slip gaji asli suamiku

1165 Kata
Aku bersandar di balik meja kerja mas Husein dengan hati yang tak karuan rasanya. Kepalaku sakit dan telingaku rasanya berdenging putaran bayangan Mas husein bersama istrinya di dalam mobil, celoteh bocah yang memanggilnya ayah, ucapan ibu mertua permintaan maaf suamiku yang terkesan tidak berprasaan serta rangkaian angka-angka dalam slip gaji dan struk belanja. Itu seperti tumpang tindih dan berlomba di dalam kepalaku, rasanya hati ini makin sesak, dan semua itu seakan terdengar di telingaku secara bersamaan. "Tidak, tidak mungkin!" Aku menutup telingaku sendiri dengan kedua tangan sambil membenamkan wajah diantara kedua lutut. "Hahaha, hahaha, kau tidak tahu apa-apa!" Kelebatan bunyi tawa dan kumpulan anggota keluarga Mas Husain seakan terlihat di mataku. Wajah dan senyum mereka seperti bayangan kamera yang di zoom in dan out, mendekat lalu menjauh lalu datang tiba-tiba seperti hantu. Aku melihat ibu mertua yang sedang merangkul wanita itu mereka duduk bahagia sambil menuding ke arahku, mereka tertawa bahagia. Arimbi adik iparku juga tertawa, begitu juga suamiku yang hanya tersenyum sinis melihat kebodohanku. Bayangan-bayangan itu membuatku semakin hancur dan depresi, sampai aku tak mampu menahan air mataku. "Apa yang kau lakukan di sini?" Tiba-tiba Mas Husain datang dan menyentuh bahuku, dia memandangku dengan heran, melihat kertas slip gaji dan struk belanja di tanganku lelaki itu segera mengerti kenapa aku menangis dan terlihat begitu depresi. "Oh, Aku bisa jelaskan itu Alya." "Cukup!" Ini bukan lagi penghianatan, penipuan yang kejam. Sejak kapan kau memiliki gaji sebanyak ini!" Aku melempar kertas slip gaji di wajahnya, pria tampan dengan cambang halus dan kacamata persegi itu hanya menarik nafas dalam sambil menggeleng perlahan. "Ayo ceritakan padaku sejak kapan kau naik ke posisi sebagai manajer operasional, sejak kapan orang-orang mulai menghormatimu dan memanggilmu dengan kata bos, sejak kapan semua itu!" "Uhm, Sebenarnya aku tidak ingin terlalu membanggakan pekerjaan karena itu hanya sementara!" "Oh ya?" Aku tertawa sini sambil merobek kertas struk belanja. "Lalu apa ini, nilai belanjaan yang amat fantastis untuk istri baru dan anakmu. Kenapa kau tidak pernah ceritakan padaku, hah!" Kali ini aku berteriak, aku tidak peduli meski wajahku bersimbah air mata, pashmina yang aku kenakan mulai berantakan dan semuanya kaca. "Aku rasa aku hanya butuh waktu untuk menceritakan semuanya!" "Sejak kemarin kau hanya terus bicara butuh waktu dan butuh Waktu. Kapan waktu yang tepat untuk jujur padaku Kenapa kau tega sekali!" Aku menangis sejadi-jadinya sampai bahu ini terguncang dengan kerasnya. Dia mendatangi lalu meraih tubuhku dan membawaku ke dalam pelukannya. Jujur saja aku tidak menerima perlakuan itu tapi tubuhku tidak bisa memungkirinya. Aku menangis lemas dalam pelukan lelaki itu, dalam pelukan lelaki yang sangat kucintai tapi telah menolehkah luka terdalam. "Aku minta maaf Aku benar-benar minta maaf dan menyesal." "Buat apa menyesal untuk apa nilai penyesalanmu sekarang?! Di mana wanita itu, Kenapa dia pun tidak beritikad baik untuk bertemu denganku dan mencoba memperbaiki hubungan diantara kami!" "Aku berjanji akan membawanya ke hadapanmu dan membuatnya minta maaf." "Apa kau ingin merendahkan dia?" "Lalu aku harus bagaimana? Kalau aku diam saja itu akan salah di matamu, sekarang aku ingin membawanya ke hadapanmu dan itu juga masih salah. Aku harus bagaimana Alya?" "Tidak ada yang benar, semuanya salah karena sejak awal sudah salah! Aku mungkin berat membiarkanmu menikah lagi, tapi jika kau jujur segalanya tidak akan sesakit ini. "Kau pasti akan keberatan!" "Tidak akan, Aku tidak akan keberatan Mas! Justru jika kau utarakan dengan jujur bahwa kau ingin anak dan keluargamu juga mendesak mungkin aku bisa mempertimbangkannya. Sekarang kau menipuku, menipuku di hadapan wajahku, bohongiku mentah mentah!" "Astagfirullah bukan begitu Alya!" "Cukup Mas! Ini benar-benar perlakuan yang kejam!" balasku sambil mendorongnya lalu menjauh dari tempat itu. Cukup sudah mendengar argumen tidak berguna. Aku sudah terlanjur sakit hati dan aku tidak bisa menerima semua alasan-alasan yang semakin diperbanyak semakin terdengar tidak masuk akal. * "Aku berangkat kerja dulu sayang?"Mas Husain berpamitan padaku yang sedang mencuci piring. Aku tidak menjawab malah intensitas suara dari cucian piringku yang semakin kencang saja. Aku membanting panci dan kuali sambil menahan air mataku yang berderai-derai. "Jika kau sudah siap Aku akan membawa Rania dan Aisyah ke hadapanmu." Oh jadi anaknya bernama Aisyah? Hmm, nama yang bener-bener bagus. Aku murkas sekali dan ingin balas dendam tapi... Astaga kenapa aku tiba-tiba kesal pada bocah berusia 3 tahun?? Ya Tuhan... Jangan buat hatiku jahat, anak itu tidak tahu apa-apa dan tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari keluarga yang mana. Jadi aku tidak bisa menyalahkannya. Tidak ada seseorang yang berhak menerima kemarahanku selain Mas Husein, dan bahkan jika aku berhak marah, aku tidak bisa menggugat syariat yang telah ditetapkan agama. Lelaki boleh poligami jika mereka mampu dan mau, menikahi istri kedua, ketiga dan keempat. Kenapa aku harus menentang, kenapa aku harus berdosa dan mendebat takdir Tuhan? Sekali lagi air mataku meluncur dan membuat bola mata ini semakin perih saja. "Aku tidak bisa mengobati luka hatimu selain kau sendiri yang mencoba untuk pulih. Aku ingin tetap berdiri di sisimu dan menggenggam tanganmu. Kau harus tahu aku adalah pendukung utama!" "Pendukung utama yang sekaligus jadi pembunuh utama. Tidaklah tumor yang ada di rahimku lebih menyakitkan dibandingkan berita yang kuterima sehari yang lalu. Ini Titik terburuk dalam hidupku." Ucapanku membuat Mas Husein hanya menggigit bibirnya lelaki itu menghela nafas panjang lalu berangkat kerja tanpa menyambung pembicaraan lagi. Dan ya, begitu dia pergi, aku melanjutkan pekerjaanku sambil menangis, terisak, tergugu pilu, berpindah dari dapur ke ruang tamu, kadang menangis di sisi jendela kadang meringkuk di atas sofa, aku merasa gagal dan segala yang sudah kubangun bertahun-tahun seperti rubuh seketika. ** Tring! Handuk masih membungkus rambutku yang basah saat telepon dari ibu mertua berdering berkali-kali di atas meja riasku. Sebenarnya aku tidak ingin menjawab panggilan apapun, membahas sesuatu yang sudah tidak pantas dibahas atau membalas pesan dari siapapun. Hatiku lelah dan energiku terkuras. Pikiranku yang penat, perdebatan yang menyakitkan dengan suami, serta ucapan ibu mertua dan yang enteng menambah beban di hatiku. Aku ingin berhenti menangis tapi suasana hatiku tidak kunjung membaik juga. Detik demi detik berlalu, kenyataan dan segala bayangan yang bisa saja terjadi di masa depan membuat kacau perasaanku. "Halo, assalamualaikum umi!" "Kak, umi mau makan siang bersama dengan kalian semua!" Ibu mertua memanggil aku dengan lembut, seperti itulah beliau memanggilku, karena aku adalah istri anak sulungnya jadi semua orang memanggilku dengan ucapan kakak. "M-ma-maaf umi saya sedang kurang sehat," balasku terbata. "Bagaimana kalau umi dan adik-adikmu yang ke situ?" "Tidak umi, Maaf kalau saya terdengar tidak sopan tapi saya benar-benar ingin istirahat." "Sejak pembicaraan kita kemarin apa kau baik-baik saja?" "Aku sedang berusaha untuk baik-baik saja," jawabku lirih. "Ini memang berat tapi seiring hari-hari berlalu kau sendiri akan ikhlas dan menerima segalanya. Adik madumu adalah wanita yang baik dan santun jadi umi tidak akan meragukan kalau kalian akan jadi saudara madu yang akrab." Astagfirullah Aku baru saja ingin berhenti menangis tiba-tiba dia mengatakan sesuatu yang membuat hatiku semakin berat saja. Jangankan untuk berakrab pria dengan maduku menatap wajahnya atau mendengar namanya saja aku sudah murka. Aku benci padanya meski aku tidak mengenalnya dan sebaik apapun wanita itu di mata semua orang tetap saja dia perebut suamiku, dia hanya pencuri di mataku!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN