… 2011…
“Ayra !!!” Seruan seorang wanita berhasil membuat wanita yang rambutnya digulung tinggi, berbalik dan tersenyum lebar. Kedua bola matanya tampak jelas kecokelatan diterpa sinar mentari. Tubuhnya bahasa dengan tas sandang tergantung di lengan kanannya. Wajahnya oval dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Bibirnya yang merah muda dengan lapisan lipstik semakin mempermanis wajahnya. Senyumannya masih dan mengambang hingga pemilik suara hadir di sampingnya. Menarik rambutnya hingga terlepas dari gulungan, lalu melangkah mendahuluinya.
“CHIKA !! Kebiasaan! Jeritnya yang langsung disambut oleh wanita WLP pendek sebahu yang kini Membalikkan tubuh menatap Ayra.
Ada yang kirim salam! serunya dengan wajah berbinar-binar. Tertawa lucu saat melihat sahabatnya kembali menggulung rambut dengan bibir mengerucut. “Yakin gak mau tahu?”
Ayra masih mendengar setiap kalimat Chika. Ia melangkah meninggalkan Chika yang masih tertawa meledek. Mengikutinya dan berusaha menyamakan langkahnya dengan Ayra yang sudah hampir dua tahun ini bersahabat dengannya.
Tarra! bisiknya yang membuat Ayra terhenti. Menatapnya dengan senyuman lebar dan kedua mata berbinar-binar. Seakan ingin melesat menuju langit tertinggi yang siap kapan saja menimangnya lembut.
“Tapi aku bohong!” seru Chika sembari berlari meninggalkan Ayra yang kembali mengerucutkan bibirnya. Ber memanggil nama Chika yang membuat seorang lelaki mengarahkan tatapannya dari arah parkiran. Duduk melepaskan helmnya dan menyangkutkan helm hitam di stang motor. Menatap ke arah Ayra yang berteriak menjeritkan nama Chika. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk segaris senyuman. Menggeleng-gelengkan kepala sembari turun dari motor dan melangkah meninggalkan tempat parkir sambil menyelipkan tangan kanannya di lingkaran tali tas ransel.
Semilir angin menerbangkan setiap helaian rambut Ayra. Berdiri di puncak tertinggi gedung kampus adalah satu hal yang paling ia sukai. Satu adegan yang selalu ia lakukan setiap kali kegundahan menghampirinya. Dan satu tempat yang selalu ia datangi setiap waktu menunjukkan pukul empat sore di dalam jam tangan di tangan kirinya. Senyuman tak lepas di bibir. Wajahnya yang manis, seakan tertarik mengikuti tarikan sudut bibirnya. Semua tampak menenangkan walau hanya mampu ia alami tak lebih dari satu jam. Petugas kampus yang bernama Pak Tejo tak memberikannya banyak waktu untuk berdiri terlalu lama di atap gedung. Lelaki tua yang selalu menjaga gedung fakultas ekonomi ITU, seakan tidak ingin masalah jika ia ketahuan mengikut seorang mahasiswi berdiri di atas gedung. Apalagi sendirian.
Perlahan, Ayra membuka kedua matanya. Menatap langit sore yang semakin membuatnya tenang bukan main. Mentari kini tampak menyelinap di ufuk barat. Udara menghangat walau tak sehangat pagi. Merasakan seluruh napasnya bercampur dengan udara yang hari ini cukup bersahabat. Merentangkan kedua tangan, seakan ingin memeluk angin walau hampa. Tangan kanannya terarah ke langit seakan ingin meraih awan yang selalu ia dengar memiliki tubuh lembut selembut kapas. Tersenyum kembali dan terus menancapkan pandangannya ke langit luas.
“Ayah …,” ucapnya lirih walau senyuman masih jelas di bibirnya. Menutup mata dan membawa udara yang ia hirup masuk dan ikut bergerak dengan darahnya. Kembali membuka kedua mata saat suara handphone di dalam tas mengusik ketenangannya ketika itu. Meraihnya dan menatap layar yang terdapat alarm berbunyi tanda satu hal harus ia lakukan saat itu juga.
Ayra mematikan suara alarm. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas lalu mengeluarkan tabung kecil yang di dalamnya terdapat cokelat berbentuk pipih kecil berwarna-warni. Diraihnya dua butir, lalu ia masukkan ke dalam mulut dan tersenyum tipis. Memasukkannya kembali ke dalam tas dan melangkah meninggalkan pinggir atas yang terhalangi tembok setengah badannya. Seakan sebagai pembatas bagi siapapun untuk tak tergelincir dan terjatuh dari gedung berlantaikan enam itu.
“Sudah, Neng?” tanya Pak Tejo yang tampak asyik menyapu di lantai dua. Ayra yang baru saja mendaratkan kedua kaki di lantai dua, tersenyum dan mengangguk pelan. Mengeluarkan kotak cokelat lalu memberikan dua butir pada Pak Tejo. Dengan senyuman lebar, Pak Tejo menerimanya.
“Ayra pulang dulu ya, Pak. Daaagg!” serunya sembari melambaikan tangan dan kembali menuruni tangga. Seruan Pak Tejo agar ia berhati-hati, hanya dibalas teriakan ‘Ya’ dari Ayra yang sudah hampir menyentuh lantai satu. Melangkah santai keluar dari gedung dan menatap ke sekeliling kampus yang semakin tampak sunyi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang masih berkeliaran di area kampus. Sebagian dari mereka mungkin anak malam yang menuntut ilmu di malam hari dan bekerja di pagi hari. Berpakaian rapi seperti orang kantoran dan tampang-tampang lelah yang membuat Ayra menghela napas.
“Santailah … hidup ini hanya sekali,” ucapnya pada diri sendiri sembari melangkah mendekati gerbang kampus. Duduk di halte menanti angkutan umum yang akhirnya tiba juga di hadapannya. Angkutan berwarna merah yang nantinya akan membawanya pulang ke rumah untuk menikmati malam yang mungkin saja berbintang. Menyambut mimpi dan menumpahkan kelelahan selama satu harian di atas tempat tidurnya yang nyaman.
Pintu kamar mandi yang berada di sudut kamar berwarna serba biru dan gorden putih terbuka lebar. Tampak Ayra keluar dari dalam dengan membalutkan handuk kecil menutupi seluruh rambutnya. Pakaian tidur dengan pengan sebahu, ia kenakan sejak di kamar mandi. Celana pendek berbahan denim pun sudah ia kenakan. Duduk di tepi tempat tidur sembari memerhatikan ke layar laptop yang saat itu tampak sebuah film yang sudah setengah jalan dan dengan sengaja ia hentikan. Baru saja ia ingin melanjutkan film Refrain di dalam laptopnya itu, terdengar lantunan lagu Feel The Light dari handphonenya yang sedari tadi berada di atas tempat tidur tepat di samping laptop. Meraihnya dan membaca satu nama beserta nomor telepon yang berhasil menarik senyuman sesaat di bibirnya. Menekan tombol penjawab telepon lalu melekatkan layar handphone ke telinga kanan.
“Iya, Chika.”
“Neng, udah siap tugas belum?” Pertanyaan Chika yang berhasil menarik ekspresi bingung di wajah Ayra hingga membuatnya berbaring menatap langit kamar sembari mencoba mengingat-ingat.
“Tugas apa?”
“Jiah, ini anak. Tugas hukum dagang. Jangan bilang kau lupa!”
“Astaghfirullah,” ucap Ayra sembari kembali duduk di atas tempat tidur dengan ekspresi kaget. “Makalah dua puluh halaman itu kan?!”
“Iya, udah berapa halaman dikerjain?”
Ayra menuruni tempat tidur, melangkahkan kedua kakinya dengan gerakan cepat ke meja belajar, lalu duduk di atas kursinya. Meraih beberapa buku yang berhubungan dengan tugas kali ini, dan membawanya kembali ke tempat tidur tepat di depan laptop yang masih menyala.
“Belum ada!!” ucapnya yang membuat Chika di seberang telepon menepuk jidatnya sendiri. “Dirimu udah selesai?!”
“Tinggal buat daftar pustaka. Seriusan belum siap?”
“Belum, Chi! Sama sekali belum ada kukerjakan!”
“Dari tadi ngapain aja?”
“Nonton Refrain,” jawab Ayra sembari tertawa cengengesan.
“Buset dah, tuh film lagi?!!” jerit Chika yang membuat Ayra sesaat menjauhkan handphonenya dari telinga kanannya. “Mau berapa kali nonton tuh film, aish … ni anaklah!”
“Sampai bosen. Kau kan tahu sendiri, kalau udah Afgan, Maudy Ayunda, Adipati Dolken atau Fedi Nuril yang main, aku payah bilanglah.”
“Satu lagi, film india!”
Ayra kembali tertawa sembari membuka layar Microsoft word dan membuka beberapa buku, “Nanti lagi lah neleponnya, ribet nih megang buku sambil megang hape!”
“Hajab kali agh, ya udahlah!”
“Daaghhh!” ucap Ayra yang langsung mematikan pembicaraan tanpa menanti kalimat balasan dari Chika di seberang. Memulai mengerjakan tugas yang sama sekali belum tersentuh sembari sesekali melirik ke jam dinding yang kini menunjukkan pukul sepuluh malam. Menghela napas panjang lalu mulai mencari beberapa kalimat di dalam buku yang pas untuk memulai kalimat permulaan tugasnya kali ini.
Chika mundur beberapa langkah saat kedua kakinya baru saja memasuki kelas dan berdiri di hadapan Ayra. Semula, wanita yang suka rambutnya digulung tinggi itu, menutup wajahnya dengan menempelkan kening di kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Namun, seruan Chika yang memanggilnya tanpa peduli seisi kelas mengarahkan tatapan kesal akibat suaranya, berhasil mengangkat kepala Ayra dan memperlihatkan lingkaran hitam terhias di bawah mata Ayra. Kedua matanya tampak kelelahan. Bahkan jelas sekali siapapun yang melihatnya, bakalan tahu bahwa sejak tadi Ayra tertidur di kelas tak seperti biasanya.
“Gak tidur tadi malam?” tanya Chika yang kini sudah duduk di kursi sebelah Ayra.
Ayra mengangguk pelan dan kembali ke posisi semula sembari mengangkat tangannya memperlihatkan lima jarinya ke arah Chika, “Lima menit lagi ya, Chi. Sumpah ngantuk banget.” Nada suaranya yang jelas terdengar tak sanggup menahan kantun. Beberapa detik kemudian, tak lagi terdengar suara Ayra. Chika yang menyadari sahabatnya it sudah masuk ke alam mimpi, hanya menggelengkan kepala sembari mengeluarkan tugas yang sudah selesai ia kerjakan.
Chika mencoba kembali membaca ulang hasil kerja kerasnya tadi malam. Berusaha memahami arti setiap kalimat yang ia dapat dari beberapa sumber bacaan agar tak sia-sia. Tidak ingin rasanya ia kelihatan bodoh di depan seluruh teman sekelasnya jika dosen hukum dagang yang terkenal killer itu memberikan pertanyaan yang tak mampu ia jawab seputar makalahnya. Sesekali ia melirik ke Ayra yang masih tertidur. Menggeleng pelan lalu mencoba menarik kembali tatapannya untuk tertuju ke makalah di atas mejanya dan mulai berkonsentrasi.
“Chi, kumpul tugas makalahnya samaku.” Sebuah suara berhasil menghilangkan konsentrasi Chika. Tatapannya terarah ke sosok cowok di hadapannya yang sudah satu tahun ini sekelas dengannya semenjak pertukaran mahasiswi dari kelas ke kelas. System aneh yang selalu membuat Chika jantungan karena tidak ingin terpisah dari Ayra. Namun beruntungnya, kedua sahabat ini malah terus satu kelas tanpa sekalipun terpisahkan.
“Lho, memangnya Ibu Desy gak datang?”
“Gak, tapi dia pesan nyuruh semua tugas dikumpulkan.”
Chika mengangguk mengerti dan langsung memberikan tugasnya ke tangan lelaki di hadapannya yang kini mengarahkan tatapan ke Ayra. Mengerutkan kening lalu menatap Chika seakan bertanya mengenai Ayra. Chika tertawa cengengesan lalu berusaha membangunkan Ayra dengan suara pelan.
“Ay, tugasmu mana?” tanya Chika yang sama sekali tidak ada balasan dari Ayra. Chika mengarahkan tatapan ke lelaki yang masih di hadapannya. Tersenyum malu lalu kembali mencoba membangunkan Ayra dengan menyenggolnya sekuat tenaga. Namun sama saja, Ayra sama sekali tak berkutik dari tidur.
Secara tiba-tiba, kedua mata Chika terarah ke sosok lelaki bertubuh tinggi dan sedikit berbadan yang baru saja masuk ke dalam kelas. Melewati meja keduanya dan duduk di sudut ruangan tepat di sebelah kiri Ayra dan juga dirinya. Senyuman Chika tertarik jahil. Tertawa sesaat lalu melirik ke arah Ayra yang masih dengan posisi sama.
“Tarra, Ay!!” serunya sekuat tenaga yang berhasil membuat Ayra spontan berdiri dari posisi duduknya.
“Hai Tarra!!!” serunya sembari melambaikan tangan kanan lurus ke hadpannya. Terdengars uara tawa dari seluruh mahasiswa di dalam kelas yang kini menjadikan Ayra sebagai pusat ledekan. Chika sendiri berusaha menahan tawanya melihat Ayra yang kini tampak kebingungan menatap ke lelaki di hadapannya yang ternyata adalah Dodo, ketua kelas yang memiliki tubuh gendut dan kulit cokelat tua. Menatapnya dengan kebingungan yang langsung mampu merubah warna di kedua pipi Ayra menjadi merah padam. Diliriknya ke seluruh ruangan mencoba mencari keberadaan Tarra sebenarnya. Mendapati senyuman di bibir Tarra yang seakan ingin ikut menertawakan sikapnya yang spontanitas akibat keusilan Chika.
Ayra kembali duduk dan memukul Chika dengan buku miliknya yang sedari tadi jadi objek kepalanya. Chika merintih kesakitan dan berusaha menghentikan serangan Ayra walau sesekali ia tertawa lucu tak tertahankan.
“Gak lucu, Chika!”
“Habisnya dari tadi dibangunin, gak sadar-sadar!” Masih terdengar tawa meledek dari beberapa mahasiswa yang berhasil membuat Ayra menunduk malu.
“Tugasmu mana cewek aneh!” seru Dodo di depan Ayra yang langsung membuatnya memasukkan tangan kanan ke dalam tas dan memberikan makalah ke Dodo. Lelaki bertubuh gembrot itu langsung pergi meninggalkan Ayra yang mencoba memberanikan diri mengarahkan tatapan ke Tarra. Tampak Tarra saat itu menatapnya dengan senyuman di bibir. Menggelengkan kepala yang membuat Ayra kembali menarik tatapannya dan menjatuhkan kepalanya menyentuh meja dengan rasa malu yang tak tertahankan. Menikmati tawa meledek yang masih terdengar terutama dari Chika di sampingnya.