Temporary

1425 Kata
Hai, Sob! Coba tebak, aku ada di mana? Yeeah, ini Desa Pagarwangi Kecamatan Balupulang Kabupaten Tegal. Hari ini, aku mau menantang Bukit Rangkok bareng papa dan mama baruku. Yuk, ikuti keseruan kami! Bintang memulai videonya saat memasuki gerbang Desa Pagarwangi. Remaja itu sangat bersyukur karena papanya berhasil meluluhkan hati Pak Polisi. Begitulah ketika uang berbicara, peraturan apa saja bisa dilanggar. "Enggak apa buat dosa dikit, Sayang," ujar Gilang saat Sedayu protes atas praktik suap tersebut. "Suap itu dosa besar, Om." Setidaknya itu yang pernah ia baca. Bahwa, pemberi dan penerima suap akan mendapat laknat. Entah bagaimana hukum selengkapnya. Ia tidak terlalu paham masalah agama. Namun, ia tahu tentang undang-undang terkait tilang. Jika terbukti pemberi dan penerima bakal dipenjara. "Aku tahu, Sedayu. Sama seperti kita pacaran, kan? Sama-sama dosa. Nanti kita tobat bareng, ya. Udah, enggak usah cemberut." Rayuan itu ampuh meluluhkan Sedayu. Sekarang, gadis itu berjalan tanpa melepaskan genggaman tangan Gilang. Jalan semakin menanjak setelah melewati tempat salat yang terbuat dari bambu. Ia memperhatikan sekeliling, mayoritas bangunan di sini menggunakan bahan-bahan dari alam. Menaiki tangga demi tangga, keringat Sedayu bercucuran. Napasnya naik turun cepat. Sesekali langkahnya terhenti, mencoba mengatur napas. Gilang juga ikut berhenti karena tangannya digenggam. "Mau digendong?" tawarnya kala Sedayu berhenti melangkah untuk sekian kalinya. Sementara Hana dan Bintang bersama pemandu sudah tidak terlihat. Itu artinya mereka ketinggalan jauh. "Enggah usah lebay, deh, Om." Gilang menghela napas sembari menggaruk kepalanya yang tertutup topi. Kalau sebentar-sebentar istirahat, entah sampai kapan mereka tiba di puncak. Merasa malu karena istirahat terus, Sedayu memaksakan diri. Ia terus melangkah meski napasnya benar-benar tak beraturan. Genggaman tangan Gilang pun dilepas. Meski wajahnya terlihat meringis, ia tidak berhenti melangkah lagi. Sampai akhirnya tiba di puncak. Gadis itu segera merebahkan diri di gazebo dari bambu yang sengaja dibuat untuk tempat istirahat para pengunjung. Gilang duduk di samping sang gadis yang terbaring. Laki-laki empat puluh tahun itu memperhatikan tebing yang menjulang. Ada Bintang dan Hana bersama pemadu di puncaknya. Asyik mengabadikan gambar dalam bidikan kamera. Ia tersenyum. Bagi Gilang, melihat anaknya senang dan ceria adalah kebahagiaan tiada tara. "Yu, lihat Hana, tuh!” Setelah beberapa menit berlalu, suara Sedayu tak terdengar. Ia menoleh dan mendapati gadisnya tertidur. Senyum Gilang merekah. Ia terus memandangi wajah Sedayu yang tenang. Beberapa bulir keringat di ujung hidup dan dagu belum mengering. Gilang mengambil sapu tangan dan mengusapnya perlahan. Tindakannya membuat Sedayu menggeliat, lalu membalikkan badan, menyamping dan membelakangi Gilang. "Pa, kok diam aja di situ?" tanya Bintang setelah turun dari tebing. "Mamamu kelelahan." "Dibanguninlah, Pa. Aku mau buat foto pre-wedding kalian. Seru kalau Papa sama Mbak Dayu bergaya di atas tebing seperti SRK dan kajol di lagu Gerua." Tanpa meminta persetujuan Gilang, anak remaja itu mendekati Sedayu. Kemudian digoyang-goyangkan pundak calon mama tirinya. Sedayu terbangun. Ia tersipu malu. Orang-orang memperhatikannya. Gadis itu melirik ke samping, berharap Gilang membuatnya tenang. Namun, laki-laki itu sudah berdiri sembari memperhatikan tebing yang ingin dipanjatnya. "Ayo, Mbak. Kita foto-foto. Tapi, Mbak perbaiki penampilan dulu, deh." Sedayu ingin menggerutu karena merasa diperintah-perintah bocah. Namun, ia tetap menuruti. Diawali dengan melepaskan ikat rambut, lalu menyisirnya dengan tangan. Jangan salah menduga, meski rambutnya keriting, ia selalu merawat dengan baik hingga begitu lembut dan wangi. "Biar terurai saja, Yu," pinta Gilang saat Sedayu hendak mengikat rambutnya kembali. "Kamu cantik seperti itu." Pujian itu membuat Sedayu tertunduk malu. Pipinya merona merah. Sebuah respons alami yang diatur sistem syaraf simpatik. Sistem itu bekerja secara spontan dan tidak bisa diatur-atur. Gilang pernah punya teman yang kulitnya sangat putih. Ia pengidap erythrophobia. Yakni, ketakutan jika pipinya memerah. Ia memutuskan melakukan operasi endothoracic sympathectomy. Operasi pemotongan syaraf kecil yang menyebabkan respons kemerahan di wajah. "Emang ada fobia kayak gitu?" tanya Sedayu tidak percaya ketika Gilang menceritakan tentang temannya. Gadis itu berjalan sembari berpegangan di lengan Gilang, menapaki bebatuan. "Orang kalau udah punya duit gitu, ya. Hal-hal kecil yang diinginkan segera diatasi dengan mudah." "Kata siapa? Aku rayu kamu pakai HP mahal aja masih ditolak karena botak. Satu lagi, duit enggak bisa numbuhin rambutku." Ia mengalami kebotakan sejak remaja karena faktor keturunan. Saat pertama kali rambutnya rontok, ia teramat ketakutan. Takut menderita penyakit ganas. Beberapa dokter ahli penyakit dalam ia datangi bersama orang tuanya. Namun, diagnosa mereka selalu sama. Tidak menderita penyakit apa pun. Barulah setelah beberapa tahu ia akhirnya tahu tentang botak karena keturunan. Ayahnya memang tidak botak, tapi kakeknya yang sudah meninggal saat Gilang masih SD itu berkepala botak. Mendengar ucapan Gilang yang mengandung pesimis, Sedayu melepaskan gandengan dan berhenti melangkah. Tindakannya membuat Gilang menoleh dengan kernyitan di kening yang tampak jelas. "Kenapa?" Sedayu merentangkan tangan ke depan, lalu berkata dengan manja, "Gendong." Senyuman Gilang terkulum. Ia berbalik dan membungkuk. Setelah Sedayu menaiki punggung dan melingkarkan lengan di leher, ia berdiri dan berjalan pelan. "Makasih, Om. Aku mau dihalalin sekarang." Langkah Gilang terhenti. Ia menoleh ke kanan dan mendongak, berusaha melihat wajah Sedayu. Namun, tidak terjangkau. "Benaran?" Sedayu menunduk, lalu memberikan kecupan singkat di pipi Gilang. Bersamaan dengan itu, nyala flash kamera membuat kedua orang itu mengalihkan pandangan ke depan. Kemudian senyum keduanya mengembang saat melihat Bintang terus mengarahkan kamera dan memotret kemesraan mereka. Setelah beberapa kali pose gendong, Gilang menurunkan Sedayu. Ia merogoh sesuatu di saku celana. Sebuah kotak perhiasan beludru biru diperlihatkan. Perlahan dibuka. Sedayu tersenyum melihat kalung emas berliontin nama "DAYUnG" yang membuatnya mengernyit. "Dayung itu apa, Om?" "Dayu and Gilang." "Lebay, deh." Meski mengatakan demikian, senyuman manis terlukis di bibir. Hatinya berbunga-bunga, bagai sakura pada musim semi. Binar ceria terpancar dari mata bening yang menghanyutkan Gilang saat memandangnya. Debaran jantungnya berpacu lebih kencang saat kalung itu dipasangkan ke lehernya. "Aku enggak akan melepaskannya, Om." "Harus." Gilang menjawil ujung hidung Sedayu. "Kalau kamu berani melepaskannya, aku akan menghukummu." Sedayu terdiam karena Gilang terus menatapnya. Salah tingkah. Ingin memalingkan wajah, tetapi gerakannya seolah terkunci. Kaku dan tak berdaya. Bintang yang melihat dua manusia itu terdiam dengan saling pandang, ia pun berdeham. Sengaja agar aksi saling tatap itu disudahi. Berhasil. Gilang menoleh ke arah anaknya. "Naik ke tebing, Pa. Mbak Dayu jadi Kajol, ya!" pinta Bintang. Sedayu melihat ke arah tebing. Ada tangga besi yang ditanam ke dinding-dinding bebatuan. Orang menyebutnya teknik memanjat Via Ferrata. Baru melihat saja Sedayu sudah gemetaran. Bagaimana mungkin ia bisa memanjat ke tebing tersebut jika kakinya bergoyang-goyang. Cepat-cepat ia menggeleng. Tidak terima dengan ide pose di atas tebing. "Enggak! Aku enggak berani." Gilang mengambil peralatan memanjat untuk Sedayu. Ia sendiri memakai helm. Ia tidak memperhatikan Sedayu yang ingin berlari menjauh. Bintang mengejarnya. "Aku enggak mau, Bintang. Itu seram banget." "Dicoba dulu keles. Mbak enggak asyik, ah." "Bodo." Sedayu terus berjalan cepat. Bintang menarik tangannya. Gadis itu memberontak, tetapi genggaman tangan Bintang susah dilepaskan. Dengan kekuatan yang dihimpunkan, ia mendorong tubuh Bintang. Remaja itu tidak menyiapkan diri. Ia terdorong hingga membentur pagar pembatas. Beruntung pemandu sigap menarik tangannya. Mata Sedayu membelalak. Ia tidak menyangka dorongannya hampir membuat Bintang celaka. Dua tangannya diletakkan di d**a, mencoba menahan gemuruh kecemasan dan ketakutan yang sedang menyerang. "Apa-apaan kamu main dorong kayak gitu? Kamu mau melenyapkan Bintang di jurang ini?" Kini, bukan hanya mata membelalak, tetapi mulut pun menganga saat Gilang meneriakinya. Perih saat dituduh sejahat itu. Tidak mungkin ia berniat mencelakai Bintang yang manis. Jujur, di hatinya ia menyukai Bintang. Suka dalam makna bahwa ia senang dipertemukan dengan remaja periang yang asyik diajak ngobrol. "Pa, bukan Mbak Dayu ..." "Diam! Cepat berkemas. Kita pulang!" "Tapi, Pa ..." "Pulang!" Bintang tidak lagi membantah. Ia mengambil barang-batang dan melangkah pelan. Gilang sudah lebih dulu berjalan tanpa mengajak Sedayu yang masih terdiam di tempat. "Mbak, ayo turun!" ajak Hana. Sedayu mengangguk dan berjalan gontai. Sungguh, ia tidak pernah mengira akhir dari perjalanan wisata semenyakitkan ini. Kebahagiaan yang baru saja terlukis indah, lenyap dalam hitungan menit. Suara langkah membuatnya menoleh ke belakang. Seorang pemandu berjalan pelan mengikutinya. Ia menyilakan sang pemandu berjalan di depan. Tidak ingin kelambatannya membuat lelah orang lain. Jarak ia dengan pemandu sekitar lima meter. Ia tidak memperhatikan lagi jalanan. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Ia biarkan kakinya menuntun jalan tanpa tujuan. Jalan yang seharusnya lurus, ia malah berbelok tanpa sadar. Selang beberapa menit, ia tersandung batu. Jatuh terjungkal ke depan. Ia memandang sekeliling, tidak ada siapa pun. Tidak ada tangga yang menuntunnya turun ke pos camp. Kiri kanan pohon-pohon dan ilalang lebat. Sepi. Hanya desau angin menemani embusan napasnya. Ia duduk sambil memeluk lutut di tengah padang ilalang. Tidak tahu mau melangkah ke arah mana. Sementara di tempat berbeda, Bintang histeris karena Sedayu tidak terlihat di mana-mana. Ia menangis, merasa bersalah atas kejadian ini. "Bin, papa bilang tenang. Kita cari pelan-pelan." Gilang pun tidak tahu bagaimana menenangkan hatinya sendiri. Perasaan bersalah karena membentak Sedayu seolah tidak ada gunanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN