannya, dia punya jiwa penolong yang melekat kuat dalam dirinya. Dalam proses pembuatan donat itu, yang paling banyak berkontribusi adalah si pemilik warung, Winda. Anin dan Tama hanya bercengkrama sambil memberi sedikit bantuan. “Tam, lo pernah kepikiran gak, apa jadinya kita besok?” “Dulu gue pernah kepikiran. Tapi sekarang udah gak lagi.” “Terus, lo mau jadi apa? Kita cuma punya satu tahun buat mikir.” “Gak usah dipikirin. Kita mengikuti arus aja.” “Eh, mana boleh gitu. Lihat Kak Winda, dia mengambil jurusan Komunikasi tapi tetap bisa menyalurkan hobby nya.” “Iya juga sih, hobby aja gue gak punya.” “Hahaha, hobby lo itu berbuat baik Tam.”ledek Anin. Winda adalah salah satu orang yang beruntung di dunia ini. Dia benar-benar bisa memilih jalan hidupnya dengan penuh keyakinan. Dia tidak ragu-ragu dalam memulai sesuatu. Dan ketika direalisasikan, segalanya tampak terwujud nyata. Tak banyak yang seberuntung dia. Ada saja orang yang harus rela mengubur mimpinya jauh dibawah sana. Menyerah pada cita-cita dan berjalan terus meski jalan itu bukan yang ia inginkan. Wajar? Tentu saja. Tama semakin tak yakin dengan masa depannya. Entah sejak kapan ia krisis kepercayaan diri. Beberapa hari lalu ia mendapat tawaran untuk modelling. Tawaran itu hanya ia simpan di dalam dirinya. Rasanya memalukan jika ia bercerita pada Anin dan Hasta. Jika ia ikut modelling, bisa dibayangkan gejolak fansnya bagaimana. “Lo kan bisa nyanyi Tam. Coba aja jadi musisi.”seru Anin ngasal. Tama punya suara bagus yang tak pernah ia pamerkan dimanapun. Ia terlalu ragu untuk menunjukkan skill itu. Keraguannya karena gelar Si Ganteng Maut melekat padanya. Bisa saja ada gosip baru yang bilang kalau dia terkenal hanya karena tampang. Duh, itu benar-benar sangat menyiksa. Suaranya kerap terdengar dari rumah Anin. Anin selalu menyuruh cowok itu untuk sesekali bernyanyi di sekolah, tapi dia tidak yakin.  “Not easy like that, An.” “I know. Tapi harus dicoba kan?” Anin langsung membuka Instagramnya. Ia melakukan pencarian tentang fanbase Tama. Betapa riuhnya fanbase itu. Mereka bahkan mengambil foto Tama secara paparazzi. Tapi intinya bukan disitu, Tama sudah punya banyak fans. Jika dia ingin memulai karir jadi musisi, bukankah sangat membantu? Akan sangat mudah baginya untuk terkenal. “Lihat nih, follower lo aja makin meningkat drastis. Padahal lo udah pamit Tam. Gak banyak orang yang kayak lo.” “Tapi entar orang berpikir,,,,,,,” “Peduli amat dengan tanggapan orang lain. Kenapa gak fokus sama diri sendiri aja?” Manusia lahir untuk terus menanggapi hidup orang lain. Seakan tak puas dengan hidupnya sendiri, manusia cenderung suka mencari masalah hidup orang. Berkomentar pada hidup yang sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa. Hal ini menjadi suatu kewajaran yang sangat di mengerti di Indonesia. Tiap orang hanya perlu menahan diri dan membentuk mentalnya sendiri. Siapa yang terkuat, dia akan memenangkan kompetisi. “Lagi ngomongin apa sih?”tanya Kak Winda ikut nimbrung.  “Tama mau jadi musisi kak,,,”ucap Anin. “Eh, engga kok kak. Apa sih lo An.” “Hmm, bagus juga. Suara lo kan bagus, lo cuma gak percaya diri aja.”seru Kak Winda. “Kalau memang mau serius kesana, belajar dari sekarang. Bukan belajar nyanyi ya, tapi belajar show off di depan banyak orang.”lanjutnya. “Tapi gimana caranya? Dia terlalu pengecut untuk itu.”komentar Anin. “Ahhh, gue punya ide. Di kampus gue tuh ada tempat yang biasa untuk orang nyanyi. Kalau lo udah siap, bisa bilang ke gue. Entar gue bisa jadwalin untuk manggung disana.”tawar Winda. “Nah, bisa tuh Tam.”balas Anin sambil membantu Winda menata donat yang sudah matang. Tama berpikir keras tentang ini semua. Haruskah ia mencoba sesuatu yang belum pernah ia coba? Resiko yang sangat besar pasti akan menunggunya di depan sana. Entah mampu atau tidak dalam menghadapinya, ia hanya akan tahu ketika sudah mencoba.  ***** “Apa ini?”tanya Anin ketika melihat tumpukan snack di atas mejanya.  “Duduk dulu dong.”seru Trisna. “Ini dari fans lo.”lanjutnya.  Anin tersentak kaget. Tak ada sejarahnya Anin punya fans di sekolah ini. “Jangan bercanda Tris.” “Seriusan. Dari kakak kelas, gue lupa namanya.” “Tapi ini banyak banget.” “Nah itu, gak cuma dari satu orang. Hmm, kayaknya tiga orang deh.” Anin terdiam sambil berpikir keras. Ternyata begini rasanya diberikan makanan oleh orang yang tidak kenal. Rasanya tidak nyaman. Apa mungkin Tama merasakan hal seperti ini juga? “Semenjak lo berubah, i mean secara tampilan. Banyak yang diam-diam jadi secret admirer.”lanjut Trisna. “Ah sial, gue gak mau dikasih ginian terus.” “Serius? Lo gak suka diginiin?” Anin mengangguk. “Emang ada yang suka diginiin?” “Gue suka.”ucap Trisna. “Rasanya tuh kayak jadi artis lokal. Dikasih perhatian, dikirimin snack. Ini tuh menyenangkan Anindya!”lanjutnya. “Hmm, tapi gue gak ya. Apa karena baru pertama kali diginiin.” “Bisa aja sih, tapi emang lo rada-rada.”ledek Trisna. “Sialan!” Sedikit demi sedikit, Anin semakin tahu seperti apa yang dirasakan Tama selama ini. Walaupun awalnya dia bahagia dengan perlakuan seperti itu, lama-lama sangat mengganggu. Kalau dia jadi musisi dan terkenal, bisa saja dia akan mendapat hal yang lebih dari ini. Tama itu tak punya kemampuan selain bernyanyi. Olahraga saja dia tidak bisa. Anin melirik ke arah tempat duduk Tama. Ternyata cowok itu pergi entah kemana. Disana cuma ada Hasta. Dia langsung beranjak ke sana.  “Has!” “Anin? Kenapa?”tanya Hasta sambil terus melihat buku pelajarannya. Dia memang selalu sibuk dengan bukunya. Bahkan ketika dunia ini diambang kehancuran, mungkin dia akan tetap berkutat dengan buku. Dasar, cowok gila belajar! “Hmmm, gimana ya ngomongnya.”seru Anin ragu.  Hasta menoleh. Jarang Anin berbicara seserius itu. Biasanya dia hanya mengomel karena Hasta terus-terusan belajar. “Kenapa An? Ngomong aja kali.” “Lo tahu kan kalau sebentar lagi kita kelas 12. Gue minta tolong ajarin gue dong.”ucapnya sambil tersenyum. Bukannya menjawab pertanyaan itu, Hasta malah memegang kepala Anin. Apakah ada yang tak beres dengan cewek itu? Sudah sekian purnama berlalu, baru kali ini Anin ingin diajari belajar? Apakah ajal hendak menjemputnya segera? Sungguh keanehan yang sangat aneh. “Kenapa sih? Emang gue sakit?” “Gue kira lo lagi gak waras.” “Gue serius. Gak cuman gue, tapi Tama juga.” “Tama? Gak mungkin, dia paling anti belajar.” “Tinggal dipaksa aja. Gue takut dia jadi gembel abis lulus SMA.” “Uhuy, perhatian amat.” “Gue juga perhatian sama lo. Masalah lo udah bisa banyak hal. Si Tama cuma punya tampang doang.” “Iya gue ngerti, ya udah. Kita tinggal tentuin waktu dan tempatnya aja.” “Siap! Ada gunanya juga gue temenan sama lo.”ledek Anin. Hasta tertawa. Ada sedikit kelegaan dalam dirinya. Suatu peningkatan saat kedua temannya itu mau belajar. Mereka sangat cuek terhadap pelajaran. Itulah yang membuat mereka berakhir di rangking sepuluh terbawah. Sungguh ironis, tapi begitulah kenyataannya.  “Tapi,,,,,,,,,,,,,,,,” “Tapi kenapa?” Ide jahat muncul di otak Anin. Ia harus membuat sesuatu yang menyenangkan bagi kedua belah pihak. “Emang lo kuat ngajarin kita berdua? I mean, satu orang ngajarin dua orang disaat dua orang itu sangat jauh dari standar manusia jaman sekarang.” “Lebay amat.” “Entar lo gak punya waktu buat belajar sendiri.” “Terus maunya gimana?” “Kita cari orang lain.” “Siapa?” “Lo tenang aja. Duduk manis dan baca tuh buku, gue punya ide sendiri.”seru Anin sambil melengos keluar kelas. Hasta menyipitkan matanya kebingungan. Rasanya tidak akan ada yang mau membantu mereka belajar selain Hasta. Tama terlihat masuk kelas sambil bingung dengan Anin yang tak menyapanya. “Has, Anin kenapa?” “Kenapa? Gak apa-apa.” “Dia kayak sibuk gitu nyari-nyari orang.” “Katanya lo mau belajar serius ya?” “Hah? Kagak, siapa yang bilang?” “Anin. Mulai sekarang lo jadi murid gue.” “Heh, gue gak pernah niat mau belajar.” “Bilangin noh sama Anin. Lagi kesambet kali dia.”ledek Hasta seraya tertawa. Tama langsung keluar dari kelas. Ia mencari sosok Anin tapi tak kunjung ketemu. Tama itu tak bisa belajar serius. Belajar dan membaca membuat jiwa kantuknya menyerang. Ia selalu berpikir, kenapa belajar itu ada di dunia ini? Jika jadi presiden, ia ingin menghapus kata itu dari kamus besar Bahasa Indonesia. Anin kembali dengan muka sumringah. Ia datang dari arah kantin. Dan anehnya, ia tak membawa apa-apa.  “Tama?” “Dari mana An?” “Kantin.” “Jadi kenapa lo bilang gitu sama Hasta?” “Oh itu,,,,”seru Anin sambil berusaha mencari kata yang tepat untuk diucapkan. “Lo bilang lagi mikir-mikir buat jadi musisi kan?”tanyanya. Tama mengangguk. “Buat jaga-jaga, kita belajar serius.” “Tapi kan,,,,” “Udah ngikut aja, belajar doang.” “Tapi An, Hasta itu punya banyak jadwal.” “Gue udah nyari satu orang lagi.” “Bukan masalah itu, tapi Hasta……………” “Bodo amat.”seru Anin sambil berjalan ke dalam kelas. Ia meninggalkan Tama yang berdiri dengan wajah cengo. Tama hanya sedang berpikir keras tentang cara mengajar Hasta. Hasta itu sangat galak kalau orang yang ia ajari tidak paham. Ya, kalau dia mengajari orang pintar yang bisa langsung mengerti, itu tidak akan terjadi. Tapi untuk orang seperti Tama dan Anin, Hasta bisa murka dan emosional.  Tama garuk-garuk kepala. Ia ingin masuk ke kelas tapi keburu dipanggil Bunga. Cewek itu mengajaknya ke belakang kelas. Tama hanya bisa pasrah. “Kapan mau berhenti?”tanya Tama. Ketika Bunga menyalakan rokoknya. “Gak tahu. Kalau sekarang belum bisa.” “Pasti belum dicoba kan?” “Iya sih.” “Hasta gak suka sama cewek perokok loh.”seru Tama berusaha membuat cewek  itu sadar. Dia hanya sekedar peduli dan ingin Bunga sedikit berubah. “Dia tahu kok gue ngorokok.” “Bukan berarti dia suka lo ngerokok.” “Yes I know. Berhenti membahas gue. Jadi kenapa lo mau belajar serius?”tanyanya. “Jadi, lo orang yang dimintai tolong sama Anin?”tanya Tama. Bunga mengangguk sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara. “Hahahaha…” “Lo menghina gue?” “Gak gitu ya. Gue mau lo yang ngajarin gue. Biar Anin tahu rasa.” “Tahu rasa kenapa?” “Belum ada yang tahu gimana tabiat Hasta kalau ngajarin orang. Dia pasti bakal marah-marah terus sama Anin. Gue gak sabar!”ungkap-nya. “Entar gue yang nyuruh Hasta buat gak marah-marah.” “Intinya, lo yang bakal ngajarin gue. Biarin si Anin diajarin Hasta.”seru Tama sambil tertawa hebat. “Pertanyaan gue belum dijawab, kenapa lo tiba-tiba mau belajar serius?” “Hmm, karna gue gak punya bakat apapun.” “Masa sih?” “Iya. Makanya Anin ngajakin belajar. Setidaknya masih ada satu tahun buat belajar sebelum benar-benar lulus. Semoga gue bisa masuk PTN.” “Masalahnya, bukan itu yang lo inginkan.” “Ya, tapi gue gak tahu apa yang gue inginkan.” Tama menatap langit yang semakin biru. Awan seakan hendak menguasai langit itu. Andai ia bisa seperti awan yang punya peran besar di langit sana. Ia bisa terlihat jelas. Kehadirannya memiliki arti yang sangat melekat di hati manusia. Tama sendiri belum yakin tentang arti hidupnya. Ia hanya sedang menjalani hari sesuai arus yang ditetapkan. Segala keputusan terlontar begitu saja tanpa pertimbangan. Sejenak ia ingin menjadi awan, walaupun hanya sesaat tidak apa.  “Beres gue. Yuk!”ajak Bunga sambil menyemprotkan parfum di seragamnya. Tama mengikuti dari belakang.  Mereka tak sadar bahwa ada orang yang diam-diam memperhatikan mereka. Orang itu sengaja memotret mereka berdua. Merokok di area sekolah sangat dilarang. Apabila ketahuan, akan ada sanksi besar bagi siswa. Beberapa orang bahkan pernah dijemur di bawah terik matahari karena merokok di area sekolah. Orang itu tersenyum sinis. Rasanya akan menyenangkan memulai pertunjukan di sekolah ini. Dunia yang berputar akan memberi peluang bagi siapa saja untuk membalaskan dendamnya. Walau begitu, ada saja orang yang ogah balas dendam. Hatinya tak kuat melihat penderitaan orang lain. Begitupun sebaliknya. Balas dendam didasari hati yang terluka karena sikap orang lain. Alasan utamanya adalah ingin melihat orang lain merasakan derita tak terkira. Namun, pernahkah terpikir jika perbuatan itu malah tidak membahagiakan kita? Saat dendam itu sudah tersalurkan dengan baik, yang tersisa bisa saja penyesalan.  Debby, cewek yang mengubah target dendamnya. Tujuan utamanya bukan lagi Tama tapi Bunga. Hubungannya yang buruk dengan Chintya tak membuatnya introspeksi diri. Kebenciannya tak surut. Benci itu malah semakin menetap dan menjadi-jadi. “Gue bakal laporkan ke guru BK!”batinnya dengan senyuman licik yang tersungging. Ia sudah membayangkan bagaimana respon teman sekelasnya terhadap orang seperti Bunga. Bunga, cewek pintar yang akan hancur dalam satu kali pembalasan. Tidak ada yang menyangka bahwa cewek berprestasi itu punya aib yang benar-benar dilarang di sekolah.  “Ternyata dia tak sesempurna itu.”batinnya sambil berjalan menuju kantor BK. Memang sudah seharusnya bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Kekurangan itu jadi ciri khas manusia. Bukankah aneh jika ada orang yang sempurna? Manusia hanya tidak sadar pada kekurangannya sendiri. Oleh karena itulah, manusia sering mencari kekurangan orang lain. Mencari kekurangan orang lain seakan jadi pemuas nafsu belaka. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN