3. Kehilangan Orang Terkasih

1050 Kata
GENDHIS Beberapa minggu telah berlalu sejak terakhir aku bertemu Bintang secara pribadi. Setelah itu kami nggak pernah bertemu lagi selain di kelas perkuliahan. Akhir-akhir ini aku cukup sibuk karena harus mondar mandir Jakarta Bandung. Ditambah lagi tugas-tugas dari Bintang sangat menyita waktuku. Bintang kalau sudah mode killer emang bikin ngeri. Ngasih tugas selalu di luar dugaan dan nggak tebang pilih. Lagian apa juga yang mau diharapkan dari seorang Bintang? Mau dapat previlleged karena aku adalah perempuan yang dijodohkan sama dia? Hanya akan terjadi di dunia mimpi sepertinya. Baru juga mengempaskan badan di atas ranjang kosan setelah hampir tiga jam duduk di perpustakaan nyari jurnal penelitian lalu dibedah sesuai dengan tugas Bintang, ponselku berbunyi tanda sebuah chat masuk. Malas-malasan aku meraih tas di samping kananku lalu merogohnya untuk mencari keberadaan ponselku. Chat dari Bintang. Ditambah puluhan panggilan tak terjawab dari Mama dan juga dosen galak itu. Yang Mulia Bintang: “Siap-siap. Saya ke kosmu sekarang.” Aku mengernyit menatap layar ponselku. Cukup sebal juga membaca chat cowok itu yang terkesan memerintah. Me: “Ada apa?” Yang Mulia Bintang: “Papa kamu kritis. Kamu harus pulang ke Jakarta.” Tanpa membalas chat Bintang aku langsung bangkit dari ranjang. Dengan sigap mengumpulkan barang-barang penting yang biasa aku butuhkan lalu memasukkannya ke dalam ransel. Setelah mengunci pintu kamar aku bergegas menuju pintu gerbang. Beruntung belum dikunci sehingga aku bisa keluar dan akan menunggu kedatangan Bintang di luar kosan. Syukurlah aku tak perlu menunggu lama-lama karena belum sepuluh menit aku berdiri ada cahaya lampu mobil dari arah kejauhan sedang bergerak ke arahku. Aku yakin itu pasti Bintang. Dan benar saja tebakanku, mobil Bintang berhenti tepat di depanku. Tanpa pikir panjang aku segera masuk dan menutup pintu mobil dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara debum yang membuat penghuni kamar depan di kosku bertanya-tanya siapa yang keluar malam-malam seperti ini. Masalahnya sekali lagi bukan karena keluar malam yang membuat aku selalu sembunyi-sembunyi jika berinteraksi di depan kosan dengan Bintang. Semata karena takut ketahuan Abil saja. Aku nggak dia salah sangka lalu mengganggu pertemanan kami. Seperti biasa Bintang berkendara dalam keheningan. Dia sama sekali tak berniat mengajakku bicara. Aku sendiri juga nggak berminat mengajaknya bicara. Mau tanya dia tahu dari mana kondisi Papa jelas aku sudah tahu dari mana dia mendapatkan kabar ini dan sumber informasinya pasti akurat. Aku mencoba menghubungi Mama, tapi belum ada jawaban. Mungkin Mama masih sibuk mengurusi Papa, pikirku. Dalam hati aku mengucap doa semoga orang tuaku baik-baik saja. Setelah melalui percobaan berkali-kali akhirnya Mama menerima panggilan teleponku. Suara Mama terdengar berat diiringi suara isakan yang membuat jantungku berdetak cepat secara tiba-tiba. “Ma, gimana Papa?” tanyaku cemas. “Dhis… Papa…” “Ya, Ma? Papa kenapa?” “Papa…udah nggak ada, Dhis.” “Ma, yang bener kalau ngomong.” “Papa udah nggak ada, Dhis.” Kemudian panggilan telepon tiba-tiba diakhiri secara sepihak. Aku masih linglung dan nggak tahu mesti merespon gimana. “Ada apa?” tanya Bintang masih sambil mengemudikan mobilnya. Aku hanya mengedikkan bahu. Bingung harus menjawab apa. Aku merasakan Bintang memelankan laju mobilnya lalu berniat menepi. “Jangan berhenti. Kalau bisa lebih cepat biar bisa cepet sampai Jakarta,” kataku dengan pandangan kosong. Bintang menuruti ucapanku. Dia kembali melajukan mobilnya tanpa banyak tanya. Selang lima menit kemudian ponselku berdering kembali. Ada nama Mama yang tampil di layar ponsel. Buru-buru aku menerima panggilan yang tadi sempat terputus itu. “Ma, gimana Papa?” tanyaku tanpa basa basi salam seperti biasanya. “Maaf, Kak. Saya perawat yang menangani Pak Wiyata Kusuma. Saya mau menyampaikan bahwa bapak telah dinyatakan meninggal dunia. Sabar ya, Kak. Kami tunggu kehadirannya di rumah sakit untuk mengurus jenazah beliau.” Ponsel di tanganku lolos begitu saja. Tubuhku rasanya luluh lantak nyaris nggak bernyawa saat ini. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Bintang soal kondisiku tak kuhiraukan sedikitpun. Yang aku pikirkan saat ini adalah duniaku gelap dan hening setelah mendengar berita kematian papaku. ~~ BINTANG Saya buru-buru menepikan mobil saat menyadari ada yang tidak beres pada diri Sachika. Setelah pertanyaan-pertanyaan saya tidak dijawab, saya segera meraih ponsel gadis itu yang terjatuh di bawah kakinya. Ponsel masih tersambung ke kontak ponsel ‘MAMAku’. Saya tebak dia pasti baru saja menerima berita buruk tentang orang tuanya. Namun panggilan diakhiri tak lama setelah ponsel beralih ke tangan saya. Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi Ibu dan mencari tahu kondisi Papanya Sachika. “Bin? Gendhis udah sama kamu, kan?” tanya Ibu begitu menerima panggilan telepon saya. “Ya, Bu. Ini aku lagi di jalan mau ngantar dia ke Jakarta.” “Hati-hati ya, Bin. Titip Gendhis. Kuatkan hatinya, kalau bisa hibur dia. Papanya baru saja berpulang. Sekarang Ayah sama Ibu sedang di rumah sakit mengurus kepulangan jenazah Pak Wiyata. Kalian hati-hati di jalan, ya,” ucap Ibu dengan suara terisak. Samar-samar saya juga mendengar suara tangis orang lain juga. Mungkin mamanya Sachika. “Ya, Bu,” jawabku singkat lalu kembali memacu mobil. Sachika masih diam menatap kaca jendela di sampingnya. Dia sama sekali tidak mengeluarkan air mata. Tapi bisa dipastikan tatapannya saat ini kosong dan itu justru mengkhawatirkan. Saya lebih baik melihat orang menangis karena baru saja mendengar berita kematian orang terkasih ketimbang diam tak bersuara, tak menangis dengan pandangan kosong seperti itu. “Apa saya perlu berhenti di rest area sebentar?” tanya saya untuk kesekian kali. “Nggak usah. Jangan berhenti-berhenti biar cepet sampai. Papa udah nunggu aku,” jawabnya. Saya memilih menurut dan tak lagi mengganggu Sachika yang sedang melamun. Sepertinya dia sedang benar-benar tidak ingin diganggu. Terbukti dia segera mematikan audio tape yang baru saja saya nyalakan. Perjalanan kali ini benar-benar terasa hening dan hampa. Sesekali saya membunyikan klakson untuk mengejutkan Sachika agar tidak larut dalam lamunannya. Akhirnya kami berdua sampai juga di rumah sakit. Untuk pertama kalinya saya lihat Sachika menangis. Awalnya dia hanya menangis tersedu sambil tetap mencari keberadaan mamanya. Lalu detik berikutnya tangisnya pecah tatkala melihat brankar yang membawa papanya keluar dari ruang ICU hendak dibawa ke ruang jenazah untuk kemudian dibawa pulang ke rumah. Sachika menangis sejadi-jadinya seperti orang kerasukan. Saya tak punya pilihan selain meraihnya ke dalam pelukan saya. Syukurlah dia bisa tenang meski masih tetap menangis dalam pelukan saya. Saya yang tak bisa berkata-kata hanya sanggup menenangkan gadis itu dengan membelai rambut panjangnya. Meski tidak bisa menghentikan tangisannya. Setidaknya kehadiran saya mampu menguatkan Sachika dalam menghadapi kenyataan kehilangan orang terkasih untuk selama-lamanya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN