Tersesat

1090 Kata
Sebagai Dosen pembimbing lapangan para mahasiswa yang sedang KKN Raiden telah gagal, anggaplah gagal. Karena dia tersesat di daerah yang sebenarnya tidak asing untuknya. Tapi kenapa hari ini dia sedang sial karena bisa tersesat jauh masuk ke pelosok yang hanya ada pohon besar. Parahnya dia hanya berdua saja dengan mahasiswinya yang bernama Sekar. "Pak Rai sebenarnya tau gak sih daerah sini?" tanya Sekar, meragukan sang Dosen yang selalu di agungkan oleh para mahasiswi di kampusnya karena ketampanan Raiden yang paripurna. "Kamu tenang aja, saya punya GPS kok." Raiden mengeluarkan ponselnya tapi ternyata ponselnya tidak mendapat sinyal sedikitpun. Dosen tampan itu menelan saliva-nya, membasahi tenggorokannya yang seketika kering karena kepanikannya yang dia simpan. Tidak lucu kalau ketahuan dirinya kesasar. "Pak, kita semakin ke dalam hutan loh ini!" cicit Sekar, seraya mengedarkan pandangannya yang hanya dikelilingi pohon besar. "Kamu berisik, percaya sama saya. Ini jalan pintas menuju penginapan," sentak Raiden. Tiba-tiba motor yang mereka tumpangi berhenti, mogok. "Loh! Loh! Motornya kenapa, Pak?" pekik Sekar, panik. "Bensinnya habis." Raiden tersenyum kecut tapi masih terlihat tampan. "Ya Tuhan! Terus gimana?" seru sang mahasiswi. *** Raiden menuntun motornya, sesekali dia menoleh ke belakang memastikan mahasiswinya masih mengikutinya. Sudah hampir setengah jam mereka berdua jalan kaki, Raiden menuntun motor sedangkan Sekar mengikuti sang Dosen tampan dengan wajah cemberut. Peluh keringat sudah membasahi keningnya. Tes! Tes! Tes! Sekar dan Raiden menengadah, sedikit demi sedikit tetesan air hujan jatuh ke bumi membasahi wajah mereka. Keduanya hanya bisa pasrah di guyur hujan. Lengkap sudah ibarat pepatah sudah jatuh kena lumpur ketiban tangga gak ada yang menolong. Dosen dan mahasiswinya itu bersama menghela napas panjang. "Seumur-umur baru kali ini saya apes, apa karena pergi sama kamu ya, Kar?" gerutu Raiden. Rahang Sekar jatuh, ternganga tidak percaya dosen yang selalu viral di kampusnya ternyata mulutnya tajam juga. "Ya Allah Gusti Nu Agung! Kenapa Engkau ciptakan pria tampan bermulut tajam seperti dia," sindir Sekar kencang sengaja agar sang Dosen mendengarnya. Raiden melempar senyum getirnya. Hujan tidak juga berhenti, Sekar dan Raiden masih kesasar di tengah hutan. Belum malam tapi karena mendung suasana hutan tersebut semakin gelap. Sekar mengerjap, membersihkan kacamatanya dari air hujan yang menghalangi penglihatannya. "Pak, Pak Rai," panggil Sekar. "Heum," jawab Raiden tidak semangat karena sudah mulai lelah karena menuntun motornya. "Itu rumah bukan sih?" tunjuk mahasiswinya. Raiden melihat ke arah yang Sekar tunjuk. Benar saja, sebuah gubuk di tengah hutan. "Bukan rumah, tapi gubuk-gubuk aja," sahut Raiden. "Tapi lumayan buat neduh." Apa yang Sekar bilang ada benarnya, setidaknya sampai hujan berhenti mereka bisa menuduh di sana. Meski tubuh mereka sudah basah semua sampai ke dalamnya. Sebuah gubuk yang Raiden tebak adalah tempat berteduh para petani durian ketika masa panen raya tiba, tapi saat ini tidak sedang panen, hutan yang mayoritas pohon durian itu tidak sedang berbuah. Sebuah lentera kecil ada di sana, Raiden mencoba menghidupkan dan berhasil, penerangan dari lentera lumayan menerangi gubuk itu. Sekar tersenyum tipis, dalam hatinya mengakui kalau sang Dosen pantas dijadikan dosen pembimbing lapangan karena pria itu serba bisa. Tidak banyak orang kota yang bisa menghidupkan lentera bukan? Bahkan lentera saja mereka belum pernah lihat aslinya seperti apa. Raiden menyugar rambutnya kebelakang dan mengusap wajahnya yang basah dari guyuran air hujan. Sedangkan yang di lakukan mahasiswinya berbeda, Sekar melepas kacamatanya dan mencoba membersihkannya dengan kaos yang basah, alhasil kacamata itu tetap tidak bisa bersih dan malah tambah buram. Sekar berdecak kesal. "Mata kamu minus berapa?" tanya Raiden. "Minus empat, silinder setengah," jawab Sekar seperlunya. "Kalau lepas kacamata gak bisa lihat wajah saya yang tampan dong?" canda Raiden, mengulum senyumnya. "Pakai kacamata aja saya gak bisa lihat wajah tampan Bapak, tampan darimananya?" balas Sekar. Raiden mengangkat satu alisnya dan tersenyum miring. Dia akui satu mahasiswinya yang ini sangat berbeda dari mahasiswi lainnya yang mengagungkan ketampanannya. Sekar tidak pernah berhasil dia goda. Karena tidak bisa bersih, Sekar lebih memilih memasukan kacamatanya ke dalam kotaknya dan dia menggantinya dengan kontak lensa, beruntung semua lengkap di dalam tasnya. Sekar mengeridik seraya memeluk tubuhnya sendiri, dia kedinginan. Raiden sontak melepas jaketnya dan memakaikan ke pundak mahasiswinya. "Pakai ini, kamu pasti kedinginan," ucap Raiden. "Terima kasih, Pak." Pandangan Sekar dan Raiden saling mengunci. Wajah Sekar tanpa kacamata terlihat cantik di mata Raiden, baru kali ini gadis itu tanpa kacamata hingga membuat sang dosen terpesona. Sampai saat ini putra dari Yuza dan Tiara itu masih dapat menahan diri ketika melihat kemolekan tubuh Sekar, kaos basah yang melekat menjeplak jelas lekukannya. Tapi ... suasana sangat mendukung. Perlahan wajah Raiden mendekat dan bibir mereka menyatu. Perlahan dosen tampan itu melumat bibir ranum Sekar. Pelan tapi pasti sampai udara di sekitar yang awalnya dingin menjadi hangat karena kegiatan mereka. Tautan bibir dan indra pengecap di dalam semakin menuntut. Raiden sudah dipenuhi hawa napsu, tangannya mulai menjelajah ke tubuh Sekar. Menyusup kedalam kaos. "Pak, tolong jangan ...." Sekar berusaha melepaskan dirinya dari dekapan sang Dosen yang begitu erat. Akan tetapi, aksinya sia-sia. Raiden begitu kencang mengikat tubuh Sekar dengan tangannya. Gairah Raiden membara, dia menyapu leher jenjang Sekar. "Ahhh ...." Sebuah desahan terlontar dari bibir Sekar. Tubuh dan pikirannya gadis itu bertolak belakang, pikirannya berkata tidak, dia ingin menjaga mahkota berharganya untuk suaminya nanti tapi tubuhnya menyambut apa yang Raiden berikan padanya. Desahan Sekar cukup bagi Raiden kalau gadis itu memberi sinyal kuat. Raiden mulai membuka kaos basah yang melekat di tubuhnya. Pahatan indah tercetak sempurna di tubuh Raiden, Sekar terpesona dan kini pikirannya ikut travelling ketika melihat roti sobek itu. Gadis itu pasrah ketika Raiden membuka kaosnya dan mulai meremas kedua bukit kembar yang terpampang jelas di matanya. "Pak, bagaimana kalau ada orang yang -" "Sssttt! Tidak akan ada orang ditempat seperti ini di sini selain kita berdua," bisik Raiden. "Tapi, Pak, kalau nanti -" Raiden langsung membungkam Sekar dengan bibirnya lagi. Dengan tangan yang terus bergerilya di tubuh sang mahasiswi. Dan tidak butuh waktu lama, keduanya sudah tanpa busana. Raiden mengukung Sekar dengan tangan kekarnya. "AKH!" Sekar menjerit panjang bersamaan rasa sakit di bawah tubuhnya yang Raiden masuki dengan paksa miliknya kedalam. Raiden kembali membungkam Sekar mengalihkan rasa sakit yang dia derita saat ini. Perlahan pria itu mulai menggerakan pinggulnya berayun pelan. Air mata Sekar mulai mengalir di sudut matanya. Malam ini di sebuah gubuk dia serahkan mahkota berharganya yang dia jaga selama ini pada dosen tampan di kampusnya yang dia sendiri tidak cinta. Tapi kenapa tubuhnya menerima semua tanpa penolakan. Sekar merutuki dirinya. Raiden menatap Sekar, mengagumi ekspresi yang dia pancarkan. Rasa sakit mulai berubah menjadi nikmat yang tidak bisa Sekar ungkapkan dengan kata-kata, hanya desahan demi desahan yang keluar dari bibirnya mewakili apa yang saat ini tengah dia rasakan, kenikmatan surga dunia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN