4. Perawat Dadakan yang Teraniaya

1837 Kata
                       Ryan terbangun dari tidurnya. Melihat jam dinding menunjukan pukul satu lebih delapan belas menit. Setelah beberapa saat, dia mengingat apa yang tadi terjadi. Badannya masih agak lemah rasanya. Meskipun sudah terasa agak mendingan jika dibandingkan tadi siang. Tidak panas dan perutnya juga tidak mulas lagi. Ryan yakin protes kerasnya ini berhasil membuat ayahnya jera, dan menghentikan usahanya mendekatkan dirinya dengan gadis penjual bakso itu.                    Ryan ingin buang air kecil. Tapi dia merasa aneh, saat menoleh ke pintu kamarnya masih terbuka. Karena Pak Sapta, kepala pengurus rumah tangga di rumahnya ini, pasti akan mengecek dan menutupnya. Ryan kemudian turun dari ranjang dan berjalan dengan sedikit sempoyongan menuju kamar mandi. BRUKK.. Ryan jatuh ke sofa, tepat diatas tubuh Laras yang sedang tidur terlelap. Merasakan ada beban di atas tubuhnya secara refleks gadis itu langsung mendorong tubuh Ryan yang lemah hingga jatuh ke lantai, “Aaagh..” suara Ryan mengerang kesakitan.                     Kalau sudah tidur, Laras memang punya kebiasaan susah untuk bangun, meskipun ada suara petir menggelegar, ataupun gunung meletus sekalipun di dekatnya, itu tidak menjamin dia akan terbangun. Dengan susah payah Ryan bangun sambil meringis kesakitan. Betapa kagetnya dia melihat ternyata Laraslah yang sedang terlelap di sofanya itu.                            “Haah... Apa - apaan ini? Kenapa dia tidur di sini?” tanya Ryan gusar dan seakan tak percaya menyaksikan Laras tidur dengan lelap di sofanya.                   “Pasti Papa yang menyuruhnya untuk tidur di sini,” duga Ryan. Siapa lagi di rumah ini yang berani memaksakan kehendaknya di rumah ini kalau bukan dia.                   Ryan merasa kecewa sekali. Papanya mengapa sulit sekali memahami dirinya. Usaha kerasnya makan bakso dengan sambal sepuluh sendok sia-sia saja. Sama sekali tidak membuahkan hasil. Bahkan Laras sekarang bukannya menjauh dari hidupnya tapi malah tidur dengan nyaman di sofa di dalam kamarnya. Ryan menghembuskan nafasnya dengan keras.                    Diam – diam Ryan menyempatkan waktu sejenak untuk memperhatikan gadis yang dipilihkan Papanya itu. Tujuan ke kamar mandi pun jadi tertunda.  Untuk beberapa saat Ryan terbuai dalam pesona Laras yang sedang tidur terlelap. Dalam hati, Ryan mengakui ayahnya tidak pernah salah memilihkan gadis untuknya. Secara fisik, Laras sangat sempurna sekali, tubuhnya langsing tinggi semampai, rambut hitam alami sebahu, kulit putih bercahaya, parasnya juga cantik jelita meski nyaris tanpa riasan sekalipun, bibir tipis merah merona, berdagu panjang, hidung mancung, matanya juga sangat indah. Dipoles sedikit saja, Ryan yakin Laras akan jadi wanita paling cantik yang pernah ia temui di muka bumi ini.                      Namun rasa kesalnya tiba – tiba muncul lagi. Ingin rasanya Ryan segera mengusir Laras sekarang juga. Namun dia urungkan niatnya itu. Bagaimana pun dia masih punya rasa kemanusiaan. Tak sampai hati rasanya membangunkan dan mengusirnya malam-malam begini.                         Tapi besok pagi, dia akan memastikan gadis itu untuk segera enyah dari rumah ini.                   Laras terlihat sedang menggeliat-geliatkan tubuhnya seperti akan terbangun dari tidur lelapnya. Ryan pun jadi  panik. Lalu buru-buru masuk ke kamar mandi. Dia tak mau gadis itu tahu, kalau diam - diam dirinya sedang memperhatikannya saat tidur.                   Malam pun tak terasa berlalu dengan cepat. Seolah seperti ada alaram dalam tubuhnya, senyenyak apapun Laras tidur, akan terbangun saat subuh tiba. Dari tadi, dia sudah sibuk membuat bubur untuk Ryan di dapur.                    Ada banyak bahan yang bisa dia olah di sini, bahkan di rumah ini ada empat buah kulkas besar khusus untuk menyimpan bahan makanannya . Laras sampai bingung, harus bikin bubur apa. Dia juga tidak tahu Ryan suka bubur apa. Sudahlah pokoknya dia buat bubur yang biasa dia makannya saja.  Karena Laras tidak tahu seperti apa bubur selera orang kaya, pikirnya.                    Setelah beberapa lama, buburnya sudah matang. Aromanya sangat harum dan lezat sampai bikin perut Laras keroncongan. Laras baru ingat, kalau dari kemarin siang memang belum makan apa pun. Dia hanya air dari botolnya yang selalu tersedia di dalam tasnya.                    “Tidak, aku makan nanti saja, bair dia makan duluan. Siapa tahu dia sudah bangun sekarang,” kata Laras sendiri.                              Laras segera membawa sebaki penuh berisi semangkuk bubur, semangkuk kuah kaldu sapi yang sedap, ada juga tumis daging sapi cincang dan pokcoy, dan segelas s**u segar ke kamar Ryan.                   Sampai di kamar,  Ryan masih tidur miring membelakangi pintu. Suara orang membawa wadah makanan yang bergetar di atas baki dan aroma harum bubur Laras, menusuk hidungnya sehingga membuatnya terjaga. Dipikirnya orang itu adalah Pak Sapta.                   “Pak Sapta, tolong bilang ke Papa, supaya suruh gadis itu pulang. Kenapa tetap maksa sih. Aku ingin nggak mau menikah dengannya,” katanya Ryan sambil bangun dan mengucek-ngucek matanya. Dan ketika matanya terbuka, alangkah kaget dia. Matanya langsung terbelalak seolah melihat hantu saja. Melihat Laras duduk di depan dengan mengantarkan sebaki makanan dan segelas s**u, menatapnya sinis.                    “Aku juga tidak ingin menikah denganmu. Nih, makanlah supaya kamu cepat pulih, dan aku bisa segera pulang,” kata Laras ketus mendorong bakinya ke dekat Ryan.                    “Kamu.. Kenapa kamu masih di sini? Keluar dari kamarku!” bentak Ryan tak percaya.                    “Pak Sapta... Yanti kemarilah. Usir gadis ini dari kamarku!” teriak Ryan memanggil pelayan-pelayan di rumah ini.                   “Kamu panggil siapa? Tak ada satu pun asisten di rumahmu sekarang,” jelas Ryan.                  “Nggak mungkin... Kamu tahu di rumahku ini ada  sepuluh asisten rumah tangga,” jelas Ryan.                        “Ya sudah, panggil terus saja mereka sampai suaramu habis,” sahut Laras.                  “Kamu pikir, untuk apa aku di sini kalau ada asisten rumah tangga kamu. Jangankan para asisten, bahkan Papamu pun nggak bisa di hubungi sampai sekarang. Hanya ada dua satpam jaga di depan sana,” jelas Laras.                   Sangat sulit dipercaya, bagaimana mungkin tiba-tiba semua asisten rumah tangga tidak ada di rumah ini, Papanya juga tidak bisa di hubungi. Sedangkan Laras justru berada disini merawat dirinya. Drama ini tidak bagus, sangat mudah ditebak. Ini bukan suatu kebetulan. Dia yakin, pasti ada persekongkolan antara Laras dan papanya, pikir Ryan.                   “Hanya demi papamu yang sangat baik padaku lah, aku di sini merawatmu sekarang, bukan karena ingin mendekatimu,” kata Laras.                    “Makanlah sekarang, kamu bisa makan sendiri kan? Kalau kamu nanti sudah pulih aku kan pulang,” kata Laras bangkit dari pinggir ranjang Ryan.                   “Aku bukan bayi, bawa makanan itu keluar,” perintah Ryan kesal.                    “Tapi ini pesan dokter semalam. Supaya kamu harus makan bubur dulu,” Laras mengangkat bubur memberikan pada Ryan.                    “Sudah kubilang aku buakn bayi!” tegas Ryan dengan suara keras lalu menepis semangkuk bubur itu dengan sekuat tenaga hingga terjatuh ke lantai dan pecah. PRAANG...                    Ryan masih melanjutkan amarahnya mengambil baki dan ingin melemparnya juga, “Ja... ngan... “ kata Laras sekuat tenaga mencoba menahan baki yang masih berisi makanan itu.                         Namun apalah dayanya, sepertinya tenaga Ryan sudah mulai pulih, ”PRANG... BRUK...”  baki dan Laras jatuh hampir bersamaan ke lantai. Dan tubuh Laras jatuh di atas pecahan mangkuk bubur tadi.                    Ryan langsung menoleh ke arah Laras yang meringis kesakitan. Ada darah yang mengalir di Lantai. Laras berusaha bangun, namun kepalanya terasa pusing dan matanya jadi berkunang-kunang. BRUKK... Laras tak sadarkan diri. Ryan segera turun dari ranjangnya dan meraih tubuh gadis itu, menidurkannya di atas ranjangnya. Ada dua luka di kepala belakang kanan dan pelipis kananya. Ryan mengambil kotak P3K di laci kamarnya. Dengan cekatan dia membersihkan, meneteskan obat dan lalu memberinya perban. Setelah itu, Ryan langsung mengangkat tubuh Laras keluar kamarnya menuju lift langsung menuju garasi yang ada di ruang bawah tanah.                    Keluar dari lift, Ryan berjalan tergopoh-gopoh sambil menggendong Laras ke mobilnya. Meletakan tubuh Laras di kursi samping kemudinya. Setelah dia juga di dalam, Ryan langsung menghidupkan mobilnya, lalu meluncur ke luar garasi sambil membunyikan klakson berkali-kali. Satpam yang bertugas, sudah hafal dengan kode itu. Pak Prasetya segera berlari membuka gerbang. Tampak dibalik kaca mobil, seolah-olah Laras sedang menyandarkan kepalanya ke pundak Ryan. Romanstis sekali, pikir Pak Pras sambil senyum – senyum.                     “Lho.. lho.. lho.. Itu kan tuan muda? Semalam baru sakit sekarang pagi-pagi langsung keluar bersama non Laras. Hmm dasar, playboy cap buaya, baru sebentar sudah dapat saja,” kata Pak Budi teman Pak Pras sambil geleng-geleng kepala juga.                             Di jalan raya Ryan mengemudikan mobilnya dengan kencang. Perasaannya sangat khawatir, takut kalau Laras sampai kehilangan banyak darah dan tidak bisa tertolong lagi. Rasa  penyesalan menghinggapi dirinya, bagaimana dia sanggup bersikap begitu kasar tadi. Ryan jadi kecewa dengan diri sendiri. Bagaimana dia bisa berbuat sekasar ini dengan perempuan.                   Tiba di rumah sakit, Laras langsung masuk ke IGD. Sementara Ryan menunggu di luar dengan berdebar-debar dan berharap Laras tidak kenapa - napa. Penampilannya begitu tampak lusuh karena tidak ganti dari kemarin, kemeja abu-abu tua dan celana hitam. Duduk berselonjor di lantai sambil bersandar di dinding. Ryan tak peduli setiap mata menatapnya aneh.                   “Tuan Ryan... “ panggil seorang perawat.                   Ryan berdiri menghampiri perawat itu.                    “Nona Laras, belum siuman Tuan,  jadi kami menyarankan untuk  rawat inap di sini, agar kami bisa memantau luka dikepalanya secara intensif,” jawab perawat itu.                    “Tapi, dia kan baik-baik saja kan, Sus?”  tanya Ryan penasaran.                    “Iya pak, Nona Laras baik-baik saja. Sekarang kondisinya juga stabil. Tapi dia belum siuman sekarang, mungkin sebentar lagi,” jawab perawat itu                    Ryan menghela nafas lega, “Syukurlah..” ucapannya.                    Satelah selesai mengurus administrasi, Ryan bersama perawat memindahkan Laras ke ruang VVIP. Fasilitas ruangan paling mahal di rumah sakit ini.                            Di sana Ryan menungguinya dengan perut lapar. Sebenarnya dia bisa cari makan sebentar, tapi khawatir, kalau Laras siuman tidak ada dirinya. Lalu Ryan memilih untuk merebahkan diri di sofa saja, sampai tertidur pulas.                     Laras tersadar. Kepalanya terasa berat, begitu memandang langit – langit  rumah sakit sekan - akan sedang bergoyang-goyang. Untuk sesaat dia belum bisa mengingat apa yang telah terjadi. “Ssstt...” Laras mendesis karena merasaka nyeri dan berat saat menggerakkan kepalanya.                    “Aduuh, kenapa kepalaku terasa berat dan nyeri begini sih?” keluhnya.                    Laras mencoba meraba kepalanya. Namun ketika dia angkat tangan sebelah kirinya terpasang jarum infus, lalu dilirik tiang besi yang mengaitkan kantong infusnya, “Hah, aku diinfus? Jadi sekarang aku rumah sakit,” gumamnya.                   Laras berusaha bangun dan duduk. Dia melihat Ryan sedang tertidur pulas di sofa. Ingatannya pun langsung kembali pada peristiwa pagi tadi. Ryan telah mendorongnya jatuh ke lantai yang ada pecahan mangkuk bubur. Tadi dia mencoba menahan Ryan yang akan melemparkan lagi baki yang masih berisi makanan.                   “Dasar manusia kasar” gerutunya kesal.                   Pikiran Laras langsung melayang membayangkan beberapa hari ke depan bila harus opname di sini.                   “Tidak, aku tidak mau terus di sini beberapa hari bersama dia. Aku harus segera pergi, mumpung dia masih tidur,” gumamnya sendirian.                         Dengan sedikit menahan sakit, Laras mencabut jarum infusnya. Sambil terus menekan bekas jarum infus tadi, perlahan-lahan dia turun dari ranjang. Tubuhnya terasa berat dan lemas terhuyung-huyung mau jatuh, saat berdiri. Pandangan matanya sesekali memperhatikan Ryan. Pelan-pelan sekali lalu melangkah menuju pintu.                   LOLOS... Laras berhasil keluar pintu. Kini dia berjalan mencari dan mengikuti lorong atau jalanan kecil yang ada, dengan terus waspada agar tidak ketahuan dokter, perawat atau petugas di sini. Tentu saja Laras harus berhati – hati. Karena kepalanya sedang memakai perban. Laras berusaha menutupinya dengan bersikap tenang. Sehingga jika berjumpa Dokter atau perawat tidak akan curiga kalau dirinya pasien yang sedang rawat inap. Akhirnya kini dia bisa bernafas lega setelah duduk di dalam taksi menuju rumahnya.                                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN