Sebuah kebahagiaan

1702 Kata
“Kenapa nggak pernah terima mereka sih, Jan?” Pertanyaan itu kerap kali ia dengar dari sahabatnya -Yulia- setelah ia yang baru saja melakukan penolakan pernyataan cinta dari para laki-laki yang masih berada di satu Universitas yang sama dengannya namun berbeda Fakultas. Vabiola Anjani Damanik. Perempuan itu tampak tersenyum tipis. Setelah sempat cuti cukup lama karena melahirkan anaknya yang tentu saja tanpa pernah di ketahui oleh siapa pun akhirnya tahun ini ia sedang sibuk mengerjakan skripsi untuk tahun terakhir ia menuntut ilmu di Universitas ini, mengambil jurusan Pendidikan untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru taman kanak-kanak. Sulit memang di saat dirinya tengah hamil dan tetap menjalani perkuliahan namun Anjani tidak pernah menyerah dan beruntung Universitas yang menjadi tempat dia menuntut ilmu adalah milik keluarganya sendiri. Sehingga ketika perutnya mulai membesar, Anjani bisa kuliah secara online. Pun dengan bantuan Bani, kakak sekaligus Dosen yang mengajar di Universitas tersebut. Semua yang tampak sulit menjadi mudah karena dukungan dari keluarganya. “Jani, lo malah ngelamun sih. Gue tanya juga kenapa lo nolak lagi?” Suara Yulia kembali membuatnya tersadar. Anjani kembali menolak laki-laki yang mendekatinya. Bukan karena laki-laki yang menyatakan cinta kepadanya tadi tidak menarik. Justru mereka semua sangat menarik dan baik kepadanya. Tetapi tidak ada yang bisa menembus kokohnya dinding hati yang selama ini Anjani miliki. Kecuali dia, laki-laki yang memutuskan hubungan dengannya di hari kelulusan sekolah mereka, yang pergi meninggalkan dia dengan begitu mudahnya. Dan merupakan Ayah dari anak kembarnya. Ya Anjani melahirkan anak kembar. Anugerah terindah yang membuat semangatnya kembali membara. “Gue lagi fokus sama skripsi, pusing lah kalau harus ngurusin percintaan kaya gitu,” balas Anjani. Yulia berdecak. Alasan Anjani saja. Sejak awal semester dan menjadi mahasiswa selalu banyak alasan yang Anjani berikan saat dirinya mendapatkan pernyataan cinta dari semua laki-laki yang ingin menjalin hubungan dengannya. Yulia tidak pernah tahu apa yang menjadi alasan utama Anjani memilih untuk sendiri, tanpa mau menjalin hubungan dengan laki-laki seperti kebanyakan perempuan lainnya di luaran sana, seperti dirinya yang memiliki Husein sejak dua tahun lalu. “Lo selalu banyak alasan, sebenarnya ada apa sih, Jan? Kita ini udah sahabatan dari awal ospek, tapi kayanya lo enggak kasih tahu gue hal yang ... ya bisa di bagi kaya gue yang selalu cerita apa pun sama lo.” Yulia tak habis pikir dengan Anjani. Perempuan itu sama sekali tidak memiliki kekurangan. Anjani memiliki paras yang begitu cantik, di tambah merupakan mahasiswi berprestasi di kampusnya. Sudah pasti siapa pun ingin menjadi kekasih dari Anjani namun perempuan itu seolah tidak memiliki ketertarikan dalam menjalani hubungan. Anjani begitu menutup diri dengan laki-laki yang mendekatinya secara terang-terangan. “Nanti gue cerita, yang jelas baik dulu atau sekarang gue nggak pernah bisa jatuh cinta sama laki-laki lain.” “Lo normal kan, Jani?” Anjani melotot mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut sahabatnya. “Ya normal lah!” seru Anjani, “Gue masih cinta sama oppa korea,” sambungnya di akhiri dengan tawa. “Itu sih emang kelakuan lo, jangan-jangan lo itu cari yang setipe sama oppa korea yang sering lo tonton ya, siapa tu namanya ... emmh.. Do .. Doh kyungsoo .. ah iya itu. Mana ada yang mirip banget sama dia, Jani.” “Apa sih, ya enggak gitu juga kali. Pokoknya gue belum mau mikirin percintaan, yang ada skripsi gue makin pusing.” “Iya deh iya, oh iya gimana soal ngajar di TK? Lo bilang sebelum lulus lo udah ada tawaran kerja?” “Iya, dapat tawaran dari temannya nyokap gue. Ya dekat dari rumah sih TK-nya dan emang sekolah yang gue mau banget jadi selagi ada kesempatan gue ambil.” “Bagus deh, mulai kapan ngajar?” “Sebenarnya ganti guru yang mau lahiran dan nggak akan bisa ngajar lagi karena mau urus anaknya, jadi gue nunggu guru itu aja kapan keluar. Katanya masih agak lama sih jadi gue bisa fokus dulu sama skripsi.” “Lo sendiri gimana? Bukannya ada tawaran juga dari tempat lo Pkl dulu?” tanya Anjani pada Yulia. Meski mereka berbeda jurusan tetapi karena satu kelompok saat ospek membuat keduanya merasa klop berteman. “Iya, habis skripsi gue langsung masuk.” “Syukur deh, gue senang banget kita langsung dapat kerja di waktu yang tepat.” “Dan lo juga harus dapat jodoh sesegera mungkin, masa lo mau jomlo terus. Nanti kalau gue nikah eh lo masih belum punya gandengan kan nggak banget, Jani. Lo itu cantik dan please apa pun alasan lo itu, seenggaknya sekali aja lo mencoba.” “Kalau coba-coba itu namanya nggak serius. Lo tenang aja, kapan sih lo sama Husein nikah, gue pasti udah punya gandengan. Kalau belum ... ya kan ada kakak gue yang masih jomlo juga jadi aman lah ya.” Yulia menggeleng mendegar perkataan sahabatnya, selalu saja tetap ada alasan. ** “Gimana persiapan ngajar di TK?” tanya Diani kepada anaknya yang tengah menggendong Rija, sementara Raja sudah lelap di box bayinya. “Udah, Ma. Minggu depan mulai ngajar.” “Skripsi kamu nggak akan keganggu kalau mulai ngajar?” “Sebentar lagi selesai, dua minggu lagi sidangnya.” “Alhamdulillah, Mama bangga banget sama kamu. Di samping ngurusin si kembar, kamu bisa fokus kuliah juga. Anak Mama hebat.” “Itu juga karena bantuan Mama sama Papa, semuanya bantuin Anjani. Ma, Jani minta maaf ya,” ucap Anjani lirih. Diani mengelus rambut sang anak. Meski Anjani sudah menjadi seorang ibu dua anak tetapi di matanya, Anjani tetaplah gadis kecil yang begitu dia sayangi. Gadis kecil yang begitu penurut kepada dia dan suaminya. Anjani tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, kecuali dengan hadirnya si kembar. Tetapi semua bukan sebuah kesalahan, karena Anjani yang sekarang begitu dewasa dalam menjalani kehidupannya dan Diani begitu bangga dengan anaknya. “Kamu sering banget minta maaf. Semuanya udah berlalu, sekarang kita fokus ke depan dan tumbuh kembang anak-anak kamu.” “Iya, Ma. Anjani pasti fokus sama mereka. Karena sekarang Raja dan Rija adalah semangat dan hidup Anjani.” Meski tanpa Raka. ** “Baru selesai bimbingan ya?” Suara perempuan yang sudah dua tahun ini mengisi harinya membuat dia tersenyum mengangguk. Raka baru saja menghampiri kekasihnya yang menunggu di kantin kampus mereka. Laki-laki itu mengelus lembut rambut kekasihnya sebelum duduk bergabung. “Kamu nunggu lama? Aku kira masih bimbingan juga.” Perempuan itu menggeleng, “Nggak. Aku juga baru selesai, mau makan apa?” “Samain aja sama kamu, Shei,” balas Raka. Sheina. Kekasihnya itu beranjak dari kursi dan segera memesan makanan untuk mereka berdua. Raka menatap kepergian kekasihnya. Sudah dua tahun ini dia menjalin hubungan dengan perempuan yang merupakan teman satu jurusannya. Semula mereka di kenalkan oleh salah satu teman Raka sampai akhirnya kerap kali jalan bersama dan Raka merasa nyaman akhirnya menyatakan cinta kepada Sheina. Namun selama dua tahun mereka berpacaran tidak pernah sekali pun dia menunjukkan sikap romantis, mereka lebih terlihat seperti teman di bandingakan pasangan kekasih. Entah lah, Raka juga tidak tahu. Tetapi sejauh ini dia berusaha untuk menunjukkan perhatiannya kepada Sheina. Buktinya mereka sudah menjalin hubungan selama dua tahun dan semua baik-baik saja. Sheina adalah perempuan penurut, baik dan juga perhatian kepadanya. Tetapi satu yang Raka sayangkan, Sheina terlalu mandiri, terkadang Raka sebagai kekasih ingin sekali merasa di butuhkan, mengantar kekasihnya ke mana pun yang Sheina inginkan. Tetapi sejauh ini perempuan itu selalu melakukannya sendiri. Selagi bisa di lakukan oleh dirinya sendiri, begitu yang sering kali Sheina katakan kepadanya. Sheina juga tidak pernah bersikap manja kepadanya, benar-benar perempuan dewasa yang seharusnya Raka beruntung memiliki Sheina sebagai kekasih. Tetapi lagi-lagi Raka ingin sekali Sheina bersikap manja kepadanya, seperti ... Ah kenapa Raka selalu membandingkan kekasihnya ini dengan dia. Sheina datang dengan pesanan mereka. “Aku pesan nasi goreng seafood kesukaan kamu.” Dan kesukaan gadisnya dulu. Astaga kenapa Raka kembali mengingatnya. “Makasih, Shei.” Sheina mengangguk dan kembali duduk di hadapan Raka. Mereka makan dalam keheningan, tidak ada adegan romantis seperti saling menyuapi makanan seperti di drama-drama. Sudah di katakan bukan, mereka tidak seperti sepasang kekasih. “Hari ini aku mau jalan sama Vini ya,” perkataan Sheina memecah keheningan. Raka menatap kekasihnya kemudian mengangguk singkat. “Mau aku antar?” tanya Raka kemudian. “Nggak perlu, aku kan bawa mobil.” Sudah Raka katakan juga kan, Sheina terlalu mandiri. Bahkan selama ini bisa di hitung jari berapa kali Raka mengantar jemput Sheina selama mereka berpacaran. Padahal Raka sama sekali tidak masalah jika kekasihnya meminta di antar ke mana pun atau bahkan di jemput sekedar pergi ke kampus. Tetapi, ya begitulah. “Ok.” Dan Raka hanya bisa mengiyakan. Sebenarnya dia ini di anggap sebagai kekasih oleh Sheina atau tidak sih? ** “Kamu serius kan Bang sama Sheina?” Raka menatap sang ibu dengan penuh kerutan di dahinya. Sudah sering sekali sang ibu mengatakan apakah dia serius atau tidak dengan Sheina yang merupakan kekasih Raka selama dua tahun ini. Kalau di tanya seperti itu. Tentu saja Raka serius, dia sudah dewasa dan bukan lagi remaja yang hanya berpacaran putus nyambung. Raka juga sudah memikirkan masa depannya, bukan hanya urusan pekerjaan tetapi juga dengan pendamping hidupnya. Dan sekarang Sheina yang cukup lama menjalin hubungan dengannya, mereka hanya tinggal merencanakan untuk hubungan yang lebih serius. “Mami udah tanya Abang sering banget, ya serius lah Mi. Kalau nggak serius ngapain juga Abang pacaran sama Sheina sampe dua tahun.” “Kamu pacaran atau nyicil mobil sih, lama banget perasaan.” “Mi, Abang masih kuliah. Ini tingkat terakhir, ya fokusnya satu-satu dong, Mi. Sheina juga sama lagi sibuk sama skripsinya. Bentar lagi kita berdua sidang akhir.” “Iya, Mami tahu. Mami cuma memastikan aja kalau anak sulung Mami ini bakalan nikah. Teman-teman Mami ada yang udah punya cucu, kan Mami juga kepengen.” “Abang cicil dulu cucunya gimana?” “Abang!” pekik Dita. “Kamu kalau ngomong ya, atau jangan-jangan selama ini kamu udah sentuh Sheina?” Raka terkekeh, lagi pula dia hanya bercanda. “Nggak, Mi. Abang pacaran sehat kok, gak macam-macam.” “Awas aja kalau macam-macam!” “Iya, Mi. Pokoknya Mami jangan khawatir, Abang sama Sheina serius banget dan kita lagi fokus dulu satu-satu. Kita pasti nikah Mi.” “Bagus lah. Mami nggak mau Abang gantungin anak gadis orang apalagi sampe nyakitin perasaan perempuan.” Tapi Raka dulu udah nyakitin Anjani, Mi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN