2. Kupinta Maafmu

878 Kata
Arfi menuntun  Kinan untuk duduk di kursi. Ditariknya kursi yang ada di dekat situ agar dia bisa duduk di sebelah Kinan. Tangannya menggenggam kedua tangan Kinan dengan erat. Genggaman tangan ini terasa sungguh hangat. Batin Kinan bersuara, enggan melepaskan. Mata Arfi juga terasa hangat menatapnya. Entah kenapa bagi Kinan mata itu bersinar penuh kerinduan menatapnya. “Kapan Mas Arfi datang?” Akhirnya Kinan yang membuka percakapan, tak tahan dengan keheningan yang menyergap mereka. “Tadi pas Isya. Kamu sedang dipijat. Kata Eyang setelah dipijat biasanya kamu akan langsung tertidur karena kelelahan dan akan bangun tengah malam mencari makanan. Makanya aku menunggumu bangun dari tadi.” Bagaimana Arfi bisa istirahat karena dia tak tahan mendengar teriakan kesakitan Kinan saat dipijat. Perutnya ikut terasa nyeri dan mual tiap kali mendengar rintihan kesakitan itu. Entah kenapa dia bisa ikut merasakan sakit yang diderita Kinan saat dipijat, seperti terhubung. “Aah kamu mau makan kan? Tadi aku lihat ada mie instan, tunggulah sebentar, aku buatkan dulu ya. Aku juga lapar lagi nih, mungkin karena di kampung ini cuacanya dingin, jadi aku merasa lapar lagi.” Seketika kehampaan terasa menyergap Kinan saat Arfi melepaskan genggaman tangannya. Kinan bahkan melihat ke arah tangannya yang sekarang terasa sunyi, sendiri, dingin. Arfi memundurkan kursi, segera berdiri dan mengambil dua bungkus mie instan. Dijerangnya air di kuali. Sepertinya dia cukup terampil membuat mie instan. Saat Kinan sedang melamun memikirkan kenapa untuk apa Arfi mengunjunginya, tiba-tiba harum coklat panas terhidu olehnya. Dua cangkir coklat panas dengan uap yang masih mengepul sudah ada di depannya. “Satu untukmu, satu untukku, sambil menunggu mie instan selesai kumasak ya. Tiga menit lagi Insya Allah sudah siap.” Arfi segera kembali ke depan kompor dan sibuk dengan mie instannya. Tak berapa lama dua mangkuk mie instan sudah terhidang di meja makan. Tampak menggoda selera perut Kinan. Ada telur, sawi dan sedikit taburan bawang goreng juga. “Sebenarnya ini mie goreng tapi sengaja aku buat pakai kuah jadi terasa seperti makan bakmie jawa. Silakan dimakan.” Arfi segera saja melahap mie rebus buatannya. Kinan yang sudah menghabiskan hampir semua coklat panas yang dibuat Arfi,  merasa kenyang padahal mie instan itu tinggal sedikit lagi. Mungkin sekitar tiga suapan lagi. Tapi dia sungguh merasa kenyang, hanya saja dia merasa tidak enak jika tidak dihabiskan. “Kenyang ya Kinan? Aku habiskan saja ya kalau tidak mau lagi.” Tanpa mendapatkan ijin dari Kinan, Arfi segera menarik mangkuk mie instan gadis itu dan melahap sisanya. Kinan merasa kaget tapi tidak mau berkomentar apapun. Dia menggenggam cangkir coklat tadi yang sudah terasa dingin. Tapi hatinya menghangat mendapatkan perlakuan manis dari Arfi. Entah angin apa yang membuat Arfi berubah seperti itu. Masih lekat di ingatannya, betapa Arfi sungguh membencinya, bahkan memintanya menggantikan jasad Ella yang terkubur. Huuufft…. Lagi-lagi aku teringat itu. Kinan menghembuskan nafas perlahan agar tidak menarik perhatian Arfi yang sedang mencuci piring bekas makan mereka. “Biarkan saja Mas, besok simbok yang mencuci.” Kinan jadi tidak enak sendiri. “Aku biasa melakukan ini kalau lagi kemping kok Kinan. Tunggu sebentar ya, sebentar lagi selesai.” Tidak sampai lima menit, Arfi sudah kembali duduk di sebelah Kinan. Suasana menjadi canggung karena keduanya bingung hendak membicarakan apa. Tiba-tiba tangan Arfi terulur, membawa anak rambut Kinan yang terjatuh ke belakang telinga gadis itu, yang sedari tadi menunduk. Kinan kaget, bahkan sedikit menarik kepalanya, menghindar. “Apa yang membawa Mas Arfi kemari?” Akhirnya rasa penasaran Kinan mengalahkan segalanya. “Aku…” Arfi menghela nafas, tangannya menyatu di atas meja makan. Dia harus jujur pada Kinan alasan apa yang membawanya ke kampung itu. “Aku ingin minta maaf Kinan.” Suara dan pandangan mata yang tulus terucap dari bibir Arfi membuat Kinan melihat ke arah lelaki tampan itu. “Maaf? Untuk apa?” Suara Kinan terdengar bergetar. Tangan Arfi meraih tangan Kinan untuk dia genggam lagi. “Untuk semuanya, Kinan. Maaf, aku telah berucap sungguh kasar waktu itu kepadamu.” Bisik Arfi lemah. “Kenapa bukan kamu yang ada di dalam tanah situ hah? Memang benar kata orang, kamu gadis pembawa sial!” “Aagh…” Kinan menarik tangan dari genggaman Arfi dan memegang kepalanya yang mendadak mendengar lagi hujatan Arfi setahun lalu di pemakaman. “Kinan, kenapa? Kamu pusing ya? Ada obat apa yang harus kamu minum? Atau aku pijat kepalamu ya?” Arfi ikut panik melihat wajah pucat Kinan yang tiba-tiba. “Tidak Mas, tidak apa-apa. Aku hanya butuh tidur. Maaf, kepalaku sakit.” Kinan berdiri, melangkah perlahan sambil menyeret kaki kirinya yang mendadak terasa nyeri mengingat apa yang Arfi ucapkan setahun lalu. Apakah memang sebaiknya aku yang dikubur ya Tuhan? Mengingat hal itu saja bahkan lebih menyakitkan dibanding saat ayah yang mengatakan itu padaku. Kinan berjalan sambil menepuk-nepuk d**a kirinya yang terasa nyeri, matanya juga sudah terasa panas. Dia tidak mau menangis di depan Arfi, lebih baik dia mengadu pada Tuhan agar hatinya menjadi tenang. Tanpa Kinan tahu Arfi juga merasa remuk karenanya. Arfi hanya bisa melihat punggung Kinan yang berjalan tertatih menuju kamarnya. Dia tahu, perjuangan mendapatkan maaf dari Kinan akan sangat berat. Yang bisa Arfi lakukan hanyalah berusaha meyakinkan Kinan bahwa dia sungguh-sungguh menyesal atas lisan yang telah dia ucapkan setahun lalu.  "Maaf Kinan, maafkan aku." Bisiknya lirih.  *** Mulai part ketiga kita kembali ke masa dua tahun setengah sebelumnya ya 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN