BAB SATU

2629 Kata
Memang benar kalau orang mabuk keesokannya seperti orang yang hilang ingatan layaknya orang kecelakaan. Alle menemukan satu contohnya; Okpara alias Oncom(panggilan kesayangannya). "Gue ngapain semalem?" tanya Okpara untuk kesekian kalinya. Alle yang sedang berusaha mengunyah roti bakar rasa blueberry kesukaannya menghela napas lelah. Wajah linglung Okpara membuatnya justru yang terserang sakit kepala. "I don't want to explained again. You heard anything, Ncom!" Okpara mengambil roti Alle, menggeleng bodoh. "Gue nggak paham, Le." "Ya jelas lo nggak paham, orang lo keenakan!" Mengambil setangkup roti yang lain, gerakan mengolesi Alle berhenti karena teriakan Okpara. "f**k!" Alle paling benci u*****n apapun yang keluar dari bibir Okpara, maka dari itu dia menggeser kursi ke belakang dan berjalan ke kamarnya sendiri. Kamar yang berada di dalam rumah kebanggaan Okpara. "GUE NGAPAIN, LE, SEMALEM???!!" * Tidak sadar. Adalah alasan pertama Okpara begitu kesadarannya penuh. Alleena, menjawab seperti apa adanya yang terjadi semalam. Yang Okpara pikirkan, mereka tak akan sama lagi menjalani pertemanan. "Pokoknya lo udah janji, ya, Ncom. Nggak bisa lo ingkari." Menyugar rambut dan memijat pangkal hidungnya lagi, Okpara merasa sangat tertekan sekarang. Dia pernah berjanji, tidak akan bersikap b******k pada Alle, cukup b******k pada orang lain selain Alle, orangtua, dan keluarganya. "Le... ya ampun, Le...." Alle tak tega bersikap ketus terhadap Okpara. Dia dekati lelaki itu dan memberikannya pelukan. "Lo nyesel, ya, Ncom?" tanya Alle yang sudah menempelkan pipinya di puncak kepala Okpara. Lelaki itu menjawab dengan anggukan di dalam dekapan Alle. "Maafin gue, ya, Ncom. Gara-gara gue yang d***u, lo jadi tidur sama cewek yang nggak sesuai tipe lo." Okpara terkejut. "Maksud lo, Le?" tanyanya seraya mendongak. "Ya... maaf. Harusnya cewek tepos kayak gue, yang nggak sebanding sama tipe lo selama ini, harusnya bisa maksa lo buat nggak tidur sama gue." "Kenapa lo jadi ngerendahin diri lo sendiri, sih?!" kesal Okpara. "Gue nyesel karena udah b******k nidurin lo dalam keadaan mabuk, Le!" "Harusnya lo nidurin gue pas sadar, ya, Ncom? Biar nggak b******k?" Okpara mengernyit, menarik napas panjang merasa geli sekaligus kesal dengan tanggapan Alle. "Bukan! Astaga, Le. Gue tahu lo nggak sebodoh itu, kenapa lo jawab begitu, sih??" "Ya, habisnya. Lo ngeluh persis kayak orang super nyesel gitu nidurin gue. Emang kenapa, sih? Harusnya gue yang nangis-nangis sekarang, minta lo tanggung jawab kayak cewek lo kemaren—" "Itu bukan cewek gue! Lo doang cewek gue." Berganti Alle yang menggelengkan kepala tak paham. "Lo ngomong apa, sih, Ncom? Nggak paham gue. Lo bilang gue temen lo, tapi—" "Lo, tuh temen cewek spesial gue, Le." What? Ta*k lo, Ncom! "Oh..." Alle hanya bisa membalas dengan tanggapan singkat itu. Toh, dia tidak sanggup mengumpati seorang Okpara. "Jadi?" tanya Okpara. "Apa? Kok, lo nanya gue?" "Arggghhhhh...!" Teriak Okpara dengan frustasi. "Jadi lo maunya gimana, Le?" "Ya... maunya sih, lo tanggung jawab." "Apaan, Le?! Masa gue nikahin—" "Nggak nikah, Ncom! Lo tanggung jawab dengan nggak tidur sama yang lain!" Perlahan Okpara lebih tenang. Lelaki itu mendesah napas lega. "Oke, nggak tidur— terus gue penetrasi sama siapa kalo nggak maen lagi, Le????" "Sama gue, lah, Oncom!" * "Bentar, bentar!" Alle mengambil jarak untuk melihat wajah Okpara dengan napas terengah. Dia pandangi bagaimana raut memerah Okpara mengambil separuh oksigennya. Lelaki itu juga sama terengahnya seperti Alle, dan tentu saja menambah daya tarik dimata perempuan itu. "Kenapa?" tanya Okpara. Alle menggeleng pelan, dia tersenyum seraya menangkup pipi sahabatnya itu. "Waktu lo teler, gue nggak bisa lihat jelas muka h***y lo." Okpara terkekeh dan memaki, "Sialan." Dia tidak benar-benar ingin memaki Alle, hanya saja wajah serta ucapan Alle membuat Okpara semakin menginginkan perempuan itu. Dicium dengan sebegitu intimnya, Alle tidak bisa menahan diri membalas sama besarnya. Bagaimanapun, Alle bukan tipe perempuan yang polos dan memertahankan keperawanannya hanya untuk suaminya kelak. "Ehm—" pekik Alle ketika hujaman Okpara mengejutkannya sekaligus menghantar rasa nikmat sampai dia melepaskan pagutan dan menggigit bibirnya sendiri. Mereka mengadu suara, seolah siapa yang paling mendominasi mereka yang akan menang. Okpara dengan gemasnya memberi tanda sepanjang tengkuk sampai paha Alle. Dia tidak peduli dengan rengekan sahabatnya itu supaya tak meninggalkan jejak apapun. Menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk benar-benar mendapatkan penetrasi bersama, Okpara menggulingkan tubuhnya ke samping. Alle meringkuk ke dalam pelukan lelaki itu. "Jangan elus-elus, Le." Kata Okpara yang lebih tepat disebut menggeram. Tersenyum, Alle mengecup pipi sahabatnya dan segera berlalu dari kamar Okpara. Sesuai kesepakatan yang mereka berdua lakukan, bahwa tidak ada sesi tidur di ranjang yang sama setelah kegiatan panas mereka berakhir. Alle memang harus kembali ke kamarnya sendiri, dan menjalani aktivitas seperti biasanya... sebagai sahabat. * Menutup pintu kamar Okpara, dengan dress tidurnya yang sudah melekat kembali, Alle menghela napasnya panjang. Dia jelas mempunyai tujuan untuk memiliki Okpara sebagai pasangan, bukan sahabat sampai mau melakukan hal ini. Bagi Alle, ini satu-satunya cara agar Okpara terbiasa dengan keberadaannya sebagai wanita. Alle berharap cara ini juga yang bisa membuka hati Okpara untuknya. Menekan dadanya, Alle merasa degup jantungnya terlalu berlebihan sekarang. Tadi, saat dia mengelus d**a Okpara dan mendapat teguran dari lelaki itu dia memang agak tidak sadar. Alle ingin menikmati cuddle time bersama Okpara layaknya pasangan mesra, tapi sayangnya Okpara membuat bayangan itu hancur seketika.  * Keesokan paginya, Okpara dan Alle seperti mendapati jarak yang aneh. Mereka berdua malah merasa saling canggung, padahal malam dimana Okpara mabuk dan meniduri Alle, perempuan itu sama sekali bersikap acuh tak acuh. "He-em." Okpara berdeham memecah kecanggungan mereka. "Hari ini lo ada kerjaan?" tanya Okpara. "Iya. Ada klien yang minta ganti desain kamarnya." Pekerjaan Alle adalah sebagai desain interior ala kadarnya—menurut Alle sendiri. Meski tinggal bersama Okpara, dia memiliki pekerjaan bagus dengan gaji tak sedikit hanya dari satu klien saja. Namun, memilih tinggal di satu rumah yang sama dengan Okpara dengan alasan Okpara memang sudah kaya sedari lahir dan patut ditumpangi dan direcoki. "Selesai jam berapa?" "Belum tahu, klien ini agak rempong soalnya. Dia langganan di tempat kerja gue, dan baru gue tangani sekali, yang kemarin itu. Gue nggak tahu kenapa tuh orang bisa perfeksionis banget, padahal menurut gue semuanya udah bagus, tapi orangnya protes setelah semuanya selesai. Astaga... kebanyakan duit banget, tuh orang. Protes sebelum digarap gitu sama tukang. Ini, sih protes setelah semuanya rapi! Nggak habis pikir gue." "Cewek apa cowok?" timpal Okpara. "Cowok, tapi mulutnya cabe banget! Pedes!" Okpara diam, mengamati bagaimana Alle bercerita hilir mudik mengenai satu klien itu saja. Dia bingung, kenapa aneh rasanya mendengar Alle punya banyak cerita mengenai satu klien tersebut. Masa gue cemburu? * Mungkin ada baiknya jika Alle berhenti saja dari pekerjaannya saat ini. Meski sudah merasa pas dengan segala yang sudah dicapainya, tapi begitu bertemu dengan Aryan—klien serba ceriwis—yang selalu saja mengubah keputusan baru setelah desain selesai... Alle merasa dunia kerjanya tak lagi bagus. "Dari sini, nih! Saya maunya lebih diperluas. Kamar saya nyatu aja sama ruang baca. Tapi ruang kerja nggak jadi di kamar." Pria itu kembali berpikir. "Apa sebaiknya kita pakai meja khusus buat ditaruh di kamar, ya?" Alle iseng-iseng menambahkan, "Kenapa nggak bapak perluas seluruh rumah bapak? Jadi, pas nanti nikah rumah ini bisa ditinggali istri dan anak-anak bapak kelak." Aryan langsung mengarahkan tatapan pada Alle. "Gitu? Kamu sudah siap nikah emangnya?" "Huh?" Keduanya saling berpandangan. Alle benar-benar tak paham, tapi Aryan sepertinya berbeda tabiat. "Yakin kamu mau tinggal di sini, Al?" Aduh! Kenapa sekarang Alle memiliki dua panggilan yang berbeda dari dua lelaki yang aneh dan hadir dalam hidupnya ini? Memikirkan ucapan aneh Ryan, perempuan itu mengambil botol mineralnya dan menenggak habis isinya. "Al? Kamu mikir saya serius lamar kamu?" tanya Ryan. Sontak Alle mengangguk, dan tawa pria itu menggema. Kesimpulannya, Alle sudah dikerjai oleh pria itu. Rasa kesal dan malunya bertambah. Dia pikir, Alle memang ada kandidat ketertarikan dengannya karena selalu membuat Alle kesal. Namun, melihat betapa jahilnya pria berusia tiga puluh lebih itu bersikap, Alle tak jadi membawa kemungkinan tersebut. Fix Ryan tak bisa menjadi kandidat pria dengan ketampanan dan kekayaan yang bisa Alle-mungkin saja-sayangi. "Ish... bapak ini!" protes Alle. Bisa apa dia kalau kliennya yang aneh itu mendatangkan pundi-pundi uang segar. "Sori, sori. Yaudah, deh. Mending kita makan siang dulu. Saya lapar." "Oke. Kalo gitu meeting nya kita lanjut besok, ya, Pak? Dari pagi kita udah bicara banyak—" "Siapa bilang udahan? Jadwal kamu hari ini, dari pagi sampai jam kerja habis adalah meeting sama saya, Al." "Huh?" Ryan tidak menanggapi kebiasaan Alle yang suka spontan saja mengucap 'huh' ketika bingung atau terkejut. Pria itu tertawa pelan dan membawa Alle keluar dari sana untuk mengajak perempuan itu makan siang bersamanya. "Pak saya bisa jalan sendiri!" Alle berusaha menyingkirkan lengan Aryan dari bahunya, tapi malah tubuhnya yang semakin merapat dengan pria itu. "Kamu selalu kelihatan nggak nyaman kalo sama saya, Al. Kenapa? Saya ini masih muda, belum om-om, apa sebegitu malunya kamu sama saya?" "Huh? Aduh... bukan gitu, Pak. Tapi baiknya kita nggak sedekat ini. Apa kata orang kalo lihat kita jalan dempetan? Bapak, kan bukan siapa-siapa saya." "Saya klien kamu." "Ya, itu nggak jamin bapak bisa pegang-pegang saya sembarangan!" balas Alle agak memekik. Menghentikan langkahnya, Ryan tahu dirinya sudah keterlaluan membuat Alle dekat dengannya. Tak seharusnya pria itu mengakrabkan diri seperti itu. "Maaf, Al." "Huh?" Mata sedih Aryan justru membuat Alle kebingungan. Seharusnya Alle yang meminta maaf karena sudah membentak pria itu secara tak langsung, tapi justru Ryan-lah yang mengucapkan kata maaf lebih dulu. "Pak Ryan saya yang—" "Udah, Al. Ayo, berangkat makan siang." Dipotong dengan cepat, Alle tahu kalau mood pria itu sudah rusak siang ini. Duh, kok malah gue yang ngerasa bersalah, sih? * "Ya ampun!!" kaget Alle. Begitu membuka pintu dan berhasil masuk, dia terkejut dengan keberadaan Okpara di hadapannya setelah mengunci pintu kembali. "Abis dari mana?" ketus Okpara. "Huh? Kok lo nanya, sih, Ncom? Tahu sendiri jawaban gue kerja." Sembari menjawab Alle berjalan melewati Okpara yang memasang wajah badmood tanpa Alle ketahui penyebabnya. Dari banyak jawaban yang ingin Okpara dengar, adalah penjelasan rinci mengenai agenda Alle yang malah terlihat wara wiri bersama seorang lelaki yang bisa disebut oom Alleena. "Lo sengaja, Le?" Okpara kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mengganggu kegiatan Alle meminum s**u beruangnya. Menahan rasa ingin tersedaknya, Alle menjawab, "Sengaja apaan, sih, Ncom??" "Lo. Sengaja. Jalan. Sama. Om-om!" "Om-apaan?! Mana ada gue jalan sama om?! Kurang kaya apalagi lo sampe gue berani nyari om? Lagian, Ncom... belum saatnya gue nyari om selama lo masih sudi nampung gue!" Mengerutkan kedua alisnya, Okpara mendengus keras seraya menendang kursi makan. Pertanda bahwa lelaki itu juga bisa sangat marah, dan lagi, Alle tak paham alasannya. "Lo kenapa, sih?! Gue pulang kerja lo bilang jalan sama om. Gue jelasin lo malah marah!" Alle mengikuti langkah Okpara yang lebih besar. Sampai di depan kamar lelaki itu, Alle terkejut dengan berbaliknya Okpara tiba-tiba. "Lo yang kenapa!! Kenapa lo nawarin tubuh lo sama gue tapi lo jalan sama yang lain?!!" "Huh?" Wajah memerah Okpara menunjukkan betapa frustasinya ia. Menahan amarah sekaligus... cemburu? "Lo kenapa, sih, Ncom...? Gue, gue nggak bisa paham sama maksud lo ini. Lo... cem-" Sepertinya Okpara masih terlalu enggan mengakui perasaannya sendiri. Padahal, Alle ingin sekali mendengar pengakuan lelaki itu jika benar cemburu. Sekali saja Okpara berani jujur jika memiliki rasa terhadap Alle, maka perempuan itu yang akan bekerja keras untuk hubungan mereka. Satu kali saja pengakuan. Sayangnya, Okpara memilih menjadi pengecut dengan menarik tubuh Alle dan ingin segera menjamahnya ketimbang mengatakan kecemburuan yang sedang dirinya rasakan. * Alle tidak akan bersikap melankolis setelah tidur atau awalnya lebih tepat disebut ditiduri oleh sahabatnya sendiri, meski lima menit setelahnya Alle sendiri yang meminta disentuh sana sini. Betapa bodoh dirinya itu, bahkan setelah berhasil menenangkan napas mereka Okpara malah berbaring miring memunggungi Alle. Beginilah kalau yang melakukan s*x after war bukan pasangan sebenarnya, yang terjadi malah seperti Alle adalah p***n yang dibayar oleh Okpara. "Masih nggak mau ngomong juga, Ncom?" kata Alle. Dia kembali mengenakan celana dalam hitamnya dan menunggu reaksi Okpara. Tak ditanggapi juga, Alle menjadi geram dengan sikap kekanakan lelaki itu. "Oke, Ncom! Emang lo doang yang bisa marah!" Perempuan itu memandang kesal punggung Okpara dan segera membawa pakaiannya kembali menuju kamarnya sendiri. Tidak dia pedulikan secanggung apa mereka besok pagi karena saling mendiamkan. Begitu menutup pintu dengan keras, Alle memaki, "Bastard!" Ini baru berjalan dua malam mereka menghabiskan malam bersama sebagai friend with benefits, tapi Alle sudah merasa tidak yakin bisa merebut hati Okpara jika lelaki itu masih bersikap keras kepala sekaligus pengecut. Hanya mengatasnamakan pertemanan lelaki itu menganggapnya cewek murahan. "Apa gue harus berhenti? Oncom pasti lebih milih terus temenan sama gue ketimbang jadiin gue pasangannya." Ucap Alle sendiri. "Tapi kalo gue berhenti sekarang, ternyata usaha gue bisa berhasil tahun depan? Kan sayang..." Alle-pun semakin frustasi memikirkan usahanya mendapatkan hati Okpara. Berbagai pilihan melintas, tapi belum ada yang membuat perasaan bodoh Alle berhenti untuk terbalas oleh Okpara. * "Yang namanya jadi teman yang digunain untuk pelampiasan, jelas nggak ada enaknya." "Bohong!" Natuna mencibir. Alle berdecak. "Kok lo nggak percaya, sih, Nat?!" kesal perempuan itu. "Yaiyalah bohong! Buktinya lo demen banget dikekepin sama Oncom." Perempuan dengan selera super aneh itu mengambil sepotong red velvet yang sudah dipesan, lalu mengambil air es milik Alle. "Ish! Pesen sendiri kenapa, sih, Nat!" Tak memedulikan seruan keras dari Alle, perempuan yang sama aneh dan sama sulitnya mencari pasangan seperti Alle itu mendorong kuenya dengan air es. "Lo yang ngajak, lo yang pesenin plus bayarin. Lo tahu, kan gue lebih kere daripada lo. Lebih bagusnya lagi, lo bisa nebeng di tempat Oncom." Teringat kejadian kemarin malam, Alle jadi memikirkan kembali jika nebeng di rumah Okpara tak lagi bagus seperti kata Natuna. "Gue pengen pindah, Nat. Nggak enak hati lagi gue tinggal di sana." Tersedak, Natuna meminta bantuan agar Alle mengusap punggungnya. Untungnya Alle menuruti. "Ap—uhuk—apaan, sih, Le?! Serius lo mau pindah? Kasihan otongnya Oncom nanti. Lagian, lo mau Oncom celup sana sini lagi? Udah bagus kalian monogami begini. Sabar aja dulu! Nanti juga waktunya bahagia bareng lo nggak bagi-bagi sama gue." Memukul dahi Natuna dengan sendok panjang yang digunakan untuk mengaduk smoothie Alle, teman yang sudah dikenal Alle selama bekerja di firma yang sama itu mengaduh sakit. "Seriuslah, Nat! Jangan bahas enaknya mulu, kek. Gue lagi galau, nih." "Halah... galaunya sekarang aja. Nanti kalo udah kekep manjahhh juga ilang itu galau." Natuna membalas seraya mengusapi dahinya. Benar. Alleena akan berubah murahan dan mudah melupakan rasa galaunya kalau nanti sudah kembali normal, alias berbaikan serta mendapat jatah rutin dengan Okpara. "Eh, tapi... kalo dipikir-pikir kalian emang gila, ya. Tinggal bareng, makan bareng, tidur bareng, hidup bareng pokoknyalah. Tapi nggak jelas apakah bakalan bareng terus atau nggak." Natuna memajukan tubuh. "Btw, umur lo udah berapa, Le?" Tak nyaman, Alle kembali berdecak. "Kenapa bahas umur, sih?!" "Buat mastiin, kalo lo emang udah di masa stuck buat nyari laki-laki, dan udah waktunya dikejar waktu nikah." Satu lagi fakta yang memang Natuna tunjukkan kepada Alle. Menunggu dan melepas sama berisikonya. "Jawab, Le..." "Dua enam." Natuna terbahak. "Bohong lo... dasar b**o. Lo pikir gue nggak tahu kalo sekarang lo udah masuk umur dua delapan? Hahaha! Sinting, demi nggak kelihatan miris lo mudain dua tahun." Natuna terus membully teman satu kantornya itu. "Kalo udah tahu kenapa nanya, Sat!" kesal Alle. "Ya, ngukur kadar kejujuran lo-lah. Apalagi??" Natuna kembali tertawa sebelum berkata dengan tampang serius, dan memang Natuna mulai serius. "Menurut gue, Le... lepasin apapun yang nggak pengen lo genggam. Ambil siapapun yang siap menerima lo apa adanya." "Maksud lo??" "Klien setia lo itu... nggak jelek, Kaya pula. Kenapa nggak, iya, kan?" Alle tertegun. "Kok... lo tahu, Nat?" "Udah sempet naik ranjangnya, Le?" Jawaban pasti adalah gelengan Alle. "Coba aja, Le. Kalo Oncom nggak bisa lo gantungin harapan, mending lepas. Jangan sampe lo nyesel sendiri ntar. Belum lagi lo mendekati kepala tiga, untung aja muka lo babi face gitu." "s****n, Tunaaa!!!" Alle jadi memikirkan, apa harus menghianati hubungan yang sudah disepakati antara Alle dan Okpara? Namun, Alle mendapat cahaya lain. Alle akan menunggu Okpara, jika sampai ada lamaran lain dari pria yang disinggung oleh Natuna itu datang maka Alle akan bertindak... melepaskan Okpara. Walaupun sakit, sih. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN