6. Pengajian Rasa Cari Jodoh

1341 Kata
Malam telah tiba, semua santri baik itu laki-laki maupun perempuan diharap bersiap-siap karena ba'da isya nanti akan ada acara pengajian rutin yang memang selalu dilaksanakan pada hari kamis malam ju'mat. Tiga gadis yang berada di kamar Aisyah 13 itu sudah siap dengan gamis dan hijab yang membalut tubuh mereka, dandanan mereka terkesan natural. Hanya memoles bedak serta lip balm saja di wajah serta bibir mereka. Ini adalah acara pengajian dan bukannya acara pesta, tentunya penampilan harus menyesuaikan. Meskipun jika boleh memilih, tentunya Faisya dan Ica lebih suka memakai lip cream ketimbang lip balm. Namun, apa mau dikata jika peraturan di sini sangatlah ketat. Faisya, Ica dan Naila, berjalan mengikuti para santri lainnya yang tengah berjalan. Tempat tujuan mereka adalah aula pesantren, di mana pengajian itu akan dilaksanakan. Akan ada beberapa ustad dan ustadzah yang mengisi acara pengajian pada malam ini nantinya, baik ustad muda berbakat yang masih remaja, dewasa maupun yang sudah berlabel kyai. Mungkin jika ustadzahnya sendiri hanya untuk menjadi pendamping dalam acara pengajian karena ceramah dan lain sebagainya akan didominasi oleh para ustad penghafal Alquran. Ketiga gadis itu, memilih duduk di bangku paling tengah karena menurut mereka itu tempat yang paling strategis, tak terlalu depan dan belakang. Sangat pas sekali. "Ini sih namanya bukan kayak pengajian nggak sih? Tapi kayak lagi ada acara mau nyari jodoh," ucap Ica membuat Faisya dan Naila lambung menoleh ke arahnya. "Maksud lo gimana? Jodoh apaan sih?" tanya Faisya tak mengerti. Terkadang Ica ini kalau berkata suka ngawur sehingga ia sama sekali tidak mengerti. "Ya lo lihat aja deh sekeliling kita, di sebelah kanan ada kita si santriwati. Nah di sebelah kiri ada santri putra, 'kan ini kahai yang lagi acara main jodoh-jodohan. Dengar-dengar juga, ya, ada yang cinlok gara-gara habis ketemu di pengajian ini terus mereka nikah deh ketimbang pacaran," ujar Ica sambil menatap kumpulan santriwati dan santri putra. "Lo tahu dari mana sih cerita kayak gitu, Ca? Doyan ngegosip, ya, ternyata lo." Faisya menggelengkan kepalanya, sangat heran dengan polah Ica yang suka berubah-ubah. "Hehehe, gue ngegosip bareng mbak-mbak kamar. Soalnya masa iya tiap pengajian rutin ini diadakan, ada aja santriwati dan santri putra yang nikahan. Kan gue jadi kepo, eh ternyata beneran pengajian ini membawa berkah bagi siapa aja yang datang, sambil menyelam bisa minum air 'kan? Sambil pengajian bisa cari jodoh 'kan?" Faisya menaik-turunkan alisnya, meminta dibenarkan atas segala perkataannya. "Kalo gitu kenapa lo nggak ikutan aja cari jodoh? Biar lo juga cepat nikah, ya nggak?" tanya Faisya sambil ikut menaik-turunkan alisnya. "Kalo jodohnya Pak Ustad Ganteng sih gue mau hehehe." Ica menyengir, matanya menatap ke arah depan. Di mana Gus Faris tengah berbicara dengan seseorang, ia jadi membayangkan kalau jadi istrinya Gus Faris itu akan seperti apa, ya, hidupnya? Tanpa sadar ia malah melamun. Membuat Faisya dan Naila menggelengkan kepalanya melihat tingkah Ica, tak heran dan tak perlu bertanya lagi apa yang Ica lamunkan karena dari tatapannya pada Gus Faris, sudah sangat jelas apa yang gadis itu tengah pikirkan. "Bucinnya Gus Faris dia tuh, Nai," ucap Faisya pada Naila. "Bucin?" tanya Naila tak mengerti. "Lo nggak tahu arti kata bucin?" Naila menggelengkan kepalanya karena ia memang tak tahu apa yang dibicarakan Faisya. "Bucin itu artinya b***k cinta, ya kayak Ica ini terlalu dibutakan oleh cinta, sampai-sampai nggak ingat lagi sama realita." Naila menganggukkan kepalanya sambil membentuk bibirnya dengan huruf o, pertanda dia paham dengan penjelasan Faisya. "Udah bucinnya, Ca, jangan terlalu ngarep nanti sakit loh." Faisya menepuk bahu Ica hingga membuat gadis itu tersentak. "Ah lo, Fai, gangguin gue mulu. Padahal 'kan gue lagi asyik-asyiknya bayangin andai gue nikah sama Pak Ustad. Lo sungguh ngeselin karena membuyarkan lamunan indah gue," gerutu Ica. "Jelasin, Nai." "Hah? Apa?" tanya Naila yang bingung dengan perkataan Faisya. "Jelasin tentang ceramah kemarin," jawab Faisya "Oh itu, Ca, kata Ustad Samsuri minggu lalu, kita nggak boleh ngelamun karena bisa jadi saat hati kita tengah kosong, nanti setan akan mudah masuk." Ica semakin cemberut mendengar perkataan Naila. "Iya-iya, nggak ngelamun lagi gue, tapi mau jadiin itu semua kenyataan." Ica begitu menggebu-gebu ketika mengatakannya, matanya kembali menatap Gus Faris penuh kekaguman. "Terserah lo deh, Ca." Faisya menggelengkan kepalanya, ia menatap ke depan sana hingga ia dapat melihat ada Akbar di sana yang sepertinya tengah mengobrol dengan seorang ustadzah yang masih muda. "Ustad Akbar ngapain sih pakai ngobrol segala sama ustadzah itu? Mana sambil senyum-senyum gitu, galaknya ilang. Kemarin-kemarin aja pas gue nggak sengaja nabrak dia, dia galak banget." Faisya menggerutu kesal, entah mengapa ketika melihat Ustad Akbar mengobrol dengan seorang wanita cantik di sana hatinya jadi terasa panas. "Wah, tumben banget itu si ustad galak bisa senyum-senyum gitu. Hmm, jangan-jangan itu calon istrinya, ya," ucap Ica ketika matanya melihat ke arah Ustad Akbar. "Fai, Nai, lo lihat deh si ustad galak. Kayaknya dia happy banget pas ngobrol sama si ustadzah cantik itu, hmm gue jadi curiga kalau mereka ada something nih." Faisya semakin kesal mendengar perkataan Ica. "Kayaknya pengajian ini benar-benar membawa berkah, baik itu para santri maupun ustad dan ustadzah yang mau nyari jodoh. Terbukti tuh si ustad galak alias Ustad Akbar kayaknya lagi senang hari ini, hmm habis ini pasti mereka bakalan nikah terus—" "Diam lo, Ca!" Faisya yang tak tahan dengan perkataan Ica yang membuat hatinya semakin panas pun membentak, hingga membuat Ica dan Naila terkejut. "L-lo kenapa, Fai?" tanya Ica. "Eum, maksud gue lo diam soalnya sebentar lagi acaranya dimulai. Kalau lo nggak diam nanti kita kena tegur lagi loh," ucap Faisya cepat sebelum dua gadis di samping kanan dan kirinya ini curiga. "Nggak usah pakai bentak juga tahu! Kaget gue!" sungut Ica. "Iya, Ica Sayang. Sorry, ya, gue nggak sengaja." Faisya menyengir. "Padahal nggak apa-apa juga kalau gue kena tegur, itu malah bagus. Nanti gue jadi pusat perhatian, apalagi kalau misalkan yang negur gue itu Pak Ustad Ganteng. Hmm, gue rela deh kena tegur," ucap Ica membayangkan lagi kalau kehaluannya itu akan jadi kenyataan. "Astaga, Ica. Lo sebenernya waras nggak? Jangan aneh-aneh, ya, lo," peringat Faisya yang tidak mau ketularan menjadi pusat perhatian kalau sampai Ica kena tegur oleh Gus Faris. "Ah, lo nggak asyik Fai, lo belum ngerasain cinta aja sih. Makanya bilang gitu, makanya lo nyari cowok yang lo cinta gih biar tahu rasanya. Tuh, ada banyak santri berpeci dan bersarung yang ganteng-ganteng, lo tinggal pilih satu aja." "Lo pikir milih jodoh itu kayak milih ikan di pasar, Ca?" tanya Faisya kesal. "Ya nggak gitu, Fai, tapi bisa aja lah lo milih salah satu di antara mereka 'kan?" Ica menaik-turunkan alisnya. "Kalo gitu kenapa nggak lo aja coba? Boleh tuh pilih salah satu. Nah itu kayaknya ada salah satu santri putra yang dari tadi ngeliatin lo, naksir sama lo kali, Ca. Ayo, buruan digebet." Ica mengikuti arah pandang Faisya. "Ih ogah! Gantengan Pak Ustad gue ke mana-mana," balas Ica. "Lo nggak lihat itu di depan sana yang lagi ngecek sound mic? Itu calon masa depan gue, calon laki gue tuh. Jadi buat apalagi gue nyari jodoh? Harusnya lo tuh, Fai. Kasihan gue sama lo, mau lo jadi jomlo seumur hidup? Atau nggak lo sama Ustad Akbar aja, biar kita sama-sama berjuang ngedapatin hati ustad-ustad ganteng kece tapi datar itu. Nggak apa-apa dia galak, siapa tahu kalo jatuh cinta galaknya ilang 'kan?" tanya Ica sambil menaik-turunkan alisnya menggoda Faisya. "A-apaan sih lo, Ca? Kenapa malah bahas Ustad Akbar?" tanya Faisya kesal untuk menutupi kegugupannya. "Kenapa lo jadi gugup gitu, Fai? Wah, jangan-jangan lo naksir Ustad Akbar, ya?" "Ih, apaan sih, Ca? Siapa yang naksir sama dia coba? Emangnya gue itu lo? Lihat yang kinclong dikit langsung naksir!" Faisya menyangkal, tak terima dikatakan kalau ia naksir Ustad Akbar. "Udah lah, Fai, kalo naksir bilang aja. Kejar itu ustad galakanya, eh maksud gue Ustad Akbar yang ganteng tapi masih gantengan Pak Ustad gue." "Ica!" pekik Fai tertahan, meskipun kesal ia harus tetap bisa menjaga sikap agar tidak menjadi pusat perhatian orang-orang. Pada akhirnya dua gadis yang masih saudara itu kembali meributkan hal-hal yang tidak penting hingga membuat Naila yang mendengarnya pusing. Agak heran dengan teman barunya yang suka ribut ini, tetapi Naila beruntung karena bisa mendapatkan teman meskipun sifat mereka agak absurd.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN