Setelah dua hari Bella tak pulang, kini Gabriel bisa melihat wanita itu yang tengah sibuk berkutat dengan peralatan dapur. Senyum tipis terukir di bibirnya; dia tahu jika Bella pasti akan kembali ke rumahnya. Mengingat wanita itu sangat mencintainya dan tidak akan pernah pergi meninggalkan dirinya, walaupun sekarang terlihat enggan menatapnya. Namun Gabriel tetap percaya bahwa Bella tidak akan pernah pergi dari sisinya.
"Sekali murahan, tetap akan menjadi w************n. Mungkin ini yang dinamakan barang murah tidak akan bisa disandingkan dengan barang mahal. Sama dengan dirimu yang berasal dari kelas rendahan, dan sekarang menjadi pendampingku. Sangat tidak cocok," Bella menghentikan langkahnya saat mendengar apa yang dikatakan oleh Gabriel.
Ia membalikkan tubuhnya dan menatap sosok laki-laki yang kini juga tengah menatap dirinya. Ini kali pertamanya Gabriel memulai pembicaraan terlebih dulu dengan dirinya. Padahal biasanya, meskipun Bella berbicara panjang lebar, laki-laki itu tidak akan memberikan respon apapun.
"Then let's get a divorce," kata Bella dengan suara tegas.
Gabriel tampak terkejut dengan apa yang dikatakan oleh sang istri, dia mematung sejenak sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah lain. Jujur, apa yang dikatakan oleh Bella tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Membuang napas perlahan, lalu ia kembali menatap wanita yang kini terlihat enggan untuk bertatapan dengan dirinya.
"Setelah menghancurkan semua rencana yang kubuat bersama kekasihku, sekarang kau ingin melarikan diri?" Dengan perlahan Gabriel melangkah mendekat mendekati Bella yang masih berdiri dengan berani.
"Bukankah sangat tidak tahu diri jika kau langsung pergi begitu saja setelah menghancurkan semuanya? Harusnya kau menebus segala dosa yang kau perbuat." Ujarnya, dengan tersenyum remeh ke arah Bella.
"Bukankah dengan membunuh anakku, itu sudah sangat cukup untuk menebus segala dosa yang kuperbuat? Sekarang kita sangat impas, bukan? Dengan kita bercerai, kau bisa melanjutkan rencanamu bersama wanita itu untuk menikah dan memiliki keluarga bahagia." Suara Bella sedikit bergetar saat mengatakan soal anak. Ia masih merasa sangat sakit, ketika berbicara tentang anaknya yang telah pergi lebih dulu.
Apalagi dirinya tidak mengetahui seperti apa janin yang selama ini ada di dalam kandungannya. Anaknya dikubur sebelum ia sadarkan diri, dan ia juga tidak tahu di mana tempat sang anak dikuburkan. Sungguh begitu menyakitkan saat mengingat kejadian naas itu menimpa dirinya. Bahkan jika bisa memutar waktu, dia tidak ingin bertemu dengan Gabriel.
"Cepat urus surat perceraiannya, aku akan membiarkanmu hidup bahagia dengan wanita yang sudah membunuh anakku." Bella segera pergi meninggalkan Gabriel yang terdiam di tempatnya.
Dengan langkah cepat Bella memasuki kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Dadanya sangat sakit saat mengingat anak yang selama ini dia harapkan kehadirannya telah pergi. Lagi-lagi ia harus ditemani dengan penyesalan, seperti malam-malam sebelumnya yang selalu membuatnya susah untuk tidur karena bermimpi tentang anak kecil yang berlari sambil memanggil dirinya.
Bella meringkuk di samping ranjang sambil memeluk lututnya, dengan tubuh bergetar, air matanya terus mengalir membasahi pipi. Ingatan, kejadian di mana ia terjatuh dari eskalator yang membuatnya kehilangan sang anak, terus berputar seperti sebuah video di kepalanya. Sesekali ia memukul kepalanya dengan keras karena rasa sakit yang dirasakan.
"Kenapa kau pergi meninggalkan ibu sendirian di dunia yang menakutkan ini?" Bella terisak dengan keras, sambil memukul dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa sakit pada kepala dan juga dadanya.
"Apakah kamu malu memiliki ibu sepertiku? Sehingga kamu menolak untuk dilahirkan ke dunia ini sebelum bertemu denganku?"
"Kenapa kau tidak mengajakku untuk pergi juga? Kenapa kau meninggalkanku sendirian di dunia ini?"
Cukup lama dalam menangis sendirian di kegelapan malam, hingga akhirnya ia tertidur di atas lantai dengan memeluk kedua lututnya. Semenjak bangun dari koma dan pulang ke rumah, setiap malam dia tidak pernah berani menyalakan lampu. Ia hanya bisa tenang dengan kegelapan, bahkan rasa takut yang dia miliki sedikit berkurang saat semuanya menjadi gelap.
Di dalam kamar yang berbeda, sosok laki-laki bertubuh tegak tengah berdiri menghadap jendela yang memantulkan sinar dari rembulan. Ia menatap kosong ke depan dengan bersedekap d**a. Pikirannya kacau setelah mendengar apa yang dikeluarkan oleh sang istri. Tiba-tiba saja pikirannya tidak tenang saat wanita yang selama ini memujanya memutuskan untuk berpisah. Bahkan dadanya berdetak lebih cepat dari biasanya saat mendengar kata-kata perceraian keluar dari bibir Bella. Padahal selama ini ia sangat percaya diri bahwa wanita itu tidak akan pernah mau meninggalkan dirinya apapun yang terjadi. Tapi nyatanya, setelah kehilangan anak yang dikandung oleh wanita itu, semuanya berubah. Mulai dari sikap Bella yang mulai tak acuh pada dirinya, dan sekarang wanita itu mengajaknya.
"Aku tidak akan pernah melepaskanmu apapun yang terjadi, kau belum mendapatkan balasan apapun dari semua perbuatanmu padaku." Gabriel bergumam dengan pelan, dia tersenyum miring saat mengingat bagaimana dulu Bella terus mengejar dirinya untuk mendapatkan cinta.
Dulu, Bella adalah anak dari rekan bisnisnya yang sangat tergila-gila dengan dirinya. Bahkan wanita itu tidak pernah merasa malu walaupun dibicarakan di depan umum oleh banyak orang, ketika sedang mendekati Gabriel. Wanita itu juga tidak pernah mau peduli dengan pandangan orang lain terhadap dirinya. Karena dia terlalu fokus pada perasaannya yang ingin dibalas oleh Gabriel. Padahal semua orang sudah tahu bahwa Gabriel sudah memiliki kekasih dan mereka akan menikah dalam waktu dekat.
"Ini pasti hanya akal-akalan wanita itu saja, aku tidak akan pernah tertipu lagi oleh wanita ular seperti dia."
Tidak mau terlalu lama memikirkan tentang Bella, Gabriel memilih untuk berbaring di atas ranjangnya dan beristirahat. Dia tidak pernah memikirkan hal-hal yang menurutnya tidak penting, salah satunya adalah wanita yang kini berstatus sebagai istrinya. Itu sebabnya dia tidak pernah ambil pusing tentang apa yang mau wanita itu lakukan. Dia hanya mengirim seseorang untuk mengawasi apa yang dilakukan oleh Bella selama ini.
Dia sengaja mengirim seseorang untuk memata-matai sang istri, agar bisa tahu rencana yang sedang wanita itu rencanakan di masa depan. Karena bagi Gabriel, sebuah kepercayaan tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak bisa dipercaya. Termasuk pada Bella, ia tidak akan pernah percaya pada wanita itu lagi, sedikit pun.
Setelah melewati hampir setengah jam berbaring, Gabriel tidak kunjung bisa memejamkan matanya. Entah kenapa ia malah merasa tidak tenang, dan kepikiran pada perkataan Bella. Ia sangat merasa terganggu dengan apa yang wanita itu katakan tadi.
"Ayolah, kenapa kau harus memikirkan perkataan wanita ular itu? Dia pasti sedang merencanakan sesuatu. Jadi, jangan pernah terjebak lagi pada wanita yang sama."
Karena tak kunjung bisa merasa tenang, Gabriel memilih untuk keluar dari kamarnya. Berniat untuk membuat secangkir kopi, lalu pergi ke ruangan kerja. Tapi lagi-lagi, pikirannya terpusat pada perkataan Bella, kakinya malah melangkah ke arah pintu berwarna coklat. Yang tak lain adalah kamar milik sang istri.
Dengan perlahan, tangannya meraih gagang pintu dan mulai membukanya secara perlahan. Alangkah terkejutnya dia saat mendapati kamar yang selama ini selalu terang, kini terlihat begitu gelap. Hanya ada sinar dari cahaya bulan yang masuk dari kaca jendela, yang memang tidak pernah menutup tirai kamarnya.
"Apakah dia tahu jika aku akan masuk ke dalam kamarnya?" Gumam Gabriel saat melihat sosok Bella tidur dengan meringkuk di bawah ranjang.
"Apakah dia sengaja tidur di bawah agar bisa mendapatkan simpati dariku? Cih, wanita ini benar-benar memalukan." Decihnya. Tak mau berlama-lama berada di kamar Bella, akhirnya Gabriel memilih untuk melanjutkan niatnya pergi ke dapur dan membuat kopi.
Bella terbangun di sebuah gazebo, dia mengedarkan pandangannya pada sekitar. Senyum cantik dari bibirnya terbit saat melihat betapa indahnya tempat yang pernah ada dalam bayangannya saat kecil dulu. Tanaman dan rerumputan hijau, bunga dengan warna-warni bermekaran yang dihinggapi banyak kupu-kupu indah. Juga kicauan burung yang begitu merdu.
Ia beranjak dari gazebo dan berjalan menyusuri taman indah yang untuk pertama kalinya dia lihat. Kaki telanjangnya tidak sengaja menginjak duri dari sebuah batang kayu yang sudah kering di atas rumput.
"Shh," ia berdampak untuk melepaskan duri yang masih tertancap di telapak kakinya.
"Kenapa ibu tidak berhati-hati saat berjalan? Lihat kakimu jadi berdarah seperti itu!" Suara menggemaskan itu membuat Bella mendongak, melihat sosok anak laki-laki yang memanggilnya dengan sebutan ibu.
Matanya berkaca-kaca melihat anak laki-laki berusia 5 tahun yang kini sedang meletakkan kedua tangannya di atas pinggang. Ia mendekatkan tangannya secara perlahan untuk mengelus pipi gembul si anak.
"Kenapa ibu menangis? Apakah sangat sakit, sehingga ibu tidak bisa menahannya?" Tanya anak itu khawatir.
"Apakah kamu anak ibu?" Bella bertanya dengan suara bergetar dan air mata yang sudah mulai bercucuran membasahi pipinya.
Anak laki-laki itu mengangguk cepat dengan tersenyum lebar. Dia memegang tangan Bella yang masih berada di pipinya, lalu mencium tangan itu dengan lembut.
"Apakah ibu luka pada anakmu sendiri?" Tanya anak itu, dengan memasang wajah pura-pura sebal.
"Bagaimana mungkin ibu bisa melupakanmu, sedangkan kau selalu memenuhi pikiran ibu setiap saat." Kata Bella sembari terus mengelus pipi lembut sang putra.
Anak itu tampak mengangguk lucu, membuat Bella gemas dibuatnya. Dia terus menatap wajah putranya dan meneliti setiap inci wajah rupawan itu. Ada rasa kecewa saat putranya memiliki hampir 100% mirip dengan suaminya. Ia hanya kebagian ada mata sang putra yang sama persis dengan miliknya.
"Aku akan mencari obat untuk kaki ibu lebih dulu, ibu duduklah dulu." Wajah itu segera berlari ke arah gazebo, membuka kotak obat dan mengambil apa yang dia butuhkan.
Bella cukup terharu melihat putranya dengan cekatan mengobati luka di kakinya. Ia tidak menyangka jika bocah 5 tahun itu bisa mengobati luka dengan baik.
"Sudah selesai ibu, semoga lukanya tidak akan segera sembuh dan ibu tidak akan merasakan sakit lagi." Ujarnya dengan mata berbinar.
"Terima kasih, sayang, sekarang ibu merasa jika luka ini tidak sakit sama sekali. Kamu sangat pandai mengobati luka pada kaki ibu, sekarang ibu yakin jika luka ini akan segera sembuh, dan ibu tidak akan merasa sakit lagi." Ucap Bella, membuat sang anak mengangguk setuju dan tersenyum hangat pada Bella.
"Ibu harus bisa sembuh dari luka apapun, agar ibu bisa hidup dengan baik bersama ayah. Aku mencintaimu, Jangan lupakan aku. Tapi jika dengan mengingatku ibu merasa sakit, maka relakanlah aku untuk pergi dan lupakan aku secara perlahan. Agar ibu bisa hidup dengan baik, Selamat tinggal ibu." Bocah itu melepaskan tangan Bella yang sejak tadi menggenggam tangannya dengan lembut.
"Sayang apa yang kamu katakan? Jangan pernah berpikir untuk meninggalkan ibu kembali, ibu tidak sanggup kehilanganmu untuk yang kedua kali!" Bella berusaha meraih tangan putranya, namun sia-sia karena perlahan tubuh sang putra mulai menghilang.
"Jangan pergi!" Bella berteriak dengan keras, ia melihat sekitar dengan tatapan bingung.
Perlahan air matanya mulai menetes kembali membanjiri pipinya, ia sadar jika pertemuannya dengan bocah berusia 5 tahun itu hanya sebuah mimpi. Dia ingat dengan jelas bagaimana wajah putranya yang sangat mirip dengan Gabriel.
"Bagaimana mungkin ibu bisa melupakanmu, kamu adalah sumber kekuatan ibu untuk tetap bisa bertahan hingga saat ini. Ibu aku ini terus mengingatmu sampai kita bertemu suatu saat nanti." Gumam Bella.
"Ibu berjanji padamu untuk hidup dengan baik, namun ibu tidak bisa berjanji untuk tetap berada di samping ayahmu. Sudah cukup semua pengorbanan yang ibu lakukan selama ini, ibu tidak ingin berkorban lagi untuknya."
"Aku membenci kenyataan, bahwa, dulu aku menjadi wanita terbodoh karena mencintaimu, bahkan mengorbankan segalanya untukmu." -Bella