Menghilang Setiap Malam

1150 Kata
Suamiku Menghilang Setiap Malam Bab 1 : Menghilang Setiap Malam Terasa ada yang turun dari ranjang, aku yang sedang tertidur bisa merasakan hal itu. Kuubah posisi tidur dari menyamping menghadap dinding, menjadi miring ke kanan, menghadap ke arah suamiku. Kuraba, namun tak ada terasa tubuh Mas Gilhan, suamiku. Kubuka mata perlahan dan benar saja, tempat tidurnya sudah kosong. Kukucek mata, dan melihat jam di dinding yang mengarah ke 01.05. Agghh ... suamiku memang suka menghilang di setiap malam, pergi ke mana dia? Ketika subuh barulah dia kembali dan aku tak pernah tahu kapan ia datang, tapi tiba-tiba sudah ada di sampingku, selalu begitu setiap hari. Aku berusaha bangkit dari tempat tidur untuk mencarinya, tapi tubuh ini terasa berat dengan mata yang terasa amat mengantuk. Aku tak bisa menggerakkan tubuh hingga akhirnya kembali tertidur. “Sayang, Mas berangkat kerja dulu!” Terdengar suara samar-samar. Aku membuka mata dan mendapati Mas Gilhan sudah bersiap dengan pakaian kerjanya, setelan jas berwarna hitam. Kulirik jam di dinding yang sudah mengarah ke angka 07.30, oh tuhan ... lagi-lagi aku tak sholat subuh dan tak menyadari kapan suamiku kembali. “Mas, kamu tadi malam ke mana?” tanyaku dengan sambil bangkit dari tempat tidur. Mas Gilhan mengerutkan dahi dan menjawab, “Nggak ada ke mana-mana.” “Masa? Sudah beberapa kali kamu selalu menghilang setiap malam, kamu ke mana, Mas?” tanyaku dengan tak bisa menyembunyikan rasa penasaran ini. “Apa sih maksud kamu, Sayang? Aku nggak pernah ke mana-mana kok setiap malam, sepanjang malam tidur di samping kamu kok,” jawabnya dengan mendekat ke arahku yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh selidik. “Mas ....” Aku masih tak puas dengan jawabannya. “Ya sudah, kamu Cuma mimpi saja kali. Aku berangkat dulu, ya. Aku titip anak-anak, I love you,” ujarnya sambil mendaratkan kecupan di dahiku. Aku berusaha tersenyum, dan kembali duduk di atas ranjang sebab semua ini terasa aneh. Aku sangat yakin, kalau setiap malam suamiku memang selalu menghilang dari kamar tapi dia menyangkalnya. Setelah cukup lama termenung, aku bangkit dan meraih handuk lalu mandi. Aku merasa ada keanehan setiap malam di rumah ini, selain suamiku yang selalu menghilang, aku juga tak bisa bangun sebab tubuhku ketindihan sepanjang malam dan akan tersadar saat pagi. Setelah mandi dan berpakaian, aku keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga untuk ke lantai bawah kemudian menuju dapur. Di ruang tengah, terlihat Bik Ana sedang bermain dengan Naura dann Nayla, putri bungsu suamiku, hmm ... namun kini sudah menjadi putriku juga. Mereka kembar identik, aku masih sulit membedakan mereka sebulan ini. “Selamat pagi, Cantik,” sapaku kepada dua putri tiriku itu. “Selamat pagi juga, Mama Sindy,” jawabnya serempak dengan sambil tersenyum. Aku mendekat dan mendaratkan ciuman di dahi gadis kecil yang usianya kurang beberap bulan lagi akan menginjak empat tahun. “Udah sarapan belum, Sayang?” tanyaku. “Udah, Ma,” jawab mereka serempak. “Nyonya Sindy, sarapan sudah ada di atas meja makan. Silakan!” ujar Bik Ana dengan suara kaku, gaya biacaranya memag begitu, datar dan tanpa ekspresi. Usianya masih muda, mungkin seusia dengan suamiku, 37 tahunan. “Hmm ... iya, Bik, terima kasih,” jawabku. “Niko udah ke sekolah?” tanyaku saat teringat akan putra sulung suamiku yang kini sudah duduk di bangku SMP itu. “Udah, Nyonya. Den Niko, pukul 06.30 sudah berangkat ke sekolah,” jawabnya dengan nada sengit. Aku berusaha berpikir positif dan beranggapan kalau sifat jutek begitu memang wataknya, walau aku menangkap ada kejengkelan karena aku bangun selalu siang. Bukan mauku seperti ini, tapi aku selalu terbangun selalu siang walau sudah menyetel alarm, padahal ketika masih gadis dan tinggal di rumah mama, aku tak pernah seperti ini. Di rumah ini, aku selalu kesusahan untuk bangun jika sudah tidur, maka dengan itu, aku tak mau tidur siang sebab beberapa hari yang lalu aku pernah tidur siang dan terbangun besoknya. Aneh bukan? Aktivitasku di rumah ini berjalan seperti hari-hari kemarin, aku Cuma duduk bengong di depan televisi sebab dua putri kembar suamiku itu selalu menghabiskan waktu dengan pembantunya saja. Aku mulai jenuh sebulan terus seperti ini, kalau begini lebih baik aku kembali bekerja di kantor Mas Gilhan sebab dulu aku karyawannya sebelum dia melamarku jadi istri. Ah, akan kubicarakan nanti dengannya. *** Malam ini, aku sengaja menjaga mata agar tak tertidur, sebab aku ingin memergoki ke mana perginya suamiku setiap malam. Dia akan selalu menghilang setiap di atas pukul 00.00, begitu menurut analisaku sebulan ini. Aku hanya pura-pura memejamkan mata saja dengan posisi memeluk guling dengan membelakanginya, agar ia tak tahu kalau aku tak benaran tidur. Taklama kemudian setelah aku membuka sedikit mata untuk melihat jam di dinding kamar, terasa gerakan Mas Gilhan bangkit dari tempat tidur lalu melangkah. Aku membalikkan tubuh perlahan dan melihatnya membuka pintu kamar dan keluar. Dengan sigap, aku juga bangkit dari tempat tidur dan mengikutinya membuka perlahan pintu dan mengintip ke luar, dia terlihat menuruni anak tangga. Untung saja lampu di rumah ini di matikan sebagian, jadi aku bisa mengikutinya dengan aman. Setelah kulihat Mas Gilhan sampai di lantai bawah, aku segera menuruni anak tangga pula. Pikiran jahat mulai mengotori pikiran ini, firasat mengatakan kalau suamiku itu akan mendatangi kamar pembantu kami, Bik Ana, seperti cerita yang sering kutonton di televisi dengan cerita suami majikan selingkuh dengan pembantu. Agghh ... semoga aku salah. Taklama kemudian, aku telah tiba di lantai bawah, aku celingukan mencari Mas Gilhan, ke mana dia? Dalam suasana temaram begini, sebab hanya lampu ruang tengah saja yang masih menyala, ditambah pula dengan rumah yang besar begini, aku jadi mudah kehilangan jejak. Eh, aku seperti melihat bayangan yang menuju lorong untuk ke belakang, yang di samping kanannya terdapat kamar Bik Ana. Jantung makin berdebar kencang saja, aku belum siap jika memergoki suamiku beselingkuh dengan pembantu, apalagi usia pernikahan kami baru sebulan. Kalau dia memang ada main dengan pembantunya itu, kenapa mereka tak menikah saja? Toh dia sudah lama menduda, sebab istri pertamanya meninggal tak lama beberapa bulan setelah melahirkan putri kembarnya itu. Eh, Mas Gilhan tak menyinggahi kamar Bik Ana, ia malah menuju ruangan belakang yang terdapat pintu untuk ke halaman belakang yang katanya hutan itu, karena suamiku memang pernah bilang begitu, di belakang itu hutan dan tak ada yang boleh ke sana. Pintu belakang terbuka, itu artinya suamiku sudah keluar. Aura detektifku yang tadi begitu menggelora kini menciut, apalagi bulu kuduk terasa berdiri. Akan tetapi, mau kembali aja sudah nanggung, lebih baik kutuntaskan semua ini biar tahu ke mana tujuan Mas Gilhan setiap malam. Aku berdiri di dekat pintu dengan mata mencoba mencari sosok suamiku di antara pekatnya malam, namun tak terlihat apa pun di sana. Ke mana perginya Mas Gilhan? Apa dia pemuja setan yang setiap malam harus bercinta dengan kuntilanak atau ... ahhh ... aku tak tahu. Akan tetapi, belum sempat aku mengkaji lebih jauh, terasa ada sebuah tangan yang memegang pundakku. “Aaagg!!!” jeritanku terasa tertahan, aku kelu dan tak dapat mengeluarkan suara. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN