Ini malam pertama tanpa kehadiran Ari di rumah Sedayu. Biasanya pukul 19.00 laki-laki berambut ikal itu sudah ribut. Minta dibikinkan kopi, minta camilan, mencari remote. Sekarang sepi. Gadis bertubuh kecil itu sendiri ditemani keheningan malam. Papanya belum pulang. Masih di klinik.
Perih masih menggores hati. Air mata pun setia menetes. Mulai detik ini, ia akan belajar tanpa kehadiran Ari. Segala tentang mereka akan berubah. Ternyata bukan hanya tumbuhnya benih cinta yang merusak pertemanan. Akan tetapi, salah satu bersama orang lain pun bisa menghentikan kebersamaan. Buktinya, Ari tidak lagi datang. Bahkan sekadar menanyakan kenapa pulang tanpa pamit.
Seolah Sedayu tidak penting lagi. Padahal dulu ia pernah berjanji, akan selalu setia menemani. Ah, manusia memang seperti itu. Mudah mengumbar janji.
Sedayu menghela napas, lalu berdiri mendekati jendela. Gordennya dibuka. Ia menatap lurus ke jendela rumah sebelah, rumah Ari.
Waktu sudah berada di angka 23.00. Lampu di kamar sahabatnya masih menyala. Keheningan malam mengantarkan alunan gitar dari kamar tersebut. Diiringi lagu perfect-nya Ed Sheeran. Khas orang sedang jatuh cinta. Sebuah rasa baru yang sedang menyelimuti hati sahabatnya. Rasa itu telah merenggangkan hubungan persahabatan yang kian lama terjalin.
Bahunya ditepuk. Gadis berambut keriting itu terperanjat. Ia menarik napas sembari memejamkan mata dan mengusap d**a setelah melihat papanya.
"Dipanggil-panggil tidak menyahut. Lagi lihat apa?" Papa Sedayu aslinya orang Kalimantan. Sudah lama menetap di Tegal, tetapi sama sekali tidak bisa bahasa Jawa. Apalagi dialek ngapak. Begitu pun Sedayu, karena sehari-hari berkomunikasi pakai bahasa Indonesia. "Kamu sama Ari ada masalah?"
"Enggak, Pa."
"Tumben dia tidak ke sini."
Gadis 23 tahun itu mengangkat bahu, tidak ingin membicarakan Ari. Takut ketahuan sedang patah hati. Papanya sibuk memikirkan kerjaan. Ia tidak ingin membebani dengan masalah asmara yang kandas sebelum dimulai. Biarlah ia tanggung sendiri. Seiring berjalannya waktu, perih akan berganti dengan sesuatu yang menyenangkan hati. Dunia, akan selalu ada dua sisi berbeda yang mewarnai kehidupan. Itu keyakinan yang didapatkan dari buku dan video motivasi.
"Tidak mau berbagi sama papa?"
Sedayu tertawa. Inilah laki-laki yang menjadi cinta pertamanya. Laki-laki yang secara utuh memahami perasaannya. Pertanyaan itu sudah mewakili bahwa papanya peka pada perubahan sang anak. Selama ini Sedayu sering menyimpan masalahnya sendiri. Namun, entah dari mana dan bagaimana caranya, sang papa selalu saja mengetahui dan siap memberi solusi terbaik.
Seperti saat masih SMP, ia pernah di-bully. Sedayu tidak berani mengadu. Ia menyimpan masalahnya sendiri. Papanya menyadari sesuatu telah terjadi. Laki-laki itu mengusut hingga tahu permasalahan anaknya.
"Enggak apa-apa, Pa. Sekarang udah malam. Papa baru pulang kerja. Pasti capek. Mending sekarang istirahatlah. Dayu janji, masalah apa pun akan segera selesai."
Papanya menghela napas, lalu mengusap kepala sang anak. Hati laki-laki itu diliputi kebahagiaan karena anaknya kini menjadi gadis cantik, secantik mamanya yang telah berpulang.
"Oke. Papa percaya kalau Dayu sudah dewasa. Tapi, ingat. Ada papa yang selalu siap dimintai tolong."
"Tentu. Makasih, Pa."
Setelah papanya keluar, Sedayu tersenyum. Meski perih itu masih ada, ia telah memiliki penangkis yang mampu memberinya kekuatan. Ia masih memiliki cinta yang lebih luar biasa, cinta dari sang papa.
Sedayu menutup gorden, mematikan lampu kamar, lalu naik ke tempat tidur.
"Selamat bahagia, Ri," gumamnya seraya memejamkan mata. Ia tidak menyadari masih ada laki-laki paruh baya yang mengintip di sela pintu. Laki-laki yang tidak ingin terjadi hal buruk pada anak gadisnya.
***
Sabtu pagi yang menenangkan. Pengangguran seperti Sedayu tidak ada beda antara akhir pekan atau bukan. Setiap hari sama saja. Namun, ia memiliki aktivitas rutin yang tidak bisa ditinggalkan kecuali jika hujan mengguyur Kota Tegal. Yakni, joging di Taman Poci.
Meski hari masih pagi, taman ini sudah ramai. Kebanyakan muda mudi yang joging sembari mencari perhatian gebetan. Taman ini memang menjadi idaman kawula muda. Lokasi strategis, bersih, dan nyaman. Dinamakan Taman Poci karena di dalamnya ada patung cerek atau cangkir teh yang menjadi identitas Kota Tegal.
Baru dua kali putaran, Sedayu melihat Ari di pintu masuk taman. Ia ukirkan senyuman manis seperti biasa. Kemudian berjalan pelan menghampiri sahabatnya.
"Semalam begadang, ya?"
Ari hanya tertawa pelan, lalu berlari-lari kecil. Sedayu mengikutinya. Namun, larinya semakin kencang, seolah tidak ingin diikuti.
"Ri, kita udah enggak bisa sahabatan lagi, ya?"
Ari berhenti berlari. Laki-laki 25 tahun itu mendongak sembari membuang napas. Ia harus jujur. Mungkin kejujurannya menyakiti Sedayu, tetapi ia tidak punya pilihan. Bagaimanapun, ia telah memilih China. Ia sudah berjanji memenuhi permintaan perempuan yang baru jadi pacarnya kemarin sore.
"Yu, maaf yo. Kata China, aku harus menjauh darimu. Dia cemburu melihat kedekatan kita."
Sedayu tersenyum pias. Ia tidak menyangka secinta itu Ari pada gadis Jakarta yang baru beberapa bulan dikenalinya. Segala titah sang gadis seolah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Cinta memang mampu mengubah apa pun. Termasuk perilaku Ari.
"Aku ngerti, Ri. Memang seharusnya kita menjaga jarak. Maaf karena sudah mengganggumu."
Sedayu berbalik, lalu berderap cepat meninggalkan taman. Luka yang belum sembuh kembali digores. Bukan hanya perih, entah rasa apa yang pas menggambarkan kesakitan di hatinya. Ia berlari tanpa memperhatikan jalan. Sebuah sepeda motor menyerempet. Ia terpelanting. Ponsel di sakunya terjatuh. Kemudian digilas motor.
Sakit di badannya tidak lagi dipedulikan. Ia berteriak dan menangis meraung-raung karena ponselnya hancur.
"Mbak, please jangan nangis. Aku bakal ganti."
Sedayu mendongak. Seorang anak remaja berdiri di depannya. Di tangannya sudah ada ponsel Sedayu yang hancur. Entah dengan cara apa anak remaja ini mengganti ponselnya.
"Memangnya kamu punya duit? Paling kamu mau minta orang tuamu, kan?"
"Ya, mau gimana lagi."
Tangisan Sedayu kembali terdengar. Kali ini sambil memukul-mukul kakinya. Sebenarnya bukan masalah ponsel rusak. Namun, seluruh kenangan yang ada di dalam bakal hilang kalau ponselnya tidak bisa diperbaiki. Setelah ini, ia harus menyimpan semua file di Google Drive.
"Udah, jangan nangis! Mbak kayak anak kecil, deh." Remaja itu jadi kesal melihat tingkah Sedayu. "Ayo, naik. Aku antar pulang. Kalau HP-nya sudah jadi, aku antar ke rumah."
"Gimana aku bisa percaya?"
Si remaja mengambil sesuatu di tas pinggang, lalu menyerahkan pada Sedayu. "Nih, kartu nama papaku. Di situ ada alamat warung ayah. Kalau lebih dari satu minggu aku belum datang, Mbak temui aku di alamat itu."
Tangannya terulur, mengambil kartu nama tersebut. Tanpa foto. Hanya disebutkan nama, nama warung, alamat, email, dan nomor ponsel. Melihat nama warungnya, Sedayu tersenyum senang. Itu warung yang paling terkenal di Kota Tegal. Namun, ia belum pernah makan di sana. Selama ini kalau makan di luar pasti bersama Ari. Tempat makan sudah dipilih. Pernah sekali Dayu ingin pergi ke warung terkenal tersebut. Namun, Ari menolak. Katanya, antrean membludak. Ia tidak ingin menunggu lama hanya karena urusan makan.
"Oke. Aku percaya. Lagian aku sudah hafal plat nomormu. Awas kalau macam-macam."