2. Suami?!

1128 Kata
Aku telah selesai berganti pakaian. Dan kini duduk di ruang tengah. Sudah cukup lama dan semua hanya diam. sesekali tuan pucat yang duduk tepat di sampingku melirik. Kini rasanya suasana agak tenang dan hening di antara ayah dan paman itu. Aku tak mengerti, tapi, rasanya hal yang akan dibahas ini, bukan sesuatu yang ayah sukai terlihat dari wajah dan tatapan ayah pada kedua tamu kami. "Reya, Ayah minta tolong. Kamu buat minum dulu ya Nak, buat kita," pinta ayah serius kemudian tersenyum, aku tau itu hanya senyum yang dibuat-buat melihat reaksi ayah buat aku semakin penasaran. Semua terasa aneh sekali. Aku lalu menatap nenek yang tak kalah terkejutnya, ingin bertanya tapi, urung. Aku akan membuat minuman seperti yang diminta ayah. "Buat dua untuk kedua tamu kita." Interupsi ayah sepertinya aku terlalu lama melamun. Segera kujawab dengan anggukan meski ayah tak melihat. Aku segera berdiri dan berjalan ke dapur. Rumah kami sangat sederhana, ada tiga kamar kecil di sini, Dua kamar mandi salah satunya kamar mandi di luar ruangan yang jarang digunakan; lalu bagian dapur yang menjadi satu dengan ruang makan; ruang tengah dan ruang tamu yang juga menjadi satu. Semua bukan ruangan besar hanya. Ruang-ruang kecil dengan sekat kayu, tapi punya sejuta kenangan. Di Depan pintu kamar nenek ada garis ukur pertumbuhan ku dan ayah. Pinggiran kayu pintunya dipenuhi goresan, aku selalu ingat bagaimana ayah memintaku berdiri lalu menandainya dengan pisau kecil dari gunting kuku miliknya. Kami akan merasa senang sekali tiap kali aku semakin tinggi. Kini aku berada di dapur untuk memasak air pada teko yang akan aku gunakan untuk membuat teh manis. Selanjutnya mengambil cangkir tua yang akan digunakan untuk menyajikan teh. Sambil menunggu air matang, aku menyempatkan diri ke kamar yang berada dekat dengan dapur menyempatkan diri mengecek tugas dan juga membaca beberapa chat yang tak penting di grup kelas. Aku kini mengenakan dress terusan kuno peninggalan ibu yang memang telah cukup untuk kupakai, berwarna peach dengan detail bunga-bunga yang cantik. Ibu feminim sekali, semua bajunya berupa gaun yang cantik. Kata ayah ibu adalah anak orang kaya yang jatuh cinta pada anak nelayan. Seperti drama, kisah cinta yang manis. Lalu ayah kehilangan ibu saat ia melahirkan aku. Kadang aku merasa menjadi penyebab kematian ibu. Meski ayah selalu berkata kalau aku adalah hadiah terbesar yang ibu titipkan padanya. Aku kembali berjalan ke dapur tepat saat mendengar suara air yang telah mendidih. Segera menuang pada cangkir dan wadah teh, di nampan yang telah aku letakkan di meja. Ada empat cangkir, agar ayah dan nenek bisa ikut minum bersama. Aku tak terlalu suka ikut campur dalam urusan orang tua seperti ini. Walaupun rasa penasaran memuncak. Hanya saja aku yakin pada akhirnya ayah akan memberitahukan dengan sendirinya. Hanya saja kali ini aku ada di ruangan ini. Sepertinya, ini ada kaitannya denganku? atau hanya perasaanku saja? Setelah selesai aku kembali ke depan dibantu ayah meletakan teh buatan ku di atas meja. Aku tak ingin besar kepala. Tapi, sungguh tatapan paman berkulit putih itu buat aku salah tingkah. Apalagi ia menatap tanpa senyum, dingin sekali, tak ramah. Aku takut dan canggung dibuatnya. "Silahkan," ucapku seraya menuangkan teh ke masing-masing gelas. "Nenek sama ayah minum juga ya" ucapku. "Makasih, cucu nenek." Nenek membelaiku tatapan nenek juga berbeda terlihat khawatir. "Reya," panggil ayah tanpa menatapku. "Iya ayah?" sahutku lalu duduk kembali tepat di samping ayah. "Kenalkan, ini—" Ayah mengarahkan tangannya pada paman pucat yang sejak tadi menatapku. "Ini—Yogi. Dia—suamimu." Tunggu suami? Aku menatap semua yang nampak serius. Yang jelas aku juga semakin yakin ini tak main-main. Apa aku menderita amnesia atau semacamnya? Bagaimana bisa aku memiliki suami? Kapan dan bagaimana aku menikah? "Tunggu Ayah, suami? Om ini suami Reya?" tanyaku terkejut seraya menunjuk pria pucat itu. Ayah dan nenek mengangguk kompak juga sang Paman kecuali paman yang ayah bilang adalah suamiku. Bagaimana bisa? apa aku ditukar karena hutang atau semacamnya? seperti yang sering aku baca pada novel? "Jarak usia kalian enggak terlalu jauh. Anak om usianya tiga puluh tahun tahun," jelas paman Jun coba memberitahu seraya menepuk bahu Om Yogi. Jarak usianya enggak jauh??? Aku dua puluh tahun enam bulan, hello paman! Apa muka ku terlihat seperti dua puluh delapan tahun? Apa memang setua itu? Aku memang tak bisa membeli skin care mahal. Apa buat muka ku terlihat sembilan tahun lebih tua? "Jun maaf, apa ini enggak terlalu cepat?" tanya ayah. "Yogi juga apa enggak lebih baik kasih waktu Reya memikirkan dulu. Itu buru-buru sekali." Ayah terlihat cemas dengan ini. "Kamu kan tau aturannya udah jelas, Rajin kamu juga ada di sana kan saat kita jodohkan Yogi dan Reya," jawab Paman Jun tegas. Aku masih terdiam, sesekali melirik pria yang disebut-sebut sebagai suamiku. Takdir seperti apa ini? Aneh sekali. Pernikahan seperti apa yang aku dan Om Yogi lakukan? "Yogi kamu bisa perkenalkan diri," titah nenek. Paman pucat tadi membungkuk memberi hormat dengan sopan. "Nama saya Majendra Yogi Finanda. Saya adalah cucu tertua keluarga Kenan." Setelahnya ia membungkuk padaku. "Ayah bisa jelasin ini?" "Biar nenek jelaskan, ini adalah perjanjian antara kakekmu dan kakek dari Yogi awalnya. Mereka berjanji akan menikahkan anak mereka. Tapi, karena saat itu sama-sama melahirkan anak laki-laki maka perjodohan enggak bisa dilakukan. Lalu, saat kamu lahir dan keluarga kenan punya cucu lelaki. Kakek senang sekali dan mengikat kalian secara adat waktu umur kamu dua tahun Nak." Nenek menjelaskan, dan kini kepalaku menjadi pusing sekali. Oke, jadi aku dijodohkan saat dua tahun dan pria ini berusia dua belas tahun dan dia diam saja? Aneh. Aish, aku marah tapi tak ada yang bisa aku lakukan. Aku tak akan bisa marah pada ayah atau nenek. "Kalian telah, diikat satu sama lain dengan perjodohan dilakukan secara tradisi sesuai adat." Lanjut nenek membuatku berpikir keras, bahwa kenyataan buruknya adalah aku telah memiliki calon suami sejak berusia dua tahun?! Aku melirik ke arah pria yang dikatakan suamiku. Ia hanya diam seraya menatap sekilas, ia bahkan tak berpaling saat aku menatapnya. Dia telah mengetahui ini apa ia tak melawan? Helo dia udah sepuluh tahun waktu itu! Sementara aku anak cantik, imut dan manis berusia dua tahun. Aah, kesian sekali aku yang dulu. "Maaf Om, apa Om udah tau masalah ini?" tanyaku padanya. Om Yogi hanya mengangguk sekilas sebagai jawaban atas pertanyaanku. "Ibuku sakit keras ia mau melihat cucu kesayangannya menikah. Dan yan paling penting ibu ingin sekali melihat menantunya." Lanjut paman Jun. "Kita berangkat ke Jakarta malam ini," ucap paman? Om? suami? Siapa dia?! Harus bagaimana aku menyebutnya?! "Malam ini?!" pekik ayah dan nenek bersamaan mereka tak kalau terkejutnya denganku. Ya malam ini bagai sebuah drama untukku. Aku yang siang tadi masih membayangkan memiliki seorang pacar kakak kelas yang populer. Kini berubah status akan menjadi istri orang. Laki-laki yang bahkan tak aku ketahui siapa dia. Laki-laki yang baru pertama kali aku temui. Hmmph, Reya, hidupku memang penuh drama. ** . . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN