Part 3 Anasyanda Jelita

1227 Kata
Siang hari, Kelana merasa tubuhnya diguncang perlahan. Saat dia membuka matanya, dilihatnya Adjie membawa semangkuk bubur. "Sudah enakan? Makan dulu ya? Bude tadi buatin bubur buatmu. Aku tadi bilang sama bude, biasanya kalau lagi sakit perut kamu sukanya makan bubur. Sama bude langsung dimasakin. Aku suapi ya." Adjie berkata lembut, kemudianmeletakkan mangkuk berisi bubur itu di nakas dan membantu Kelana untuk duduk menyandar. Perlahan mulai disuapinya istrinya yang cantik itu. "Aku kok malah jadi ngerepotin bude ya, Mas? Jadi gak enak hati. Nanti habis sholat aku mau bantuin bude beberes dulu gak papa ya Mas." "Kata bude, gak usah memikirkan pekerjaan, wong sudah banyak tetangga yang bantuin kok. Kamu istirahat dulu saja. Pengajian ibu-ibu kan habis sholat ashar, bude dan Mbak Retno minta kamu yang mengaji. Aku bilang iya tadi. Gak papa kan?" Adjie mengiyakan permintaan bude dan sepupunya agar Kelana yang mengaji karena dia tahu betapa merdu suara istrinya saat mengaji. Lagipula agar ibunya bisa luluh hatinya mendengar menantunya mengaji, harapnya sih begitu. Kelana tersenyum dan mengangguk senang. Setidaknya dia merasa berguna. Sebenarnya ada yang ingin dia bicarakan serius dengan Adjie, mengapa ibu mertuanya sangat membencinya. Tapi dia tak sampai hati menyampaikan itu. Biarlah nanti di Jakarta baru dia akan menanyakan pada Adjie. "Sudah mas buburnya, terima kasih. Sudah kenyang. Aku mau sholat dulu. Mas sudah sholat?" "Sudah tadi bareng Pakde ke masjid, sekalian berbincang tentang acara nanti malam. Mmm... habis ini aku akan minta Gendis menemani kamu ya. Terserah kamu mau istirahat lagi atau mau bantu beberes. Tentang ibu, jangan diambil hati ya sayang, maafkan ibu, mungkin karena beliau ingin segera dapat cucu." Adjie berkata hati-hati. Perempuan tangguh di depannya ini sangat rapuh kalau sudah disinggung masalah anak. Tidak hanya Kelana sebenarnya, tapi pasti semua perempuan di dunia ini pasti akan langsung merasa sedih jika ditanya momongan yang tak kunjung hadir di rahimnya. Sore hari saat pengajian untuk ibu-ibu, yang diadakan di rumah Mbak Retno, tak jauh dari rumah Bude Joko, Kelana yang tampil sangat anggun dengan baju muslimah dan berkerudung, memperdengarkan suara merdunya mengaji. Banyak yang tak menyangka bahwa dirinya bisa mengaji seindah itu. Beberapa di antara ibu-ibu itu bahkan tak segan memujinya. Juga Mbak Retno dan Bude Joko - si empunya acara. Adjie juga tersenyum bangga pada istrinya itu. Awalnya juga dia tak menyangka kalau Kelana akan se-sholeha itu. Dikiranya dengan tinggal di benua lain akan membuat Kelana hidup bebas layaknya di film-film yang sering ditontonnya. Ternyata dia salah. Jangankan hidup bebas, Kelana bahkan masih segelan, perawan ting-ting, dan dialah yang membuka segelan itu. Benar-benar sebuah paket lengkap! Sungguh, sudah seharusnya dia bersyukur akan hal itu. "Waah Bu Lastri beruntung banget ya punya mantu Mbak Kelana. Putrinya Ndoro Rekso, wis ayu, baik, ndak sombong, laah pinter ngaji juga." Beberapa ibu-ibu itu memberi ucapan tulus pada Bu Lastri, yang sedang duduk di sebelah Adjie. Kelana sendiri sedang bantu beberes karena akan digunakan untuk pengajian bapak-bapak ba'da Isya. "Iyaa, ayu ... tapi gak bisa kasih anak mah buat apa?! Mandul?" Jawab Bu Lastri dengan nada ketus, membuat ibu-ibu yang komentar itu menjadi heran dan segera menyingkir. Tidak mau terlibat lebih jauh dalam urusan rumah tangga orang lain. "Bu..." Sentuh Adjie ke tangan ibunya, mencoba mengingatkan ibunya. "Tolong jangan berkata seperti itu. Kasihan Kelana." "Loh lah wong memang kenyataan kok. Emang ibu salah bicara?" "Sudahlah bu, mungkin memang kami belum dipercaya sama Yang Di Atas. Kan Kelana juga pernah hamil walau keguguran. Jadi Kelana tidak mandul bu, aku juga tidak." "Haaah karepmu wiss!" Bu Lastri kemudian berdiri dan meninggalkan Adjie dengan kesal. Adjie termenung sebentar, sebelum akhirnya memutuskan untuk membantu Kelana dan Pakde Joko beberes rumah. Dia sendiri juga bingung tak tahu harus bagaimana. Malam hari, suasana di rumah Mbak Retno yang tak jauh dari kediaman Pakde Joko, lebih meriah. Bapak-bapak yang hadir lebih banyak. Ditambah lagi anak-anak kecil tetangga yang berlarian ke sana sini, diterangi cahaya rembulan purnama. Ada yang main petak umpet, ada yang main gobak sodor, ular naga, ada yang hanya berlarian saja. Semua tertawa gembira, khas anak-anak yang belum tahu kerasnya hidup. Kelana juga tertawa kecil, tampak sangat menikmati pemandangan di depannya. Lahir dan besar di Jakarta, membuatnya hanya tahu permainan-permainan anak-anak itu dari buku sekolah. Dan hanya dipraktikan di sekolah saja, saat pelajaran Budaya Jakarta. Di rumahnya dia lebih sering berenang dan berkuda, atau bahkan kempo sesekali, mengikuti kedua kakak laki-lakinya. Melihat anak-anak ini menjadi salah satu hiburan baginya. Setelah seharian hidupnya terasa muram. Acara pengajian sudah selesai. Sekarang hanya tinggal mengobrol saja. Ada beberapa yang bantu beberes, ada pula yang masih asyik minum kopi dan main catur. Kelana duduk ditemani dua anak perempuan Mbak Retno yang masih sekolah dasar. Terlibat percakapan yang cukup seru karena saat Adjie datang pun, Kelana tak menyadarinya. Adjie menepuk sayang pundak Kelana dari belakang agar tidak mengagetkan. Dan akhirnya ikut nimbrung. Kelana tampak asyik mengamati anak-anak bermain. Sesekali tersenyum melihat tingkah polah mereka. "Kamu gak pernah main seperti ini pas waktu kecil ya? Sampai takjub gitu." "Iyaa... Mas kan tahu sendiri aku lahir dan besar di Jakarta, gak ada pula teman sebaya yang bisa diajak main seperti ini, teman dekat cuma Mawar dan Kalista. Itupun karena mereka anak-anak kolega bisnis pap ." Mata Kelana kembali memperhatikan anak-anak itu bermain. "Eeh Mas dulu pas kecil pasti sering main seperti ini ya? Waah senang banget masa kecil mas dulu ya?" Tanya Kelana antusias, dijawab dengan anggukan Adjie. "Tentu saja. Aku kan lahir dan besar di kampung, Lana. Sampai SMP kan di sini jadi ya sering main seperti mereka. Apalagi kalau lagi terang bulan seperti ini. Menyenangkan banget loh." Beberapa saat mereka asyik menikmati suasana keriuhan itu, hingga ada seorang bapak yang tergopoh menghampiri Adjie. "Mas Adjie, dipanggil ibu, kata beliau ditunggu di halaman samping rumah. Penting katanya mas." "Aku ke ibu dulu ya, sebentar di halaman samping situ, mungkin sepuluh menitan, kamu kalau mau istirahat masuk dulu saja, tunggu aku nanti kita pulang ke rumah bude barengan." Kelana mengangguk saja dan kembali asyik menikmati permainan anak-anak yang semakin malam malah semakin ramai. Tapi sampai sekira hampir tiga puluh menit, Adjie tak kunjung kembali. Perutnya yang terasa kembali melilit, akhirnya membuat Kelana beranjak dari duduknya dan berniat mencari Adjie di halaman samping. Tapi, demi Tuhan...., apa yang dilihatnya di halaman samping kemudian membuat tubuhnya membeku. Badannya mendadak kaku, lidahnya kelu. Tak jauh dari tempatnya berdiri mematung, terlihat Adjie, Bu Lastri dan seorang perempuan sungguh cantik yang tampak bicara serius. Bu Lastri tampak sumringah melihat perempuan cantik itu, tak henti senyumya terkembang. Beberapa kali bahkan tangannya tampak mengelus pundak perempuan cantik itu. Dan hal itu tidak pernah dilakukannya pada Kelana. Sedangkan Adjie..., dia tampak tertegun dengan kehadiran perempuan itu. Tapi matanya..., matanya bersinar penuh kerinduan. Sinar mata yang tak pernah Kelana lihat selama pernikahan mereka. Dan Kelana semakin membatu saat melihat kemudian perempuan cantik itu memeluk Adjie erat, bahkan mencium kedua pipi Adjie. Kelana menarik nafas, berusaha tetap mempertahankan posisi berdirinya, dia ingin tahu apa reaksi Adjie. Dan ternyata, Adjie membalas pelukan perempuan cantik itu, bahkan mencium kening perempuan itu sambil tersenyum! Demi Tuhan, Adjie kan sudah terikat padanya! "Lita... Anasyanda Jelita. Aku kangen kamu!" Senyum Adjie, kalimat yang lirih didengar Kelana, membuat kaki Kelana tak mampu menopang lagi. Dia berusaha mencari pegangan. Dan ketika ada sebuah tangan yang memeluknya dalam diam, dia hanya bisa menangis tertahan. Memeluk orang menopangnya dan berjalan pulang. Hancur sudah hatinya. Ternyata selama ini, Adjie, suaminya masih merindukan perempuan lain walaupun mereka sudah menikah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN