Tiga Perempuan

1534 Kata
"Pindah?" Tio mengusap wajahnya. Lelaki itu mengambil duduk di sofanya. Mata istrinya bahkan masih bengkak. Mereka sudah pergi jauh dari Jakarta tapi tak kunjung memperbaiki keadaan. Selama dua tahun itu, mereka bertahan dengan jantung yang senantiasa berdebar. Tio pun tak pernah menyangka jika luka anaknya akan sedemikian dalam untuk sebuah kasus asmara cinta pertama. "Aku gak peduli dia bisa jadi dokter atau enggak, Bang. Yang penting anak kita sehat dan bahagia, itu udah cukup!" Istrinya penuh emosi. Lagi-lagi Tio mengusap wajahnya. Ia tak mau membuat masalah seperti ini menjadi runyam. Meski kekhawatiran istrinya memang ada benarnya. Tio melirik ke arah ranjang di mana anak perempuannya terbaring. Mereka pikir, permasalahan akan selesai dengan pergi ke Padang, kampung halaman istrinya. Membiarkan anak mereka meneruskan kuliah di sana. Tapi tahun demi tahun tidak ada perubahan. "Lalu harus bagaimana? Kembali ke Jakarta?" Jihan menghela nafas. Ia juga tak tahu harus bagaimana. "Aku juga gak tahu, Bang." Ia sudah sulit berpikir dan Tio lagi-lagi hanya bisa mengusap wajahnya. Ini bagai de javu. Dulu, ia pernah seperti ini. Maksudnya, pernah hampir mati untuk sebuah patah hati. Bahkan pernah mencoba bunuh diri. Namun hasilnya? Ia masih bertahan dan akhirnya menemukan cinta sejatinya. Ia rasa anaknya juga akan sama. Suatu saat akan menemukan cinta sejatinya. Ini hanya persoalan waktu dan cara membuka hati. Kadang anak perempuannya bisa berpikir lurus. Maksudnya, seperti gadis solehah lainnya. Berbicara dengan cukup dewasa dan lainnya. Namun Tio sering dibuat jantungan. Tahu-tahu mendapat kabar dari pihak kepolisian, anaknya mencuri, anaknya pingsan di jalan dan lain sebagainya. Kali ini? Garis di pergelangan tangan menjadi jawaban. Untung saja, anak bungsunya berhasil menyelamatkan kakak perempuannya itu. "Pa!" Anak bungsunya muncul, namanya Arga. Perawakannya bahkan lebih tua dari kakak perempuannya. Padahal usianya dua tahun lebih muda. Namun tanggung jawab yang ia emban sebagai anak laki-laki menuntutnya untuk terus menjaga kakak perempuan satu-satunya. "Ada polisi," tuturnya yang membuat Tio mengusap wajah. Entah kasus apalagi, Tio tak paham. Akhirnya ia keluar sementara istrinya kembali menangis dalam diam. Sudah pusing kepala dengan tahun-tahun panjang yang begitu gelap. Arga datang untuk memeluk Mamanya. Perempuan itu sangat berterima kasih karena Arga sangat bisa diandalkan. Sementara itu, Tio datang menghampiri polisi yang datang. Ia diminta untuk menjadi saksi dari kasus n*****a tempo hari yang menjerat anak perempuannya. Karena ini pula, anak perempuannya nyaris dikeluarkan dari kampus. Untungnya, berdasarkan hasil analisis laboratorium, tidak ada zat-zat narkotika yang terkandung dalam tubuh Shakeera. Meski ada banyak sampel uji yang sudah diambil. Tio juga bingung kenapa bisa ada n*****a di dalam tas anaknya tapi anaknya bukan pengonsumsi? "Anak anda dijebak, Pak. Kami perlu keterangan anda untuk mewakili anak anda sampai anak anda sehat secara fisik dan mental untuk menjadi saksi di pengadilan." Tio mengangguk-angguk saja. Ia mau kooperatif untuk kasus ini. Setelah mendengar penjelasan yang begitu panjang dari pihak polisi, ia kembali masuk ke dalam ruangan dan menghampiri istrinya. Kedua polisi tadi sudah pamit pulang karena urusan sudah selesai. "Gimana, Bang?" "Tidak apa-apa," ucapnya lantas menghela nafas lega. Ia menatap anak perempuannya yang tak kunjung bangun. Ia tak tahu apalagi yang harus ia lakukan untuk bisa mengembalikan keceriaan anaknya seperti bertahun-tahun lalu. @@@ "Heish!" desisnya. Ia kesal sekali karena mereka tak berhenti memberitakan video viral anaknya. Ia sudah menghubungi Menteri Komunikasi dan Informasi untuk memblokir semua situs yang menyayangkan video itu tapi sialnya, pihak media massa justru memberitakannya besar-besaran. Alasannya? Ah tentu saja permintaan pemerintah pusat guna menenggelamkan kasus buronan korupsi yang dilakukan oleh salah satu oknum yang berasal dari partai yang sedang berkuasa. Agar perhatian masyakarat teralihkan. Saat ia mengeluhkan persoalan itu, sahabatnya yang menjabat sebagai Menteri itu tak bisa berbuat apa-apa. "Permintaan dari atasan, Bakrie. Ini hanya sebentar. Tidak akan lama." Begitu katanya. Tapi sialnya sudah lebih dari dua minggu dan berita itu masih terus menjadi trending. Istrinya hanya bisa tidur di kamar sembari terus menangis. Masa depan anaknya bisa hancur karena masalah ini. Perhatian masyarakat juga hanya terarahkan pada anaknya tapi juga suaminya yang menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Para organisasi masyarakat yang bergerak dengan nurani mulai menuntutnya secara etika. Apakah masih layak atau tidak menjabat? Meski ini kasus anaknya tapi pasti akan selalu dikait-kaitkan. Dan gadis yang bermasalah itu hanya bisa terduduk di sudut kamar sembari memeluk kedua kakinya dengan erat. Seluruh tubuhnya gemetar. Sesekali ia berteriak sembari menyembunyikan wajahnya di antara kedua kaki kemudian menangis sekencang-kencangnya. "Sialan mereka semua!" keluhnya. Nasib menjadi pejabat publik bukan kah memang begini? Ia hampir menghempaskan televisi tapi kemudian tak jadi karena televisi itu terlalu berat. Akhirnya ia merebahkan tubuhnya dan terduduk di atas sofa sambil berdecak kesal. Hatinya menaruh dendam untuk membalas siapa saja yang sudah memperlakukan putrinya sejahat ini. Tapi bukan kah ia yang memulai? Dan lagi, ini sama sekali bukan kesalahan orang lain. Ini murni kesalahan anak perempuannya. Celakanya menjadi orangtua yang selalu menyalahkan orang lain dibanding anak sendiri bukan kah mengerikan? Karena anaknya tubuh tanpa tahu kalau ia telah melakukan kesalahan. Tanpa tahu kalau ia melakukan banyak dosa. Bukan kah itu sangat mengerikan? "Sampai kapan kamu akan membiarkan ini pada kita?" Istrinya berdiri tegak di lantai dua dan menatapnya. Rambutnya bahkan awut-awutan. Ia tampak memeluk selimutnya dengan muka yang sudah bengkak karena tak berhenti menangis. Suaminya hanya bisa mengusap wajah. Ia juga frustasi dengan keadaan ini. "Aku akan siapkan tiket untuk Nisa." "Mau kamu kirim ke mana?" "Singapura." "Tega kamu!" "Kita gak punya pilihan lain, Ma. Untuk saat ini, Nisa harus menjauh dari segala pemberitaan. Aku harus meredam ini agar tidak ada yang mengusik jabatanku." Nisa mendengar itu. Gadis itu hanya bisa terdiam. Andai ia sadar kalau sedari dulu, Mama dan Papanya hanya sibuk memikirkan jabatan. Kalau pun ada sangkut paut dengannya, semua tak lebih dari hubungan politik. Sama seperti hal pertunangan palsu ia dan Hamas. Bukan kah itu juga hubungan politik? Sekalipun Nisa memiliki perasaan yang tulus untuk lelaki itu? "Sampai dia tenang. Setidaknya begitu." "Tenang? Mana mungkin! Mana bisa dia menghadapi semua itu, Pa!" "Ma!" "Semua orang membicarakan anak kita. Bahkan teman-temannya pun begitu. Kamu pikir, ia bahkan bisa menyelesaikan koasnya?" Suaminya memijit-mijit kepalanya. Ia bahkan sudah tak bisa berpikir ada solusi lain atau tidak dari masalah ini. @@@ Enam bulan? Tujuh bulan? Delapan bulan? Entah lah. Ia sudah tak ingat kapan perceraian itu terjadi. Rasanya? Hampa. Ia sudah melupakan apa yang terjadi. Ah, masa? Tentu tidak sepenuhnya. Kenyataan saat diceraikan begitu saja, ada rasa sakit hati. Namun bertahan juga sudah tak mungkin. Bagaimana mungkin ia bertahan dalam pernikahan yang sudah salah sejak awal? Seseorang yang memang tidak harus bertanggung jawab atas kehamilannya. Ia memejamkan mata demi berupaya melupakan semua mimpi buruk itu. Ia pernah menjadi orang yang sangat jahat kala mengingat hal-hal buruk yang terjadi beberapa bulan terakhir. Merusak pernikahan orang lain dengan menjadi orang ketiga memang bukan pilihannya. Ia memang dipaksa masuk oleh kedua orangtuanya. Setelah menjalaninya? Sempat terbersit pikiran menginginkan lelaki itu seutuhnya untuk menjadi miliknya. Namun rasa bersalah membuatnya urung melakukan semua itu. Nyatanya, ia hanya ingin bersenang-senang untuk kemudian melupakan apa yang telah terjadi. Terakhir, ia mendatangi lelaki itu berhari-hari lalu. Hanya untuk mengembalikan semua mahar yang pernah diberikan. Ia tak bisa mengembalikan hati karena memang sejak awal, hati itu tak diberikan padanya. Ia pernah merasa terlalu percaya diri kalau lelaki ini akan jatuh ke dalam pelukannya sama seperti lelaki-lelaki lain. Namun sayangnya? Hahaha! Tertawa saja. Ia memang pantas ditertawakan. Karena kenyataan bahwa cantik itu bukan segalanya. Lelaki itu lebih memilih perempuan yang menurutnya jauh sekali dibandingkan dengannya. Ya, menurutnya saat itu memang jauh sekali. Namun saat sudah mulai berpikir jernih seperti ini, ia setidaknya mengerti sedikit tentang alasan dibalik kedua orang yang jatuh cinta itu. Mungkin perempuan yang sekarang berstatus menjadi istri lelaki itu tak lebih cantik darinya. Tak lebih bagus fisiknya. Namun perempuan itu setidaknya paham agamanya. Lebih paham darinya. Kenapa bisa lebih paham? Seorang perempuan yang paham akan agamanya, ia tidak hanya mempelajari untuk sekedar tahu. Tapi perempuan itu akan menerapkannya secara utuh dalam kehidupan sehari-harinya. Shabrina sudah tahu apa hukumnya perempuan muslim ketika sudah baligh. Apa? Wajib menutup auratnya. Tapi ia tidak melakukannya. Bukan karena ia tidak tahu. Namun karena ia tidak bisa memahami ajaran agamanya sendiri. Karena agama itu diajarkan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekedar mengejar nilai tinggi di sekolah. Paham? Namun hatinya masih belum tergerak sampai saat ini. Ia juga masih belum bisa berpaling dari semua kabar tentang mantan suaminya. Tentang perempuan yang berstatus sebagai istri sah lelaki itu dan sedang mengandung anaknya. Anak. Kata itu terbersit begitu saja dihatinya dan membuatnya menatap ke arah jendela yang terbuka. Ia sempat mengandung anak dari lelaki yang ia kira adalah suaminya. Namun ternyata tak lebih benih lelaki b***t yang membuatnya merasa jijik pada dirinya sendiri hingga hampir gila dan berulang kali mencoba bunuh diri. Kini? Setidaknya ia tidak lagi berada di rumah sakit jiwa. Setidaknya ia berada di rumahnya meski terasa bagai neraka. Kedua orangtuanya tak berhenti bertengkar meributkan hal-hal yang menurutnya menyebalkan. Bagi mereka, semua hal itu adalah uang. Dan investasi menantu yang paling menjanjikan nyatanya gagal terlaksana. Ditambah citra keluarganya yang sudah jelek dimata masyakarat karena kasus anak perempuannya. Tidak ada yang berpihak pada mereka saat ini. Bahkan sekutu-sekutu yang merupakan curut uang negara pun pergi. Takut tertular citra menjijikan itu. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN