Author :
OB membawa Siska menaiki lift ke lantai 5. Begitu hati-hati sekali OB itu, sampai-sampai menghalangi jalan masuk lift agar Siska bisa masuk dengan mudah. Jelas karyawan lain merasa kesal. Begitu pun saat keluar, para karyawan yang hendak melangkah mendengkus kesal karena jalannya dihalangi OB.
"Silakan, Nona Siska!" OB memberi isyarat tangan.
"Terima kasih," Siska mengangguk.
Sebenarnya Siska agak risi, dan malu. Tapi dia tak bisa berkata apa-apa. Para karyawan yang melihat Siska mendelik, menatapnya dari bawah ke atas lalu dari atas ke bawah kembali. Membuatnya menjadi agak kikuk, dan salah tingkah. Sesampainya di depan ruangan Andra, OB memberi tahu Rosi.
"Bu Rosi, ini Mbak Siska," terangnya.
"OK!" Rosi mengangguk dan berjalan ke ruangan Andra. Lalu mengetuk pintu.
"Masuk, Rosi!" Andra menjawab dari dalam.
"Maaf, Pak. Mbak Siska sudah datang." Rosi memberitahu.
"Aku 'kan sudah bilang jangan suruh dia menunggu, biarkan masuk!" Andra memberi perintah.
"Mm-maaf, Pak." Rosi memutar tubuh.
"Rosi, tunggu sebentar. Berikan ini pada OB yang mengantarnya." Andra memberikan dua lembar uang 100 ribu.
Rosi menggangguk, mengambilnya lalu bergegas kembali keluar. "Silakan, Mbak. Langsung masuk saja. Maaf sudah menunggu." Rosi mempersilakan.
"Terima kasih," Siska tersenyum dan menggangguk. Melangkah menuju ruangan Andra.
"Heh, kamu sini! Enak banget disuruh ngawal nyonya muda doang dikasih uang!" Rosi memanggil OB yang mengantar Siska dan memberikan uang dari Andra.
"Heheh, rejeki enggak boleh ditolak, Bu!" Dia pergi sambil mencium uang itu.
Siska membuka pintu perlahan. "Andra ...."
"Masuk, Sayang!" pinta Andra yang masih duduk. Matanya tetap tertuju pada komputer di meja.
Siska diam.
Andra menoleh, tersenyum. Menyadari sesuatu. Akhirnya dia pun bangkit dan mendekati Siska. "Kenapa masih berdiri, Sayang?" Andra memeluk Siska, dan mencium bibirnya. "Sebentar," lanjutnya memberi kode mata.
Siska belum menutup pintu dengan rapat, Andra keluar. Berjalan ke meja Rosi. "Rosi, don't disturb me. Sampai aku kasih kode lagi!" perintahnya.
Rosi menggangguk. Andra pun kembali masuk dan menutup pintu.
Siska masih berdiri mematung. Memandangi ruangan kantor Andra. "Ruang CEO muda, seperti ini rupanya," bisik Siska.
Andra memeluk Siska dari belakang, mencium harum lehernya. Wangi melon, buah favorit Andra. "Gimana kuliahnya?".
"Lancar." Siska berbalik. "Kenapa aku merasa aneh, saat OB itu nganter aku?"
"Kenapa? Kamu 'kan harus dijaga baik-baik, jangan sampai terjadi sesuatu sama kamu. Aku enggak rela, Sayang." Andra kembali mencium bibir Siska.
Kali ini Siska membalasnya. Merangkul leher lelaki di hadapannya. Ciuman semakin memanas hingga beberapa detik. Siska menarik bibirnya. "Udah, ini kantor."
"Kenapa memang?" Andra menempelkan keningnya.
"Enggak enak, tempat kerja kamu. Bahaya kalau ada yang masuk."
"Ini kantor aku. Enggak akan ada yang berani masuk tanpa seizinku." Andra kembali mendekatkan bibirnya.
"Makan, yuk!" Siska merengek.
"Bentar lagi, ya! Aku beresin kerjaan dulu. Tinggal dikit lagi kok, Sayang." Andra membelai lembut wajah Siska.
Siska menggangguk dengan wajah penuh rona bahagia.
"Duduk dulu, aku pesenin makanan." Andra menunjuk ke arah sofa, lalu berjalan ke meja kerja. "Halo, Rosi! Tolong bawakan segelas jus strowberry sama ... tunggu bentar. Sayang, makannya mau apa?" Andra bertanya pada Siska.
"Salad buah aja," jawab Siska.
"Jus strowberry sama salad buah. Langsung dibawa masuk, ya!"
Siska menyandarkan punggung, memainkan ponsel dengan gaya santai. Sedangkan Andra melanjutkan kembali pekerjaannya yang tertinggal.
"Permisi, Pak Rey!" Rosi membuka pintu ragu. Setelah dilihatnya Andra memberi isyarat masuk, dia pun masuk ke dalam bersama seorang OB. Rosi hanya berdiri di depan pintu dan sang OB melangkah menuju meja setelah mendapat petunjuk dari Rosi.
"Silakan, Nona!" OB itu membungkuk hormat.
"Terima kasih," sahut Siska.
"Sama-sama. Mari ...."
"Ya." Siska tersenyum.
"Permisi, Pak Rey!" OB itu pun berpamitan pada bosnya.
Andra mengangguk.
"Saya permisi, Pak Rey!"
"Tunggu, Rosi! Apa ada jadwal penting untukku hari ini?"
"Hari ini setelah makan siang Pak Rey ada jadwal melihat perkembangan Perumahan Gading Citra." Rosi menerangkan.
"Ada yang lain?"
"Hanya itu saja untuk hari ini, Pak."
"OK, terima kasih."
"Sama-sama, Pak."
Kedua tangan Andra kembali bergerak lincah di atas keyboard. Sesekali melirik Siska yang sedang asyik melahap salad buahnya. "Mau?" Siska mencoba menawarkan.
Andra menggelengkan kepala. Siska kembali melanjutkan acara makan buahnya. Andra tersenyum menatap Siska, merasa sedikit bersalah karena memaksanya untuk datang ke kantor. Sempat Siska menolak, tapi Andra terus membujuk. Akhirnya Siska mengalah. Di perjalanan pulang dari kampus dia meminta Dicky untuk mengantar ke kantor Andra saja.
Jus dan salad habis. Siska menguap, kedua matanya terasa berat. Akhirnya dia menaikkan kedua kaki, dengan melepas sepatu lebih dulu.
Hingga jam makan siang tiba, Andra baru tersadar. "Dasar putri tidur. Pantas sepi," gumamnya. Didekati tubuh yang terlelap damai itu. Membenarkan helai rambut yang menutupi wajah.
Siska terjaga. Tubuhnya menggeliat, lalu mengerjapkan mata. "Udah waktunya makan siang?" tanyanya parau.
"Udah putri tidurku!" Andra mencubit pipi Siska gemas.
"Ih, apa, sih!" Siska duduk, membuat roknya tersingkap.
Andra mengusap paha putih bersihnya. Mengelusnya, semakin ke atas. Lalu mendekatkan bibir pada gadis yang masih terlihat mengantuk itu.
"Andra ...."
"Dikit aja," bisiknya.
Dalam keadaan setengah kantuk, Siska membiarkan Andra melumat bibirnya. "Apartemen, yuk!"
"Ah, aku lapar!" Siska merengek.
Andra tertawa. Mengambil napas panjang, mengusir desir-desir menggebu di d**a. Lalu berdiri setelah sebelumnya membenarkan rok Siska yang terbuka menampilkan celana pendeknya.
Andra membukakan pintu, mempersilakan Siska keluar lebih dulu.
"Kok, mereka lihatin kita?" bisik Siska.
"Aneh mungkin lihat bosnya tumben-tumbenan bawa cewek." Andra menggandeng tangan Siska.
Siska yang baru bangun tidur, masih merasa agak lemas. Dia menyandarkan kepalanya ke lengan Andra.
"Pusing?" tanya Andra membelai wajah Siska.
"Enggak," sahut Siska masih dengan suara serak.
Andra berhenti di depan meja sekretarisnya. "Rosi, mungkin aku enggak kembali ke kantor. Habis makan siang mau langsung ke Perumahan Gading Citra. Kalau ada apa-apa telepon saja."
"Baik, Pak." Rosi menggangguk.
Andra dan Siska melanjutkan langkah menuju lift. Semua mata memandang, tanpa berkedip. Sebenarnya masih lima menit lagi menuju jam makan siang, tapi sebagian para karyawan sudah menghentikan aktivitas mereka. Sekadar beristirahat dan bersiap-siap makan siang.
Setiap karyawan yang berpapasan menganggukkan kepala kepada Andra, yang dibalas dengan senyum. Ada juga yang berbisik-bisik, kebanyakan setelah Andra lewat jarak lima meter, baru mereka saling beragumentasi.
"Bos seleranya daun muda."
"Ceweknya ... kayak abg, ya?"
Atau komentar positif yang sekedar berkata, "Serasi."
"Cocok banget, ya?"
Ada juga yang berpikir, "Itu adiknya kali, ya? Eh, tapi bukannya bos anak tunggal, ya?"
Andra benar-benar memperlakukan Siska secara istimewa, menekan tombol lift dan selalu mengutamakan Siska yang lebih dulu masuk juga keluar.
Siska yang hari itu memakai rok mini kain berwarna pink sebatas lutut dan atasan kemeja berwarna putih, sepatu kets santai, dan sebuah tas selempang juga rambut tergerai. Jelas berbeda 360˚ dengan penampilan Andra yang seorang eksekutif muda.
Saat keluar dari lift, semakin banyak saja mata yang memandang, melihat kemesraan keduanya. Siska yang seakan tak peduli, sangat mengabaikan tatapan para karyawan. Lalu Andra, untuk apa menghiraukan mereka? Toh dia yang berkuasa di sini. Dunia seakan milik mereka berdua. Berjalan bergandengan sambil bercengkrama bersama.
Dan di antara banyak mata yang memandang, ada sepasang mata yang memerhatikan seksama. "Itu selera Andra? Cewek pecicilan, enggak berkelas banget. Beda jauh sama aku." Hani menggerutu. Dia terus memerhatikan, hingga mereka berada di parkiran.
Andra membukakan pintu mobil untuk Siska, membenarkan rambut Siska yang tergerai tertiup angin, lalu mencium tangan Siska.
Sungguh panas hati Hani melihat perlakuan Andra pada Siska, begitu mesranya.
"Bertahun-tahun aku mengenalmu, menyayangimu. Sampai pernah hampir memilikimu. Kamu selalu mengacuhkanku. Bahkan sepertinya terkesan menganggap aku tak pernah ada di hidupmu. Dan sekarang aku lihat kamu bersamanya, dia merebut semua mimpi-mimpiku untuk bisa di sampingmu. Merasakan sentuhanmu, pelukanmu, memilikimu." Hani terus bergumam penuh amarah.
***
Hani masih mengikuti Andra dan Siska. Mereka berhenti di sebuah kafe untuk makan siang. "Bahkan seleranya pun tempat rendahan seperti ini." Dia mulai membanding-bandingkan.
Andra dan Siska terlihat begitu menikmati makan siang mereka, tanpa tahu ada seseorang yang memperhatikan. Andra menyuapi Siska, begitu pun Siska. Mereka tak henti-hentinya tertawa.
Selesai makan siang Andra mengajak Siska ke sebuah perumahan yang masih dalam tahap pembangunan. Siska sebenarnya ingin pulang, tapi Andra membujuknya untuk ikut.
"Sebentar aja, Sayang. Enggak lama, kok," rayu Andra.
"Bosen lihatin kamu kerja terus," cetus Siska.
"Abis ini kita pulang, aku anterin kamu. Ya, tunggu bentar, ya. Paling cuma sejam-dua jam." Andra kembali meyakinkan. Kemudian turun dari mobil. Menghampiri seorang pria setengah baya. Berbincang sebentar lalu berjalan berkeliling, sambil memeriksa proses pembangunan.
Siska hanya melihat dari mobil. "Bosen," gerutunya. Merasa perlu udara segar, akhirnya dia turun dan berjalan-jalan. Rupanya ada sebuah danau di samping perumahan, Siska berpikir untuk melihatnya dari dekat. Ada dua buah gazebo di kedua sisinya, dan jembatan yang menyambungkan. Siska tertarik untuk ke sana. Benar saja, pemandangan yang cukup indah, ditemani semilir angin yang berembus.
Sementara itu Andra sudah selesai mengecek perkembangan perumahan, setelah benar-benar yakin Andra kembali ke mobil. "Siska!" teriaknya ketika melihat mobil kosong.
Andra merogoh ponsel dan menelepon Siska, tapi suara deringnya terdengar dekat. "Sial, handphone-nya enggak dibawa!" maki Andra. Lalu mengedarkan pandangan ke semua arah, mencari Siska. Sosoknya tak ada, Andra mulai panik.
"Ke mana kamu, Sayang?" Andra berjalan, bertanya pada orang-orang sekiranya melihat Siska.
"Mungkin ke danau, Pak. Ada danau di sebelah sana," tunjuk salah satu pekerja proyek.
Bergegas Andra mencari lagi. Bernapas lega ketika dilihatnya ada seorang gadis berdiri di atas jembatan. "Kamu bikin aku cemas," bisiknya sambil memeluk Siska.
"Tempatnya enak banget," sahut Siska.
"Berapa kali harus aku katakan, jangan ke mana-mana tanpa seizinku?"
"Maaf, tapi aku bosen di mobil," dalih Siska. Lalu berbalik, melingkarkan kedua lengan di leher Andra. "Aku ... kangen orang tua aku," lanjutnya.
Andra mencium kepala Siska. "Udah ditelpon?" tanya kemudian.
"Udah, tapi tetep aja kangen." Siska memainkan dasi Andra. "Makanya aku seneng lihat danau ini, kayak lihat sawah di kampung." Siska tersenyum kecil.
"Nanti, kalau kamu wisuda, ajak bapak ibu ke Jakarta, ya?" Andra berusaha menghibur.
"Serius?" Ada secercah cahaya di mata Siska.
"Iya."
"Makasih." Siska berjinjit dan mencium pipi Andra. Lalu melingkarkan tangan di pinggangnya, memeluknya erat.
"Jadi sekarang mau ke mana, Sayangku?" Andra mengelus punggung Siska.
"Aku ke apartemen aja, enggak mau ke kantor kamu lagi," sahut Siska malas.
"Kalau kamu ke apartemen, ya ... aku juga ke apartemen dong!"
"Kerjaannya?"
"I'm boss!" Tiba-tiba Andra menggendong tubuh Siska ala bridal style. Siska tertawa sambil menjerit-jerit.
Setetes air mata jatuh membasahi pipi Hani, dia begitu terluka melihat tawa Andra dan Siska. Hani ternyata masih terus mengikuti Andra dan Siska, bahkan sampai mereka pulang ke apartemen.
"Oh, di sini bocah tengil itu tinggal? Enggak mungkin, ini apartemen mewah. Cuma kelas atas aja yang bisa punya apartemen di sini. Atau jangan-jangan, dia morotin Rey sampai bisa punya apartemen di sini. Lihat saja, sampai kapan kamu bisa nikmatin uang Rey. Dasar bocah pecicilan!" Hani melajukan mobilnya, meninggalkan parkiran apartemen membawa amarah.
*****
Delawir Boutique. Sebuah butik mewah di kompleks ruko ternama di Jakarta. Seorang wanita paruh baya masuk. Di usianya yang sudah masuk kepala 5, penampilannya masih terlihat segar dan awet muda. Berkat treatment ke salon setiap minggu tentunya, buah dan sayur segar juga yoga tiga kali dalam seminggu.
"Selamat pagi, Bu Dela! Sudah ada yang menunggu di dalam," terang seorang karyawan.
"Sepagi ini? Siapa?" Nyonya Dela bertanya heran.
"Mbak Hani. Maaf sebelumnya, tapi dia memaksa masuk, padahal saya sudah larang." Wajahnya terlihat agak takut.
"Hani?" Nyonya Dela mengalihkan pandangannya, lalu segera melangkah menuju ruangannya.
Setelah membuka pintu, tampak Hani sedang berjalan-jalan di dalam ruangan khusus sang pemilik, melihat satu persatu koleksi rancangan Delawir. Hani menatap salah satu foto besar yang dipajang memakai figura indah, foto dirinya yang sedang mengenakan gaun pengantin. Gaun yang dulu dirancang khusus untuknya jika dia menikah dengan Andra.
"Sedang apa kamu di sini? Kenapa masuk tanpa seizinku?" Nyonya Dela bertanya tanpa basa basi.
"Apa kabar, Tante?" Hani berbalik dan memberi senyuman manis.
"Ada perlu apa kamu ke sini?" Nyonya Dela masih belum memberi kesan baik.
"Ayolah, Tante. Jangan terlalu sinis begitu. Aku saja tidak marah Tante masih memajang fotoku?" tangkis Hani.
"Tante belum sempat ganti," jawab Nyonya Dela sekenanya.
"Walaupun itu sudah 3 tahun yang lalu?" sindir Hani lagi.
"Sudahlah, jangan berusaha mengalihkan pembicaraan. Ada apa kamu ke sini, hah?" Nyonya Dela mulai emosi.
"Ini tentang Andra. Oh, maaf. Maksudku anak Tante yang bernama Reyandra. Sudah berapa lama, dia tidak pulang ke rumah?" Hani mendekati Nyonya Dela.
Nyonya Dela terdiam. "Untuk apa dia bertanya seperti itu?" bisiknya dalam hati. "Bukan urusanmu!" sahutnya sambil melangkah lalu duduk di kursi kebesarannya.
"Aku yakin, selama ini Tante tidak tau apa-apa soal Rey, 'kan? Bahkan, alasan dia tidak mau bertunangan dengan gadis pilihan Tante itu," tuding Hani.
Nyonya Dela mendongkak, Hani yang berdiri di depan meja lalu duduk di kursi. Berhadapan dengannya. "Tau apa kamu? Andra sendiri tidak mau bertunangan dengan kamu!" sungutnya.
"Ya, tapi itu 'kan masa lalu. Tante tau sampai sekarang pun aku masih belum rela kehilangan Rey? Jujur aku masih sangat mengharapkannya." Hani menatap foto Andra yang ada di meja kerja.
"Jangan terlalu berbelit-belit. Apa maksud tujuanmu datang menemuiku?" Nyonya Dela menatap intens.
"Kesepakatan." Hani menjawab dengan sebuah penekanan.
Nyonya Dela mendelik, dan tersenyum sinis. "Hah, apa untungnya buatku?"
"Harga diri, dan kehormatan Wirata akan tetap terjaga. Tante akan terhindar dari rasa malu." Hani memberi sedikit senyum ejekan.
Nyonya Dela hanya diam, mengalihkan pandangannya ke arah luar.
"OK, Tante. Aku pamit dulu. Mama pasti udah nunggu aku. Sampai bertemu lagi!" Hani pergi begitu saja sambil melambaikan tangan.
Menyisakan tanda tanya besar bagi Nyonya Dela. "Apa maksudnya? Apa maksud perkataannya itu? Dan kenapa dia tau Andra tidak pulang ke rumah?" gumamnya.
Ya, semenjak pertunangan Andra dan Yolanda gagal, Andra memang belum menginjakkan kaki lagi di rumah. Nyonya Dela tahu itu, tapi dia sudah tak mau perduli. 3 kali Andra membuat malu keluarga Wirata, Nyonya Dela sudah angkat tangan. Tuan Rahadian pun seakan tak ingin ikut campur. Setiap istrinya mendesak untuk mencari tahu, ia malah berbalik menyalahkan Nyonya Dela. Seperti tadi malam.
"Mi, jelas Andra marah. Mami udah nampar dia berkali-kali! Dia udah dewasa, biarin Andra mandiri. Papi yakin dia bisa pilih sendiri jalan hidupnya." Tuan Rahadi mencerca Nyonya Dela habis-habisan.
Dan hari ini, di saat Nyonya Dela berusaha untuk tidak ingin tahu kehidupan Andra, Hani datang memberinya teka-teki, seperti sebuah petunjuk. "Enggak, aku harus cari tau sendiri. Untuk apa aku berurusan dengan Hani," gumamnya lagi.
Tentu saja, Nyonya Dela tidak ingin berurusan dengan Hani. Membayangkan dia datang kembali ke butik pun sudah tidak pernah terpikirkan. Masih teringat jelas hari di waktu pertunangan itu gagal. Hani menangis, pingsan, kondisinya drop. Hingga dirawat di rumah sakit selama 3 hari. Dan ibunya, Nyonya Hasna, tentu saja menyalahkan sepenuhnya kepada keluarga Wirata. Pertunangan yang gagal dan sakitnya Hani menjadi topik utama di salah satu majalah Ibu Kota. Semua gara-gara keluarga Wirata.
Sementara itu tidak ada yang tahu, seberapa sakitnya hati Nyonya Dela karena peristiwa itu. Nyonya Dela juga sakit, 3 bulan dia tidak berani keluar rumah. Bukan sakit di badan, tapi sakit hatinya karena telah dipermalukan di muka umum. Sejak itu hubungan 2 keluarga terpecah belah, Subrata dan Wirata.
Sebenarnya hanya Nyonya Hasna dan Nyonya Dela, sementara Tuan Tanu dan Tuan Rahadian tak terpengaruh sedikit pun. Mungkin karena mereka laki-laki, atau juga karena memang tidak punya hubungan bisnis. Persahabatan Nyonya Hasna dan Nyonya Dela putus. Tidak ada lagi kerja sama butik, arisan, atau sekedar shopping dan salon bersama. Genderang perang bertabuh.
Nyonya Dela berdiri dari duduknya, dan menatap foto Hani yang memang masih dipajangnya. "Sejujurnya Tante enggak pernah benci kamu, Hani. Hanya saja perlakuan ibumu yang benar-benar sudah membuat muka Tante tercoreng. Benar perkataanmu, sampai sekarang Tante masih mengharapkanmu jadi menantu di keluarga Wirata," ucapnya. "Tante sampai enggak rela, kalau foto ini dilepas. Tante masih memimpikan gaun itu kamu yang mengenakannya, di hari pernikahan bersama Andra."
*****