… Koma …
… 2015 …
Seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, masuk ke dalam kamar Naya. Darrel yang ketika itu sedang asyik membaca al-quran di samping tubuh Naya, spontan menghentikan bacaannya dan menatap kea rah lelaki yang sangat ia kenal itu. lelaki yang menjadi satu-satunya alasan untuk Naya pergi meninggalkan segalanya. Segalanya yang dianggap akan memberikan kebahagiaan untuknya ternyata berakhir kesedihan yang masih belum berarkhir.
Dia berdiri tepat di sisi lain Naya. Bertatapan sesaat dengan Darrel yang berdiri di hadapannya tepatnya di sisi kanan Naya, lalu menarik tatapannya ke Naya yang masih betah tertidur pulas. Darrel berusaha mengontrol dirinya sendiri. Dadanya yang bergemuruh karena emosi, ia coba redam agar tak menimbulkan keributan yang akan membuat Naya semakin terpuruk.
“Kau sudah sadar?” tanyanya dengan nada tenang. “koma tiga bulan yang kau alami, apa semua karena Naya?”
“Mungkin.”
Lelaki itu menelan ludahnya. Menatap ke Darrel yang saat itu mengarahkan tatapannya ke Naya. Tampak di kedua matanya, tangan kanan Darrel menggenggam erat tangan Naya. Begitu erat hingga menimbulkan rasa sakit di dadanya yang teramat sangat.
“Naya kabur karena ingin menemuimu. Naya kabur karena dia tahu, bersamaku… tidak akan pernah ia temui kebahagiaan.”
Darrel mengarahkan tatapan ke lelaki di hadapannya yang masih menatapnya tenang.
“Aku sudah tahu cerita kalian dari curhatan singkat Naya di setiap foto yang dia tempelkan dalam diary itu,” ucapnya sembari mengarahkan tatapan ke buku diary milik Naya yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidur Naya. “Aku membacanya saat Naya masuk rumah sakit tepat di satu bulan pertama.”
“Dam ….” Panggil Darrel yang langsung menarik kembali tatapan lelaki di hadapannya.
“Dia mencintaimu,” potongnya. “Seharusnya kau sadar itu.”
“Dam … aku ….”
“Naya pernah berkata,” potongnya lagi. “Setiap manusia hanya memiliki satu hati. Dan satu hati itu, tidak mungkin tersirat dua nama. Tidak mungkin ada dua cinta.” Adam menghela napas panjang. “Seharusnya aku sadar akan maksud dari kalimat itu, tapi aku malah mengira … hatinya untukku.” Ada, menunduk sesaat, mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Darrel menarik kembali tatapannya ke Naya. Semakin mempererat genggamanya seakan ingin merasakan rasa sakit di hati Naya. Berharap mengalir padanya untuk ia rasakan seutuhnya.
“Hanya ada namamu di hatinya. Dan bukan namaku,” lanjut Adam. “dan aku sudah memutuskan untuk membatalkan pernikahan kami.”
Rasa kaget menghantam d**a Darrel. Dia sama sekali tidak tahu akan kabar itu. Semenjak ia hadir di rumah sakit tepatnya menemani Naya, dia sama sekali tidak tahu. Yang dia tahu hanyalah saat ini, dia tak ingin Naya pergi. Pergi menyusul Dinda yang akan membuatnya tak bisa lagi bernapas untuk kedua kalinya.
“Naya kabur di hari pernikahan kami. Di saat aku menantinya di depan penghulu, di saat itulah dia pergi dan berniat menyusulmu. Apa kau sudah baca foto terakhir di halaman terakhir di buku itu?” Darrel menggelengkan kepala. “Di situ dia berfoto dengan pakaian pengantinnya. Air matanya tampak jelas di foto itu. Wajahnya terlihat lelah padahal dandanan sudah menempel di wajahnya. Dia berfoto di kamar dan langsung menempelkannya dalam diary.” Adam menghela napasnya. “Aku tahu dari sahabatnya—Chika tentang kronologi kecelakaan yang menimpa Naya. Saat itu, Naya terus berlari menjauh dari rumah. Tanpa sengaja, Chika yang berniat hadir di acara pernikahan kami, melihat dia dari dalam mobil. Saat itu Naya bersiap-siap menyebrang. Chika turun dari mobil dan memanggil Naya yang sudah sampai di tengah-tengah jalan. Naya berbalik menatap Chika. Namun baru saja dia berhasil melihat Chika … sebuah mobil melesat tajam menghantam tubuhnya. Dia terlempar jauh dan jatuh dengan keadaan yang memilukan. Kepalanya terbentur, lehernya patah dan darah … mengalir deras dari tubuhnya.
Air mata Darrel menetes mendengar cerita itu. Kenangan di saat kecelakaan Naya itu terjadi, bertepatan saat ia duduk sendirian di dalam rumah. Tepatnya di teras belakang. Mencoba memerhatikan secara mendalam tasbih buatan Naya sembari menikmati rasa sakit yang termat sangat di hatinya saat mendengar kabar pernikahan Naya yang tiba-tiba ia terima dari Chika. Memutar tasbih sembari beristifghfar, berusaha menenangkan diri walau tak mampu ketika itu. Ada perasaan tak enak di hatinya. Sampai akhirnya, butiran tasbih itu terlepas dari tali penyatunya dengan butiran-bituran lain. Berserakan di lantai yang spontan membuat Darrel memegang dadanya.
Suara handphone pun berdering. Ada nama Chika di layarnya yang seakan menambah deretan panjang kegelisahannya. Dengan cepat, Darrel menjawab telepon itu. terdengar isak tangis Chika di seberang yang semakin membuat perasaan Darrel kacau.
“Ayra, Tarrra! Ayra kecelakaan!!” serunya yang langsung membuat Darrel kaget bukan main. Tanpa pikir panjang, ia beranjak dari posisi duduknya. Berlari keluar dari kamar dengan sebelumnya merampas kunci motor di atas meja ryang tamu. Membanting pintu rumah dan langsung naik ke atas motornya. Helm yang ia pakai pun tak sempat ia ikat di bawah leher. Tanpa pikir panjang, ia melesat membelah jalan dengan kecepatan tinggi.
“Tasbih ini dijaga baik-baik ya, Rel. katanya … kalau tasbih pemberian orang tiba-tiba rusak atau terlepas dari talinya, orang yang memberikan tasbih itu atau seseorang yang membuatnya kemungkinan kenapa-kenapa. Dan kalau itu terjadi, tolong doakan aku ya. Dan jangan lupakan aku.” Kalimat itu bergitu jelas tengiang di telinga Darrel saat Naya memberikannya dulu. Senyumannya begitu menenangkan. Bayangan Naya silih berganti menghampirinya. Hingga tanpa sadar, Darrel yang tidak menyadari persimpangan dan lampu merah menyala di rambu-rambu lalu lintas, malah melesat tajam tanpa menghentikan laju motornya terlebih dahulu. Hanya selang beberapa detik, sebuah mobil melesat menabrak tubuhnya. Darrel terlempar jauh dan jatuh menghadap langit. Pandnagannya mengabur dan lambat laun semuanya gelap setelah ia menyebut nama Naya perlahan di dalam hatinya.
Kenangan itu membuat Darrel terkulai lemah dan duduk di kursi tepat di samping tempat tidur Naya. Menangis pilu seakan menyesali semua perbuatannya yang terlalu tega menyakiti Naya. Adam yang melihat keadaan Darrel ketika itu, hanya menundukkan kepala.
“Gak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa, Rel. mudah-mudahan, Naya dapat membuka matanya dan tersenyum kembali.”
Tak ada balasan dari Darrel ketika itu. Tetes-tetes air mata melemahkan dirinya yang kini masih ingin menangis tanpa henti. Meratapi segala yang terjadi. Mencoba menyesali semua yang ia abaikan.
Dan tanpa keduanya sadari, tetes air mata jatuh dari sudut mata kanan Naya. Menetes dan jatuh membasahi bantal yang menjadi penopang kepalanya. Tangan kanannya yang masih ada tasbih, ia genggam erat lalu kembali terbuka sebelum Adam menyeret tatapannya kembali ke tasbih yang msih ada di tangan Naya dengan tatapan pilu.