BAB 20

907 Kata
Vino mengalihkan tatapan ke arah berbeda. Mencoba tak beradu pandang dengan Airin yang masih melihatnya degan wajah pengharapan. Harapan akan satu jawaban pasti mengenai kedekatan Tarra dengan Ayra yang memang terjadi tanpa dipaksakan. Begitu dekat hingga tak jarang Vino mengingatkannya tentang Airin yang masih berada di hidupnya dengan status kekasih.                 Airin melangkah menuju parkiran kampus dengan keadaan kacau. Wajahnya tampak tersirat kekecewaan yang teramat sangat dan kedua matanya terpancar kesedihan yang masih belum mau jatuh dengan tetes-tetes air mata. Paksaannya ke Vino, membuatnya menyadari apa yang menjadi alasan Tarra berubah. Dugaannya pun tepat pada sasaran.                 Langkahnya sesekali gontai yang membuat Vino yang sedari tadi melihatnya dari belakang, terperanjak kaget. Ingin rasanya ia mendekati Airin, mencoba menenangkan dan mencoba mencari cara agar Airin tak langsung meyakini bahwa Tarra berselingkuh. Namun tolakan Airin saat duduk berdua dengannya, membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Hanya mampu melihat Airin dari belakang yang semakin memperlambat langkahnya.                 Airin membuka pintu mobilnya. Namun, hingga beberapa detik berlalu, Airin sama sekali tak masuk ke dalam. Menangis pilu meratapi segalanya yang memang belum jelas adanya sebelum ia bertanya langsung pada Tarra. Menghela napas panjang dan menghapus air matanya. Berbalik dan menatap Vino yang masih menatapnya tak tega.                 “Jangan kasih tahu Tarra. Anggap saja kita tidak pernah bertemu dan membahas soal ini.” Vino mengangguk dari kejauhan. Airin tersenyum tipis lalu masuk ke dalam mobil. Meminta sang supir untuk menjalankan mobil dan membawanya pergi dari parkiran kampus sembari menangis mengingat semua ini terjadi.                 Airin meraih handphonenya. Mencari satu nama yang sempat ia masukkan ke dalam daftar kontaknya. Menekan tombol telepon lalu mendekatkan handphone pintarnya itu ke telinga kanan. Menanti sebuah suara di seberang untuk menjawab teleponnya.                 “Halo, Ayra!” ucapnya dengan setetes air mata melesat membasahi kedua pipi. ***                 Ayra berdiri saat seorang wanita hadir di tempatnya janjian. Di sebuah café yang tak terlalu ramai. Berdesign kan klasik dengan warna dinding cokelat menenangkan. Music klasik pun terlantun indah, seakan ingin membawa pengunjung yang tak terlalu ramai saat itu, kembali ke masa-masa indah. Masa-masa yang terlewati, walau mungkin sebagian orang hanya sesaat merasakannya.                 Ayra tampak kikuk berhadapan dengan Airin. Tak pernah ia sangka sebelumnya, pertemuannya pagi itu, terjadi menjadi awal dari kejadian sore ini. dengan ekspresi datar, Airin duduk di hadapannya . menatapnya tanpa jeda hingga membuat Ayra menundukkan kepalanya berulang kali, dan tersenyum terpaksa saat tatapannya beradu dengan wanita bertampang cantik dan tubuh tinggi di hadapannya.                 Airin sendiri mecoba menahan emosi. Dadanya sesaak, walau ia masih mampu menjaga agar tak termakan cemburu yang berlebihan. Menurut pengakuan Vino, keduanya memang masih bersahabat. Belum ada cerita dari Tarra yang menjurus ke hubungan pacaran bersama Ayra. Namun bagi Airin, persahabatan keduanya adalah awal dari rasa sakit yang sulit disembuhkan di kemudian hari. Dan ia tak ingin merasakanya lagi seperti saat Tarra yang dulu lebih memilih Dinda dari pada dirinya.                 “Hai, Ayra. Apa kabar?”                 “Baik. Kamu?”                 “Semula baik, tapi sekarang memburuk karena kehadiranmu.”                 Ayra mengarahkan tatapan kaget ke Airin yang masih tersenyum lebar. Memainkan sumpit yang ia ambil dari tempatnya, lalu kembali menatap Ayra yang kini mulai merasa tak nyaman.                 “Aku gak ngerti ya, kenapa kamu bisa nekat dekatin cowok orang. Kenapa? Merasa tertantang berhubungan dengan pacar orang?”                 “Tarra maksud kamu?”                 “Iya, siapa lagi.” Airin menghela napas panjang dan membetulkan posisi duduknya. “Kamu itu orang baru di hidup Tarra, jadi jangan sok ngerebut sesuatu yang bukan milikmu.”                 “Aku gak merasa ngerebut Tarra dari kamu.” Ayra mencoba tetap tenang. “Aku dan Tarra bersahabat. Salah?”                 “Jelas salah, karena ada cinta di hati kamu buat Tarra!”                 “Dari mana kamu tahu?” tanya Ayra seakan menantang Airin. “Tak ada yang tahu isi hati orang. Jadi jangan sok tahu.”                 Airin semakin terpancing akibat kalimat Ayra yang tetap tenang menanggapi dirinya. Mengalihkan pandangan ke arah lain mencoba menenangkan kembali emosinya, lalu kembali mengarahkan tatapan ke Ayra yang masih menatapnya.                 “Kamu pacarnya kan, kenapa kamu meragukan kesetiaan Tarra?” tanya Ayra lagi. “Kalian sudah bertahun-tahun pacaran, apa kamu masih ragu sama Tarra?”                 “Aku gak ragu sama Tarra, aku ragu sama kamu!”                 Ayra tertawa lucu mendengar kalimat Airin, “Percuma, Rin, kalau hanya aku yang merasakan cinta tapi Tarra gak, gak akan mungkin Tarra memilihku.”                 “Tapi karena kehadiranmu, Tarra berubah!!”                 “Maaf kalau kehadiranku mengganggu. Tapi aku gak berniat merebut pacar orang. Walaupun cinta terlalu kuat di hatiku.” Kalimat Ayra berhasil membaut Airin berdiri dan melayangkan tamparan ke pipi kanan Ayra. Seketika Ayra menunduk. Antara malu dan sakit semua bercampur jadi satu. Terbesit juga rasa sakit di hatinya karena harus menerima perlakuan kasar ini daripacar lelaki yang ia cintai. Memilih untuk diam, rasanya satu-satunya jalan untuknya kali ini dari pada harus melawan Airin yang masih dibendung emosi.                 “Tarra itu milikiku, dan selamanya akan tetap jadi milikku!” serunya tanpa peduli dengan semua tatapan dari pengunjung. “Gak akan ada satu orang pun yang bisa merebut dia dariku. Termasuk kamu!”                 Airin melangkah meninggalkan Ayra yang masih menundukkan kepala. Melirik sesaat ke Airin yang sudah keluar dari café dan masuk ke dalam mobil melalui jendela. Lalu kembali tertunduk menahan rasa sakit yang masih tersisa di pipinya. Ingin rasanya menangis, namun seluruh pasang mata yang masih terarah padanya, membuatnya tak bisa berkutik. Mencoba mentralkan perasaan di dalam hatinya. Lalu perlahan, bangkit dari tempat duduk dan keluar dari café diiringi sindiran beberapa pengunjung yang jelas terdengar di telinga. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN