Hamil

1252 Kata
Berharap itu boleh tetapi jangan sampai berlebihan. Pasrahkan saja semuanya pada Gusti Allah, sebab jika semua harapan kita pasrahkan pada Gusti Allah maka apa yang kita tuai insya Allah jauh dari kata kecewa. Namun, jika kita berharap pada manusia maka pasti dekat dengan kekecewaan. Merasa ada yang aneh pada majikannya, Mbok berinisiatif untuk membeli sesuatu. Membeli alat yang akan merubah kehidupan keluarga kecil Ai, alat yang pastinya akan memberikan kebahagiaan pada pasangan suami istri yang masih sangat hangat itu. Mbok bergegas menyelesaikan tugas di pasar, membeli beberapa bahan makanan untuk stok beberapa hari ke depan karena memang kedua majikannya itu belum sempat untuk berbelanja ke supermarket terdekat. Menghitung belanjaan dan yakin semua sudah terbeli, Mbok keluar dari pasar dan kakinya menuju salah satu apotik terdekat untuk membeli alat tes kehamilan. Hatinya merasa sangat yakin bahwa Ai benar-benar kembali diberikan kepercayaan untuk hamil. Setelah mendapatkan apa yang dituju, Mbok bergegas kembali pulang. Sesampainya di pos depan depan komplek, tak lupa ia membelikan rujak buah sesuai dengan permintaan Ai. Semua sudah berada di tangan, dengan tergesa-gesa Mbok berjalan menuju rumah, ia tak sabar lagi untuk memberikan apa yang sudah dibeli pada Ai. Masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju dapur terlebih dahulu, menyimpan semua bahan makanan yang sudah dibeli. Lalu melangkah menuju ruang keluarga membawakan rujak buah serta alat tes kehamilan. "Nyonya," panggil Mbok. Ai masih fokus pada siaran tv yang ditayangkan itu. "Nyonya!" "Ya Allah, Mbok! Kenapa, sih? Kok ngagetin! Bikin Ai jantungan aja!" "Jangan keseringan melamun! Gak baik!" tegurnya. "Gak melamun, Mbok! Lagi fokus aja," elaknya. "Hm … ini rujak buahnya." Mbok menyodorkan satu kantong plastik berisi buah-buah segar itu. "Wah … ini pasti sangat segar, Mbok!" Ai bergegas membuka bungkusan tersebut, saat akan memakannya Mbok kembali mengulurkan tangannya. "Apa ini, Mbok?" "Buka saja, Nyonya." "Tespek?" Mbok mengangguk, Ai memandang tespek yang berada di tangannya. Tubuhnya mendadak menegang dan kaku. Ia bingung harus melakukan apa. Ini sebenarnya, bukan pertama kali Mbok memberikan tespek karena saat pernikahan sebelumnya yang pernah gagal sudah sering memberikan tespek. Tapi kali ini, sungguh membuat Ai terkejut dan berpikir apa mungkin secepat ini? Ai menatap lekat bungkusan tersebut lalu beralih memandang Mbok. Ia kembali memandang bungkusan dan Mbok secara bergantian. Mbok hanya tersenyum saat melihat tingkah lucu majikannya itu. "Mbok," lirihnya. "Coba, Nyonya. Siapa tahu rezeki." "Ta-tapi, Mbok--" "Nyonya, yang penting sudah mencoba jadi tidak penasaran." "Apa mungkin secepat ini, Mbok?" "Mungkin saja, Nyonya. Tidak ada yang tidak mungkin jika ini sudah kehendak dari Gusti Allah. Coba ya," ucapnya lembut. "Dicoba ya, siapa tahu sudah dikasih rezeki sama Gusti Allah," bujuknya lagi. "Hm … baik, Mbok. Ai akan coba dulu ya, kayaknya memang sudah telat datang bulan juga, nih. Tapi Ai gak merasa. Mudah-mudahan memang sudah rezekinya, kalau belum ya coba lagi, deh. Iya 'kan, Mbok? Hehe." "Betul, Nyonya. Bismillah dulu ya." "Siap, Mbok. Mbok tunggu Ai disini ya." Mbok mengangguk, Ai bergegas menuju kamar mandi. Merasa tak sabar dengan hasilnya, Mbok mengejar Ai dan menunggunya di depan kamar mandi sambil mondar-mandir. Hatinya gelisah tapi keyakinannya begitu sangat kuat, ternyata di dalam kamar mandi Ai juga menunggu dengan harap-harap cemas. Dua menit berlalu, pergerakan garis merah mulai naik, Ai memperhatikan secara seksama. Detak jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Pengalaman di masa lalu dan kehilangan seorang anak cukup membuatnya trauma. Ia bergegas menghalau pikiran buruk itu, matanya melebar saat melihat garis merah dua sudah terlihat. Ia memejamkan matanya lalu tiada henti mengucap syukur, tanpa terasa air matanya menetes. Air mata kebahagiaan, bahagia yang benar-benar sangat di nantikan olehnya beberapa tahun yang lalu. Alhamdulillah, Ya Allah … Engkau kembali memberikan aku kepercayaan luar biasa ini. Semoga aku dan suami bisa menjaga amanah luar biasamu ini, gumamnya. Tiba-tiba sekelebat bayangan masa lalu hadir kembali seperti kaset kusut yang terus-menerus berputar di dalam kepala indahnya itu. Ia harus berkali-kali kehilangan seorang anak karena ulah orang lain. Hatinya merasa sesak, berusaha semaksimal mungkin untuk menghalau tapi tak bisa. Air matanya justru jatuh lebih deras membasahi pipi. Ia tergugu sendiri di dalam kamar mandi, menyesali keadaan di masa lalu. Ia mencoba menenangkan diri, menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia mengusap air mata yang sudah membasahi pipi. Alhamdulillah … Alhamdulillah … Alhamdulillah … terima kasih, Ya Allah. Terima kasih sudah mendengar doaku dan suami. Sungguh, ini adalah kejutan yang sangat luar biasa, ucapnya lagi. Tespek tersebut digenggam olehnya dan dikecup lembut. Lalu menarik nafas panjang dan membuka pintu kamar mandi. Ai terkejut karena ternyata Mbok sudah menunggunya dengan wajah yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. "Astaghfirullah, Mbok! Kenapa disini? Ai 'kan minta Mbok duduk manis di sofa," sungutnya. "Maaf, Nyonya. Mbok gak sabar nunggu hasilnya, jadi Mbok samperin kesini. Lagian, Nyonya lama banget di dalam." "Maaf, Mbok," jawabnya sambil tersenyum hangat. Tangannya terulur dan memberikan hasilnya pada Mbok. Mata Mbok melebat, menatap binar tespek garis dua itu, pandangannya beralih pada Ai dan mengusap kedua tangannya ke wajah. "Alhamdulillah … Alhamdulillah … Alhamdulillah. Selamat, Nyonya! Akhirnya Gusti Allah menitipkan kembali amanah luar biasa dalam jangka waktu yang cepat." Mereka berpelukan, Ai menumpahkan segala rasanya saat ini pada Mbok. Mbok adalah saksi hidupnya. Saksi hidup dimana perjalanan masa lalu yang tak mudah. Mbok selalu ada disampingnya, menguatkan dan membuatnya lebih sabar lagi. "Alhamdulillah, Mbok. Ai bahagia sekali." Suaranya serak menahan tangis namun penuh dengan kebahagiaan. "Menangislah, Nyonya, jika dengan menangis akan membuat tenang dan semakin bahagia." "Hu hu hu, Ai bahagia banget, Mbok. Sungguh sangat bahagia, makasih ya, Mbok. Makasih karena selalu ada buat Ai, selalu jaga Ai sampai kapanpun ya, Mbok. Ai takut, Mbok. Takut jika keadaan di masa lalu terulang lagi, hu hu hu." Mbok melepas pelukannya, menangkupkan kedua tangannya pada wajah ayu itu lalu tersenyum. "Tenang ya, Nyonya. Itu semua hanya masa lalu, masa lalu yang seharusnya dikubur dan jangan diingat lagi. Tuan Angga akan selalu menjaga Nyonya dan tak akan pernah meninggalkan Nyonya. Mbok dan Nona kembar juga akan ikut menjaga Nyonya." "Makasih ya, Mbok, hu hu hu. Makasih banyak." Ai kembali memeluk Mbok. "Segera hubungi Tuan Angga dan Nona kembar, Nyonya. Ini adalah berita yang sangat baik," usulnya. Ai mengangguk cepat dan semangat. Ai berlari kecil meninggalkan Mbok. "Hati-hati, Nyonya! Jangan lari!" ucapnya mengingatkan. Ai mendadak berhenti menoleh pada Mbok, tersenyum manis dan melanjutkan langkahnya dengan perlahan. Ia masuk ke dalam kamar dan langsung mengambil benda pipih yang bertengger di atas nakas, lalu segera menghubungi suaminya. Sekali tidak diangkat, kedua kali pun tidak diangkat. Ai mengerutkan keningnya dan langsung melihat jam dinding ternyata pukul sepuluh siang, pantas saja tidak diangkat. Suaminya itu pasti sedang keliling dan memberitahu pasien bahwa sudah tukar visit. Tak ingin mengganggu, ia memilih untuk mengirim pesan saja. 'Sayang, segera pulang, ya! Aku menunggumu.' Setelah mengirim pesan, ia langsung menelpon kedua sahabatnya. Sahabat yang sudah dianggap kakak sendiri. Sahabat yang tahu betul perjuangan Ai di masa lalu. Sahabat yang selalu ada untuknya dalam keadaan apapun, baik itu terpuruk atau bahagia. "Assalamualaikum, Kak." "Waalaikumsalam, Ai. Ada apa, Sayang?" tanya Kak Mimi-Rahmi- "Kak Mimi dan Kak Mama ada dimana?" "Lagi dijalan ini, kenapa? Ada apa? Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanyanya memberondong. Ai menahan tawanya, ia tahu betul kedua kakaknya itu pasti sangat mengkhawatirkannya. "Lagi kerja?" "Gak, free. Habis menangani kasus, kamu kenapa? Jawab napa!" "Kesini ya, Kak?" "Ada apaan, sih?" "Pokoknya kesini! Ditunggu!" Ai langsung mengakhiri pembicaraan mereka, di tempat yang berbeda Rahma dan Rahmi kesal dengan tingkah adik mereka itu. Kebiasaan sekali, hobi banget bikin khawatir, begitu gerutu keduanya. Ai terkekeh dan tertawa geli mengingat kedua kakaknya itu pasti akan meninggalkan pekerjaan apabila ia meminta mereka datang. Ai tak sabar lagi menunggu kedatangan orang-orang yang sangat disayangi olehnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN