Ketahuan

4945 Kata
Meskipun khawatir dengan Nash, Daniella mengulas senyum pada Jonathan dan Rios, melajukan mobilnya meninggalkan parkiran. Daniella tidak bisa ikut campur karena mereka adalah teman-teman Nash. Ketika kejadian yang lebih besar terjadi, di situ ia bisa ikut campur, kejadian yang belum berani ia bayangkan. Tiga pria mulai asyik berbincang di sana, sesekali meneguk gelas berbuih yang dituang dari dalam botol berwanarna bening. Berhasil mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan di tempat yang sama belum sempat mereka rayakan sebelumnya. Malam ini mungkin mereka baru menemukan waktu yang tepat, jika Nash bisa bilang ini adalah good time. Jonathan melempar satu kacang dari mug unik bergambar mickey mouse. Tempat yang biasa mereka datangi ini bukan club yang hingar bingar dengan kebisingan, hanya bar sejenis kafe tapi menyediakan minuman beralkohol dengan kadar ringan. “Jadi sejak kapan kalian mulai, Nash?” Akhirnya Nash mendengar pertanyaan itu. Ia tahu tujuan Jonathan mengajak mereka untuk keluar sebentar adalah untuk hal ini. Nash sebenarnya senang jika sahabatnya itu membicarakannya perlahan dengan pikiran yang tenang—tidak semata-mata menerjang ketika melihat apa yang di depan mata. Percayalah, ketika pikiran jernih akan lebih mudah menyelesaikan masalah. Nash menarik napas. Rios yang acuh tak acuh disikut oleh Jonathan. Jelas saja, Rios belum tahu apa yang terjadi. “Ok, aku harus memulai ini dari awal supaya kalian bisa menilai dan kuharap aku mendapat saran dari kalian,” Nash memulai bercerita dari bagaimana tatapan mereka pertama kali bertemu hingga hubungan yang mereka jalani saat ini. “s**t!” Jonathan dan Nash serempak menoleh pada Rios dengan heran. Rios baru saja mengumpat. “Apa yang kau lihat, Jo? Kenapa kau tidak memanggilku tadi?” sepolos p****t bayi kata-kata itu keluar. Nash rasanya ingin mengumpat. Untung saja ia belum merestui adiknya pada si b******k ini. Jonathan berdecak. “Iya juga sih. Soalnya tadi itu benar-benar bukan Nash yang selama ini kita kenal. Jarang-jarang melihat Nash memanjakan dan begitu perhatian pada wanita selain Nagita.” Nagita si adik kesayangan disebut-sebut membuat Rios mengelus d**a. Nagita sudah biasa disaksikannya dimanja Nash, padahal ia juga ingin sekali memanjakan anak itu. “Si Rios langsung kangen hahaha,” tawa Jonathan. Jonathan memang pantas jadi raja bully di samping raja gombal. Nash merasa kasihan juga pada Rios. Mungkin besok-besok ia harus mulai berpikir memberikan sedikit kelonggaran pada pasangan tak direstui itu. Nash tahu, Nagita adiknya juga sayang sama Rios. Anak itu pernah mengatakannya sendiri pada Nash dan anak itu menurut saja saat Nash memberitahukan alasannya melarang adiknya itu pacaran. “Lanjut tidak ini ceritanya?” Nash mengambil alih, kasihan Rios dibully terus. “Jadi sejak kapan kalian memutuskan memulai? Kenapa malah dimutasi kalau si bos cantik itu suka sama kamu?” “Kalau hubungan kami bertahan lama, ujung-ujungnya pasti akan ketahuan entah kapan itu terjadi, dan aku tidak mau difitnah sudah melakukan hubungan sejauh apa dengan Ell karna kami satu ruangan.” Jelas Nash. Rios nyengir, “bahaya juga sih kalau pasangan agresif seperti kalian tinggal dalam satu ruangan,” Nash tidak membantah dan Jonathan juga mengangguk setuju. Ketika di parkiran tadi jelas ketahuan kalau Daniella begitu menyukai sahabatnya yang beruntung itu. Sedangkan Nash adalah pria, mau sepolos apapun mereka yang belum terjamah seks tetap saja harus hati-hati. Bukan masalah dewasa tidaknya, tapi orang-orang bisa berkata apa saja soal aib. “Itu sudah keputusan yang paling tepat menurutku,” Jonathan menepuk pundak Nash. “tapi hal seperti tadi juga jangan terulang lagi. Kalian masih untung karena aku yang memergoki.” Pria itu tergelak. Nash mengangguk paham. Daniella memang cantik, Nash sangat sulit menolaknya. Belum lagi perasaannya akhir-akhir ini yang mulai terombang ambing. “Tapi,” Rupanya percakapan itu belum berakhir. Nash bersiap menerima kata lanjutan dari Rios. Si pria paling polos ini sekali mengeluarkan kata-kata biasanya langsung menusuk, penuh makna, dan sejenisnya. To the point. “Kau mencintainya, Nash?” Tangan Nash berhenti di udara, gelas di tangannya tak jadi sampai ke bibir. “Mau aku bantu menjawab?” tawar Jonathan. “sesama laki-laki dan sahabat, aku tahu kalian saling mencintai. Awalnya mungkin seperti yang ceritakan tadi kalian hanya merasa tertarik, Daniella menyukaimu sejak pertama lalu sekarang kau juga merasakan hal yang sama.” Nash hanya terdiam. “Nash, jangan takut. Aku tahu ini pertama kalinya bagimu, tapi tidakkah kau berpikir akan menjadikan petualangan pertamamu ini spesial?” Tanya Jonathan lagi. Rios sudah menjadi pendengar yang baik. “mungkin saja si bos cantik adalah cinta pertama dan terakhirmu mengingat setua ini kau belum pernah jatuh cinta ahaha…” tawa pria itu meledak. “Aku setuju!” Rios mengangkat gelasnya, memberi kode pada dua pria di sebelahnya. “Cheers…!” mereka berseru serempak. _ Daniella gelisah di tempat tidurnya. Ia tidak bisa menahan diri sekali tadi sampai dengan beraninya menunggu Nash di tempat parkir. Jelas-jelas di sana masih terparkir beberapa motor dan mobil karyawan. Lagi pula bisa saja satpam lewat. Ia merutuki dirinya sendiri. Ia terlalu agresif sebagai wanita. “Ell bodoh!” makinya pada diri sendiri. Ia menggigit bantal, memukulkannya pada kepala sekuat tenaga lalu nyungsep ke kasur. Rasanya ia seperti remaja labil yang kasmaran lalu ketahuan pacaran. Getaran di bawah punggungnya membuatnya terhenyak. Dengan cepat ia meraih benda pipih itu. “Nash!” Nash tergelak di seberang sana. “kenapa belum tidur?” “Bagaimana dengan sahabatmu?” Danielle berbisik dengan nada khawatir. Jari-jarinya digigit pelan—kebiasaannya menghilangkan ketakutan dan semacamnya. “Everything ok.” “Benarkah?” “Iya. Sekarang tidurlah,” “Baiklah.” Daniella menarik selimut dari ujung kakinya. “kamu juga.” Katanya. “Iya. Tidur gih,” tawa Nash membuat Daniella lebih tenang. “Goodnite.” “Goodnite, Nash,” “I love you.” Daniella membeku. Ditatapnya layar ponselnya sebentar. “Nash? Halo, Nash?” akhirnya nada panggilan sudah berakhir yang ia dengar. Tapi tadi ia tidak salah dengar kan? Daniella bertanya-tanya. _ “Jadi, ini kencan pertama kita?” “Hmm ..” Daniella mendelik mendengar jawaban Nash. “Nash, kamu terpaksa melakukannya?” “Jangan suka berpikir macam-macam, Ell, ayo masuk,” Nash merangkul Daniella di sepanjang lengannya. Hari ini mereka mencari tempat berkencan yang paling aman, yaitu di bioskop. Yeah, setidaknya mereka bisa gelap-gelapan di sana. Berbeda dengan Daniella yang sepertinya sangat antusias dengan kencan pertama mereka ini, Nash malah sibuk dengan kewaspadaannya. Percayalah, Nash bukannya takut kehilangan pekerjaannya, tapi ia justru lebih memikirkan bagaimana Daniella nanti jika hubungan mereka diketahui orang kantor. Sesekali ia merutuki kenapa Daniella membuat larangan satu itu. Nash yakin banyak juga orang-orang kantor yang backstreet karena aturan itu. Daniella mendudukkan bokongnya senyaman mungkin. Popcorn ukuran jumbo bertengger di pangkuannya. Sejak masuk studio tadi tangannya sudah gatal mencomot satu per satu makanan yang terbuat dari jagung itu. “Nash, film yang akan kita tonton film apa?” Daniella baru sadar kalau ia sama sekali tidak tahu Nash memilih film apa. Nash hanya menyuruhnya duduk manis di ruang tunggu sedangkan pria itu membeli tiket dan popcorn dengan paketnya. “Lights Out. Aku penasaran seseram apa film itu, teman-teman kantor sudah banyak yang nonton. Kurasa mereka melebih-lebihkan,” jawab Nash santai. Daniella di sebelahnya sedang berpikir. “Kita menonton film horor?” pekik Daniella semenit kemudian. “Yap.” “Aku tidak mau, Nash. Ayo, kita keluar saja,” wanita itu merengek. Ujung jemarinya menarik-narik kemeja kantor yang dikenakan Nash. Ya, mereka memang pulang kantor langsung memutuskan untuk melakukan kencan pertama mereka. Sejak pernyataan cinta tempo hari Nash menjadi sedikit lebih manis. Ajakan kencan ini adalah darinya. “Jangan manja. Itu film-nya sudah mulai.” Daniella bungkam seribu bahasa. Ia merasa malu juga sama Nash kalau bermanja-manja mengingat umurnya yang lebih tua. Tapi yang benar saja kalau dia menonton film horor di bioskop, bisa-bisa dia mimpi buruk selama sebulan. Daniella memang penakut dan wanita itu baru sekali menonton film horor di bioskop—ini kali kedua—ketika jaman-jamannya Insidious. Film itu berhasil membuat fantasy horornya kelewat batas. Demi apapun, Daniella tidak akan mau menatap layar di depannya. Ia membuka tasnya lalu mengeluarkan ponselnya. Lebih baik dia bermain game dan mendengarkan musik. Daniella tidak akan mau mengulang masa-masa ia menahan pipis semalaman hanya karena takut di kamar mandi ada hantunya. “Mau ngapain?” tanya Nash melihat wanitanya itu memasang ujung headset ke telinganya. Cepat-cepat tangannya meraih benda itu lalu memasukkannya ke saku celananya. “waktunya menonton. Ini kencan pertama kita loh, Ell.” “Tapi aku tidak bisa menonton film berhantu, Nash,” Daniella memelas, suaranya memelan layaknya minta dikasihani. Sayangnya Nash tidak mau mundur. “Kalau hantunya muncul kan tinggal tutup mata terus peluk aku,” Nash mengedipkan matanya, “percuma punya pacar.” Daniella merasakan kepalanya ditarik, ia mengambil posisi paling nyaman di bahu Nash. Kalau seperti ini, ia akan memilih tidur kalau begitu. Hmm .. percuma punya pacar .. benar juga. Selama film tayang di layar besar di depan mereka, Daniella tak sekalipun melihat—melirik pun tidak. Ia menikmati hangatnya di bawah rangkulan Nash, detak jantung Nash dipadu dengan jeritan beberapa kali dari penonton yang lain. Mungkin ini yang namanya horor-horor tapi romantis. “Ughh ..” Nash merentangkan tangannya. Diliriknya wanita di sebelahnya masih asyik mencomot popcorn. “ayo,” Daniella mengangkat kepala kemudian melihat ke depan. Lampu sudah dinyalakan dan layar di depan sana sudah putih lagi. “Sudah selesai?” tanyanya. Nash mengangguk lalu mencubit hidungnya. “cepat juga,” rasanya baru sepuluh menit bagi Daniella. “Apa gunanya kita menonton kalau kamu tidak menonton filmnya sama sekali,” Nash mendengus, mengambil tangan Daniella untuk digandengnya. “Banyak gunanya,” jawab wanita itu semangat. “kamu bisa puas menonton dan aku bisa manja-manjaan kayak tadi. Itu quality time yang menyenangkan.” Soal manja-manjaan yang disebutkan Daniella memang benar. Selama hampir dua jam ia menempel pada tubuh Nash. Kecupan dan elusan sesekali dihadiahi Nash di ujung kepala dan rambutnya. Bahkan Nash tanpa peduli dengan seorang gadis belia di samping Daniella saat ia mencuri satu ciuman di bibir Daniella. Tentu saja bagi Daniella yang begitu mencintai Nash hal itu menjadi moment dua jam yang sangat menyenangkan. “Yang penting kamu senang.” Kata Nash. “Dan semua tentang kamu akan menyenangkan.” Balas Daniella. Nash mendengarnya namun perkataan itu justru membuatnya semakin berpikir. Akankah selamanya menyenangkan? Ah, entahlah, nikmati saja dulu apa yang ada sekarang. - Hari ini Daniella tidak masuk kantor karena wanita itu harus ada di rumah ayah dan ibunya setiap kali ulang tahun pernikahan pasangan yang sudah melebihi seperempat abad itu. Ya, bagi mereka justru hari itulah yang paling penting dibanding hari lahir mereka. Hari pernikahan itu juga dianggap hari jadinya Daniella—alasannya simpel—pertama kali dibuat, Daniella langsung jadi. Tahu kan pertama kalinya pas kapan? Jadi orangtuanya begitu membesarkan hari itu. “Cuti sehari,” jawabnya ditelpon. Nash sudah terbiasa menghubunginya pagi-pagi, atau Daniella yang menghubungi duluan. Ada pepatah yang mengatakan ucapan selamat pagi dari seseorang bisa berarti bahwa kitalah yang dipikirkan orang itu pertama kali saat bangun. Bagi Daniella tentu saja itu benar. Nash adalah orang yang pikirkan terakhir kali sebelum tidur dan menjadi yang pertama muncul di otaknya ketika bangun. “Ugh, aku akan merindukanmu sepertinya,” bisik Nash lebih pelan. Ia pasti sudah berada di kantor dan suara-suara di belakangnya menandakan bahwa ia sedang bersama teman-temannya. Daniella tergelak. “aku bahkan sudah kangen,” katanya. “yasudah, sana kerja. Jangan lupa makan siang.” Ia akhirnya memutuskan sambungan setelah jawaban memberontak dari Nash. Terkadang Nash juga bisa bersifat kekanakan tapi bisa menjadi sangat dewasa. _ Cuti sehari yang dimaksudkan Daniella berubah menjadi seminggu. Ayah dan ibunya mendadak ingin—tepatnya sudah direncanakan tanpa sepengetahuannya—berlibur bersama. Alasan kedua orangtua yang sudah di atas setengah abad itu tak kuasa ditolaknya. Benar saja, jika dulu mereka melakukan piknik hampir sekali sebulan, maka beberapa tahun setelah Daniella remaja rutinitas itu tak pernah lagi mereka lakukan. Tentu saja orang tua itu ingin melakukan kebersamaan itu. Bermaksud menyenangkan sang orang tua dengan totalitas menghabiskan waktu bersama, Daniella sengaja meninggalkan hal-hal yang menghubungkannya dengan kesibukannya setelah memberikan bebarapa arahan pada Sea. Untung saja sekretarisnya itu bisa diandalkan untuk kebutuhan mendadak seperti ini. “Kita akan bersenang-senang!” Daniella membentangkan tangannya di pinggang ayah dan ibunya. Ia berada di tengah-tengah saat berjalan menuju pesawat. Liburan mereka kali ini memang sudah sangat terencana dengan sempurna oleh sang ayah. Bahkan segala hotel dan akomodasi mereka di negara tujuan sudah komplit. Daniel dan Alena mengangguk setuju. Mereka sungguh merindukan kebersamaan bersama putri tersayangnya itu. Sejak smp hingga menyelesaikan study-nya, Daniella sudah terfokus pada persaingan di kelasnya yang mengandalkan peringkat jika ingin bertahan di kelas khusus itu. Tiap bulan mereka mendapat raport bulanan dari hasil keaktifan di kelas, tugas, dan kuis dengan konsekuensi dua peringkat terendah terancam keluar dan digantikan oleh murid dari kelas reguler. Hal itu benar-benar membuat Daniella mengabdikan dirinya pada sekolah dan tugas-tugasnya. “Ah, aku sudah tidak sabar,” ucap Daniella sekali lagi yang disambut gelak tawa dari Daniel dan Alena. “ibu dan ayah kelihatannya tidak semangat? Ada apa?” Daniel meraih tangan istrinya. “kami sudah tidak muda lagi, Sayang, tidak ada semangat-semangat menggebu seperti itu. Tapi melihatmu seperti ini benar-benar mengingatkan ayah pada masa-masa muda dulu,” Daniel melirik Alena yang masih bisa memancarkan sikap malu-malu yang sangat disukainya itu. Daniella menatap curiga, “ayo, ada apa dengan dulu memang, Ayah?” Pertanyaan itu disambut pukulan kecil dari Alena pada Daniel. “Tidak usah diceritakan,” kata wanita itu. Daniel tergelak. Selanjutnya pria itu malah mengabaikan larangan istrinya dan menceritakan saat pertama kali dulu ia mengajak Alena keluar negeri tepat saat honeymoon mereka. Alena adalah cinta pertama Daniel. Kisah cinta mereka termasuk klasik. Daniel yang jatuh cinta pada Alena si gadis miskin dan berpendidikan hanya sampai sekolah kejuruan. “Jadi ibu dulu ketakutan naik pesawat?” Daniella tak bisa menahan tawanya. Cerita kepergian Daniel dan Alena honeymoon rupanya sangat menyenangkan. Alena saat itu begitu antusias ketika Daniel mengatakan mereka akan ke Paris. Tapi semangat itu tiba-tiba hilang ketika mereka akan memasuki pesawat. “Apa ini aman?” “Apanya?” “Kita akan terbang sangat lama kan? Bagaimana kalau pesawatnya jatuh? Apa sebaiknya kita tidak usah pergi?” Alena memegang tangannya, memijit jari-jarinya yang mulai memutih karena keringat dingin. “Dan, kita jangan pergi saja ya? Lagian bulan madu jauh-jauh tidak penting.” Ucapnya. Daniel tidak tega sebenarnya harus menertawakan istrinya itu, tapi tetap saja ia tertawa. Menakutkan memang, hari itu adalah pertama kalinya Alena naik pesawat dan mereka langsung menempuh perjalanan yang jauh. Saat pesawat akan take off, Alena meraung ketakutan. Jeritannya mengalahkan dengung pesawat hingga tangisannya mengundang perhatian banyak orang. Dengan gila-gilaan yang diakibatkan putus asa, akhirnya Daniel mengakalinya. Pria itu mencium Alena dengan membabi buta hingga Alena diam. Namun ketika Daniel mengakhiri ciumannya Alena justru meraung lagi. “Lalu bagaimana akhirnya ayah bisa menghentikannya?” Daniella masih tertawa, Alena menyesap kopi di tangannya, mengabaikan dua manusia yang menertawakannya dengan kejam. Ia mendengus. Bagaimana bisa mereka melakukan itu di depan orangnya sendiri .. “Yaa begitu, untung saja di antara kita tidak ada yang sesak napas karena harus berciuman selama itu. Akhirnya ibumu kelelahan lalu tidur. Itu benar-benar pengalaman bulan madu yang tak bisa ayah lupakan.” Daniel menatap Alena dengan sayang. Salah satu tangannya yang berpegangan dengan Alena mengusap punggung tangan wanita itu. Kehangatan tersulur dari sentuhan kecil itu. Daniella bahkan iri dengan ayah ibunya yang bisa saling mencintai sampai tua seperti ini. Melihat adegan di depannya membuat Daniella merindukan Nash. Daniella mengambil ponselnya dari tas tangan di pangkuannya. Ia akan mengirimkan pesan pada Nash saat seorang pramugari menghampirinya untuk mematikan ponselnya sementara waktu. Ah, sungguh sial … _ Nash meletakkan helm-nya di atas motor lalu menenteng tas kerjanya menuju lift dari basement. Sambil bersiul ia memutar-mutar kunci motornya di jari. Ketika angkat di deret lift menunjuk angka satu, pintu lift terbuka. Sejumlah orang berdiri di sana. Mereka awalnya tampak terkejut lalu berbisik. Hal itu membuat Nash gusar. Jika menurut pengamatannya, orang-orang itu sepertinya membicarakan sesuatu yang berhubungan dengannya. Mereka akhirnya masuk ke dalam lift, Nash terpojok di posisi paling belakang. Dari bisikan-bisikan dan lirikan yang masih berlangsung selama lift menjajaki pendakiannya ke puncak, Nash sudah menyimpulkan kalau memang ada sesuatu yang berkaitan dengannya. “Pagi!” Rios dan Jonathan langsung menarik Nash ke arah toilet saat pria itu memberikan sapaannya seperti biasa. Nash baru saja keluar dari lift dan mendorong pintu kaca menuju divisinya. Seruan selamat pagi seperti biasa ia lontarkan dengan penuh semangat. “Apa yang kalian lakukan?” bentaknya pada Jonathan dan Rios. “untung saja aku tidak memakai lipstick,” gerutunya. Jonathan mendelik tak mengerti maksud gerutuan Nash tersebut hingga Rios memberi kode. Nash mengusap-usap bibirnya. “Tanganku tidak jorok, Nash,” kata Jonathan sebal. Ia membenci sikap kurangajar sahabatnya itu. Dia pikir memangnya tangan Jonathan habis memegang apa masih sepagi ini? Nash tak peduli. Ia memilih merapikan dasi dan kemejanya yang jadi berantakan lalu menatap temannya tajam. “Apa yang kalian lakukan main bekap-bekap mulut seperti tadi? Dikata mau menculik manusia di tempat ramai apa?” dengusnya. “Ada masalah besar.” “Apa itu? Proyek gagal?” tanya Nash masih acuh. Rios mulai kesal, begitu juga dengan Jonathan. Dua pria itu menghela napas. Rios menepuk pundak Jonathan. “Hubunganmu dengan bos cantik sudah tersebar di seluruh kantor,” Rios membuka suara, Jonathan mengangguk sambil memperhatikan reaksi Nash. Nash tegang seketika. “Bagaimana bisa? Siapa yang menyebarkan?” ia menatap dua sahabatnya. “Bukan kami!” Jonathan berseru dengan cepat. “tega sekali kau menuduh kami? Hey, Nash, kau pikir sudah berapa lama kita bersahabat?” Jonathan tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya dicurigai seperti itu. Sahabat macam apa mereka menyebarkan gosip yang bisa menghancurkan sahabatnya sendiri. Nash dengan cepat menggeleng. “bukan begitu, Jo, Rios. Aku hanya kaget,” ucapnya menyiratkan penyesalan. “lalu apa saja yang mereka tahu? Kalau hanya omong mulut ke mulut, aku bisa saja bilang itu tidak benar kan?” Sayangnya Jonathan dan Rios menggeleng bersamaan. Astaga, sejauh mana yang sudah menyebar? Pikir Nash. “Foto-foto kalian saat berciuman di lift dan bahkan di dalam ruangan bos cantik menempel di tiap mading divisi. Huh, seperti anak sekolah saja,” Jonathan berdecak jijik sama cara orang itu. Namun Nash sudah tidak bisa berpikir lagi. Foto, bagaimana bisa orang-orang mendapatkan foto-foto itu? Pria itu segera menekan tombol satu lantai yang harus ia tuju secepatnya. Ketika sampai, tanpa repot-repot menyapa Sea, ia langsung bergegas ke ruangan yang dulu sempat ditempatinya. “Ibu Daniella cuti seminggu kalau ia lupa memberitahumu, Nash,” ucap Sea dari belakang. Rupanya gadis itu mengikuti Nash saat ia tak mendapat balasan selamat pagi dari Sea. Nash membulatkan mata, “bukannya cuma sehari?” Sea menggeleng, “tuan Daniel dan Alena merencanakan liburan panjang untuk mereka ke luar negeri, “jadi ibu Daniella mungkin akan kembali satu minggu lagi.” _ Naas. Satu minggu adalah tujuh hari yang rasanya tiga ratus enam puluh lima hari. Nash tidak bisa menghindari tuduhan dari seisi kantor. Hanya ada beberapa yang peduli—entahlah itu peduli atau bukan—terkadang Nash merasa teman-temannya hanya kasihan. Maafkan Nash yang jadi penuduh seperti ini, tapi pria itu tidak habis pikir dengan tersebarnya berita itu lebih cepat dari yang ia takutkan. Nash tidak siap sama sekali. Berkali-kali Nash menekan tombol hijau di ponselnya, namun nada panggilan tak ada selain bahwa nomor yang ia coba hubungi sedang tidak aktif. Email bahkan coba ia kirimkan, namun Daniella seakan menghilang meninggalkannya menghadapi semua kekacauan ini. Apa wanita itu sengaja? Ah, tidak mungkin, Daniella tidak akan melakukannya. “Christian Nash,” Lamunan dan tuduhan-tuduhan tak beralasan di pikiran Nash terusik dengan suara yang memanggil nama lengkapnya. Ia melihat ke balik biliknya dan di sana kepala bagian sedang memegang beberapa berkas tak beramplop. Nash sudah dapat menduga kalau ia akan benar-benar berhadapan dengan masalah. “Ikut saya sebentar,” Hanya itu yang diucapkan pria itu kemudian berbalik. Nash tak sempat memikirkan apa-apa lagi selain menyusul pria yang jauh lebih tua darinya itu untuk mamasuki ruangan kecil khusus kepala bagian. “Duduk,” sambut pria itu dengan ramah namun terkesan pura-pura. Selagi Nash berusaha menenangkan diri di kursi yang rasanya seperti di pengadilan, suara selanjutnya yang ia dengar sudah mampu mematahkan ketenangannya. “Maaf Christian, tapi itu sudah ada di aturan dan sanksi akan selalu berlaku bagi siapa saja yang melanggarnya.” Baiklah, Nash dipecat di beberapa bulan ia baru bekerja di sana atas kasus hubungan yang tak seharusnya ia lakukan dengan bosnya. Apa yang salah dengan jatuh cinta pada bos, sih? Di mata orang-orang yang bekerja di sana Nash adalah b******n busuk yang menggoda bosnya dan berbuat kurangajar dengan memanfaatkan kesempatan. Dia butuh Daniella menjelaskan tapi wanita itu tak ada saat ini. Double s**t!  - Daniella terlihat kesusahan mengambil beberapa barang dari mobilnya. Tadi malam ia benar-benar kelelahan dan secara asal memasukkan hal yang dirasanya akan ia berikan pada Nash hari ini. Nyatanya ia terlalu gegabah, barang-barang lain malah ikut terselip di sana. “Ah sial!” ia mengumpat lalu melemparkan barang lainnya setelah mendapatkan satu goodiebag coklat berukuran sedang. Menyampirkan tas tangannya ke bahu, Daniella keluar dari lift dengan susah payah. Sea menyambut antusias kedatangan bosnya itu. “Pagi, Bu,” katanya. Daniella mengangguk, berlalu ke ruangannya. Sungguh, satu minggu rasanya ia sudah sangat merindukan ruangan luas dengan desain kesukaannya itu. Ah, sesungguhnya ia lebih merindukan seseorang. Meletakkan barang-barang pentingnya, Daniella mengambil ponsel lalu menyalakannya. Benar saja, ia benar-benar hidup tanpa gangguan dari benda itu selama liburannya. Ponsel itu hampir saja berhenti sejenak karna notif dari berbagai aplikasi berebut masuk hingga bunyinya benar-benar membuat Daniella melotot. Ia melihat nama Nash ada di beberapa aplikasi berkirim pesannya, namun ia mengabaikan itu dan langsung menekan tombol panggilan untuk pria itu. “Nash!” seru Daniella begitu deheman Nash terdengar di seberang. “Aku kangen,” ucapnya pelan. Pernyataan yang sama dari Nash membuat wajah wanita itu bersemu. “ayo bertemu, di lift, basement, atau ke ruanganku?” pintanya dengan tidak sabaran. “Kamu di kantor?” tanya Nash masih dengan suaranya yang seperti tidak terjadi apa-apa. “kurasa memang iya, hmm ..” “Kamu ke ruanganku saja ya, bagaimana?”usul Daniella. Wanita itu menautkan alis dengan penolakan Nash yang hanya dijawab satu kata ‘tidak’. Kemudian ia mendengar Nash mendengus sebelum panggilan terputus secara sepihak. Nash memutuskan teleponnya. Buru-buru Daniella memanggil ulang tapi tak ada jawaban hingga ia berulang melakukannya. _ Dari tadi Daniella sudah menahan diri untuk menemui Nash secara diam-diam. Sebaiknya ia menunggu sampai jam makan siang. Dan sekarang di sinilah Daniella dengan tingkah konyolnya. Sebelumnya ia telah mengirimi Nash pesan untuk tidak keluar ketika jam makan siang. “Ibu, Daniella?” Setelah menunggu beberapa menit, Daniella tak menemukan sosok Nash keluar dari ruangan besar tempat para anggota divisi bekerja. Kini ia malah berhadapan dengan dua sobat pria itu. “Hmm, iya?” jawabnya dengan kaku. Bayangan akan kejadian ia ketahuan berciuman dan apapun yang mereka lakukan malam itu membuat wanita itu malu melihat kedua pria itu. “Apa yang ibu lakukan di sini?” tanya Rios karena sedari tadi ia dan Jonathan sempat mengamati tingkah bos cantiknya itu dari belakang. Daniella yang mengintip dari tempok di samping lift, jalan pintas menuju akses tangga darurat. “Mencari Nash?” tebak Jonathan menyiratkan senyum jenaka dari mata dan bibirnya. “pasti ibu belum tahu apa-apa melihat reaksi ibu yang masih santai dan Nash si keras kepala itu malah memilih diam,” kata Jonathan kesal. Ia menggigit gigi depannya mengingat Nash yang tidak melakukan pembelaan saat semua orang menyalahkannya. Setidaknya ia berharap Nash menerima usulnya dan Rios untuk menunggu Daniella pulang dulu. “Memangnya ada apa?” Daniella menatap curiga pada dua bawahannya itu. _ Sea menatap nanar pada bosnya. Segala sumpah serapah sudah keluar dari mulut Daniella dan beberapa barang sudah terlempar dari tangannya. “Siapa yang memulai semua itu? Foto seperti itu pasti berasal dari orang dalam!” ia berteriak, tatapannya berkeliling ke penjuru ruangan. “apa mungkin orang-orang di bagian keamanan?” Daniella berpikir lagi. Selain di lift, tempat-tempat ia bersama Nash selalu bersih dari cctv. Terlebih ruangannya. “Sea,” Daniella menatap tajam pada wanita yang berjarak lima meter di hadapannya. Wanita itu bergerak spontan menatap kembali Daniella. “salah nggak kalau aku curiga sama kamu?” dan semuanya pun terjawab. “Kenapa?” tanya Daniella tak percaya. Jawaban Sea bukan alasan yang bisa ia abaikan. Entah mengapa ia tak bisa menyalahkan wanita itu sepenuhnya. “keluar,” ia berucap pelan tapi tak seorangpun dapat mengabaikan nada marah di sana. Sea tak berusaha membela diri dan berlalu dari ruangan Daniella. _ Mobil itu melaju di atas kecepatan semestinya untuk wilayah padat seperti Jakarta. Klaksonnya berbunyi nyaring pada motor yang berusaha menghalangi jalurnya yang lurus. Di liriknya jalur di sebelah kanannya yang sepi, itu adalah jalur khusus busway. Daniella adalah anak yang dididik untuk taat aturan dan sampai sekarang ia tumbuh menjadi wanita yang benar-benar menghindari pelanggaran terutama hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Tapi mungkin ia akan membuat kecuali untuk hari ini. Ia membanting setirnya dengan cepat untuk memasuki jalur busway, melaju mengabaikan petugas yang bisa saja menilangnya. “Untung saja,” ia bergumam, jantungnya sebenarnya dari tadi sudah berlari bersama kecepatan mobil yang dikendarainya. Ya Tuhan, ia adalah wanita yang patuh. Demi satu tujuan yang ia sendiri masih belum tahu, Daniella sudah melanggar aturan. Wanita itu berhenti di jalan masuk sebuah gang. Jonathan sudah berbaik hati memberitahukannya tentang daerah tempat tinggal Nash. Tapi Jo kurangajar juga menurut Daniella karna bawahannya yang harus turut di bawah perintahnya itu malah mengerjainya. Nash tinggal di satu daerah yang ia datangi sekarang, tapi ia tidak tahu di mana tepatnya rumah Nash. Daniella mendengus kesal mengingat Jonathan yang menyuruhnya untuk mencarinya sendiri. Sial. Daniella membanting pintu mobilnya dengan kesal. Entahlah di situ bisa parkir atau tidak. Rasanya tidak mungkin ia membawa mobilnya memasuki gang yang lebih kecil di depannya. Ok. Jadi sekarang ia harus menanyai orang-orang di sana hanya bermodalkan nama Christian Nash. Demi Tuhan … ia harus mempertimbangkan untuk memecat karyawan seperti Jonathan dan Rios yang memilih tutup mulut itu. Apa teman-teman Nash memang tidak takut pada seseorang yang berkuasa? Arrggh .. Ia menghampiri beberapa gadis remaja yang duduk berkelompok di meja kecil di depan sebuah warung. Ia sudah memirkirkannya lebih dulu. Nash termasuk dalam kategori yang cukup bisa diminati wanita dan pasti termasuk remaja-remaja. “Permisi,” ucapnya menginterupsi, perhatian gadis-gadis remaja itu seketika tertuju padanya. “hmm … apa kalian tahu Christian Nash?” katanya dengan gugup, mencoba membaca wajah-wajah di depannya. “Maksudnya bang Nash mungkin,” sahut seorang dari mereka, cukup untuk meyakinkan Daniella kalau perkiraannya sebelumnya tidak salah. Ia segera mengangguk. “Saya sedang mencari rumahnya. Bisa minta tolong,” Daniella mengerut meminta bantuan. Terkadang ia seram juga memikirkan remaja-remaja yang sekarang ini banyak maunya. Entahlah, Daniella terlalu banyak berpikiran buruk. “Itu rumahnya,” tunjuk gadis yang satu lagi, “bang Nash!” ia berseru lagi. Daniella mengikuti arah gadis itu melihat. Ah, benar saja di sana ada Nash bersama seorang gadis. Dua orang itu sepertinya baru saja sampai. Nash melepaskan helmnya lalu merangkul gadis yang baru saja melompat dari boncengan motor Nash. “Bang Nash, ada yang nyariin!” seru gadis yang tadi. Nash melihat ke arah mereka. Oh, Daniella tidak suka tatapan berikutnya saat mata mereka bertemu. Dengan pasti Daniella berjalan menghampiri Nash setelah mengucapkan terimakasih pada sekelompok remaja itu. “Kita perlu bicara,” suaranya pelan. Tatapan Nash jelas-jelas menunjukkan bahwa pria itu tidak ingin bertemu dengannya. Atau jangan-jangan Nash memang sudah berniat untuk tidak bertemu dengannya lagi? Pikiran-pikiran itu membuatnya panik. Mereka bahkan belum memulai apa-apa, tidak adil jika harus berakhir. “Bicaralah,” kata Nash dingin. Daniella melirik gadis yang masih di sana, berdiri di samping Nash dengan tangan pria itu masih bertengger di bahu gadis itu. “Kamu masuk duluan,” kata Nash pada adiknya itu yang dibalas anggukan Nagita. Lalu Nash menatap Daniella lagi, “bicaralah,” Sial sungguh sial. Baru saja Daniella akan membuka mulut, gerimis tiba-tiba datang. Sejak tadi memang langit sudah menghitam. Tapi nggak saat ini juga, maki Daniella dalam hati. “Kita bicara di mobilku,” usul Daniella. “Kita bicara di dalam.” Nash berjalan memasuki rumahnya diikuti Daniella. Ketakutan Daniella menjadi bertambah. Dia sedang memasuki rumah seseorang yang dicintainya. Jika saja keadaannya bukan seperti sekarang ini, maka seharusnya ini adalah saat dimana ia diperkenalkan ke orang tua kekasihnya. Ya ampun, bahkan kata ‘kekasih’ membuat Daniella geli. Hubungan mereka belum sejauh itu. “Ibu,” Nash menyapa seorang wanita dengan celemek menggantung di lehernya. Wanita itu menghentikan aktivitasnya menata makanan di meja. Senyum mengembang di bibirnya. Daniella dapat melihat wanita itu akan menyambut Nash namun tertunda saat dilihatnya Daniella. Daniella mengangguk sopan dan mengulas senyum gugupnya. Ah, begini rupanya rasanya bertemu orang tua dari orang yang kau cintai. Ada rasa ragu dan takut apakah mereka akan menerimamu atau malah menolakmu karena tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. “Daniella, Bu. Dia bos Nash di kantor.” Nash mengambil alih. “Loh, bukannya abang udah dipecat?” Nash dan Daniella melirik Nagita yang baru keluar dari kamarnya dengan pakaian rumahan. Tadi ketika Daniella datang, Nagita sepertinya habis dari suatu tempat karena pakaian yang ia pakai terlihat rapi. Nash melihat ibunya lagi. Wanita itu mengerutkan kening lebih berlipat. “Nash lupa memberitahu ibu,” kata Nash menjelaskan. Ia memang belum bercerita pada ibunya perihal ia sudah kehilangan pekerjaannya. Penjelasan Nash tak mengurangi kerutan di wajah sang ibu, malah bertambah. “Baiklah, nanti akan Nash jelaskan semuanya. Sekarang Nash butuh bicara sama Daniella,” kata Nash pada akhirnya. “di luar hujan, makanya Nash mengajaknya masuk.” Ia menarik Daniella memasuki sebuah ruangan yang Daniella tebak sebuah kamar. Sebelum Nash menutup pintu ketika mereka sudah berada di dalam, Nagita masih sempat berseru sesuatu yang jelas menuduhkan sesuatu. “dan kenapa abang harus mengajaknya bicara di kamar?” Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN