"Hah?!" Tak hanya Nathan yang kaget, Laura pun ikut kaget.
"Bos maksudnya pemilik toko roti ini?" tanya Nathan dengan mata yang masih melotot.
"Iya, Pak. Kak Olivia sudah resmi menikah dengan Pak Damian Addison kemarin."
"Damian Addison?" gumam Nathan, ia merasa familiar dengan nama itu. Dahinya mengernyit, bola matanya bergerak pelan berusaha mengingat. "Damian Addison itu anak dari owner Addison Group 'kan?"
"Iya, betul sekali Pak."
"Bagaimana bisa? bagaimana bisa wanita tak berguna itu menikahi pria kaya raya? Bagaimana bisa dia menerima wanita itu begitu saja tanpa mencari tahu latar belakang kehidupannya?" suaranya meninggi, rahangnya mengeras seolah tak terima namun itu malah membuat semua karyawan toko roti itu menatapnya aneh dengan sikapnya yang kasar dan sembrono.
Nama Olivia terlalu lekat dalam ingatannya sebagai seseorang yang selama ini ia hina, rendahkan, dan anggap sebagai beban. Dan kini perempuan yang ia anggap remeh itu justru menjadi bagian dari keluarga Addison, salah satu keluarga konglomerat yang berpengaruh di Indonesia.
"Maaf, Pak. Kalau bapak tidak ingin beli apapun di sini. Sebaiknya bapak pergi. Jangan buat keributan di sini." Seorang perempuan berpakaian rapi datang menghampiri.
Nathan melirik perempuan itu tajam. "Kamu siapa berani-beraninya ngusir saya? Saya pelanggan loh di sini." Nathan masih mempertahankan egonya. Ada rasa tak terima dan ego terluka yang mendidih dalam dirinya.
"Saya Nina, manajer yang bertanggungjawab di sini," jawabnya sopan seraya menunjuk ke nametag yang berada di bajunya.
"Mas, udah. Kita pergi aja yuk dari sini," bisik Laura seraya mengusap lengan Nathan, menenangkannya. Dia mulai takut ketika melihat seorang karyawan mengangkat ponselnya seakan hendak merekam. Dia takut wajahnya terpampang nyata di sosial media hingga mendatangkan hujatan kepadanya.
Dada Nathan kembang kempis, ia sempat menatap tajam ke semua orang di sana sebelum meninggalkan toko.
***
Sementara itu Damian telah sampai di restoran. Dia melangkah cepat menaiki anak tangga di depan, langkahnya panjang dan proporsional bak seorang model.
Semua karyawan menyapanya begitu ia masuk dan seperti biasa ia hanya menanggapinya dengan anggukan kecil atau senyum tipis.
"Bang Dami!" Langkahnya terhenti saat mendengar suara yang familiar. Ia sontak menoleh, mencari sumber suara dan tatapannya berhenti pada adiknya yang tengah duduk di salah satu meja sambil melambaikan tangannya.
Ia menghela napasnya namun kakinya tetap bergerak menghampiri meja tersebut.
"Bukankah aku sudah bilang jangan panggil aku dengan sebutan itu kalau sedang di luar. Malu-maluin aja," ucap Damian acuh seraya melipat tangannya di depan d**a.
Bukannya takut, Arjuna justru terkekeh. "Memangnya kenapa sih Bang? Padahal panggilan itu lucu, lebih simple juga."
Damian menghela napas, menatap jengah adik tirinya. "Kamu ngapain sih di sini? kamu nggak kerja?" Damian mengubah topik pembicaraan. Ia menelisik penampilan Arjuna yang sudah berpakaian rapi seperti biasa, kemeja garis-garis, celana bahan pria berwarna putih dan jas dokternya tersampir di kursi.
Arjuna mengangkat kacamata besi frame kotak yang ia pakai, membenarkan posisi kacamatanya. "Aku lagi sarapan di sini," jawabnya seraya tersenyum ramah.
"Biasanya juga sarapan di rumah atau di rumah sakit." Damian masih meladeni Arjuna walaupun sebenarnya dia malas.
"Iya. Tapi, hari ini pengen sarapan di sini. Kamu sibuk nggak, Bang? temani aku makan dong."
Damian menatapnya sinis. "Makan aja sendiri, aku sibuk," jawab Damian ketus lalu meninggalkan mejanya. Arjuna menatap sendu ke arah punggung abangnya kemudian menghela napas sebelum melanjutkan makan. Abangnya selalu bersikap ketus dan cuek selama ini. Tidak pernah sekali pun, ia melihat Damian tersenyum tulus padanya.
Namun tiba-tiba ... Prangg!
kepalanya kembali terangkat ketika mendengar suara kaca pecah dan ia melihat Damian sedang berlutut, menahan tangan seorang nenek-nenek yang hendak membersihkan serpihan kaca yang berserakan di lantai.
"Tidak apa-apa Bu, biar karyawan saya saja yang bersihkan."
Tangan gemetar nenek itu terangkat. "Maaf saya nggak sengaja."
"Tidak apa-apa Bu. Hati-hati, jangan sampai kena serpihan kaca," jawab Damian lembut.
Arjuna sontak menyunggingkan senyum tipis ketika melihat sisi abangnya yang lembut, yang jarang dia tunjukkan di depan umum.
Beberapa saat kemudian, seorang karyawan datang sambil membawa perlengkapan bersih-bersih.
"Tolong kamu bersihkan semuanya, jangan sampai ada yang tertinggal." Damian memberi perintah pada karyawannya itu dengan tegas.
"Baik Pak."
Damian merapikan jasnya, ekspresinya kembali dingin sebelum dia pergi dari sana.
Setelah menghabiskan makanannya, Arjuna langsung bertolak menuju rumah sakit, tempatnya bekerja. Rumah sakit permata hati.
Begitu memasuki area rumah sakit seperti biasa dipenuhi kesibukan. Suara langkah kaki terburu-buru, aroma khas antiseptik dan obat-obatan menguar memenuhi udara. Beberapa perawat dan dokter yang kebetulan berpapasan dengannya menyapanya dengan ramah. Arjuna membalasnya tak kalah ramah seperti biasa hingga ia dikenal sebagai dokter tampan kesayangan semua orang di kalangan rekan kerjanya maupun pasien.
"Selamat pagi Dokter Arjuna!"
"Selamat pagi!" balasnya dengan senyum tulus dan ramah, sesuatu yang membuat banyak orang betah berada di sekitarnya.
Sampai akhirnya tiba di ruangannya. Terdapat papan nama akrilik di atas meja yang bertuliskan dr. Arjuna Wijaya. Di usianya yang baru memasuki 26 tahun, dia sudah berhasil menjadi dokter umum di sebuah rumah sakit swasta terkenal di Jakarta, yang juga menjadikannya sebagai salah satu dokter termuda di Indonesia.
Tok tok tok!
Baru saja mendudukan dirinya di kursi, pintu ruangannya diketuk dan muncul seorang perawat dengan langkah tergesa-gesa.
"Pagi Dok!" Sapa perawat cantik bermata sipit dan tajam seperti rubah itu sambil membungkuk sopan.
"Pagi sus Ara!"
"Ada beberapa pasien yang sudah menunggu di depan, Dok."
"Ada berapa orang?"
"5 orang, Dok."
Arjuna memeriksa jam di pergelangan tangannya sejenak sebelum kembali bicara. "Ok, suruh masuk."
"Baik, Dok."
Arjuna kemudian berdiri ketika seorang pasien pria paruh baya memasuki ruangannya. Pria itu terlihat lemah, wajahnya pucat dan napasnya terengah-engah.
"Sus Ara tolong cek tekanan darahnya dulu," pinta Arjuna yang tengah mempersiapkan barang-barangnya.
"Baik Dok."
Arjuna mengambil stetoskop dan senter kecil.
"Tekanan darahnya tidak normal Dok," ujar Ara. Arjuna menghampiri dan mengecek ke alat ukur yang menunjukkan angka tidak normal.
"Ok. Cabut dulu alatnya." Ara menuruti perintah Arjuna dan dengan cepat melepas manset tensi yang melilit lengan atas pasien dan membiarkan Arjuna yang mengambil alih selanjutnya.
"Selamat pagi Pak, apa saja keluhannya?" tutur Arjuna dengan suara lembut, tak lupa menyunggingkan senyum ramah.
"Pagi Dok. Saya udah 3 hari ini sering sakit kepala, jantung berdebar dan suka sesak napas. Saya pikir karena asam lambung saya naik karena saya juga punya riwayat GERD tapi setelah saya minum obat sakit lambung, sakitnya nggak hilang juga."
Arjuna menganggukan kepalanya. "Baik. Lain kali jangan sembarangan minum obat ya Pak, sebelum diketahui pasti penyebab sakitnya. Sekarang saya periksa sebentar ya." Arjuna memeriksa denyut jantung pasien menggunakan stetoskop dan juga mata pasien, menyinarinya dengan senter kecil agar pemeriksaan berjalan dengan baik.
Setelah pemeriksaan, pasien duduk di hadapan Arjuna mendengar penjelasan dari Arjuna dan menerima resep obat yang harus ditebus.
Beberapa jam kemudian, pasien kelima telah keluar dan jam telah menunjukkan pukul 1 siang.
Kinara atau biasa dipanggil Ara menutup pintu setelah pasien kelima keluar. "Itu pasien terakhir hari ini, Dok."
"Ok. Kerja bagus!" Arjuna tak pernah lupa untuk memberikan apresiasi sekecil apapun kepada dirinya sendiri maupun rekan kerjanya.
Ara menyunggingkan senyum kecil sekilas namun setelah itu raut wajahnya berubah seketika menjadi khawatir. "Apa Dokter Arjuna butuh sesuatu? Dokter kelihatan lelah."
Arjuna mengusap tengkuknya. "Saya cuma haus."
"Mau saya buatkan kopi, Dok?" tawar Ara.
Arjuna menoleh dan tersenyum lembut. "Kalau kamu yang buatin saya kopi, saya bisa dipecat," jawab Arjuna dengan nada bercanda.
Ara terkekeh. Perkataan Arjuna tidak sepenuhnya salah, mengingat orangtua Ara adalah pemilik rumah sakit swasta itu.
"Tapi, saya serius Dok. Saya tidak akan mengadu ke orangtua saya," ujar Ara seraya merapatkan bibirnya dengan tangannya, memberikan gesture seolah mengunci mulutnya kemudian tersenyum.
Arjuna menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, terima kasih. Kebetulan saya mau ke dapur staff, saya buat sendiri saja."
Ara mengangguk paham. "Baiklah. Kalau begitu saya permisi, Dok"
Arjuna mengangguk seraya menyunggingkan senyum kecil yang tampak begitu tulus. "Terima kasih ya sus Ara."
"Sama-sama Dokter Arjuna."