Grace's Eyes

1203 Kata
Satu bulan kemudian, yang Grace takutkan belum terjadi. Sepertinya William belum mengenalinya, sepertinya begitu meski ia sendiri sebenernya tidak yakin. William yang sekarang menjadi bos di tempatnya magang hanya menumpuk dokumen-dokumen pekerjaan yang tidak ada habisnya di meja kerjanya membuat Grace bekerja begitu keras, hampir setiap malam Grace harus lembur karena pekerjaan yang diberikan oleh William benar-benar tidak bisa di ajak berkompromi. Ingin rasanya Grace mengumpat dan memaki-maki William setiap hari karena menjadikannya seperti seekor sapi perah. Bagaimana tidak? Setiap hari ia harus pulang pukul sembilan malam dan pukul tujuh pagi ia harus berada di perusahaan kembali. Atasannya memperlakukannya dengan sikap dingin, gemar memerintah seenaknya, kaku, tidak pernah mengajaknya berbicara dengannya dan bersahabat. William juga selalu menatap Grace dengan tatapan yang mengisyaratkan permusuhan seolah-olah Grace memiliki kesalahan, bukankah William tidak mengenalinya hingga sejauh ini? Selain hanya pekerjaan yang terus di tumpuk di meja kerja Grace setiap saat ada satu hal yang paling memuakkan bagi Grace, hampir setiap hari William pergi berkencan bersama gadis baru. Ia memiliki jadwal makan siang yang begitu padat bersama gadis yang berbeda-beda hampir setiap hari. Jika jadwal makan siang bersama klien kosong maaka jadwal makan siangnya sudah terisi dengan gadis baru. Tidak jarang gerombolan artis yang di kencani William datang ke perusahaan lalu seenaknya saja William memerintah Grace untuk mengurus mereka seolah mereka itu adalah ratu dan Grace adalah pengasuhnya. Grace merasakan setiap hari berada di dalam satu ruangan bersama William seolah ia berada di lingkaran api neraka. Grace benar-benar berharap dunia kiamat sekarang juga karena setiap hari ia harus  menikmati suasana yang sangat tegang dan canggung. "Malam ini tidak usah lembur, temani aku makan malam bersama klien," ucap William. Seperti biasa ucapannya selalu dilontarkan dengan nada dingin. Grace yang sedang berkutat dengan tumpukan dokumen di mejanya mengalihkan fokus pandangannya, ia memperbaiki gagang kacamatanya sambil menatap William. "Baik, Sir," jawabnya. "Bersiaplah," ucap William dengan nada memerintah. "Sepertinya saya harus kembali ke rumah terlebih untuk berganti pakaian," kata Grace ragu-ragu. Tidak mungkin ia mengenakan pakaian kerja menghadiri makan malam, tentu saja itu tidak etis. "Alfa telah menyiapkan semua yang kau perlukan," ucap William memberitahu Grace bahwa ia tidak perlu memikirkan pakaian ganti. Sekretarisnya yang bernama Alfa telah menyiapkan semua dengan matang karena makan malam ini adalah bagian dari salah satu rencana licik yang telah ia rancang jauh-jauh hari. "Baik, Sir." Grace bergumam, ia sedikit ragu. Gaun seperti apa kira-kira yang di siapkan Alfa? Lima belas menit kemudian, Alfa sekretaris utama William masuk ke dalam ruangan tersebut dan membawakan satu buah tas kertas yang berisi gaun malam dan sepatu. Grace menerimanya dan meletakkan benda itu di atas tas meja, ia perlahan membereskan tumpukan dokumen ada di atas mejanya kemudian ia berdiri sambil tangannya meraih tas kertas yang berada di atas meja. "Ganti pakaian di ruang belakang," kata William memerintahkan Grace untuk mengganti pakaiannya di ruangan belakang. Ruangan yang dimaksud adalah kamar yang berada di balik ruang kerja yang mereka tempati. Grace tampak gugup. Ia membenarkan gagang kacamatanya dan mencoba membangkang perintah William. "Saya bisa menggunakan toilet karyawan, Sir," ucapnya. William tampak menyipitkan matanya. Grace selalu membantah apa pun perkataannya, gadis itu selalu memiliki cara untuk menentangnya dan hal itu membuatnya semakin membenci adiknya itu. "Jangan terus menentangku, ganti pakaianmu di ruang belakang, jangan di toilet karyawan. Apa kau tidak mendengar?" William tampak mengeraskan rahangnya karena ia memang tidak memiliki stok kesabaran dalam jumlah besar. Grace diam-diam menghela napasnya lalu mengembuskannya perlahan, ia ingin sekali mencekik leher William yang selalu saja memerintah dengan cara yang diktator. "Saya mendengar, Sir." "Jangan lupa mandi sebelum mengganti pakaianmu, aku tidak ingin pergi makan malam bersama orang yang belum mandi," ucap William sebelum Grace membuka pintu kamar. Siapa juga yang ingin pergi makan malam bersamamu? Meski terus mencibir dan mengumpati William di dalam hatinya tetapi nyatanya Grace menuruti perintah William. Ia memasuki kamar mandi dan memanjakan tubuhnya di bawah guyuran air shower, menggunakan sabun yang biasa di gunakan William, menikmati aroma maskulin pria yang tentu saja sangat di kenalnya. Aroma William yang kini terasa menempel di sekujur tubuhnya dan entah mengapa Grace berulang kali menghirupnya seolah ia benar-benar menikmatinya. Dulu sebelum ia tahu identitasnya, William adalah saudaranya yang paling dekat dengannya. Ia merindukan William, merindukan kedekatan mereka dulu tepatnya. Ketika Grace keluar dari kamar mandi, ia terlonjak kaget karena mendapati William berdiri di samping lemari pakaian tanpa mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Sontak Grace menutup wajahnya menggunakan telapak tangannya. "Apa yang kau lakukan?" pekiknya. "Ini ruanganku, memangnya kenapa?" jawab William dengan nada acuh. "Kau tidak tahu malu," ucap Grace. "Hanya ada kau, kenapa aku harus malu?" William mengambil sebuah handuk yang terlipat kemudian dengan santai ia berjalan melewati Grace yang masih mematung sambil menutupi wajahnya. "Kau pasti terpesona melihat tubuh indahku," ucap William dengan nada mengejek. "Tidak tahu malu," gumam Grace lirih hanya bisa di dengar olehnya sendiri. Meski mulutnya terus memaki William sesungguhnya Grace sempat mengagumi otot-otot tubuh William yang tampak kokoh meski ia hanya melihatnya sekilas. Memanfaatkan waktu karena takut William keluar dari kamar mandi, Grace segera mengeluarkan gaun dari dalam tas kertas yang ia letakkan di atas nakas samping tempat tidur. Sekali lagi Grace mengumpat di dalam hatinya karena gaun yang disiapkan William tepatnya yang disiapkan oleh Alfa sekretaris Wiliam terlalu menempel di tubuhnya, gaun sepanjang mata kaki berwarna biru tosca dengan belahan tinggi tanpa lengan itu terlalu pas di tubuhnya seolah gaun yang kini melekat di tubuhnya di desain khusus untuk dirinya sehingga lekuk tubuh indah Grace tidak bisa di sembunyikan. Rasanya ia sangat kesal hingga tidak akan memaafkan siapa pun yang memilihkannya gaun itu karena selama ini Grace selalu menutupi lekuk tubuh indahnya, ia akan menjadi pusat perhatian. Grace ingin sekali melayangkan protes tetapi ia sadar semuanya hanya akan sia-sia. Grace masih mengamati bayangan tubuhnya yang berada di dalam cermin ketika entah kapan William telah berada di belakangnya, sebuah handuk berwarna putih melingkar rendah di pinggangnya. Otot-otot perut dan dadanya tergambar sempurna, beberapa tetes air masih menetes di pundaknya yang kokoh membuatnya tampak semakin terlihat seksi. Tanpa sadar Grace menelan ludahnya. "Bibirmu terliur melihat tubuhku," ejek William sambil membuang handuk yang melingkar di pinggangnya. Secepat kilat Grace melarikan diri dari tempat itu sebelum matanya ternoda untuk kedua kali, sementara itu melihat Grace yang ketakutan bibir William menyunggingkan senyum tipis. *** "Gunakan Make-up," kata William dengan nada dingin yang memerintah seperti biasa, ia telah rapi mengenakan pakaian formal yang warnanya senada dengan gaun malam yang di kenakan Grace. "Saya tidak memiliki alat make-up, Sir." Grace harus menentang karena ia memang tidak mungkin menggunakan make up, menggunakan make up berarti ia harus melepas kacamatanya. itu sama saja dengan membongkar jati dirinya. Tanpa memedulikan ucapan Grace, William mengangkat gagang telefon di atas mejanya. Tidak lama kemudian Alfa datang Bersama seorang gadis yang wajahnya penuh dengan make-up. "Aplikasikan make-up di wajah Grace," perintah William sambil duduk di kursinya dengan posisi malas. Ia menyilangkan kedua lengannya di belakang kepalanya sambil bersandar dengan nyaman di kursi kebesarannya. "Jangan terlalu tebal." Gadis dengan make-up tebal itu mengangguk dengan patuh, ia dengan sopan meminta Grace melepaskan kacamatanya dan mulai mengaplikasikan make up di wajah Grace. Bukan hanya gadis sedang mendandani Grace yang merasakan kegugupan, Grace juga merasa sangat gugup hingga telapak tangannya terasa berkeringat karena pandangan mata William yang terus saja mengarah kepada mereka berdua dengan tatapan dingin seolah mampu membekukan suasana di dalam ruangan itu. Setelah part ini banyak yang protes, kok langsung dua tahun kemudian, pokoknya baca aja. gak ada part yang gak nyambung. semua nyambung kok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN