Curiga

1191 Kata
Bagian 2 Perutku tiba-tiba terasa tidak enak. Aku juga merasa mual dari semalam. Ada apa ya? Apa aku masuk angin? Aku segera berlari ke wastafel, ingin memuntahkan seluruh isi perutku. "Ada apa, Nak? Kamu sakit?" tanya Ibu mertua sambil mengelus-elus pundakku dari belakang. "Wajahmu pucat, Nak. Kita ke dokter, yuk, biar Ibu temenin." "Enggak usah, Bu. Zahra enggak kenapa-kenapa. Paling cuma masuk angin. Nanti kalau udah istirahat juga baikan." Selang beberapa menit, kurasakan lagi perutku bergejolak, ingin muntah tetapi tidak jadi. "Tuh, kan? Ibu bilang juga apa? Pasti kamu sakit. Atau jangan-jangan, kamu hamil? Bukankah bulan ini kamu belum periksa? Ayo lah Ibu temenin ke dokter." Ya, bulan ini aku memang belum ke dokter. Bukan cuma bulan ini, bulan lalu juga iya. Aku capek harus bolak balik memeriksakan diri ke dokter. Jawabannya pasti akan sama dan aku tidak mau kecewa lagi. "Mudah-mudahan saja kamu hamil, ya, Nak. Ibu sudah tidak sabar mau gendong cucu." Kata-kata itu yang selalu keluar dari mulut Ibu. Beliau berharap sekali padaku. Namun sayangnya aku belum bisa mengabulkan keinginannya tersebut. "Zahra, buruan sana siap-siap. Habis sarapan, kita langsung ke dokter, ya!" Untung tadi aku sempat memasak sarapan, jadi habis siap-siap bisa langsung sarapan. Aku pun menuruti ajakan ibu mertua. Segera mengganti pakaian, kemudian menemaninya sarapan di ruang makan. *** "Bagaimana, Dok? Apa menantu saya beneran sedang hamil?" tanya ibu mertua kepada dokter Aidil. Dokter Aidil adalah dokter langganan keluargaku. "Setelah melakukan pemeriksaan tes urine, serta pemeriksaan USG, menantu anda memang positif hamil, Bu," jelas dokter Aidil. "Apa? Dokter serius? Enggak bercanda, kan?" tanyaku tidak percaya. Pasalnya, tadi dokter tidak berkata apa-apa saat melakukan pemeriksaan USG terhadapku. "Saya serius. Ibu Zahra saat ini sedang mengandung dan usia kandungannya sudah memasuki delapan Minggu. Ini kantung janinnya dan sudah terlihat dengan jelas," ucap dokter Aidil sambil memperlihatkan foto hasil USG tersebut kepadaku dan Ibu. Masya Allah, betapa besar kuasamu ya Allah. Akhirnya engkau mengabulkan doa-doaku. "Zahra, alhamdulillah Allah telah mengabulkan doa-doa kita." Ibu mertua menangis bahagia sambil mendekapku ke dalam pelukannya. "Alhamdulillah, Bu. Ini semua berkat doa Ibu." "Justru Ibu yang harusnya berterima kasih padamu, Nak, karena kamu akan memberi cucu untuk Ibu." Saking bahagianya, kami tidak sadar kalau kami sedang berada di ruangan dokter. "Bu Zahra, kandungannya dijaga baik-baik ya. Ini resep obat dan vitamin yang harus ditebus. Ibu juga harus sering-sering browsing untuk mencari tahu makanan apa yang baik untuk ibu hamil dan makanan apa yang tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil." "Baik, Dok. Kalau begitu kami permisi dulu, ya." Aku dan Ibu pun meninggalkan ruangan dokter Aidil dengan perasaan bahagia. Saat menuju parkiran, Ibu terus saja menggenggam tanganku. Wajahnya senantiasa dihiasi oleh senyuman. Menggambarkan betapa bahagianya beliau saat ini. Bukan hanya Ibu, tetapi aku juga. Aku bahagia sekali dan rasa bahagia ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Zahra, kamu harus memberitahu kabar bahagia ini kepada Fahri. Pasti Fahri akan senang mendengarnya." "Baik, Bu, aku akan menelpon Mas Fahri." Aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menekan nomor Mas Fahri. Tetapi Mas Fahri tidak kunjung mengangkat teleponku. Ada apa ini? Dari semalam Mas Fahri tidak mau mengangkat teleponku. Ada apa denganmu, Mas? "Enggak diangkat, Bu." "Mungkin saja Fahri sedang sibuk. Biarkan saja. Tunggu sampai Fahri pulang, setelah itu baru kamu kasih kejutan untuknya. Ibu tidak bisa membayangkan betapa bahagianya Fahri saat mendengar kabar bahagia ini." "Iya, Bu. Aku akan menunggu sampai Mas Fahri pulang." "Nah, gitu, dong! Jangan sedih gitu. Bumil enggak boleh sedih, loh, nanti si Dedek ikutan sedih di dalam sana," canda Ibu sambil mengelus perutku yang masih rata. "Sehat-sehat di sana ya, Sayang. Jangan nakal ya!" Ibu mertua berjongkok sambil mengusap perutku. Hari ini aku benar-benar melihat kebahagiaan di wajah Ibu. Senyum yang sudah lama tidak kulihat itu, kini telah kembali. "Zahra, kamu antar Ibu ke rumah temen Ibu dulu, ya. Hari ini Ibu ada pengajian." "Baik, Bu, mari." Aku segera menghidupkan mesin mobil, lalu mengendarainya dengan kecepatan sedang. Setelah mengantar Ibu ke rumah temannya, aku pun memutuskan untuk pulang. Pesan dokter, aku harus banyak istirahat karena kehamilanku masih rentan. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan jika aku terlalu banyak beraktivitas. Saat dalam perjalanan pulang, tiba-tiba aku pingin makan sosis bakar. Entah kenapa aku ingin sekali makanan itu. Padahal selama ini aku tidak menyukainya. Apa mungkin aku lagi ngidam, ya? Aku geleng-geleng kepala menyadari tingkahku yang menginginkan makanan anak kecil. Kebetulan di pinggir jalan ada penjual sosis bakar, aku pun segera menepikan mobil, lalu memesan sosis serta bakso bakar. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pesananku jadi juga. "Ini pesanannya, Nona," ucap sang penjual sosis sambil menyerahkan pesananku. Saat hendak membayarnya, tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah mobil yang sedang melaju tepat di hadapanku. Mobil itu mirip sekali dengan mobil Mas Fahri. Seorang wanita yang wajahnya tidak terlihat begitu jelas, duduk di jok depan, di samping Mas Fahri. Tapi siapa wanita itu? Tunggu dulu, Mas Fahri kan sedang keluar kota. Kenapa tiba-tiba ada di sini? Aku yakin sekali kalau aku tidak salah lihat. Itu mobil Mas Fahri. Warna dan plat nomornya sama. "Non, Nona kenapa? Ini pesanannya." Ucapan penjual sosis tersebut berhasil membuyarkan lamunanku. Segera kuambil pesananku, memberikan uang berwarna merah padanya dan segera menuju mobil. "Nona, ini kembaliannya," teriak sang penjual sosis. "Ambil saja, Mas." Aku segera melajukan mobil untuk mengejar mobil Mas Fahri tersebut. Namun sayang, aku kehilangan jejaknya. Ya Allah, ada apa ini? Kenapa Mas Fahri tidak memberitahuku kalau ia sudah pulang? Apa mungkin Mas Fahri menyembunyikan sesuatu dariku? Segera kuraih ponsel yang berada di dalam tas, mencoba menghubunginya. Namun Mas Fahri tidak menjawab teleponku. Aku hanya bisa beristighfar untuk menenangkan diriku sendiri. Setelah merasa tenang, aku pun segera pulang. *** "Bu, apa Ibu bisa menghubungi ponsel Mas Fahri? Mas Fahri tidak mau ngangkat teleponku, Bu." Aku mengadukan keluh kesahku kepada Ibu. "Coba ambil hp Ibu di kamar, biar Ibu coba nelpon Fahri." "Baik, Bu!" Setelah mengambil ponselnya, aku pun menyerahkannya kepada Ibu. "Halo, assalamualaikum." Terdengar suara Mas Fahri di seberang telepon. Aneh, saat aku yang menelpon Mas Fahri, ia tidak mau mengangkat teleponku. Namun saat Ibu yang menelponnya, langsung diangkat. "Waalaikumsalam, Nak. Gimana kabarmu? Kenapa kamu tidak mau ngangkat telepon dari Zahra? Ada apa?" Ibu mertua mencecar Mas Fahri dengan berbagai pertanyaan. "Maaf, Bu, bukannya gak mau, hanya saja, Fahri sedang sibuk Bu, maaf." "Sesibuk apa, sih, sehingga mengangkat telepon saja tidak sempat?" "Ini loh, Bu, kerjaan Fahri banyak sekali. Insyaallah besok Fahri akan pulang, makanya kerjaannya diburu biar cepat selesai." "Oh, gitu, ya! Yasudah, lanjutkan saja pekerjaanmu. Ingat, tetap jaga kesehatan ya!" "Mas, kopinya udah jadi, nih, mau di taruh di mana?" Aku dan Ibu saling pandang saat mendengar suara seorang wanita di seberang telepon. "Fahri, suara siapa itu? Apa kamu sedang bersama seseorang di sana?" tanya Ibu. "Oh, itu, suara istri tetangga, Bu. Udah dulu, ya, assalamualaikum." Sambungan telepon pun terputus secara sepihak. Suara wanita di telepon tadi terdengar sangat jelas, aku tidak yakin itu suara istri tetangganya. Lagian setahuku Mas Fahri menginap di hotel, bukan di rumah kontrakan. Semalam Bella mengatakan kalau ia melihat Mas Fahri sedang dinner di restoran bersama seorang wanita. Sekarang terdengar suara seorang wanita dan suaranya terdengar begitu jelas. Kenapa aku merasa ada yang tidak beres, ya? Sepertinya Mas Fahri sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN