Bab 3 Kerja Paruh Waktu

1554 Kata
"Selamat datang!" teriak seorang perempuan berambut cokelat sebahu yang berdiri di konter kasir. Wajahnya mungil dan sangat ceria. Semangat perempuan yang berteriak itu kerap kali membuat Misaki lelah sendiri melihatnya. "Yuka-san... kau itu selalu bersemangat, ya? Apa bisa memberiku tips bagaimana selalu terlihat seperti itu?" gadis berkacamata itu berdiri bertopang dagu memandang rekan kerjanya dari samping konter kasir. "Senyum adalah kekuatan seorang perempuan!  Ehehehe!" jawabnya antusias. "Coba kau tersenyum lebih lebar lagi, Mi-chan! Seperti ini!" tangannya menarik kedua pipi Misaki. "Akhua ruasanya tuidak cocok tersenyum luebar." Setelah melihat ekspresi Misaki yang mirip Sadako*, perempuan ceria itu berekspresi pucat aneh. "Be-benar juga," kemudian terbahak keras dengan berkacak pinggang. "Aduh... sakit... aku hanya ingin semangatmu saja. Senyum bukanlah wilayahku." "Tapi! Tapi! TAAAAPIII!! Misaki-chan! Aku perhatikan sejak dua hari lalu kau sedang melakukan perawatan, ya? Rambutmu halus sekali~ apa sedang jatuh cinta?" Yuka mengelus-ngeluskan dirinya pada rambut ponytail Misaki. "Bicara apa kau ini? Aku hanya sedang ingin merawat rambut saja. Bos marah-marah terakhir kali karena ada pembeli tengah malam yang mengira aku adalah Sadako..." wajahnya memerah malu, padahal bukan itu alasannya. "Aheuh? Aheuh? Benarkaaaah~?" selidiknya dengan mata mengerjap jenaka. "Sudah. Layani saja pembelimu!" tunjuknya dengan dagu ke arah pembeli lelaki gemuk berkacamata tebal. "YAAA! Apakah hanya ini belanjaannya? Apakah anda ingin membeli satu set tisu toilet ini?" ia memperlihatkan satu set tissue di keranjang diskon khusus dengan tangan kanan. "Anda akan mendapat satu kupon undian, loh!" Kata-kata Yuka sungguh penuh semangat dan sulit untuk ditolak, jadi lelaki itu hanya menunduk kikuk mengiyakan. "Heeeee... enaknya. Yuka-san bisa bersikap tegas begitu pada orang asing," celutuknya sembari memperhatikan mereka yang begitu heboh. "Ah! Misaki-san?!" Sebuah suara mengagetkan lamunan Misaki. Matanya melirik ke arah sumber suara. Bola matanya terbelalak kaget. "Ah! Ternyata memang benar Misaki, ya?" Pemilik suara itu adalah laki-laki tinggi tegap dengan wajah yang manis. Ia memakai dalaman kaos merah polos dan jaket musim dingin warna beige berleher bulu, serta dipadankan dengan celana jeans hitam. "E-Eikichi?" tenggorokannya serasa disumbat sesuatu. "Ah! Aku pikir kau juga sudah lupa padaku," ia menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Kau... sudah pulang dari luar negeri?" "Iya," senyumnya begitu teduh. Mereka berdua terdiam sesaat. "Apakah kenalan Mi-chan?" Yuka menyenggol bahunya, matanya terlihat berbinar-binar melihat lelaki itu. "Perkenalkan. Aku Sarutobi Eikichi. Teman SMA Misaki," tangannya terulur dan disambut antusias dengan mata berkilat oleh Yuka. "Aku Hanada Yuka! Panggil Yuka saja. Ok?" salamannya diguncangkan begitu penuh semangat. Eikichi tertawa aneh. "Yuka-san cepat akrab, ya, dengan orang lain?" "Terima kasih pujiannya! Apakah anda mau membeli satu set tisu toilet? Kalau anda, khusus 2 set, saya akan berikan potongan harga!" "Yuka-san! Mana bisa begitu!" tegur Misaki panik. "Tak apa-apa. Aku yang akan bayar sisanya," bisiknya pelan, lalu mengedipkan mata. "Kau suka sekali jadi korban pria-pria ikemen*, ya? Sadarlah sedikit!" tangannya mencubit pinggang Yuka, kesal. Eikichi tergelak seolah tengah menonton acara komedi di TV. "Maafkan, rekanku ini, ya!" Lelaki itu menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, kok! Oh, ya! Apa kau tinggal di sekitar sini?" "I-iya." "Misaki tinggal di apartemen dua blok dari sini, loh!" sosor Yuka, senyumnya lebar bukan main. "Yuuukaaa~!" perempuan berponi rata itu panik. "Yuka-san! Apa aku boleh meminjam temanmu ini sebentar?" ia tersenyum manis dibuat-buat, tapi terlihat tulus. "Boleh! Boleh! Bawa pulang saja sekalian!" tangannya mendorong Misaki yang kini membatu, pucat pasi. "Nah, Misaki... ayo, kita ngobrol empat mata dulu! Aku rindu denganmu. Sudah berapa tahun sejak kepergianku, bukan?" ia melipat tangan di d**a, tersenyum lembut. Tatapan mata Misaki setajam laser ke arah Yuka yang tertawa-tawa aneh. *** "Apa kau masih phobia pada laki-laki?" Eikichi mengulurkan minuman dingin pada Misaki di bangku taman. "Aku bukannya phobia pada laki-laki secara umum. Hanya pada playboy saja, kok. Meski memang tak bisa kusangkal sikap waspadaku pada laki-laki yang mendekat begitu tinggi," kaleng yang dibukanya tumpah sedikit ke atas apron kerjanya yang berwarna merah. Misaki ingin minum sesuatu yang hangat di malam dingin begini, tapi lelaki itu justru memberikannya minuman dingin. "Ah... phobia playboy, ya? Aku lupa. Syukurlah!" ia tertawa lega. "Ngomong-ngomong, kenapa Eikichi ada di sini?" "Ah! Aku baru saja pindah kemari sebagai guru olahraga di SMA dekat sini, loh! Jadi, kalau ada apa-apa, kau bisa menghubungiku. Nomor dan emailku masih sama dengan yang dulu." "Ponselku hilang," jawabnya datar dan singkat, tanpa emosi. "Uwaaahhh! Misaki-chan! Sejak kapan kau berubah drastis seperti ini?" Eikichi terbahak. Sjurus kemudian matanya berubah sendu, "... padahal kau dulu seceria Yuka-san." "Aku tidak ingat masa-masa itu." "Amnesia sebagian, ya?" Mereka berdua terdiam cukup lama. Suara-suara kendaraan dan berisik orang yang lalu lalang mengisi kesunyian itu. Meski Misaki memiliki phobia pada playboy, ia ingin sembuh. Sewaktu tahu tetangganya adalah playboy kakap. Selama sebulan ia tak keluar kamar. Diketok pintunya pun seolah penghuninya adalah hantu. Barulah ketika ia menggarap novel terbarunya berjudul: Pertemuan Lintas Waktu, yang membuatnya mau tak mau harus melakukan riset tentang playboy. Tak bisa disangkalnya bahwa tetangganya itulah yang menjadi inspirasi akan kelahiran  w e b n o v e l  barunya itu. Perlahan demi perlahan, ia berusaha agar tak menghindari tetangganya itu, meski tetap menjaga jarak dan tak mau berurusan dengannya. Dinding apartemen mereka cukup tipis, hingga percakapan dan cumbuannya kadang bikin kuping Misaki memerah. Di saat seperti itu, mendengarkan lagu keras-keras dengan headphone adalah satu-satunya solusi. "Apa kau sudah mengingat wajah orang itu?" Deg! Rasanya ada yang menikam jantungnya. Walau amnesia sebagian, tubuhnya tak melupakan horor di masa lalunya itu. Semua hal tentang lelaki yang 'merusaknya' itu telah dilupakannya: nama, wajah, dan suara, bahkan teman-teman sekelasnya juga dilupakannya. Tragedi yang menimpanya menjadi skandal satu sekolah dan membuat pihak sekolah mau tak mau berusaha menyembunyikan kejadian itu. Bahkan semua siswa pun diancam akan dikeluarkan dan dibuat susah jika sampai buka mulut. Misaki sempat bertanya-tanya, apakah lelaki yang ia sukai dulu punya orang dalam yang kuat atau kekuasaan yang tak bisa ia bayangkan? Hal itu tetap menjadi misteri baginya sampai sekarang. Kenapa amnesianya hanya melupakan orang-orang yang terlibat? Kenapa tak melupakan tragedi itu juga sepenuhnya? Misaki sesekali masih mengingat sekejap kejadian keji yang menimpa dirinya itu, sebuah ingatan dimana semua buram dan wajah orang-orang di sana seperti ditutupi kabut hitam. Saat ia berusaha mengingat wajah-wajah itu, kepalanya dihujam rasa sakit yang luar biasa. Maka dari itu, ia tak ingin mencoba mengingat siapa mereka, khususnya sang pelaku yang telah merenggut kesuciannya alias orang yang katanya dicintainya itu. Otaknya mungkin sudah lupa tentang lelaki itu, tapi hati dan sekujur tubuhnya ingat dengan jelas perbuatannya. "Apa kau tak melanjutkan terapimu?" Eikichi memecah keheningan aneh itu. "Aku tak cukup biaya." "Ayahmu masih koma, ya?" "Ya." "Aku akan mengunjunginya lain waktu," senyumnya terlihat hangat. "Aku tak menyangka. Hanya kau yang tak aku lupakan, Eikichi... entah kenapa... padahal, bukan hanya teman-teman sekelasku yang aku lupakan. Sekarang, mungkin malah satu sekolah, saat aku berusaha ingat semuanya satu persatu, yang ada hanya kehampaan...." "Apakah itu alasan pindah dan bersembunyi jauh-jauh ke kota ini?" "Aku benar-benar merasa bersalah pada mereka yang mengaku sebagai teman dekatku... aku sama sekali tak mengingat mereka..." ia tertunduk muram. "Mungkin karena aku tetanggamu yang baik hati dan tidak sombong, serta rajin menabung, kali, ya? Makanya kau tak melupakan aku?" hiburnya. "Bagaimana kabar nenekmu? Apakah encoknya masih sering kumat?" "Yah....namanya juga sudah lanjut usia. Beliau selalu bertanya-tanya tentangmu. Namun, aku tak tahu harus berkata apa padanya." "Aku ingin sesekali berkunjung, tapi aku, aku tak bisa melakukannya sampai sekarang...." "Tidak masalah. Aku menemukanmu dalam keadaan sehat seperti ini sudah sangat luar biasa. Jangan paksakan dirimu terlalu keras menghadapi masa lalu." "Sepertinya kau juga hidup dengan baik, ya? Apa kau masih jadian dengan teman baikku yang bernama Emiya itu?" Eikichi terdiam. "Eikichi?" "Aku sudah berpisah dengannya sejak pindah ke keluar negeri," ia kembali diam. "Ah... maaf...." "Tak usah minta maaf. Memang kau salah apa, sih?" ia mengacak-acak rambut Misaki. "Aku benar-benar tak ingat siapa teman-teman SMA-ku..." "Yah... itu bukan salahmu." "Mulai sekarang, aku akan sering datang menemuimu. Kuharap kau tak keberatan sama sekali." Misaki tersenyum lembut. "Bagaimana aku bisa menolak kehadiran senpai* sebaik Eikichi?" "Kau ini. Jangan pasang tampang begitu, deh! Bikin susah orang saja!" Eikichi menundukkan wajahnya yang memerah, telapak kanannya menutupi wajah Misaki. "Eikichi, kau kenapa? Mentang-mentang aku panggil dengan sebutan senpai lagi, lalu kau berlaku seenaknya?" teriaknya galak. Tawa Eikichi pecah, perempuan itu terbengong . "Yah. Kau cukup seperti ini saja, seperti Sadako kutu buku. Sangat cocok untukmu. Juga lebih aman." telunjuknya menyentuh pipi Misaki yang lembut. "Maaf karena sudah jadi Sadako..." ia memicingkan mata, cemberut. "Ini sudah hampir larut malam, udara semakin dingin. Aku harus segera pulang, besok hari pertama aku masuk kerja. Ayo, aku akan mengantarmu kembali ke tempat kerja!" Eikichi berdiri dan meregangkan kedua lengannya ke atas. "Terima kasih, Eikichi...." "Hah? Kenapa bilang begitu?" Misaki hanya tersenyum misterius. Sepanjang jalan, lelaki itu berusaha mencari tahu arti senyum itu, tapi perempuan berponi rata itu selalu tertawa dan mengalihkan pembicaraan. Di seberang jalan, sepasang mata dingin memperhatikan mereka dengan saksama. "Rubah kecil," ledeknya seraya menjilat bibir. Ekspresi wajah lelaki di tepi jalan ini sulit untuk ditebak. ----------------    *Catatan Author 1. Sadako: karakter dari novel/film hantu Jepang, Ring. 2. Ikemen : Lelaki yang hot atau tampan. 3. Senpai (dibaca sempai dalam Bahasa Jepang): senior atau kakak, baik dalam lingkungan akademik atau pun pekerjaan Dari author: Halo, para pembaca baru! Kalian baru bisa mulai mengerti sedikit jalan ceritanya jika sudah baca sampai bab 80, karena ini ceritanya tipe slow story alias cerita dengan alur lambat. Jadi, umumnya penjelasan dari bab tertentu baru ada di bab-bab selanjutnya. Terima kasih telah membaca!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN