Part 1

1493 Kata
Dering suara ponsel membangunkan seorang pemuda tampan berusia 19 tahun dari tidur pulasnya. Semalam ia pulang larut dari pesta perayaan kemenangan salah satu klub sepakbola terkemuka kota London yang merupakan klub kesayangannya. Lagipula ini hari Minggu jadi tak ada salahnya bermalas-malasan, terlebih ia tinggal seorang diri.  Diraihnya ponsel yang tergeletak di dekat bantal dengan rasa enggan. Siapa gerangan yang telah menganggu tidur nyenyaknya. Padahal ia berencana bangun tengah hari. Begitu membuka matanya terlihat di layar ponselnya nama Bunda Sarah, ibu kandungnya yang tinggal di Jakarta. "Assalamu'alaikum, Hallo Bund!" Pemuda itu menjawab panggilan dengan malas dalam posisi masih berbaring. Sebagian selimut menutupi tubuhnya. Tentunya ia berbicara dengan suara serak khas bangun tidur. "Waalikumsalam, kamu baru bangun? Dari tadi bunda telepon ga diangkat." Wanita yang merupakan ibu kandung Alfin itu terdengar sedikit mengomel. "Iya Bund. Aku lagi ga enak badan." Ia beralasan. Tak ingin mendapatkan ceramah panjang lebar. Alfin mengubah posisinya menjadi duduk seraya melirik jam dinding yang menunjukkan angka 10 waktu setempat. Artinya di Jakarta sana sudah sore. "Kamu jangan lupa sholat!" ibunya mengingatkan. Sholat. Sejak pindah ke negeri Ratu Elizabeth sholatnya sering bolong.  Terutama sholat subuh. Ia terlalu sibuk dengan aktivitas kampus sehingga lalai akan kewajibannya sebagai seorang muslim. Belum lagi lingkungan yang kurang mendukung. Keimanan dan ketakwaannya menurun. "Bunda mohon kamu pulang ke Jakarta lusa sekarang. Ada hal penting yang ingin ayah dan Bunda sampaikan." Bu Sarah bicara dengan nada penuh tekanan. "Sepenting apa sih Bund? Kenapa tidak lewat telepon saja kalau ada hal penting yang akan disampaikan. Ribet amat. Alfin belum libur dan belum bisa ke Jakarta." Alfin sedikit kesal karena sang Bunda tak berpikir panjang. Perjalanan London-Jakarta bukan perjalanan dekat. Waktu liburan pun belum tiba dan masih lama, ia belum berencana pulang ke tanah air. Lagipula ia sengaja ingin menghilang untuk sesaat. Ada apa gerangan ibunya memintanya pulang. "Maaf tidak bisa Fin. Ini urgent. Kita harus bicara langsung. Pokoknya kamu segera pulang. Kalau tidak semua fasilitas kamu, Bunda blokir." Bu Sarah memberikan ancaman. Dia menginginkan putranya pulang secepatnya. Belum sempat Alfin memutuskan "ya atau tidak" panggilan tiba-tiba terputus. Pemuda bernama Alfin itu menghela nafas panjang menahan rasa kesalnya. Tatapannya masih tertuju pada layar ponselnya berharap sang Bunda kembali menelponnya. Namun hingga seperempat jam menanti tak kunjung ada panggilan. Ia masih diliputi rasa penasaran. Pulang ke Jakarta bukan hal yang diinginkan olehnya. Bahkan ia berencana akan pulang dua tahun lagi karena ingin melupakan masalah yang pernah menimpa dirinya. Masa lalu yang membuat hidupnya tak tenang. Perasaan bersalah selalu menghantuinya baik siang maupun malam.  Sebenarnya ada apa dengan Bunda. Batinnya. Membayangkan ancaman pemblokiran tadi pemuda tampan itu sedikit was-was. Selama ini ia hidup sangat nyaman. Apartemen mewah dan uang saku yang lebih dari cukup. Apapun yang dikehendakinya pasti terkabul. *** Tiga hari kemudian Alfin tiba di Jakarta. Akhirnya ia mau mengalah untuk menuruti perintah ibunya, memutuskan pulang ke tanah air. Terlebih sang Ayah terus membujuk dirinya, sehingga tak ada alasan untuk menolak. Belum setahun ia pergi meninggalkan kota kelahirannya, tak ada yang berubah semua tetap sama. Begitu tiba di rumah, suasana tampak sepi. Sama seperti dirinya yang selalu merasa kesepian. Jiwanya sunyi hatinya kosong. "Assalamualaikum." Alfin mengucap salam saat masuk ke ruang tamu. "Waalaikumsalam, Den Alfin pulang." Mak Minah, ARTnya menyambut kedatangan Alfin dengan membukakan pintu. Alfin mencium tangan ART yang sudah dianggap neneknya itu dengan hormat. "Iya, Mak. Bunda mana?" Pria berhidung mancung itu menanyakan ayah ibunya. Ini baru pukul delapan malam, tak mungkin mereka tidur apalagi ia telah mengabarkan kepulangannya. "Di kamar, Den." Mak Minah menjawab dengan senyuman menampakkan dua gigi gerahamnya yang ompong. "Oh." "Ya sudah Emak ke belakang dulu. Den Alfin mau dibuatkan minum apa? coklat panas atau kopi?" tanyanya. "Ga usah Mak. Terimakasih," tolak Alfin. Pemuda berambut cepak itu lantas berjalan menuju lantai atas sambil menggeret kopernya. Ada sedikit kejanggalan, bukankah sang bunda menyuruhnya pulang. Mengapa tak ada sambutan. Padahal orang tuanya tak bisa menjemputnya ke bandara. Tak ada sopir pribadi juga yang diutus.  Ia harus naik taksi sendiri agar bisa sampai ke rumah. Oek..oek..oek... Tiba-tiba Alfin menangkap suara tangisan bayi yang ia yakini  berasal dari salah satu kamar di lantai atas. Oek...oek... Sekali lagi suaranya semakin keras. Entah mengapa tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat. Ada getaran aneh yang tiba-tiba menjalar di tubuhnya. "Alfin." Bu Sarah keluar dari kamar yang terletak di samping kamar pribadinya. Itu merupakan kamar Alex. "Bunda," Alfin tersenyum. Wanita paruh baya itu mendekat ke arah Alfin yang masih berdiri, wanita itu segera menyambut kedatangan putranya namun tak sehangat biasanya. "Kamu sudah datang?!" gumamnya. "Bunda, apa kabar". Alfin mencium tangan ibunya. Pandangannya tak lepas pada Bayi dalam gendongan kain jarik sang Bunda. Hatinya mendadak berdebar tak karuan. "It...u ba..yi siapa?" Pemuda jangkung itu menatap ibunya meminta jawaban. Dilihat dari pakaian dan kain bedongnya yang serba pink Alfin yakin itu bayi perempuan. "Ini cucu Bunda," jawabnya dengan nada bergetar. Sorot mata Bu Sarah tampak menggambarkan perasaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Pikiran wanita itu sedang kacau. "Seorang gadis mengantarnya beberapa hari yang lalu." Wanita berusia 50an itu menjawab sambil menatap bayi dalam gendongannya dengan iba. Ada gejolak emosi yang ditahannya. Deg Deg Ingatan Alfin langsung tertuju kepada Rara. Mungkinkah? Ia menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin.  "Dan bayi ini juga yang menjadi alasan agar kamu segera pulang. Gadis bernama Tania mengantarkan bayi ini pada malam hari. Dia bilang ini anak hasil dari hubungan kamu dengan gadis bernama Rara." Wanita itu tak kuasa menahan bulir-bulir air mata yang jatuh begitu saja dari pelupuk matanya. Beberapa hari ini ia berusaha mengendalikan emosinya. Sayangnya, ia tak kuasa. Hampir tiap hari ia menangis. Semoga apa yang disampaikan oleh  gadis pengantar bayi yang mengaku bernama Tania itu bohong belaka. Menitipkan bayi dalam gendongannya beberapa hari lalu dengan memberikan pernyataan bahwa itu anak Alfin. Semua bagaikan mimpi buruk. Sekali lagi Alfin menggelengkan kepalanya. Ucapan ibunya sulit untuk dipercaya. Rara. "Apa benar kamu sudah menghamili anak gadis orang?" Tiba-tiba sang ayah muncul dari kamarnya. Sejak beberapa hari terakhir ini ia pun sama seperti istrinya merasa tertekan dengan perasaannya. Penyakit darah tinggi yang di deritanya pun kembali kambuh. Ia malu dengan bisik-bisik para pegawai di rumah. Untung tetangga belum ada yang tahu karena jarak dengan rumah lain cukup jauh. Alfin diam membeku. Lidahnya begitu kelu. "Pada awalnya Bunda tidak yakin jika bayi ini adalah anak kamu. Namun semakin hari Bunda percaya jika ini adalah cucu Bunda. Dia mengingatkan Bunda kepada kamu sewaktu bayi." Bu Sarah menatap putra bungsunya. Sejak tadi Alfin berusaha menunduk. Perasaannya tak menentu. Alfin terdiam. Ia kembali teringat sosok Rara mantan kekasihnya yang ia putuskan saat memberi tahukan kabar kehamilannya. Alfin pikir gadis itu telah menggugurkan kandungannya. "Jawab Fin!!" Sang Ayah tak sabar menunggu penjelasan putranya.  pria berusia 55 tahun itu tampak menahan amarahnya. Alfin tertunduk lemah. Ia memang  telah melakukan kesalahan yang besar meninggalkan pacarnya dalam keadaan hamil. Ia merahasiakan itu dari orangtuanya. Namun ia juga ingin memberikan pembelaan. Tidak ia "Ia aku sudah melakukan kesalahan. Namun dia sudah menggugurkan kandungan, Alfin ayakin bayi ini bukan anak Alfin. Bisa saja ini akal-akalan seseorang. Apalagi Bunda bilang gadis yang mengantarkan bayi ini bernama Tania." Alfin berusaha menyangkal. Ia terlalu pengecut untuk mengakui kesalahannya. Plak Plak Pak Ali menampar pipi kanan dan kiri putranya dengan keras. Tampak dari sudut bibir putranya keluar darah. "Ayah!!" Bu Sarah terkejut tak menyangka suaminya bertindak kasar. Selama ini tak pernah ia membentak apalagi sampai menampar anak-anaknya. "Dia harus diberi pelajaran. Kamu tidak mau mengakui mengakui anak kamu?" tatapan matanya berubah setajam elang. Pak Ali yang selalu ramah dan lemah lembut berubah menjadi sosok yang menakutkan. "Kamu b******n!" Ia ingin menonjok perut anaknya, untunglah Bu Sarah menghalangi sehingga Alfin terhindar dari amukan Pak Ali. "Seharusnya waktu itu kamu bercerita kepada kami tentang apa yang terjadi. Sejak dulu ayah selalu menekankan pentingnya tanggung jawab. Sayangnya kamu tak mematuhi Ayah." Pria paruh baya itu tampak menangis. "Bunda pun tidak menyangka kamu melakukan hal sebejad itu Fin. Selama ini Bunda mendidik kamu dengan baik. Bunda panggil guru ngaji. Bunda percaya jika kamu anak yang baik. Tapi kamu tega sekali menyakiti dan mencampakkan seorang gadis. Bagaimana nasibnya saat ini." Bu Sarah mulai meneteskan air matanya. "Maafkan Alfin Bund." Alfin berlutut. "Maaf tidak akan mengubah apa yang pernah terjadi." Bu Sarah menarik tangan Alfin. "Bertobatlah. Minta ampunan Allah. Masih ada waktu untuk " Pak Ali masih tampak kesal namun ia tak ingin terus memojokkan putranya. Bu Sarah bisa merasakan apa yang dialami oleh pacar anaknya. Dulu ia pernah hamil tanpa di dampingi suami karena mantan suaminya berselingkuh dan meninggalkannya. Betapa sakit dan berat. "Dosa zina itu sungguh besar. Kasihan bayi itu. Dia seorang perempuan yang butuh wali nikah. Ayah sebagai kakeknya dan kamu sebagai ayahnya tidak berhak menjadi walinya.Ia tak akan mendapatkan hak apapun. Saat meninggalkan pun nisannya hanya akan tertulis sebagai anak ibunya. " pak Ali menyesali semua nya. Perbuatan putra kebanggaannya. Ia juga merasa gagal menjadi seorang ayah yang baik. Ia terlalu sibuk sehingga tak bisa mengontrol Alfin. Nasi sudah menjadi bubur "Aku ingin melakukan tes DNA." Alfin seolah menantang , ia masih tidak yakin jika bayi itu adalah anak kandungnya. "Alfin!" Pak Ali yang sudah tenang kembali tersulut emosinya. Anak bungsunya itu benar-benar keterlaluan. "Kita lakukan saja, Yah!"  Bu Sarah menarik lengan suaminya meninggalkan Alfin yang diam. Anaknya sungguh gila, sudah mengaku pernah berzina dan menghamili anak orang, dia bilang bayinya sudah digugurkan. Terus itu bayi siapa. Alfin melangkah gontai menuju kamarnya, ini adalah sambutan luar biasa yang diterimanya. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN