… Adam …
Pria inilah yang jatuh hati padamu
Pria inilah yang kan s’lalu memujamu
*Sheila On 7—Pemuja Rahasia*
… 2014 …
Naya menatap kesal ke arah lelaki yang tingginya hampir sama dengannya dan memiliki kulit putih walau tak seputih dirinya yang masih saja betah mengikutinya. Lelaki dengan rambut buzz cut atau biasa disebut cepak itu seakan tak ingin satu menit pun berlalu tanpa Naya di dekatnya. Hampir tiga bulan sosok lelaki yang sebenarnya baik dan tanggung jawab itu, berada di sekitar dunianya. Seakan tidak ingin membiarkan Naya barang sebentar saja menikmati kesendiriannya yang selalu membuatnya betah berlama-lama. Berulang kali Naya menolak permintaan lelaki yang bekerja sebagai dokter itu untuk ikut lagi dan lagi kemanapun Naya pergi, namun Adam tetap keukeh. Bahkan tak jarang membuat Naya sengaja membiarkannya tanpa sekalipun mengusiknya dengan pertanyaan atau kalimat lainnya.
Naya berdiri di tengah-tengah jembatan gantung. Satu tempat yang dipilih Naya untuk mengambil objek kameranya dan berusaha selihai mungkin mencari posisi pas. Dia tidak ingin kalah kali ini. pertandingan yang sama setahun lalu, sama sekali tak mampu ia ikuti hanya karena masalah sepele. Satu masalah yang sesaat membuatnya terpuruk perih. Satu masalah yang membuatnya enggan menatap hari baru yang siap kapan saja hadir di hadapannya. Dan satu masalah yang membuatnya lebih memilih berdiam diri di dalam kamar hampir berbulan-bulan.
Adam tampak ketakutan saat jembatan bergoyang-goyang tertiup angin. Suaranya terus saja terdengar memanggil Naya yang masih ingin mengambil gambar aliran sungai di bawah jembatan dengan ditambah bebatuan besar di beberapa sisi. Pemandangan yang indah dengan ditambah pepohonan tinggi di sekitar tepian sungai. Naya sendiri tampak tidak ambil pusing dengan kehadiran Adam. Walau sejak tadi, Adam memintanya terus menerus untuk berjalan melewati jembatan yang hampir membuat jantungnya lepas dari tempatnya.
“Nay, kenapa harus ke tempat kayak gini sih, aku takut ketinggian!” seru Adam yang berdiri beberapa meter dari Naya. Sesaat wanita yang memiliki bola mata cokelat itu melirik kesal ke arahnya. Bibirnya mengerucut tanda ia mulai terpancing emosi. Namun beberapa saat kemudian, Naya kembali mengambil objek untuk makanan lensa kameranya.
“Nay, ganti tempat aja ya.”
“Aku gak mau!” jawab Naya sembari melangkah dan dengan sengaja melompat pelan hingga membuat Adam memegang tali kanan kiri jembatan sekuat tenaga. Naya tersenyum nakal, lalu mulai melangkah santai tanpa melompat seperti sebelumnya. Pesan dari penjaga hutan terngiang di telinganya tentang sikap hati-hati saat melewati jembatan gantung itu.
Adam kembali berseru memanggil nama Naya. Melangkah perlahan menyusli Naya yang hampir melewati jembatan. Berusaha sekuat tenaga menguatkan kedua kakinya yang mulai gemetaran hingga akhirnya sampai di ujung jembatan. Dudk terkulai di atas batu besar dan menatap Naya yang kembali sibuk memainkan kameranya.
“Nay ….”
“Aku gak suka cowok lemah. Sama ketinggian aja takut!” sindir Naya sembari menatap Adam sesaat, lalu kembali membidik kameranya ke jembatan.
Adam menundukkan kepala. Perjuangannya memang tak mudah untuk mendapatkan hati Naya. Perjodohan kedua keluarga memang berawal dari dirinya yang meminta pada sang mama untuk mengenalkannya dengan anak dari sahabatnya. Namun, sikap Naya di luar dugaannya. Awalnya ia mengira, Naya akan sama seperti wanita lainnya yang langsung jatuh hati pada pertemuan pertama. Apalagi jika tahu bahwa dirinya seorang dokter muda dengan prestasi yang patut untuk dibanggakan. Tapi semua itu tak sesuai bayangan. Naya malah bersikap cuek dan judes padanya. Berulang kali Naya memintanya untuk mengakhiri perjodohan itu, namun Adam yang sudah terlanjur jatuh hati, tak bisa melakukan apa-apa selain terus berjuang.
“Apa aku gak punya kesempatan, Nay?” Pertanyaan dengan nada lirih itu berhasil menarik Naya untuk berhenti membidik sasaran lensanya. Menarik tatapannya ke Adam yang kini menatapnya teduh.
Sebenarnya tak ada yang salah di diri Adam. Lelaki bertubuh tinggi dan kulit putih itu termasuk deretan lelaki yang baik, sopan, bertanggung jawab dan mapan. Adam selalu saja menyempatkan waktunya yang cukup padat dengan rutinitasnya sebagai dokter demi menemani Naya mengambil gambar yang terkadang buat untuk perlombaan. Sikap Adam yang terus berjuang tanpa henti pun, patut diacungi jempul. Bagaimana tidak, berulang kali Naya membentaknya, mengusirnya bahkan pernah memukulnya tanpa perasaan. Namun semua itu seakan tidak dihiraukan Adam yang tetap berjuang. Untuk pertama kalinya Naya merasa dianggap berarti oleh seorang lelaki. Untuk pertama kalinya Naya merasa dihargai oleh lelaki. Dan baru pertama kalinya ada seorang lelaki berjuang mati-matian hanya demi mendapatkan hati.
Sayangnya, semua perjuangan Adam itu sama sekali tidak berarti untuknya. Hatinya sudah terlanjur mencintai sosok Darrel yang terkadang tak peduli denganya. Hatinya terlanjur terikat pada sosok lelaki yang lebih memilih wanita di dekatnya yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun dari pada Naya. Padahal, Darrel sendiri yang mengatakan bahwa ia hanya mencintai Naya. Namun sikap Darrel sama sekali tidak selaras dengan ucapannya yang sudah hampir beberapa kali Naya dengar.
Naya menghela napas panjang. Semua ini cukup membuatnya lelah. Menanti yang tidak pasti sungguh membuatnya lelah bukan main. Hidupnya seakan menjadi sia-sia hanya karena berharap sosok lelaki penenang jiwa itu hadir kembali dan menggenggam erat kedua tangannya. Mengusap kepalanya seperti dulu dan mendaratkan kecupan hangat di keningnya. Begitu hangat hingga berhasil mendesirkan kehangatan di seluruh aliran darah di tubuhnya.
Naya kembali melesatkan tatapannya ke segala arah. Mencoba sebisa mungkin menyembunyikan bendungan air di kedua matanya yang siap kapan saja melesat melemahkan dirinya. Cukup setahun yang lalu ia lemah tak berdaya. Cukup setahun yang lalu air mata jatuh tanpa hentinya. Cukup setahun yang lalu dunianya seakan gelap tanpa cahaya. Dan saat ini, dia tak ingin mengurainya lagi. mengingatnya saja mampu membuatnya sakit bukan main, apalagi harus kembali masuk ke dalam dunia harapan palsu. Namun jika dia ditakdirkan untuk kembali, dengan senang hati Naya merentangkan kedua tangannya untuk memeluk kenyataan. Bahwa ia masih mencintainya.
“Nay, aku tidak mengerti kenapa kamu tidak bisa menerimaku. Apa ada yang salah denganku, Nay?” Pertanyaan Adam membuat Naya menarik napas panjang yang terasa menyakitkan di dadanya. Untuk pertama kalinya Adam mengeluh. Dan Naya tahu jelas bahwa saat ini, Adam seakan ingin meminta keputusan yang benar-benar pasti padanya. Usia Adam dua tahun lebih tua darinya. Dan rasanya pantas jika ia meminta penjelasan agar tidak terlalu lama menanti yang tak pasti. Berjuang yang tanpa akhir. Dan mencintai sseorang yang sebenarnya tak memberikan peluang padanya untuk mengajarkan arti kata cinta.
“Aku … aku belum bisa cerita.” Kalimat Naya spontan diterima Adam dengan helaan napas berat. “Setiap orang punya rahasia, dan ini rahasia terbesarku. Mungkin.” Jawaban menggantung yang disusul Naya dnegan menggigit bibir bawahnya. Mengarahkan tatapan ke Adam yang masih duduk dengan kepala tertunduk.
Sakit. Pasti dirasakan Adam yang begitu berharap bisa mendapatkan hatinya. Sejujurnya, Naya sendiri sudah tak lagi percaya dengan cinta. Baginya, cinta hanya bisa menyakiti, bukan menenangkan seperti yang dikatakan kebanyakan umat yang tertembak kata cinta. Cinta hanya mampu melemahkannya, bukan menguatkannya. Cinta selalu saja mengambil kebahagiaannya, bukan memberikannya pilihan untuk bahagia. Naya terlalu membenci cinta sejak Gino meninggalkannya. Namun, kehadiran Darrellah yang membuatnya kembali bersahabat dengan kata itu.
Sayangnya, Darrel yang seakan menjadi alat untuknya bersahabt dengan dunia cinta, malah Darrel sendirilah yang kembali merusak segalanya. Membuatnya kembali memusuhi cinta dan bahkan tak lagi ingin mengenalnya. Baginya, tak ada cinta … hidup masih terus berjalan. Walau terkadang hambar terasa.
Naya mengambil gambar Adam tanpa ia pinta. Kilatan cahaya dari lensa Naya, spontan membuat Adam kaget dan langsung mengarahkan tatapannya ke Naya yang kini tersenyum tipis. Mengamati hasil jepretannya dan kembali tersenyum walau masih terasa dipaksakan untuk Adam tangkap.
“Kenapa harus aku, Dam?” tanya Naya yang kembali mengarahkan tatapan ke Adam. “Masih banyak wanita lain yang jauh lebih bisa mencintaimu dari pada aku.”
Adam bangkit dari posisi duduknya. Melangkah mendekati Naya dan berhenti tepat di hadapannya. Menikmati kedua mata Naya yang begitu ia sukai sejak pertama kali bertemu. Tatapan meneduhkan walau terkadang terpancar sesuatu yang aneh dari kedua matanya setiap kali ia menikmati hujan, bintang dan langit yang menjadi kesukaannya.
“Aku tidak tahu alasannya. Yang pasti, hatiku memilihmu, Nay.”
Kalimat yang sama harus kembali terdengar di telinga Naya. Tertawa lucu seakan meremehkan kalimat bernada keseriusan itu, lalu kembali menatap Adam dengan raut wajah ketidaksenangan. Adam sendiri menatapnya aneh hingga membentuk kerutan di keningnya yang tak terlalu lebar.
“Cinta tanpa alasan? Bullshit!” bentak Naya. “Kalian pikir, aku percaya dengan cinta yang tanpa alasan itu?”
“Tapi, Nay ….”
“Dengan gampangnya kalian bilang ‘Cinta tak perlu alasan, tapi hati inilah yang memilihmu’, terus setelah itu kalian ninggalin aku gitu aja.” Nada suara Naya masih tidak enak untuk Adam terima. “Gampang banget! Udah berapa wanita yang kalian gituin. Ha?!”
“Apa ada yang salah dengan kalimatku, Nay?”
“Jelas salah!” bentak Naya dengan kedua mata melotot tajam. “Kalian pikir hati bisa dimainkan dengan memberikan kalimat yang tanpa alasan jelas?!” Wajah Naya tampak kemerahan akibat emosi yang secara tiba-tiba melesat tanpa bisa ia tahan. “Kalian pikir cinta segampang itu? Kalian semua sama aja, menganggap cinta seakan mainan yang bisa kapan saja kalian mainkan tanpa alasan yang tepat.”
Naya melangkah meninggalkan Adam dengan emosi yang masih memburu lewat napasnya. Berusaha menetralkannya dengan menarik napas panjang berulang kali, namun semua itu gagal. Dadanya masih saja sesak akibat emosi.
“Tapi cinta tulus tak perlu alasan, Naya!!” jerit Adam yang membuat Naya menghentikan langkahnya. Rasa kaget tampak jelas di wajahnya. Menatap lurus ke depan dan membiarkan Adam kembali melangkah di belakangnya untuk mendekatinya. Berhenti di hadapannya dengan tatapan seakan menyimpan kekecewaan akibat sikap Naya yang selalu emosi setiap kali ia berbicara tentang cinta.
“Katakan padaku, apa yang membuatmu mencintai Tante Asty sejak dulu?” Pertanyaan aneh yang membuat Naya kembali tertawa lucu.
“Jelas aku mencintainya, karena dia ibuku.”
“Sama kan?” Naya mengerutkan kening. “Alasan klise yang anak bayi jika bisa berbicara akan menjawab hal yang saam seperti yang kamu katakan. Sama seperti jawabanku tadi. Mungkin terdengar kilse saat aku mengatakan bahwa hatiku memilihmu. Jawaban yang siapapun bisa menjawabnya tanpa berpikir dua kali. Tapi jika aku bertanya lebih detail lagi, kenapa kamu masih mencintainya padahal secara tidak langsung Tante Astylah yang sebenarnya menjauhkanmu dari kebahagiaan. Beri aku satu alasan yang tidak klise terdengar, Nay!”
Naya menatapnya tak percaya. Bibirnya bungkam. Tak ada satu patah katapun yang bisa keluar dari bibirnya. Sunyi … hanya desiran angin dan deru aliran air sungailah yang terdengar. Seakan membuyarkan kalimat di kepala Naya hingga tak tersusun. Naya hanya mampu menatap Adam yang masih menanti jawaban darinya. Napas Naya memburu. Lidahnya kelu. Bahkan kini, Naya tak lagi berani menatap Adam yang masih di hadapannya.
“Kenapa, Nay. Sulitkan menjawabnya? Sama … aku juga.”
Senyuman hadir di bibir Adam yang mampu ditangkap Naya dengan tatapan memilukan. Kedua matanya tak lagi mampu menahan air mata yang kini melesat terjun bebas membasahi kedua pipi dan melemahkan pertahananannya yang sejak tadi ia dirikan begitu kokoh.