six

906 Kata
Aku bersyukur karena Ujian Nasional Al sudah selesai. Ia bisa menyelesaikan Ujian Nasionalnya dengan baik, katanya sih. Aku hanya bisa mendukung dan mendoakannya dari rumah. Semakin dekat juga untuk melepasnya untuk melanjutkan kuliah yang ia inginkan meskipun sampai sekarang anak nakal itu belum juga mengatakannya padaku kalau ia memilih beberapa universitas yang jauh disana. Entah kenapa Al sampai sekarang belum memberitahuku, apa ia takut jika ibunya tidak mempunya uang dan tidak mendukungnya? Harusnya ia tau, ibunya ini akan melakukan appaun untuk masa depannya. Aku sedang berjalan menuju kantor Reeve, aku akan mengembalikan uang yang ia berikan padaku diawal. Semua uang yang diberikan terlalu banyak, aku tidak akan mengambil hak yang bukan untukku. Aku menunggu hingga resepsionist membiarkanku naik keruangan Reeve. Aku mengetuk pintu ruangan Reeve dan masuk. Melihatnya sedang duduk melihat beberapa lembar kertas dihadapannya membuatku sedikit terpesona. Hanya sedikit. "Siang, Pak." Sapaku. "Siang, silahkan duduk." Ucapnya membiarkanku duduk di sofa dekat meja kerjanya. "Saya kira kamu nggak akan kesini karena Gritany sudah menyelesaikan ujiannya." Aku tersenyum, "Memang, saya kesini untuk ini." Aku menyerahkan amplop yang sama kepadanya, "Uang yang bapak kasih terlalu banyak jadi saya kesini untuk mengembalikannya." Reeve tersenyum, "Kamu bisa ambil aja. Anggep saja bonus kamu karena bisa mengajarkan anak nakal itu." Aku menggelengkan kepalanya, "Sudah kewajiban saya pak. Seneng juga bisa ngajar Gritany. Bukannya ia akan melanjutkan kuliahnya?" Reeve mengangguk, "Sudah saya daftarkan." "Senang mendengarnya." Aku sudah ingin berdiri, ketika Reeve menyentuh lenganku menahanku untuk pergi, "Uangnya kamu bisa ambil." Aku menggeleng, "Nggak. Urusan dan hak saya, sudah saya selesaikan. Saya akan mengembalikan yang bukan hak saya." Ketika itu pintu terbuka, Gritany datang dengan seseorang laki-laki di sampingnya. Aku dan Reeve langsung melihat kearah mereka berdua. "Om? Miss?" panggil Gritany. "Kalian?" Aku seketika melihat kearah lenganku yang masih dipegang oleh Reeve dan segera melepasnya. "Ini siapa?" ucap Reeve sebelum aku bisa menjawab pertanyaan Gritany. "Ini Zelvin. Tadi aku digangguin sama Raymon dan Zelvin yang bantuin." Ucap Gritany. Aku memandang Al dengan penuh tanya, ia juga melihatku dengan penuh tanya. "Kamu pacarnya?" tanya Reeve pada Al. Al menggeleng, "Bukan." "Lalu?" "Kan aku udah bilang om. Zelvin bantuin aku." "Kamu nggak boleh bergaul dengan sembarangan laki-laki, Gritany!" Aku membulatkan mata, ketika aku ingin bicara membalas ucapan Reeve. "Saya permisi." Ucap Al lalu pergi dari gedung ini. Aku membasahi bibirku menahan kesal, bisa-bisanya anakku yang tampan itu dibilang sembarangan laki-laki? Dan kenapa juga Gritany bisa mengenal Al? "Om keterlaluan! Zelvin nggak salah dan om ngomong kaya gitu!" "Gritany! Jangan membentak." "Saya permisi." Ucapku. Aku langsung pergi mengejar Al. Aku yakin anak itu menungguku di Lobby. Benar, ketika aku sampai di Lobby aku melihat Al sedang berdiri dengan tangan yang ia masukan ke dalam saku. Sok keren! "Kamu kenal Gritany? Pacaran?" "Mama kenal Gritany?" tanya Al membalikan ucapanku. "Dia murid mama yang sering mama ceritakan." Al mengangguk, "Om nya?" "Mama nggak kenal." "Sampe pegangan gitu kalau nggak kenal?" Aku melihat kearahnya, "Maksudnya?" Al mengangkat bahu cuek, "Mana dia?" Aku mengerjapkan mata, "maksudnya?" "Kata mama, mama ketemu dia di kantor yang sama." "Ke laut." "Kantornya di laut?" "Mau ikut pulang nggak?" Al merangkul bahuku lalu berjalan sejajar, "Nanti kalau tengelem nangis lagi." Ucapnya di telingaku. Aku menyikut perutnya pelan, membuatnya meringis bohongan. Dasar anak nakal. "Mama nggak suka kamu dikatain orang lain." Ucapku ketika berada di dalam mobil. "Aku juga nggak suka mama dikatain orang lain." "Ih, mama serius. Kenapa kamu nggak bela diri?" "Nggak penting, dia bukan siapa-siapa. Aku nggak perlu membenarkan penilaiannya." Aku memutarkan mataku, bagaimana bisa anak ini sangat simple dan tidak peduli? Ketika aku sudah teriris mendengar ucapan Reeve yang menyebutnya anak sembarangan? ބ Jam sudah menunjukan pukul dua malam. Aku masih belum bisa tidur, entah apa yang sedang aku pikirkan. Aku sudah berkali-kali membalikan tubuh kesana kemari untuk mencari posisi yang enak. Tetapi sama saja, tidak ada hasil. Aku masih tidak bisa tidur. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar, menuju kamar Al. Aku mencoba membuka kamarnya dan berhasil. Anak itu tidak mengunci kamarnya. Aku masuk ke dalam, kamar ini sudah berganti lampu tidur. Anak itu sudah tertidur pulas. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya memperhatikan wajah anakku. Sudah 17 tahun berlalu, anakku bertumbuh dengan baik. Wajah tirus, hidung mancung, bibir tipis yang selalu berkata sinis, alis tebal dan rambutnya yang selalu berantakan membuatnya terlihat tampan. Aku duduk di lantai, memperhatikan wajah tidur Al yang damai. Wajahnya tidak menunjukan kekhawatiran. Wajahnya tenang dan datar, membuatku semakin sulit menebak sebenarnya apa yang ia pikirkan. Pernahkah ia kecewa dengan hidupnya? Seberapa banyak aku melukai dan merusak masa kecilnya karena aku membesarkannya tanpa seorang ayah? Rindukah dia dengan sosok ayah yang selama ini tidak ada di sampingnya? Aku mengusap air mataku yang turun begitu saja, kesalahanku membuat Al tidak dapat merasakan kasih sayang seorang ayah. Aku sering berpikir, cukupkah kasih sayang yang aku berikan untuknya? aku sangat tidak ingin melihat Al kecewa, menderita ataupun sedih. Aku hanya ingin membuatnya bahagia. Aku mencium keningnya, "Mama sayang Al." Bisikku ditelinganya. Aku keluar dari kamarnya, menutup pintunya perlahan dan kembali ke kamarku. Bukan aku tidak ingin memulai hubungan baru dengan laki-laki. Tidak sedikit laki-laki yang mendekatiku, tetapi rasa takut dan rasa kecewa selalu saja mendominasi sehingga membuatku takut untuk melangkah. Rasa ditolak dan rasa tertolak masih sangat jelas diingatanku. Ketika orangtua David tidak menginginkanku, bahkan dengan mudahnya memberikan uang seakan semua akan selesai hanya dengan uang membuatku takut untuk memulai lagi. Dilain sisi, aku juga tidak tega membuat Al tidak merasakan kasih sayang seorang ayah. Maafin mama ya, Al.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN