Di kampus, Luna menjadi tidak bersemangat. Ia kepikiran Gama. Ia juga takut marah Gama berlangsung lama. Kalau itu sampai terjadi, habislah dia. Sehari saja Gama bersikap menyeramkan, Luna sudah bingung sendiri, bagaimana jika terus-terusan?
Kalau Luna lapar tengah malam, siapa yang mau membuatkannya nasi goreng? Kalau Luna butuh uang untuk jajan keperluannya, kepada siapa ia minta? Belum lagi kalau Luna butuh Gama menemaninya mengerjakan tugas kuliah? Gama itu pintar, sering sekali membantu tugas Luna. Kalau Gama terus-terusan marah, kepada siapa ia meminta bantuan? Luna tidak sadar ia sudah bergantung kepada Gama.
"Woi! Luna! Bengong aja, kamu kenapa?" tanya Tara saat Luna bengong usai kelas dibubarkan dosen.
"Tara? Sejak kapan di sini?" tanya Luna kaget.
"Aku emang mau jemput kamu. Udah ditungguin Feby di kantin. Yuk!"
Luna membereskan tab dan bukunya ke dalam tas. Gadis itu menuju kantin. Menemui Feby yang mungkin sudah mengomel karena mreka terlambat.
Di kantin, Feby tidak mengomel sama sekali. Yang ada gadis itu hanya diam memasang wajah masam.
"Feby udah pesen?" tanya Luna.
"Pesen es jeruk aja, Lun. Lagi nggak selera makan."
"Sama, Feb. Om suami semalem marah besar sama Luna. Kalau Feby?"
"Sama, Mama sama Papa juga marah. Hari ini aku nggak boleh sampe pulang terlambat lagi."
Luna dan Feby kompak membuang napas. Tara yang masih harus menyesuaikan suasana menatap keduanya bergantian. "Kalian pada kenapa?"
"Aku sama Feby?" tanya Luna.
"Ya, kalian. Kalian kenapa? Kayaknya punya masalah yang sama."
"Aku sama Luna punya masalah serius karena pulang terlambat semalam." Jelas Feby.
"Kenapa sampe pulang terlambat? Emangnya kalian pulang jam berapa?" tanya Tara semakin penasaran.
"Tengah malam." Jawab keduanya kompak.
Tara menggeleng seraya berdecak, "Pantesan kalian dapet masalah. Kalian itu perempuan berani banget pulang tengah malam? Lagi pula kalian ini perempuan baik-baik! Beda cerita kalo perempuan liar di luar sana." Omel Tara kepada dua sahabatnya.
"Tara kamu nggak usah omelin kita, deh. Kita udah capek diomelin. Masa kamu mau ikutan juga?" protes Luna.
"Ya biar kalian sadar dan nggak ngulangin lagi."
Feby melirik Luna, "Om Suami beneran marah besar, Lun?" tanya Feby penasaran.
Lemas, Luna mengangguk.
"Berarti pagi ini kalian belum baikan?"
Lagi, Luna mengangguk. "Om Gama serem banget kalo lagi marah, Feb. Dia juga banting HP Luna karena nggak bisa ditelepon. Ya meskipun langsung dia ganti, cuman tetep aja. Luna takut. Mana susah banget diajak baikan. Luna jadi bingung. Luna juga sedih kalo marahnya Om Gama berlangsung lama."
"Coba aja rayu dia. Pijatin, atau buatin kopi, atau apa pun yang bisa meredakan amarah Om Gama. Aku yakin, sih. Om Gama juga nggak bakalan terus-terusan marah."
Luna mengangguk, saran dari Feby akan ia coba nanti. Luna tidak akan tidur lebih dulu, ia akan tunggu Gama pulang untuk melancarkan aksinya mendapat maaf dari pria itu.
__________
Di kantor, Gama tak bisa fokus, otaknya terus saja tertuju pada Luna. Ingin sekali ia tidak marah, atau memaafkan Luna dengan segera, tapi egonya sangat tinggi mengingat ia begitu emosi malam itu.
Gama memijit ujung pangkal hidungnya, ia pusing sekali. Hari ini jadwal padat, belum lagi berkas yang menumpuk di atas meja, ditambah masalah rumah tangganya dengan bocah ingusan itu. Kepala Gama mau meledak saja.
Semua risiko yang harus Gama tanggung mengingat ia menikah bukan dengan perempuan dewasa.
Gama meraih ponselnya, pria itu hendak menelepon Luna, baru saja ia mengarahkan ponselnya ke telinga, namun ia langsung ingat ponsel Luna ia banting semalam.
Pikiran Gama semakin tidak menentu.
"Luna ..., kenapa kamu menambah beban pikiran saya?"
___________
Di rumah, Luna sudah siap dengan piyama tidurnya. Ia mengantuk, baru selesai mengerjakan tugas dari kampus juga. Namun mengingat ia harus menyambut Gama dan mendapat maaf dari pria itu, Luna berusaha untuk tidak tidur lebih awal.
Luna duduk di sofa ruang tamu seraya memainkan ponsel barunya yang ia beli sepulang dari kuliah tadi bersama Feby. Ponsel yang ia beli menggunakan uang yang Gama kirim.
Berkali-kali Luna melihat jam dinding yang ada di ruang tamu tersebut, namun berkali-kali juga Luna membuang napas.
Apa Om Gama nggak kerja terlalu keras? Jelas sekali tadi dia berangkat paling pagi. Masa pulang paling malem? Kalo Om Gama sakit gimana? Hati Luna gerundel, ia dongkol saja saat Gama bekerja terlalu keras. Ia merasa bersalah karena hanya bisa menghabiskan uang yang Gama beri. Istri macam apa dirinya ini.
Otak Luna yang penuh akan Gama langsung terkesiap saat pintu utama terbuka.
Om Gama! Seru Luna dalam hati. Tak sadar Luna berdiri untuk berjalan mengarah pada pintu utama.
Saat terbuka, benar saja Gama baru saja pulang. Penampilan Gama sangat berantakan, dengan wajah yang terlihat lelah.
Sekilas Gama memperhatikan Luna, Gama terkejut Luna belum tidur semalam ini.
"Om Gama udah pulang? Sini, Om. Luna bawain tasnya." Sambut Luna merebut tas kantor yang Gama tenteng.
Karena lelah Gama turuti saja mau Luna.
Tidak sampai di sana, Luna merangkul tangan Gama untuk sampai ke kamar mereka.
Luna meletakkan kilat tas Gama di atas sofa, kemudian mengarah lagi pada Gama yang hendak membuka dasinya. Luna berjinjit, membantu Gama membuka dasinya. "Biar Luna bantu."
Gama kembali mengernyit bingung. Ia memperhatikan wajah cantik gadis muda di hadapannya ini tak terbaca. Masih tak bersuara, Gama hendak masuk ke kamar mandi. Namun lagi-lagi ditahan Luna.
"Om Gama mau mandi air apa? Biar Luna siapin." Tawar Luna.
"Nggak perlu, biar saya aja." Balas Gama akhirnya mau bersuara setelah sekian lama bungkam.
"Air anget aja, ya, Om. Om duduk aja di sini, Luna siapin airnya." Luna menuntun Gama untuk duduk di tepi ranjang, gadis itu langsung masuk ke dalam kamar mandi menyiapkan segala keperluan Gama.
Lima menit berlalu, akhirnya Luna keluar juga dari kamar mandi. Ia melihat Gama masih di posisi yang sama, menunduk memijat pelipisnya. Gama terlihat kelelahan.
Luna berjongkok, ia membantu Gama melepas sepatu. Hal itu kembali membuat Gama tersadar dari lamunannya saat tangan mungil Luna menyentuh kakinya.
"Ngapain kamu?" tanya Gama.
"Bantuin Om Gama buka sepatu. Udah, Om Gama diem aja, biar Luna yang urus. Airnya sudah Luna siapkan, Luna juga sudah hidupin lilin aroma terapi buat nemenin Om Gama berendam. Luna tahu Om Gama capek. Nanti kalo udah selesai mandi, Luna pijitin Om Gama. Oh ya! Luna juga udah buatin Om Gama camilan."
Gama menarik dagu Luna, membuat Luna yang masih berjongkok mendongak menatapnya.
Gama perhatikan gadis yang berstatus menjadi istrinya itu. Luna cantik, bibirnya yang merah, hidungnya yang mancung, serta mata yang berhasil memikat Gama. Ingatan tentang ciuman mereka beberapa hari lalu terlintas begitu saja. Gama mengusap bibir Luna menggunakan ibu jari, Gama hendak mendekat untuk mencium Luna, namun Luna mendorong d**a Gama cepat.
"Om Gama m–mau a–apa?" tanya Luna gagap.
Gama langsung tersadar, sejenak ia lupa siapa istrinya. Siapa gadis ingusan yang ia nikahi.
Sialan! Tahan, Gama. Batinnya berseru.
"Om."
"Hm?"
"Mau Luna bantu buka kemejanya? Om Gama nggak mau cepetan mandi?"
Gama berdiri, diikuti Luna kemudian. "Hm, saya mandi." Balasnya singkat.
Gama masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Luna dengan debaran jantung yang berdetak di atas normal.
"Om Gama mau cium Luna tadi?" tanya Luna pada dirinya sendiri. Ia memegang dadanya yang berdetak di atas normal.
"Jantung Luna kenapa?"
_________
Selesai mandi dan berganti, Gama keluar dari walk in closet. Pria itu duduk di tepi ranjang, di sana Luna yang sudah ketiduran membuat Gama meliriknya.
"Cih! Katanya mau dipijitin sama dibawain camilan? Nyatanya tidur duluan." Ejek Gama.
Gama mengecas ponselnya, sebelum berbaring, Gama memeriksa e-mail yang belum sempat ia periksa tadi. Ia juga membalas beberapa pesan yang belum ia balas. Kebiasaan Gama saat malam sebelum tidur.
Baru saja Gama meletakkan ponsel dan hendak berbaring, lagi-lagi fokusnya terbelah pada Luna.
Posisi tidur Luna terlihat tidak nyaman, jelas sekali Luna ketiduran selama ia berendam.
Niat Gama hendak membenarkan posisi tidur Luna, namun lagi-lagi Gama terkunci pada bibir merah Luna.
Gama menindih Luna, memiringkan wajah untuk mengecup sekilas bibir ranum itu.
Kecupan pertama masih tidak membangunkan Luna, kecupan kedua dan ketiga juga tidak membangunkan gadis itu. Namun saat Gama melumat habis bibir Luna, ia mulai tersadar.
"Enghh." Rengek Luna saat ia sadar Gama mencium dan menindihnya.
Luna berusaha mendorong d**a Gama, namun Gama tidak beralih, yang ada pria itu semakin keras mengukung tubuh Luna.
Karena lelah memberontak, Luna diam saja saat Gama mencium habis bibirnya. Sampai Gama berpindah mengecupi lehernya, baru Luna bersuara.
"Om Gama kenapa cium Luna?" tanya Luna merasa aneh dan geli saat Gama mencumbunya.
Gama tak menjawab, ia menciumi leher Luna, sesekali menjilatnya.
"Om ... Om Gama." Panggil Luna mulai merasakan hal aneh pada dirinya.
Tangan Gama masuk ke dalam baju piyama Luna. Dan Luna terkejut saat tangan Gama menangkup salah satu buah dadanya yang tidak tertutup Bra.
Luna mulai berontak, gadis itu berusaha melepas tangan Gama yang meremas kencang salah satu dadanya.
"Om Gama!" teriak Luna panik.
"Hm?" tanya Gama dengan santainya.
"Om Gama ngapain?" tanya Luna.
Tak ada jawaban, Gama membuka paksa baju piyama Luna. Terpampang dua buah d**a Luna. Dan Gama tak sadar bahwa Luna memiliki ukuran di atas rata-rata di usianya itu.
Luna menutup kedua dadanya dengan tangan. Matanya berkaca menatap Gama yang berada di atasnya ketakutan. "Om Gama mau ngapain?" tanya Luna ketakutan.
"Boleh cium kamu?" tanya Gama meminta izin.
"Kenapa mau cium Luna?" tanya Luna penasaran.
"Kita suami-istri. Wajar, kan?"
"T–tapi Luna takut."
"Saya nggak akan berbuat lebih. Saya tahu kamu belum siap."
"Ada syaratnya."
"Apa?"
"Om Gama mau maafin Luna. Om Gama mau?" tanya Luna memanfaatkan kesempatan.
"Gantinya boleh cium ini dan ini sepuas saya?" tanya Gama menunjuk bibir dan d**a yang ditutupi Luna.
Luna menggigit bibir bawahnya tampak ragu dan berpikir. Namun beberapa detik kemudian, ia mengangguk.
Toh mereka suami istri, mereka tidak dosa berciuman. Gama juga berjanji untuk tidak berbuat lebih padanya. Meski Luna sangat takut saat ini.
Gama tersenyum menang. Ia mendekat, mengecup lembut bibir Luna pada awalnya. Luna seperti perempuan tak berdaya yang hanya bisa pasrah.
Setelah mengecup, Gama menjilat bibir Luna untuk melihat ekspresi lucu gadis itu. Adrenalin Gama terpacu, tak menyangka seseru ini berciuman dengan gadis tak tahu apa-apa seperti Luna. Dosakah Gama? Ia bernapsu. Ia berdoa semoga ia tidak kebablasan malam ini.
Puas melumat bibir Luna, Gama melepas tangan Luna yang tengah menutupi buah dadanya.
"Om, Luna malu."
Gama terpesona, ia tak menyangka tubuh Luna sepanas ini. p******a gadis itu tidak pernah tersentuh pria lain, masih padat dan berisi dengan p****g yang mengeras. Gama tahu, di bawah alam sadar Luna, gadis itu sudah terbawa.
Ragu, Gama menangkup keduanya. Wajah Luna memerah, apalagi saat Gama mulai meremasnya. Luna bergerak gusar.
"Om, Luna malu." Sekali lagi Luna mengungkapkan ketidaknyamanannya.
Gama tak peduli, anggap saja ini imbalan untuk menebus rasa panik, marah, dan khawatir Gama terharap Luna semalam.
"Saya harus tunggu berapa tahun lagi sampai kamu siap melayani saya?" tanya Gama berkabut, tangannya tak berhenti meremas dan memilin p****g p******a Luna.
"Maksud Om Gama apa?" tanya Luna dengan polosnya.
"Kamu bahkan tidak berpikir sejauh itu, Lun." Balas Gama.
Gama menunduk, mencium Luna kembali. "Balas ciuman saya." Perintah Gama.
"Nggak bisa, Om."
"Saya ajarin."
Luna mengangguk ragu.
"Lumat bibir saya seperti ini." Gama kembali melumat bibir Luna sebagai contoh sebelum melepasnya.
Luna mengalungkan tangannya di leher Gama. Tak bisa dipungkiri bahwa Luna berdebar, ia tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Ragu, Luna menempelkan bibirnya pada bibir Gama, Luna juga melumat amatir bibir Gama seperti yang dicontohkan.
Gama tersenyum miring, pria itu tidak tahu dicium gadis amatir seperti Luna selucu itu.
"Om Gama kenapa ketawa?"
"Gemes sama kamu."
"Gemes?"
Gama menciumi leher Luna, kembali meremas d**a Luna. Kali ini Gama melumat p****g Luna, tak lupa memberi tanda juga di beberapa tempat.
Sebelum ia benar-benar tak bisa menahan napsunya, Gama berhenti. Dilihatnya Luna yang sudah berantakan. Bibirnya yang bengkak karena ia lumat, p****g p******a yang masih mengeras, serta beberapa tanda kissmark yang tercetak. Luna sangat cantik, apalagi rambutnya yang berantakan itu. Gama hampir gila dibuatnya. Ia dan Luna suami-istri, mau Gama melakukan hal lebih saja, Gama sah dan wajar melakukannya. Tapi mengingat Luna belum siap, Gama harus mewurungkan niatnya. Ia harus menghormati Luna.
"Om, Luna malu dilihatin sama Om Gama kayak gini." Ujar Luna dengan polosnya. Ia kembali menutup payudaranya menggunakan tangan yang menyilang.
Gama menggulingkan tubuhnya di samping Luna. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh keduanya menggunakan selimut itu. Gama menarik Luna untuk ia peluk. Punggung Luna menempel pada d**a bidang Gama, dan Luna merasa nyaman sekaligus lega.
"Om Gama nggak marah lagi 'kan sama Luna?"
"Jangan diulangi lagi, Luna. Saya nggak suka kamu keluar batas seperti kemarin. Saya kepala keluarga di sini, dan kamu harus mematuhi aturan yang saya buat."
"Iya, Luna janji nggak bakal ulangi lagi. Luna nurut sama Om Gama. Tapi beneran, kan? Om Gama udah nggak marah sama Luna?"
"Iya, Lun."
Luna lega, ia bisa tidur nyenyak malam ini. Di dalam pelukan Gama seperti biasa, tanpa khawatir besok sikap Gama dingin padanya. Gama sudah memaafkan Luna.
"Makasih, Om."
- To be continue -