Tidak Direstui

3278 Kata
Bagi seorang pria yang telah jatuh cinta pada seorang wanita, bertemu untuk pertama kali dengan orang tua sang wanita adalah salah satu hal yang paling berat. Banyak pria yang membutuhkan persiapan matang, baik itu mental maupun fisik. Karena kesan pertama adalah penentu untuk kelanjutan sebuah hubungan. Nash tidak pernah berpikir akan bertemu dengan kedua orang tua Daniella secepat ini, dan bahkan dalam sebuah moment yang bisa dibilang tidak baik—sangat buruk. Dalam hati Nash masih berterimakasih pada keberuntungan karena dirinya tidak tertangkap basah sedang pangku-pangkuan dengan Daniella. “Restoran biasa?” tawar Daniella ketika mereka melangkah keluar dari lift. Nash yang mengekor di belakang menyadari dirinya dan orang tua Daniella yang kini sedang melintas di loby utama menjadi pusat perhatian. Rios dan Jonathan juga saling senggol saat tak sengaja beradu pandang dengan Nash. Alena hanya mengangguk acuh tanpa melirik putri satu-satunya itu. Lengan wanita itu melingkar di lengan Daniel. Pertanyaan pertamanya pada Nash belum mendapat jawaban karena Daniella dengan cepat menyela beberapa menit yang lalu. Alena mengerti maksud Daniella, namun sayangnya anak gadisnya itu mungkin lupa pada sifat keras kepala sang ibu. “Biar Daniella yang menyetir,” sela Daniella lagi saat Alena akan masuk ke kursi penumpang mobil Daniel. “Ibu mau sama ayah.” Ketus Alena. Daniella mengangguk mengiyakan. “Kita pergi bersama kan?” tanyanya yang dijawab gelengan oleh Alena. “lalu? Tidak adil donk meninggalkan Nash sendiri menyusul kita.” Bantah Daniella tak terima. Lagipula ada apa dengan ibunya? Sejak kapan ibunya jadi memandang rendah orang yang tak memiliki pekerjaan. “Kamu pergi bersama dia, Daniella! Memangnya kapan ibu mengatakan kalau dia akan menyusul kita sendiri?” balas Alena lagi menanggapi kekesalan putrinya. Daniella baru saja menatapnya kesal dengan memelototkan mata besarnya. Sungguh tidak sopan. “dan berapa kali ibu harus bilang untuk menghilangkan kebiasaan itu?” Daniella akan membantah lagi jika Daniel tidak ambil suara. Pria itu hanya berdehem lalu kedua wanita yang tengah berdebat itu langsung diam. “Bisa kita berangkat?” tanya Daniel. Alena mendengus kesal masuk mobil dan duduk di sebelah Daniel. Beberapa detik kemudian wanita itu menurunkan kaca, “langsung menuju restoran. Jangan ada acara kelayapan. Tidak baik membuat orang tua menunggu.” Wanita itu memaksudkan perkataannya untuk Nash juga Daniella, namun tatapan Alena jatuh pada Nash, hingga Nash memutuskan untuk menundukkan kepala sebagai tanda mengiyakan. _ “Haruskah aku membuat alasan kalau tiba-tiba ibuku menyuruhku pulang?” “Tidak.” “Atau ada panggilan pekerjaan?” “No.” “Mungkin aku harus ke rumah sakit?” “Tidak, Nash! Aku bilang tidak ya tidak!” Nash bungkam. Daniella jika sudah mengamuk akan susah dibujuk. Dulu mungkin Nash tinggal mengucapkan ‘I love you’ Daniella akan langsung luluh. Atau dengan sebuah ciuman. Ah ya ciuman … “Haruskah aku-“ “Kubilang berhenti menawar, Nash!” bentak Daniella dengan kesal ketika mendengar kata penawaran lagi dari mulut Nash. Daniella kesal. Benar-benar kesal dengan tindakan Nash yang ingin lari dari pertemuan dengan orang tuanya. “Aku bahkan belum mengatakannya.” Nash menggumam. Daniella melirik sebentar lalu berfokus pada jalanan di depannya. Wanita itu sedih dan tidak suka dengan tingkah Nash. “Ini pertemuan pertamamu dengan ibu dan ayah, Nash. Aku mohon jangan membuat mereka kecewa. Kalau aku bisa mengucapkan kata ini, tolong jangan jadi pria pengecut. Ayahku pasti tak akan sudi menerimamu jika untuk bertemu dengannya saja kau takut.” Ucap wanita itu bertubi-tubi. Nash mendengarkan dengan serius. “Tapi tadi aku hanya ingin menawarkan bagaimana kalau aku menciummu.” Ucap pria itu dengan polos. Tak bisa dipungkiri, usia muda masih melekat dengan pria itu. Jangan salahkan jika dalam pembicaraan serius sekalipun, candaan masih bisa terucap. Daniella melirik, mendengus kemudian tak mampu menahan senyumnya. Harusnya Daniella akan tertawa jika saja beberapa menit yang lalu ia sedang tidak marah-marah. Nash duduk menyamping untuk memperhatikan wajah Daniella, menatap wanitanya dengan jenaka. “Jadi? Apakah penawaran terakhirku diterima?” Daniella tak menjawab. “Diam berarti iya?” Dan tanpa permisi ketika Daniella telah berhasil memarkirkan mobilnya di depan salah satu restoran khas Solo, Nash menarik lepas seatbelt-nya Daniella lalu merengkuh wajah wanita itu. “I’ll be gentle.” Bisiknya lalu mendaratkan bibirnya di bibir Daniella yang terbuka menyambut dirinya. Berkali-kali Nash mengecup dan sekedar bertahan di sana, hingga Daniella mendorong bahunya. “Jangan sampai ketahuan lagi.” Daniella memperingatkan. Ia segera merapikan kemeja dan memeriksa riasannya di kaca mobil sebelum keluar. Nash mengikuti di belakang Daniella. Sesungguhnya arti jentle yang dibisikkannya pada Daniella tak dimengerti Nash. Ia hanya terlalu sering mendengar frase itu dalam film-film barat. Nyatanya sekarang ketika kakinya melangkah memasuki restoran itu dan melihat orang tua Daniella di sana nyalinya menciut. _ Keempat orang itu bersantap dalam diam. Beberapa menit yang lalu ketika Alena ingin mengajukan pertanyaan, Daniel langsung menyela dan mengatakan jika sebaiknya mereka makan dulu. Dalam hati Nash berandai-andai jika saja makan yang benar adalah dengan cara menghitung nasi, ia akan mempersiapkan kata-kata dalam pikirannya untuk menjawab setiap pertanyaan dari ibu Daniella. Nash sadar, sejak pertemuan mereka di kantor tadi, Alena lah yang selalu menekannya. Tatapan wanita itu, Nash tidak menyukainya. Ketika Alena telah menghabiskan makanannya, buru-buru Nash menyelesaikan acara makannya juga. Mereka berdua terlihat sama-sama membersihkan mulut dengan serbet. Tinggal menghitung dari satu sampai lima, pikir Nash. “Hmm…” Nash harus memaksa dirinya untuk tidak terkesiap mendengar deheman Alena. Ia mengangkat wajah, mencoba menatap mata di hadapannya. “Jadi, apa pekerjaanmu, Nak?” Daniella mengalihkan pandangannya pada ibunya. “Ibu kenapa pertanyaannya kembali ke sana?” Alena mengabaikan putrinya. Ia menantikan jawaban pria yang telah berhasil merebut hati putrinya itu. “Nak?” wanita paruh baya itu menekan suara. “Tidak ada.” Jawab Nash akhirnya. Daniella melihat ekspresi ibunya seraya mengunyah habis makanan di mulut lalu meneguk air untuk mendorong makanan tersebut ke perutnya. “Bukan begitu, Bu.” Daniella mendengus ketika ibunya bersikap seolah ia tak ada di sana. “Nash sebelumnya bekerja menjadi asisten Daniella. Nash sangat ahli menganalisis, dia membantu Daniella yang masih belajar. Lalu Daniella membuat semuanya berantakan karena Daniella menyukainya.” Ia menunduk malu. Hahahaha … Daniella, Nash dan Alena dikagetkan dengan suara Daniel yang tertawa membahana. “Lihat, putriku memang menuruni semua sifatku.” Katanya bangga. “Ayahhh,” Daniella memberengut. Daniel masih berusaha menahan tawanya sedangkan Alena yang duduk di sampingnya hanya bisa menatap suaminya itu kesal. “Nak, apa tingkahnya membuatmu kewalahan?” Daniel tersenyum pada Nash. Nash tidak mengerti harus menjawab apa, ia melirik Daniella yang sepertinya sudah bersiap akan menyerang sang ayah. “Ell pasti terlalu agresif ya?” Daniel melirik putrinya hampir tergelak melihat ekspresi wanita kesayangannya itu. Sudah bisa dipastikan jika tebakannya benar. “Ayah berpikir hal ini akan terjadi saat aturan itu dicetuskan oleh Ell. Ayah bahkan sempat melarangnya tapi Ell bersikukuh kalau antara pegawai kantor menjalin hubungan akan menimbulkan masalah. Sekarang lihat, kamu merasakan karma, Nak?” Nash tersenyum kikuk, sedikit kesal pada Daniella yang ternyata sebagai dalang dari adanya aturan itu. Lihat sekarang, dirinya yang jadi korban. Ia menatap Daniella yang salah tingkah. “Ehemm..” Daniella dan Nash langsung kembali fokus pada wanita yang baru saja meminta perhatian mereka. “Berapa usiamu, Nak?” salah satu hal yang paling ingin ditanyakan Alena sejak tadi. Ia melihat kejanggalan lain selain masalah pekerjaan. Daniella akan menyuarakan sesuatu lagi namun Alena menatap tajam padanya. “Ada apa dengan kalian berdua?” ia menatap marah pada suaminya dan Daniella. “Saat aku bertanya padanya, maka biarkan dia yang menjawab!” Daniel menyandarkan kembali punggungnya pada kursi, demikian juga Daniella. Ia akan menjadi penonton. “24 tahun, Bu.” Jawab Nash ketika semua terdiam menantikan jawabannya. “Jika anda berpikiran saya merayu putri anda untuk mendapatkan posisi saya sebelumnya, anda salah. Saya bahkan menolak saat Ell menawarkan posisi yang sejatinya tidak ada di sana. Ketika saya membuat kesalahan dengan menanggapi perasaan Ell, saya telah mengundurkan diri.” Nash tidak tahan dipandang buruk oleh Alena. Jadi ia memutuskan untuk menjelaskan semuanya. “Saya sedang mencari pekerjaan saat ini.” Lanjut Nash. “Lalu apa yang kamu lakukan di kantor Daniella tadi?” Nash mulai memanas mendengar cecaran ibu Daniella tersebut. Seandainya tidak memedulikan perasaan wanitanya, ia sudah memilih meninggalkan tempat itu. “Saya-“ “Ell yang memintanya datang, Bu!” Daniella memotong ketika Nash akan menjawab. “Datang untuk bermesraan? Di dalam kantor?” Alena menatap putrinya tak percaya. “Bukan begitu. Ada berkas yang tidak bisa Ell mengerti, Ell akan meminta bantuan Nash.” “Jadi apa fungsinya konsultan perusahaan?” “Alex sedang aku tugaskan meninjau proyek di luar kota.” Kali ini Daniel yang menjawab. Alex adalah konsultan handal yang mereka percaya sejauh ini. Bahkan Daniel tidak bisa mencari konsultan baru meskipun perusahaanya butuh lebih banyak konsultan. Alena mendengus, ia membuang napas kesal. “Tidak memiliki pekerjaan dan masih 24 tahun, Daniella?!” Alena menatap putrinya tidak percaya, sama halnya dengan Daniella yang menatap Alena juga merasa tak percaya dengan ucapan ibunya. Wanita itu menggebrak meja cukup keras. “Ell rasa ibu sudah keterlaluan. Tadinya Ell pikir ibu hanya sedang bermain-main dengan pertanyaan ibu, tapi tatapan ibu sebenarnya tidak bisa berbohong.” Wajah Daniella memerah karena marah sedangkan genangan di pelupuk matanya hampir saja tumpah. “Ell sudah menahan diri dari tadi. Tapi ibu juga harusnya ingat dari mana asal ibu sebelum ayah menikahi ibu. Tidak lebih baik dari Nash, Bu!!” Daniella meraih tas tangannya kemudian beranjak dari sana. Air mata yang ia tahan akhirnya tumpah. Ditambah lagi rasa bersalah ketika ia mengucapkan kata-kata yang tak pantas pada ibunya. Wanita itu berlari ke pintu keluar dan menumpahkan tangisnya di dalam mobil. “Susul dia, Nak.” Nash mengangguk pada Daniel lalu mengucapkan salam pada pasangan suami istri itu. Dengan enggan meninggalkan Alena yang terlihat syok. Nash mengucapkan permintaan maafnya berulang kali meskipun tak mendapat tanggapan dari Alena. Alena mondar mandir sejak mereka tiba di rumah. Waktu telah menunjukkan pada pertengahan angka dua belas dan angka satu namun tanda-tanda kedatangan Daniella tak ada. Setiap kali terdengar suara mobil dari kejauhan, wanita paruh baya itu akan langsung berlari ke balkon demi memastikan apakah itu putrinya atau tidak. “Aku benar-benar tidak bermaksud, Yah…” Daniel merangkul bahu istrinya. Sejak perjalanan pulang mereka melakukan perdebatan dan kali ini perdebatan dimenangkan oleh Daniel. “Bagaimana bisa kalian mengartikan tatapanku pada pria itu tatapan merendahkan? Aku hanya ingin memastikan kalau dia benar-benar mencintai putri kita dan bisa bertanggung jawab pada kehidupan putri kita.” Lanjutnya. “Demi Tuhan, aku tidak bermaksud…” ucapnya dengan khawatir. Kedua tangannya saling menggenggam. Alena tak bisa membayangkan sesuatu terjadi pada putrinya hanya karena kesalahpahaman. Daniel merangkul bahu istrinya seraya membawa wanita kesayangannya itu ke tempat tidur. “Tidurlah, Ell akan baik-baik saja. Biar aku yang urus.” Alena mengangguk. Kekuatannya adalah Daniel dan Daniella. Ia takkan bisa hidup jika salah satu di antara mereka menghilang dari kehidupannya. Alena takkan sanggup. _ Daniella menyenderkan punggungnya di senderan mobil seraya melirik ponselnya yang terus bergetar. Ibu dan ayahnya tak lagi menghubunginya, namun rupanya Nash tidak ingin menyerah. “Ya?” sahutnya ketika menggeser tanda hijau di layar. “Dimana?” “Aku tidak berniat memberi tahu.” Daniella menjawab tak acuh. Terdengar helaan napas dari seberang serta gumaman tak puas dari Nash. “Aku menyerah, Ell. Sebaiknya kita berhenti.” Daniella langsung gelagapan. Apa maksudnya mereka putus? “Nash apa maksudmu? Halo, halo, Nash?” Dengan panik Daniela mendial kembali nomor Nash. “Nash apa maksudmu?!!” cecarnya saat Nash baru saja menerima panggilannya. “Aku tak berniat memberi tahu.” Balas Nash. “Nash!!” Daniella frustasi sendiri. “Kau memutuskanku?” tanyanya dengan suara lemah. “Sekarang katakan kau ada dimana?” _ Tok tok Daniella tersentak dari tidurnya dengan panik. Ia menghentikan mobilnya di sebuah rest are yang kini mulai sepi. Letih karena menyetir seharian membuatnya tertidur. Dengan takut ia menurunkan kaca mobilnya. Ia menghela napas lega. “Buka pintunya.” Perintah pria itu, Daniella menurut. “Jika kau ingin tahu apa maksudku mengajakmu putus salah satu alasannya adalah ini. Aku tidak akan bersedia menunggu bus tengah malam hanya untuk menyusul kekasihku yang melarikan diri.” Ucap Nash kesal. Tangan pria itu terjulur untuk mematikan AC karena ia sudah cukup kedinginan dalam perjalanan. Daniella entah apa yang dipikirkan wanita itu mengendarai mobilnya menuju puncak walaupun sekarang ia hanya berakhir di rest area daerah Sentul. Daniella mengulum senyum. “Tapi sekarang aku melihatmu di sini. Duduk di sampingku.” “Hanya kali ini. Selanjutnya tidak akan.” “Aku juga tidak ada rencana untuk melarikan diri ke sini lagi. Capek kalau harus mengulangi hal yang sama. Aku harus menuju tempat yang lebih jauh.” Daniella tampak pura-pura memikirkan kemana ia akan pergi selanjutnya. Nash menghela napas dengan berat. “Kita benar-benar putus sekarang ya, Ell.” Sarannya dengan penuh pertimbangan. Detik itu juga Daniella langsung menghantamnya dengan pukulan. “Kenapa kau gampang sekali mengatakan putus, Nash?” geramnya. “Dan kenapa kau gampang sekali mempermainkan perasaan orang?” balas Nash. “Aku tidak mempermainkanmu!” bantahnya. Sejak kapan juga ia mempermainkan perasaan Nash. Siapapun tahu jika dirinya amat sangat memuja pria itu. Nash menggeleng. Ia meraih kedua bahu Daniella. Kini mereka saling berhadapan. “Membuat ayah dan ibumu khawatir menurutmu itu tidak mempermainkan perasaan? Aku yang hampir gila memikirkan apa yang bisa saja terjadi padamu, apakah itu tidak bisa disebut mempermainkan perasaan, Ell? Sementara kau di sini dengan santainya tidur hah?” Daniella menundukkan kepalanya, tak lagi berani menatap mata Nash. Benar juga, ia sudah bisa membayangkan bagaimana ayah dan ibunya sekarang. Ah tunggu dulu, mungkin ibunya harus dipertimbangan dulu apakah wanita itu khawatir padanya atau tidak. “Kita pulang.” Nash memutuskan. Ia akan mengambil tempat duduk Daniella tapi wanita itu menghalanginya. “Aku tidak mau.” “Ell …” geram Nash. “Untuk saat ini aku tidak mau pulang. Setidaknya sampai besok.” Pintanya. Nash mengalah. Dilihatnya ponsel Daniella yang tercampak di dashboard. “Setidaknya kabari mereka dulu.” Nash menyerahkan ponsel Daniella. Wanita itu menggeleng. “Aku tidak mau.” Jawaban Daniella membuat Nash mengerang frustasi. “Kau saja yang memberi tahu mereka.” Kata Daniella yang akhirnya dituruti Nash. Pria itu menekan sebuat nama di ponsel Daniella yang langsung terhubung. Terdengar cecaran pertanyaan pada Daniella dari dua orang di sambungan telepon. “Ini saya Nash, Pak. Daniella ada bersama saya.” Nash mendengar kelegaan dari Daniel dan Alena. Selanjutnya pria itu meminta Daniella berbicara dengannya namun Nash dengan berat hati harus menolak setelah susah payah membujuk Daniella. “Tidak apa-apa, Nak. Tolong jaga Daniella ya,” pinta Daniel pada akhirnya. Nash mengangguk lalu mematikan sambungan. “Keras kepala.” Gumam Nash tanpa harus melirik orang yang dimaksud. _ Daniella bergerak tak nyaman di kursinya sedangkan matanya benar-benar butuh diistirahatkan. Dengan kesal ia melirik pria di sampingnya yang tampak santai dengan memejamkan mata. “Nash, kau tidak melihatku tidak bisa tidur?” tanya wanita itu setelah sebelumnya memukul lengan Nash dengan kasar. Nash melirik ke sampingnya. “Lalu?” katanya dengan mengangkat lengannya untuk kembali menutup mata. Daniella merengut lalu memukul kepala Nash lebih kasar. “Apa sih, Ell?” katanya kesal. Badannya sudah remuk redam dan sekarang wanita di sampingnya mulai bertingkah. Haruskah ia benar-benar memutuskan wanita itu lagi. “Nash, harusnya kau itu menawarkan diri untuk membantuku bisa berbaring dengan nyaman supaya aku bisa tertidur.” Katanya dengan kesal. Pria semacam apa sih orang di sampingnya? Kepekaan yang dimaksudkan harus tertanam dalam diri setiap pria seharusnya tak diharapkannya dari seorang Nash. Nash menggaruk kepala. Ini kasusnya berbeda. Daniella adalah pacar pertamanya, yang artinya dia tidak tahu jika ada aturan semacam itu. Akhirnya Nash melirik ke kursi di belakang. Di sana ada beberapa bantal-bantal mungil yang lebih mirip boleka. Ia meraih benda itu lalu diletakkan dipangkuannya. Setelahnya ia meminta Daniella untuk berbaring. Daniella menanggapi perlakuan Nash dengan semangat. Wanita itu tak bisa menghilangan senyumnya ketika ia bisa dengan jelas menatap wajah Nash dari posisinya saat ini. Ya Tuhan, ingin sekali rasanya ia meraih leher Nash untuk menciumnya. Jika hanya berbaring seperti itu rasanya mulai membosankan ketika beberapa menit terlewat. “Nash,” pancing Daniella. “Aku mengantuk, Ell. Ini hampir subuh dan aku sama sekali belum tidur.” Keluh Nash. Ingin rasanya Daniella menyerah saja melihat Nash yang sepertinya memang sangat butuh istirahat. Tapi apa boleh buat, jika dirinya ingin sangat ingin melakukan hal yang berseliweran di otaknya. Mau tidak mau akhirnya ia mengangkat ke dua tangannya ke atas kepala dan leher Nash. Didorongnya wajah pria itu hingga menunduk tepat di atas wajahnya. Kemudian Daniella mengangkat kepalanya hingga bibirnya bersentuhan dengan bibir Nash. Wanita itu tersenyum kesenangan. “Ada saat-saat dimana aku benar-benar menyesal bertemu denganmu.” Nash menggeram kesal lalu menundukkan kepalanya untuk memperdalam lumatannya pada rasa manis yang diberikan Daniella. Nash mengakhiri ciumannya dengan beberapa kali kecupan, meninggalkan senyum di bibir Daniella yang masih memejamkan mata. Ketika Nash akan menegakkan kepala, Daniella meraih jemari Nash, meletakkannya di ujung kepalanya. “Aku baru bisa tidur jika kau melakukan ini.” Ucapnya. Nash yang langsung mengerti maksud Daniella segera menyisirkan jemarinya di surai wanita itu. Perlahan-lahan Daniella terlelap. Wanita itu sungguh ingin menghabiskan tiap malamnya dengan Nash mengusap dan membelai rambutnya. Semoga saja suatu saat nanti … batin Daniella. _ Jonathan dan Rios sengaja berkunjung pagi-pagi ke rumah Nash. Rencana ingin menginterogasi temannya itu pun gagal saat orang yang hendak ditemui ternyata tidak ada di sana. “Kakak tidak pulang sejak kemarin.” Begitu informasi yang diberikan Nagita ketika mereka berdua tiba di sana. Rios dan Jonathan langsung saling bertatapan, memikirkan apapun yang jadi kemungkinan. “Mungkin sekarang Nash sedang disekap atau dikasih penawaran untuk pergi jauh dari bos cantik.” Jonathan menebak. Rios menatap sahabatnya itu nyalang. “Kau masih suka menonton sinetron?” “Drama Korea ketika Juli ada di rumah.” Jawab Jonathan meski tidak tahu maksud pertanyaan Rios. “Pantas saja.” Komentar Nash. Perhatiannya langsung teralihkan ketika Nagita muncul dengan nampan di tangannya. “Uhuyyy!” Jonathan menyenggol bahu Rios. “jangan ditatap seperti itu. Lihat, Nagita jadi gugup.” Rios memukul Jonathan. Sedangkan Nagita yang jadi objek pembicaraan tak mampu menahan semburat merah muncul di wajahnya. “Jangan pedulikan dia.” Ucap Rios meraih piring yang akan diletakkan di atas meja. Pria itu juga membantu gadis itu ketika akan meletakkan dua gelas teh. “Kau akan berangkat kuliah?” Rios bertanya yang ditanggapi siulan Jonathan. “Manfaatin waktu sebaik-baiknya karna Nash nggak ada, Bro?” Nagita melirik sebal pada Jonathan. “nggak, Kak. Nagita kuliah jam sepuluh.” Jawabnya. “Tepat sekali. Nanti menumpang dengan motor Rios saja, Dek.” Lagi-lagi Jonathan menjadi pemberi keputusan. _ “Memangnya kak Nash kemana, Kak?” Rios melirik gadis yang kini duduk di boncengannya. Dengan sepasang lengan yang kini melingkar di perut Rios. Pria itu akan berterimakasih nanti pada Jonathan yang menjadi dalang dari semua ini. “Kakak tidak tahu pasti. Kemungkinan besar dia sedang bersama Daniella dan keluarganya.” Jawab Rios seadanya. Ia hanya bisa memberi kemungkinan karena terakhir ia melihat Nash adalah kemarin saat Nash, Daniella dan kedua orang tuanya melintasi loby. Nagita yang mendengarnya tiba-tiba terdiam, raut wajahnya menyiratkan kesedihan. “Ada masalah?” Tanya Rios ingin tahu penyebab perubahan ekspresi gadis itu. “Aku hanya khawatir dengan hubungan kak Nash dan kak Daniella. Bagaimana kalau keluarga kak Daniella menantang hubungan mereka? Kak Nash baru kali ini dekat dengan seorang wanita dan wanita itu jelas-jelas tidak setara dengan kami.” Rios mengerti apa yang dipikirkan Nagita. Ia pun akan berpikiran sama jika ia tak melihat besarnya cinta bos cantik mereka pada Nash. Tak mampu member saran ataupun pendapat untuk meyakinkan Nagita, Rios memilih menangkup jemari Nagita. Berpikir jika sekarang hanya itu yang bisa ia lakukan. Mereka sama-sama berharap yang terbaik untuk Nash. Bersambung ..  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN