One

1492 Kata
Tiga orang pemuda tengah asik menongkrong di pinggir jalan dengan botol-botol bir berserakkan di bawah kaki mereka. Ketiganya begitu asik menyesap sebatang rokok yang dihisap secara estafet. Terkadang terdengar suara gelak tawa tak beraturan dari sudut bibir mereka. Kata-kata yang keluar hanya ada celaan dan makian. Tanpa ada ujung pembicaraan yang berarti. "Kan.., Kan. Lo inget anak kelas 11 gak, Yunia. Itu si paus terdampar?!" cela Yudi yang memang gemar mencari ulah. "Hahahaa... Pe'a bukan Oon. Tapi badak bercula satu. Lo tahu,'kan biar gendut-gendut gitu si Yunia galak banget. Anjiirr," sahut Arkan yang pernah sekali dilabrak Yunia karena ketahuan menaruh permen karet di roknya. Gadis yang mereka bicarakan lewat begitu saja di hadapan Dony dan kedua temannya. Yunia seakan tidak peduli dengan ketiganya yang katanya di takuti oleh anak-anak lainnya. Bagi Yunia, jalan yang ia lalui adalah jalanan umum. Bebas digunakan oleh siapapun. Termasuk ia yang berniat pulang cepat hari ini "Eeh.., lo sih ngomongin dia. Lewatkan tuh gajahnya!" cela Arkan enteng. "Aduh... Aduh.., pegangan-pegangan. Bumi rasanya gonjang-ganjing sewaktu dia lewat," timpal Yudi ikut mengejek Dony melirik kearah Yunia. Sempat terlihat wajah wanita itu yang memerah, entah marah karena dihina atau merasa malu sudah lewat di jalan ini. Padahal setahu Dony tidak ada mau yang menginjakkan kakinya disini. Dony menyeringai untuk pikirannya. Senyumnya mematik rasa penasaran di hati Yudi. "Lo kenapa.., naksir sama dia?!" tanya Yudi sambil menggoyang-goyangkan tangannya di depan Dony. "Aaalllah...!" balas Dony seraya menapik tangan Yudi. Ia bukannya tertarik namun juga sangat malas untuk ikut mencerca bentuk tubuh Yunia. Karena di mata Dony, Yunia cukup manis dengan rambut hitam legam, panjang sepunggungnya. "Eeh.. kerjain yuk!" ide Arkan berdesis di telinga Yudi. "Kerjain siapa. Dia?!" tunjuk Yudi ke Yunia yang masih nampak dari kejauhan. "Iyahlah... Gue berani bertaruh pasti tuh cewek masih virgin." Seringai Arkan yang mulai kehilangan kendali setelah beberapa kali menenggak cairan kuning pekat itu. "Hahahaa.., walaupun masih perawan juga gue ogah pake dia. Males banget main sama babon!" komentar Yudi kasar. Dony menengok ke temannya dengan tatapan sinis. "Yakin lo, lihat dia buka baju juga lo mau," kritiknya tidak bermaksud memacu seringai nakal di wajah kedua temannya. "Lo aja, Don!" suruh Arkan cepat. "Hhhaah... Ngaco lo!" jawab lelaki berparas tampan itu. "Kenapa lo takut. Atau punya lo gak bisa bangun kalau lihat cewek?!" ledek Arkan lagi. "Gue males!" sahutnya kembali menyesap rokoknya. Dan mengeluarkan asap dari mulutnya kearah Yudi. "Oohhokk... Ooohkk... Ahk, lo mah bisanya cuma ngomong doang Don. Aslinya lo takutkan!" Dony langsung mencengkram kerah baju Yudi. Matanya melotot tidak terima. "Bilang apa lo?!" tanyanya penuh dendam. "Eng-enggak... Tolong lepasin gue!" sahut Yudi setengah gagap. "Udah.., udah kenapa sih kita jadi berantem gini?!" sela Arkan. Dengan kuat melerai genggaman tangan Dony di kerah baju temannya. Pelan pegangan Dony mengendur lelaki itu langsung menghempaskan Yudi begitu saja. "Kita,'kan cuma tanya lo bisa gak dapetin cewek itu. Kenapa lo jadi main kasar gini sama Yudi?!" bentak Arkan seraya membangunkan Yudi. Dony berdiri, sambil bertolak pinggang. "Gue akan buktikan kalau gue bisa dapet cewek itu. Dan menjadi yang pertama untuknya!" ketusnya diantara amukan amarahnya. Dony menjalankan motor besar berkapasitas 250 cc miliknya. Ia menggeber motor itu hingga sebentar saja langkah Yunia terkejar olehnya Dony memberhentikan motornya di depan Yunia. Seolah menghadang wanita itu. "Sa-saya mau lewat," cicit Yunia masih tertunduk. Jantungnya bergerumuh rasa takut. Jika Yudi dan Arkan saja Yunia berani. Karena mereka cuma kumpulan pria yang banyak bacotnya. Tapi kalau Dony beda. Ia juara satu karate. Menjadi andalan sekolahnya setiap kali ada pertandingan adu kekuatan antar sekolah. Dony duduk tegap dengan masih di atas motornya. Ia masih berfikir. Apa ia harus menyakiti gadis ini demi tantangan sahabatnya. Meski Dony tidak begitu kenal secara intim dengan Yunia. Tetapi lelaki itu cukup tahu Yunia itu adik kelasnya. Dan dari dulu ia memang jadi bahan gunjingan satu sekolahnya karena bentuk tubuh, ditambah desas-desus Yunia yang bukan anak kandung ibunya. Sebab perbedaannya dengan adiknya, Maura yang begitu menjulang tinggi bagaikan siang dan malam. Padahal jika Dony amati Yunia tidak begitu buruk. Ia memiliki mata hitam pekat yang indah. Ditambah bibirnya yang mungil berwarna merah. Jangan lupakan pipinya selalu merona berseri. Dari kejauhan Dony melihat Arkan dan Yudi seolah menunggunya membuktikan ucapannya. "Ikut gue!" seru Dony sambil mencekal tangan Yunia. "Tapi buat apa?!" tanya Yunia panik. "Gue anter lo pulang," ucap Dony sembari memberikan helm-nya. Sementara ia sendiri tidak memakai helm. Wanita itu tak mampu mengelak. Ia pasrah karena saat ini Yunia juga di kejar waktu supaya semakin cepat pulang ke rumah. Sementara angkot yang sejak tadi ia tunggu tak kunjung lewat. Yunia naik ke boncengan motor itu. Rasanya ia begitu risih karena bangkunya yang kecil sangat berbanding terbalik dengan bokongnya yang padat berisi. "Gak bakal patah kok shockbreaker gue!" balas Dony tanpa menengok ke Yunia. Yunia melirik ke arah kaca spion. Niatnya untuk menanggapi ucapan Dony. Tapi yang nampak justru wajah tampannya jadi sedikit memerah karena kepanasan Ternyata lelaki itu memang sangat tampan apalagi dilihat sedekat ini. Alis matanya yang tebal serta hidungnya yang bangir bisa membuat jantung gadis itu berdetak tidak seharusnya. Tapi semua kekaguman itu hilang sesaat ketika ia menyadari siapa pemuda yang ia kagumi. Ia Dony dimitri sebastian. Most wanted guru BK. Si biang kerok, biang rusuh dan tukang kelahi. Satu-satunya alasan Dony masih di perbolehkan mengulang kelas 12-nya karena ia yang sangat unggul dalam bidang olahraga. Dan Yunia tak berharap memiliki urusan sama cowok itu. Tanpa adanya Dony, hidupnya saja sudah begitu menyedihkan. Sesaat di sekolah ia akan terus menjadi korban perundungan. Semakin banyak Yunia membalas maka semakin banyak pula penghinaan yang ia dapat. Terkadang hati wanita itu rapuh dan lelah. Masa sekolah yang seharusnya di isi dengan kebahagian berubah menjadi ketakutan. Dua tahun mencecap pendidikan SMAnya seakan waktu berjalan seperti dua puluh tahun. Setiap kali masuk kelas. Hanya ada keraguan, apa bisa hari ini ia lalui dengan baik. Rasanya lebih baik tidak dianggap daripada terus dihina. Akhirnya gadis itu memutuskan "mentolerir" ucapan sinis teman-temannya dan hanya memanggapi jika ia anggap begitu keterlaluan. Sementara di rumah, tak ubahnya seperti dirinya di sekolah. Namun nampaknya ini lebih menyakitkan bagi hati si gadis.Yunia hanya akan di banding-bandingkan oleh Maura, adiknya yang saat ini duduk di kelas 9. Memang tidak secara terang-terangan. Tapi Ibu mereka begitu salut dengan Maura yang sudah bisa menjadi model majalah remaja dengan bayaran yang cukup fantasis bagi janda dua anak itu. Sedang ia, Yunia hanya dianggap beban keluarga. Sama sekali tidak ada yang bisa di banggakan dari anak pertamanya itu. Setiap kali mengingat kata-kata ibunya yang meminta ia jadi berusaha sedikit saja menjadi seperti Maura seakan mematik jiwa petarung Yunia. Karena itu juga ia mencari kerja sambilan diam-diam. Dan semestinya mulai hari ini ia masuk kerja hari pertama. Tapi nasib buruk seakan terus mengawal langkahnya sampai ia mendapat ujian secara bertubi-tubi. Dimulai dari ia dipaksa menggantikan Maura piket kelasnya. Sampai ia yang di tinggal angkot langganannya. Dan apakah keputusan Yunia yang menerima tawaran Dony untuk pulang bareng termasuk kesialannya hari ini? Entah... yang pasti Yunia lelah untuk berfikir. *** "Turun udah sampe!" tegur Dony. "Eeh iyah!" Yunia turun dengan susah payah karena Dony hanya diam tak berniat membantunya. Pemuda itu masih larut dalam kenangannya tadi pagi, di saat Ayahnya dengan santai menampar pipinya. Flashback On. "Dony.., dari mana saja kamu?!" tanya Roland murka. Dony tidak menjawab. Ia justru hanya melemparkan tasnya di sofa dan menghempaskan tubuh letihnya di samping tas. "Ayah tanya. Kamu dari mana saja. Tadi Ayah mendapat teguran dari gurumu. Beliau bilang, tiga hari ini kamu tidak pernah masuk sekolah. Kemana saja kamu?!" bentak lelaki gagah itu sambil berjalan mendekati anak satu-satunya. Padahal setiap pagi Dony selalu ijin sekolah. Tapi jika kenyataan seperti itu kemanakah Dony selama ini? Roland telah berada di depan Dony. Memindai tampilan anaknya yang kuyuh. "Aku capek, Yah... Bisa gak tanya-tanya nanti dulu?!" pintanya ringan. Seringan tangan ayahnya yang menampar pipinya. "Plaakkk...!" "Kamu berani sama ayah!" tunjuk Roland. Saat itu pula Dony memilih kembali pergi dan membawa lagi tas ranselnya meski kini ditambah dengan duka lara menyelimuti dadanya. Flashback Off Maka saat Yudi dan Arkan memanggilnya untuk minum-minum di ujung gang Dony dengan ikhlas mengiyakan panggilan mereka berdua. "Makasih!" cicit Yunia tak lupa mengapresiasi jasa Dony kali ini. "Hmm!" dehem Dony jutek. Baru saja ia ingin menggeber motornya. Martini dengan lantang memanggil Yunia dari kejauhan. "Yuni... Yuni.., dari mana kamu?!" hardik Martini keras. Bahkan Dony sampai berjengkit kaget. "Ibu tanya kamu dari mana. Bukannya bantu ibu di rumah. Ini malah kelayapan. Kamu sebenarnya mau apa sih. Jadi anak kok gak ada gunanya!" gertaknya lagi. Tak sedikitpun teriakkan jadi mengendur seolah tidak masalah jika anaknya menjadi cemoohan sekeliling rumah. Dony terpaku. Ia seolah terhipnotis. Lelaki itu paling tahu bagaimana rasanya dicap tidak berguna oleh orangtuanya sendiri. Ia mengepal tangannya kuat. Apa bagi semua orangtua seorang anak adalah achievement atau hanya pencapaian yang membuktikan mereka mahluk berkembang biak. Atau anak memang dipersiapkan untuk rencana masa tua. Harus berguna bagi orangtua dan bisa segera membalas setiap jasa-jasanya? Jika seperti itu apa bedanya dengan mandor yang mengharapkan anak buahnya bisa menghasilkan pekerjaan optimal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN