BAB 15

1212 Kata
… Koma …   Tenanglah kekasihku ku tahu hatimu menangis Beranilah dan percaya semua ini pasti berlalu Meski takkan mudah namun kau takkan sendiri Ku ada di sini *Afgan—Untukmu Aku Bertahan* …2015…                 Darrel membuka halaman berikutnya. Menikmati selembar foto yang tertempel di lembaran buku harian Naya. Sebuah foto Naya yang tampak begitu bahagia sembari memainkan beberapa balon warna-warni. Bibirnya terbuka lebar menunjukkan senyuman lebar yang tampak tulus.                 Teringat kembali kejadian itu. Saat Darrel membelikannya balon hanya karena Naya marah padanya. Kesalahan Darrel yang telat datang, membuat Naya memanyunkan bibirnya sembari menatap lurus ke beberapa layang-layang yang terbang mengikuti angin. Lapangan luas dengan rumput hijau menjadi pemandangan indah bagi keduanya. Memilih duduk di gundukan tanah dan menikmati angin sepoi-sepoi di sore hari.                 Naya duduk memeluk kedua lututnya. Enggan mengarahkan tatapan ke Darrel yang kini sudah duduk di sampingnya. awalnya kebisuan hadir di antara keduanya sampai akhirnya Darrel berusaha mencairkan suasana dengan meminta maaf dan mengajak Naya bercerita ringan.                 “Tapi aku udah nunggu hampir satu jam, Rel!” ucap Naya yang membuat Darrel tersenyum lucu. “Kamu janjinya kan jam empat, tapi lihat sekarang jam berapa? Selalu kayak gini kalau mau ketemuan. Kamu kayak gak serius, Rel.”                 “Iya, maaf ya. Sumpah tadi macet banget, Nay.”                 Naya menghela napas panjang, lalu kembali memusatkan pandangannya ke beberapa anak yang masih asyik bermain layang-layang. Darrel melepaskan pandangannya ke padang rumput yang hijau. Tersenyum saat mendapati seorang lelaki penjual balon yang begitu ramah melayani beberapa pembeli. Darrel melirik ke arah Naya yang masih enggan menatapnya. Tersenyum lalu beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Naya seorang diri yang saat itu terlihat bingung melihat sikap Darrel. Seakan tak memedulikannya.                 Naya mengerutkan kening, ketika Darrel kembali hadir di dekatnya sembari membawa lima balon dengan warna berbeda. Memberikannya ke Naya yang berhasil membuat Naya menatapnya bingung.                 “Kamu pikir aku anak-anak?”                 “Bukan, aku gak berpikir seperti itu. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu selalu ingin setiap harinya penuh dengan warna. Tertawa bersama, menangis bersama, dan menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Dan sekarang, aku ingin menyelesaikan semuanya sampai ke akarnya. Dan satu-satunya cara yang terpikir di kepalaku untuk membuat kamu kembali tersenyum adalah … menikmati berbagai warna yang kamu pernah katakan padaku.” Darrel mengarahkan tangan kanannya yang menggenggam erat tali balon ke hadapan Naya. Perlahan, Naya meraihnya dan menatap balon-balon itu yang melambai mengikuti angin walau masih ia genggam erat.                 “Mau aku foto?” tanya Darrel sembari menunjukkan kamera yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas. “Hari ini, kamu jadi model aku lagi!”                 “Aku jelek, kamu bakalan malu nyimpan fotoku.”                 “Siapa yang berani bilang kamu jelek? Kamu itu manis, Nay.”                 Naya tersenyum mendengar kalimat Darrel. Beranjak dari tempat duduknya dan berlari menjauh dari Darrel sembari membiarkan Balon yang ia genggam mengikuti arah angin yang menabraknya lembut. Darrel yang melihat sikap lucu Naya saat itu, langsung berdiri dan tertawa kecil.                 “Naya!!!” jeritnya yang berhasil membuat Naya terhenti dan berbalik menghadap ke arah Darrel. Tanpa izin, Darrel langsung memainkan kameranya dan mengambil gambar Naya yang belum siap di foto. Darrel menjauhkan kamera dari wajahnya dan tersenyum ke arah Naya yang tertawa kecil mendapati dirinya di foto.                 Kenangan itu berhasil membuat Darrel meneteskan air mata. Mengarahkan tatapan ke Naya yang masih terbaring lemah dengan semua alat yang menyentuhnya tanpa sesaat melepaskan diri. Suara mesin pendeteksi jantung masih saja terdengar. Seakan ingin mengabarkan bahwa sang pasien masih bernyawa. Darrel meraih tangan kanan Naya. Mendaratkan kecupan lembut di punggung tangannya lalu menatapnya dari samping. Air mata kembali melesat di pipinya.                 “Nay, sampai kapan kamu terus marah samaku. Kamu selalu diamin aku saat kamu marah kan? Apa kali ini kamu gak mau maafin aku?”                 Tak ada balasan. Kesunyian masih menyelimuti erat. Darrel melekatkan keningnya di punggung tangan Naya. Menangis pilu hingga terdengar suara isakan darinya. Di sela-sela isakannya, tanpa ia ketahui pintu kamar terbuka. Seorang lelaki masuk dan menatap pilu ke arah Naya. Mendekatinya di sisi kiri, lalu mengarahkan pandangannya ke Darrel yang masih belum menyadari kehadirannya.                 “Kamu siapa?” Suara itu berhasil menarik wajah Darrel untuk terarah ke arahnya. Seorang lelaki dengan bulu-bulu halus di kumis dan dagunya seakan menandakan usianya yang sudah semakin menua. Kaca mata bergagang hitam menempel di batang hidungnya. Mencoba membantu pengelihatannya yang semakin lama semakin mengabur. Darrel beranjak dari tempat duduknya. Berdiri mematung sembari mengarahkan tatapan ke lelaki di hadapannya. Lelaki berjas hitam dengan kemeja putih dan dasi hitam senada dengan kemejanya.                 “Anda ….”                 “Saya Rianto, ayahnya Naya.” ***                 Kursi taman rumah sakit menjadi satu tempat untuk Darrel mengobrol lebih dekat dengan Rianto. Duduk memerhatikan beberapa suster yang berlalu lalang di lorong rumah sakit, beberapa pengunjung yang memiliki tujuan masing-masing dan beberapa dokter dengan pakaian serba putih yang tersenyum menyapa beberapa orang yang mengenalnya.                 Siang hari itu tidak seperti biasa. Musim hujan yang kini hadir, seakan tak memberikan sedikitpun waktu untuk mentari menyinari sekedar menghangatkan bumi. Walau belum turun tetes-tetes air hujan, namun awan gelap sudah mulai tampak menghiasi langit yang tak lagi bersahabat seperti dulu.                 Darrel mengarahkan telapak tangannya ke atas setara dengan dagunya. Seakan menampung air hujan yang sesekali menetes. Tersenyum pilu lalu menghela napas panjang hingga menarik tatapan dari Rianto yang duduk di sampingnya.                 “Naya suka hujan, andai saja dia di sini … mungkin saja dia sudah berlarian di taman rumah sakit seperti yang dia lakukan dulu,” ucap Darrel sembari mengingat kembali wajah Naya dengan senyuman di bibirnya yang sangat ia rindukan.                 “Naya juga suka bintang,” lanjut Rianto seakan ingin menunjukkan bahwa ia juga mengenal sang anak dengan baik.                 “Dan dia sering menangis setiap kali menatap langit di atap gedung kampus, apa anda tahu itu?” Darrel mengarahkan kedua matanya ke Rianto yang tampak kaget mendengar kalimatnya. Satu hal yang tak pernah ia ketahui saat ia berada di sekitar Naya. Sang anak tidak pernah menunjukkan sikap yang satu itu.                 “Saya tahu anda dari Naya. Saya tahu semuanya bahkan harus melihat Naya menangis setiap kali ia bercerita. Saya juga selalu melihatnya terdiam tanpa berani melanjutkan ceritanya setiap kali nada suara Tante Asty meninggi memintanya untuk diam. Dan saya sendiri tidak tahu harus memposisikan diri saya di mana. Membela anda atau tetap berada di barisan mereka.”                 Rianto menghela napas panjang. Berusaha menepis segalanya seakan semua kenangan pahit itu kembali merajut di memori kepala. Semua begitu mengejutkan. Semua begitu menyakitkan. Keadaan yang tak pernah ia bayangkan, terjadi dalam satu waktu.                 “Tapi, seharusnya saya tetap berada di barisan Naya dan Tante Asty jika mengingat kejadian itu juga membunuh kebahagiaan saya.”                 Rianto mengarahkan tatapannya ke Darrel. Kedua matanya terbelalak walau tampak jelas kebingungan di garis-garis keningnya yang mengerut. Darrel tersenyum memilukan. Menundukkan kepala sembari menggenggam diary Naya yang berisikan foto demi foto dari kejadian di hidupnya beserta beberapa kalimat curhatan Naya. Mencoba tetap tenang walau dadanya menggebu emosi yang tak tertahankan. Enggan rasanya ia menatap lelaki di sampingnya. Enggan rasanya ia bersikap tenang saat pembunuh kebahagiaannya hadir di hadapannya. Namun janjinya pada Naya, membuatnya harus meredam segalanya. Walau sesungguhnya ia ingin melayangkan tinju ke arah wajah tua di sampingnya.                 Angin berhembus menyakitkan. Air mulai menetes semakin deras. Darrel beranjak dari tempat duduknya dan berpamitan pada Rianto yang masih menanti penjelasan darinya. Namun, ketidakinginan yang hadir di dalam dirinya, membuatnya enggan dan lebih memilih pergi tanpa peduli Rianto yang terus memanggil namanya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN