Bella pulang ke rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Ia memang sengaja pulang malam karena ingin menghibur dirinya yang semakin merasa lelah dengan kehidupan. Jika saja dia tidak memikirkan nasib kedua orang tuanya, sudah pasti ia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Mungkin ia sudah bisa mengumpulkan uang untuk kedua orang tuanya, barulah Bella benar-benar menghilang dari dunia ini karena lelah.
"Wanita macam apa yang sudah bersuami tapi pulang hampir tengah malam seperti ini?"
Langkah kaki Bella yang akan menuju kamarnya terhenti saat mendengar suara Gabriel. Ia cukup terkejut karena mendengar suara lelaki itu ada di rumah ini. Biasanya Gabriel jarang pulang, kalaupun laki-laki itu pulang, pasti akan berada di ruang kerjanya atau di dalam kamarnya.
Karena merasa tidak penting dengan perkataan Gabriel, akhirnya Bella melanjutkan langkah kakinya untuk pergi ke kamar. Tubuhnya sudah sangat lelah, dan ia ingin segera istirahat karena besok masih harus bekerja.
"Dari mana saja kau pulang hingga larut malam begini?" Gabriel segera beranjak dari duduknya karena Bella tak mempedulikan perkataannya.
"Bukan urusanmu! And you need to know, never interfere in my life!" sarkas Bella, lalu ia segera masuk ke dalam kamarnya.
Melihat tatapan Bella yang sangat tajam membuat Gabriel sadar bahwa wanita itu benar-benar berubah. Tidak ada lagi tatapan penuh damba saat melihat keberadaan dirinya di rumah itu. Sekarang, tatapan wanita itu sangat dingin dan hanya ada kebencian di matanya.
Gabriel cukup lama berdiri sendirian di tengah ruang tamu. Dia masih menatap dengan seksama pintu kamar Bella yang sudah tertutup rapat. Selama ini, dialah yang meninggalkan wanita itu saat sedang menunggunya pulang. Dan sekarang posisinya berbalik, dialah yang menunggu Bella pulang. Namun, wanita itu sama sekali tidak mau mendengarkan apa yang ia katakan, sama persis seperti dulu dirinya yang selalu mengabaikan keberadaan Bella—wanita yang dengan sabar menunggu dan berkata dengan lembut padanya.
Di dalam kamarnya, Bella duduk dengan tatapan kosong. Setiap kali pulang dan melihat sekeliling rumah, ia selalu merasa tercekik. Bayang-bayang dirinya saat hamil dan mengajak anaknya yang belum lahir berbicara masih terlihat jelas. Ia selalu merasa sesak napas ketika berada di rumah itu, ada rasa sakit tersendiri yang ia rasakan setelah kehilangan calon buah hatinya.
"Apakah aku boleh menjemput anakku? Aku sangat ingin melihatnya dan memeluknya walau hanya sesaat."
Gumaman Bella tidak sengaja terdengar oleh Gabriel yang akan mengetuk pintu. Kebetulan pintu kamar Bella tidak tertutup rapat sehingga perkataannya masih bisa didengar oleh orang dari luar.
Gabriel mengurungkan niatnya dan memilih untuk pergi dari sana. Mendengar apa yang dikatakan oleh Bella membuatnya terganggu, ada rasa tidak nyaman dalam perasaannya.
Keesokan paginya, Gabriel bangun lebih awal. Seperti pagi kemarin, ia pergi ke ruang makan untuk sarapan sebelum berangkat kerja. Tak berselang lama, Bella juga datang ke ruang makan dengan setelan kerja yang sudah rapi. Bisa dilihat bahwa wanita itu sempat terkejut melihat keberadaan dirinya yang sudah duduk manis di meja makan.
"Tolong buatkan aku secangkir kopi," pinta Bella kepada salah satu pelayan.
Sambil menunggu kopinya datang, Bella duduk di kursi meja makan paling ujung, jauh dari Gabriel. Dia membuka ponselnya dan melihat apa pekerjaannya nanti di kantor. Suasana meja makan sangat hening. Gabriel hanya diam dan menikmati sarapannya, sementara Bella sibuk dengan ponselnya tanpa menyentuh makanan yang sudah tersaji di depannya.
"Silakan kopinya, Nyonya."
"Terima kasih, sudah mau direpotkan pagi-pagi begini," ucap Bella dengan suara lembut.
"Tidak merepotkan sama sekali, Nyonya," kata pelayan itu.
Bella meminum kopinya dengan santai sambil terus menatap layar ponsel. Ia benar-benar tidak bicara apa pun dengan Gabriel yang sudah menyantap sarapannya. Sesuai dengan apa yang ia katakan sebelumnya, bahwa ia akan berubah dan mulai menjauhi sang suami. Tekadnya sudah bulat, dan rasa sakit atas kehilangan anaknya adalah puncak di mana ia sudah tidak bisa lagi bersikap baik-baik saja.
Di seberang Bella, sesekali Gabriel menatap wanita yang sejak tadi hanya diam sambil menikmati kopinya. Wanita itu terlihat tidak peduli sama sekali dengan keberadaannya di meja makan. Perubahan Bella sangat terlihat dengan jelas, mulai dari enggan menatap dirinya, tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun, hingga tidak peduli padanya sama sekali. Gabriel juga merasakan kebencian yang terpancar dari mata Bella.
Setelah menghabiskan kopinya, Bella segera meninggalkan meja makan. Seperti biasa, ia tidak akan berpamitan pada Gabriel meskipun laki-laki itu tengah melihatnya. Untunglah taksi yang dipesannya sudah datang, jadi ia tidak perlu menunggu lama dan bertemu dengan Gabriel lagi saat laki-laki itu akan berangkat ke kantor.
Siang ini, setelah melakukan meeting di luar, Gabriel pergi ke salah satu restoran langganannya. Saat akan menuju ke tempat VIP yang sudah dipesan, ia tak sengaja melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya tengah tertawa dengan seorang laki-laki.
"Apakah wanita itu sudah menemukan mangsa baru? Cih, rupanya ini alasan dia meminta berpisah denganku!"
Gabriel segera pergi dari sana. Jujur saja, ia sangat risih melihat Bella sedang asyik bercanda dengan temannya sendiri.
Selama ini, ia memang tidak pernah memperdulikan wanita itu mau dekat dengan siapa pun. Tapi ia tidak suka jika wanita yang sudah terikat dengannya memiliki hubungan dengan laki-laki lain. Bukan karena ia cemburu, ia hanya tidak suka jika nanti ada pemberitaan perselingkuhan tentang rumah tangganya.
Selama menyantap makan siangnya, Gabriel merasa tidak tenang karena teringat bagaimana wajah Bella saat bersama orang lain. Sungguh berbeda ketika bertemu dengannya, wanita itu akan langsung mengubah wajahnya menjadi sangat datar. Entah kenapa ia merasa tidak tenang melihat Bella dekat dengan laki-laki lain. Selama ini, Gabriel selalu menepis perasaan aneh karena menurutnya, ia tidak seharusnya memikirkan Bella—wanita yang sudah menghancurkan seluruh masa depan yang sudah ia tata sejak jauh-jauh hari.
"Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kau sendiri yang sudah masuk ke dalam hidupku dan menghancurkan segalanya. Jadi, kau harus menebus semuanya."
Setelah menyelesaikan makan siangnya, Gabriel segera pergi ke kantor. Sebelum itu, ia mengatakan pada sang asisten untuk tidak menghubunginya selama 30 menit. Ia masuk ke dalam ruangan rahasia—tempatnya menenangkan pikiran. Setelah melihat perubahan besar dari sikap Bella, tentu saja sekarang ia sering merasa tidak nyaman.
Apalagi mengingat perkataan wanita itu semalam, ia bisa merasakan betapa besar rasa sakit yang tengah dirasakannya. Jujur, Gabriel bisa melihat kebencian yang mendalam dari mata Bella saat menatapnya.
Setelah kehilangan anak mereka karena insiden di mal dulu, Bella benar-benar mengubah seluruh jati dirinya. Dari wanita yang ceria dan penuh perhatian, kini menjadi sosok yang dingin dan tidak mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Wanita itu hanya fokus pada dirinya sendiri dan pekerjaannya saat ini.
"Bibir cerewetnya sekarang terkunci sangat rapat setelah kehilangan anak itu. Apa rasanya sakit itu, kehilangan anak yang bahkan belum lahir ke dunia?" gumam Gabriel.
Sebelumnya, ia memang tidak pernah memperhatikan apa pun tentang calon anaknya. Bahkan, dia tidak merasakan apa pun saat mendengar berita bahwa anaknya tidak bisa diselamatkan.