“Jadi, lo kena apa tadi?” tanya Dafa yang membuatku kembali menoleh ke hadapannya dengan bingung.
“Kena apaan, Daf?”
“Itu, bakal kenapa kalo lo ketahuan lo gue an sama gue?”
Ah, aku mengerti sekarang.
“Ya bakal didampratlah gue sama segerombolan fans fans lo. As always, dari dulu lo punya banyak pengikut.”
“Yah gimana ya, emang aura gue begini, susah buat didiemin doang.” balas Dafa yang membuatku mendengus.
“Nggak berubah, selalu aja kepedean.”
“Masih inget aja, Ret.” sahut Dafa yang kali ini tidak ku balas.
Perkataan Dafa tadi merupakan kalimat terakhir yang terucap selama perjalanan kami menuju pabrik. Di saat seperti ini, aku sangat berterima kasih dengan hadirnya radio. Entah ocehan tak jelas dari penyiarnya maupun lagu-lagu yang diputar mereka, membuat keheningan menjadi tak begitu kentara.
Aku bergantian memandangi jendela samping dan depan. Dan tentu saja, sesekali melirik Dafa yang sedang berkonsentrasi menyetir sambil beberapa kali mengetuk-ngetukan jarinya saat lagu sedang berputar.
Lama kelamaan, kegiatan ini membuatku bosan dan entah sejak kapan mataku mulai terpejam.
~~~~~~~~~~
Setelah memarkirkan mobil di depan pabrik, gue menengok ke samping dan menemukan Aretha yang ternyata ketiduran. Gue menggelengkan kepala geli dan tanpa sadar tersenyum.
Harapan gue dulu terkabul, dipertemukan kembali dengan Aretha.
Gue nggak tahu, kenapa dulu gue berharap seperti itu. Yang jelas, saat sekarang harapan gue menjadi kenyataan, gue merasa senang. Mungkin karena serasa bernostalgia.
Gue melepaskan seatbelt lalu menepuk-nepuk pundak Aretha pelan. Seperti yang gue ingat, Aretha adalah tipe orang yang gampang dibangunin, kecuali waktu dia sakit. Aretha membuka matanya dengan perlahan dan melihat sekitar.
“Udah sampe.” kata gue untuk memberikan jawaban dari kebingungannya yang tampak jelas.
“Gossh, sorry, gue ketiduran.” balasnya yang dengan cepat melepaskan seatbelt dan segera membereskan barang bawaannya.
“It’s ok. Hey, just calm down, nggak usah buru buru kayak gitu, Karet.” ujar gue menenangkan. Aretha nyengir sesaat sebelum kembali melakukan kegiatannya dengan ritme yang lebih pelan sekarang.
“Udah?” tanya gue saat Aretha sudah menutup resleting tasnya.
“Udah, yuk.” balas Aretha yang gue balas anggukan lalu segera membuka pintu mobil.
~~~~~~~~~~
“Terima kasih atas kunjungannya, Pak Dafa dan Bu Aretha.”
“Sama sama, Pak Salim. Kalau ada masalah, segera hubungin saya atau Bu Aretha, ya.” ucap Dafa yang sedang membalas jabatan tangan dari Pak Salim, kepala pengawas pabrik.
“Siap, Pak Dafa.” balas Pak Salim yang kemudian bergantian menjabat tanganku.
“Saya pamit dulu ya, Pak.”
“Hati-hati, Bos, jangan ngebut nyetirnya, awas bawa perempuan cantik.” canda Pak Salim yang mau tak mau membuatku tersipu.
“Ah, bapak bisa aja.” balasku cepat.
Setelah selesai berpamitan, aku dan Dafa segera memasuki mobil lalu melesat keluar meninggalkan pabrik.
“Mau makan siang dulu?” tanya Dafa saat beberapa menit perjalanan kami terlewat. Aku memandangi jam tanganku yang sudah menunjukan pukul 12.20.
“Boleh deh.”
“Ada warung mie ayam tuh, lo mau?” tanya Dafa lagi yang sudah memberhentikan mobil di sebrang jalan.
“Mau mau. Eh tapi lo nggakpapa makan di pinggir jalan gitu?”
“Lo lupa ya, secinta apa gue sama street food.” balas Dafa yang membuatku teringat malam terakhir kami di Cambridge.
“Ah ya, yang ampe bikin gue was was lo bakal muntah di pinggir jalan gara gara makan sebanyak itu.” sahutku sambil tertawa geli.
“Nah tu inget. Yuk, keburu balik abang mie ayamnya.”
“Masih siang, b**o. Nggak mungkin balik abangnya.”
“Kan biar lo cepet gerak maksudnya, buru, laper.” sahut Dafa yang langsung membuka pintu. Aku pun segera turun dari mobil dan menunggu Dafa memutari bagian depan mobil.
Setelah Dafa berada di sebelahku, aku hendak berjalan untuk menyebrang. Namun, saat kakiku akan melangkah, Dafa menahanku. Aku menengok ke arahnya dan hendak bertanya kenapa. Tapi, tindakan yang Dafa lakukan kemudian, menghentikanku untuk bertanya.
Dafa berpindah posisi ke sebelah kananku, posisi dekat kendaraan. Dafa kemudian menarik tanganku dan menuntunku menyebrang jalan.
As always, Dafa yang tak terduga.
~~~~~~~~~~
“Jadi, gimana perjalanan lo sama howt boss kemarin?” tanya Helena saat kami berdua sudah mendapatkan kursi di kantin.
“Ya, seperti itulah.” jawabku cuek sambil mengaduk isian gado gado agar tercampur dengan saus kacang.
“Ah, nggak seru ah. Lo tahu, kemarin karyawan cewek dari divisi lain pada nyinyirin lo. Anak baru tapi udah pergi bareng aja sama pak bos katanya.”
“Hahaha, actually, gue udah biasa begitu. Dulu waktu kuliah, gue juga digituin pas sekelompok sama Daf-ehm Pak Dafa maksud gue.”
“Tunggu tunggu, waktu kuliah? Sekelompok?” tanya Helena bingung yang membuatku teringat, jika aku belum bercerita perihal aku dan Dafa yang satu kampus dulu.
“Lo tahu kan, gue dari Cambridge sama kayak Pak bos?”
“Yaaa, and then?”
“Gue sempet sekelas sama dia waktu dia ngulang makul. Nah, di makul itu gue sekelompok, berdua sama si bos. And vallaaa, semua cewek di kelas langsung ribut waktu nama Dafa disebutin sekelompok sama gue.”
Helena ternganga untuk sesaat sebelum akhirnya membalas dengan sedikit histeris, “SERIOUSLYYY??!!! Oh my Gooood, lo pernah sekelompok sama si super duper howwwttt boss????!!!!”
“Sssttt, jangan keras keras, ntar yang lain denger.” ucapku yang sudah menempelkan telunjuk kananku ke mulut Helena.
“Sorry sorry, gue terlalu kaget, Ret.” sahut Helena yang kali ini berbisik. Aku pun mengangguk pelan dan mulai menyuap makananku yang sudah tercampur sempurna.
“Jadi, mantan- mantannya pak bos di sana kayak gimana, Ret? Bule bule kayak model gitu pasti ya?” tanya Helena kembali berucap. Aku kembali memandang Helena lalu menjawab, “Dia nggak pernah pacaran di sana.”
“WHAATT??!!!” teriak Helena yang kali ini membuat banyak orang melihat ke arah kami. Aku menunduk sesaat lalu mendelik ke arah Helena yang sekarang sedang menutupi mulutnya.
“Sorry lagi !! Abisnya gue kaget. Periodenya pak bos ganti pacar itu kayak cewek mens, sekali sebulan. Makanya gue kaget sampe teriak tadi.” jelas Helena yang membuatku kaget tidak percaya.
“Seriusan, Na?”
“Iyaa, serius dah. Sampe kita nih cewek cewek, lama lama kebal patah hati gitu sama pak bos.” sahut Helena yang membuatku termenung.
“Btw, lo sekelompok gitu, pernah ada sesuatu nggak sama si bos?”
“Sesuatu gimana nih?”
“Ya nuansa romance romance gitu. “
“Haha, ya nggaklah. Biasa aja kita, kayak temen biasa.”
“Kok bisa ya, lo kuat gitu sama pesonanya pak bos.” sahut Helena yang membuatku meringis dalam hati.
Aku juga nggak kuat, Na.
“Eh tuh, baru diomongin, pacar barunya dateng.” ucap Helena yang membuatku mengikuti arah pandangannya.
Audrya Saphira. Model yang sedang bersinar, membintangi hampir semua iklan yang muncul di berbagai media.
Semua mata yang ada, sedang memandangi wanita itu. Wajah yang mempesona dan penampilan yang luar biasa mengagumkan, itulah Audrya Saphira.
Audrya berjalan menuju lift dan berdiri sesaat sebelum akhirnya pintu terbuka. Sepertinya, dia hendak naik namun tidak jadi karena orang yang dicarinya sudah ada dihadapannya.
Dafa, dengan celana kain abu-abu dan kemeja navy yang lengannya sudah tergulung sampai siku, tampak tanpa cela. Dafa keluar dari lift dan menyambut Audrya dengan senyum merekah sambil memeluk pinggang wanita itu.
Mereka berdua kemudian berjalan beriringan menuju pintu keluar. Semua mata yang ada mengikuti, termasuk aku.
Dafa menunduk dan membisikan sesuatu ke telinga Audrya yang membuat wanita itu tersenyum malu. Lalu saat Dafa mendongakkan kepalanya, pandangan kami bertemu.
Aku segera menunduk dan kembali menyantap gado gadoku, berusaha untuk tidak peduli. Dan setelah beberapa saat, aku kembali mendongakkan kepalaku.
Kali ini, punggung pasangan itu yang aku lihat. Damn, dari belakang saja mereka tampak begitu serasi.
“Gila si Audrya cakep beut dah, udah berapa kali dateng tapi gue masih aja dibuat melongo.” ucap Helena yang tidak ku gubris karena sibuk dengan perasaanku sendiri.
Aretha, kamu benar-benar harus sadar diri.
Kalau dulu saja bagiku sudah sulit untuk bersama Dafa, sekarang bersama Dafa sama artinya dengan tidak mungkin.
~~~~~~~~~~